bc

Bukan Istri Pengganti

book_age12+
3.7K
FOLLOW
21.2K
READ
contract marriage
love after marriage
goodgirl
powerful
confident
tragedy
bxg
brilliant
city
illness
like
intro-logo
Blurb

Kecelakaan yang menewaskan istrinya membuat Raymond Mattew Gilbert merasa terpukul. Surat pernyataan dari sang istri—Zwetta Gizelle— keinginan mendonorkan organ tubuhnya setelah meninggal untuk seseorang yang membutuhkan semakin menghancurkan perasaan Raymond.

Tiba-tiba seorang ayah datang kepadanya, meminta izin agar Raymond menyetujui transplantasi jantung Zwetta guna menyelamatkan putri tunggalnya—Fidelya Jovanka Harvey—dari ambang kematian.

“Saya akan menyetujui transplantasi jantung istri saya untuk putri Anda, dengan satu syarat,” kata Raymond.

“Katakan, saya akan mengusahakannya, Tuan,” jawab Jordan.

“Usai transplantasi dilakukan, Fidelya harus menikah dengan saya, karena saya tidak rela jantung istri saya berdetak untuk lelaki lain.”

Kesepakatan yang telah dilakukan tanpa sepengetahuan Fidelya pada akhirnya membawa gadis penyandang gagal jantung sejak lahir itu terikat dengan pengusaha muda nan kaya raya.

Acap kali dianggap sebagai istri pengganti tak membuat Fidelya menyerah atas perasaannya. Sikap acuh tak acuh Raymond semakin mengobarkan semangat Fidelya untuk mendapatkan perasaan lelaki yang telah berstatus sebagai suaminya.

NOTE: UPDATE SETIAP HARI, YA ..

chap-preview
Free preview
1. Fidelya Harvey
Cahaya matahari mulai menelusup ke sela-sela tirai berwarna putih di kamar yang begitu besar. Seorang wanita single cantik yang mempunyai kulit bersih dan wajah oval itu mulai mengerjapkan matanya, terlihat manik mata coklat terang melihat ke sekitar kamarnya. Pandangan teduhnya terlihat menyipit, sinar mentari membuat efek silau di penglihatan mata wanita itu. Tampak seberkas sinar menelusup di balik celah gorden berwarna emas yang tergantung rapi di jendela kamarnya. "Sudah pagi ternyata," ucapnya pelan. Dia menyikap selimut yang menutupi tubuhnya kemudian dia beranjak dari tempat tidur. Wanita itu membuka tirai kamarnya dan melihat pemandangan Kota San Fransisco yang sangat indah dari balik kaca jendela kamarnya. "Pemandangan yang sangat indah," ucapnya sekali lagi dengan diiringi Senyum manisnya. Wanita itu berjalan menuju balkon kamarnya dan membuka pintu kaca kemudian dia keluar dan merasakan hembusan angin menerbangkan rambutnya yang tergerai indah. Fidelya Jovanka Harvey wanita berusia dua puluh lima tahun yang tinggal hanya berdua dengan ayahnya, seorang pengusaha real estate nomor satu di San Francisco. Sedangkan Ibu Fidelya yaitu Sarah harvey sudah lama meninggal karena penyakit jantung. Sejak kecil Fidelya divonis oleh dokter menderita gangguan pada jantungnya dan itu disebabkan karena kelainan genetika atau keturunan dari keluarganya. Fidelya bersama ayahnya tinggal di San Fransisco kota terpadat ke empat di California dan juga termasuk kota besar serta merupakan pusat keuangan, budaya, serta transportasi. Jadi tidak salah jika Jordan Harvey ayah dari Fidelya memilih San Fransisco sebagai kota untuk mengembangkan bisnisnya. Tidak hanya itu, San Fransisco merupakan kota dengan berbagai pemandangan alam begitu indah karena memiliki banyak bukit yang sangat terkenal. San Fransisco menjadi kota nyaman untuk menjadi tempat tinggal walaupun penduduknya sangat padat. Fidelya telah menyukai San Fransisco meski dirinya tidak lahir di sana. Setiap hari wanita cantik itu selalu bangun lebih pagi untuk menikmati suhu yang sejuk walaupun di sana sedang musim panas. Udara sejuk sepanjang tahun ini terjadi karena San Fransisco terletak di semenanjung tempat bertemunya udara dingin dari Samudra Pasifik dan hawa panas dari lembah di California. Ketika tiba musim Dingin para penghuni kota tersebut juga tidak perlu khawatir karena suhunya hanya delapan sampai enam belas derajat Celcius. Mereka tidak lagi memerlukan jaket tebal atau (winter coat) selama musim dingin datang. Hal itulah yang menjadi alasan ayah Fidelya juga tidak begitu khawatir pada kesehatan jantung putrinya saat musim dingin tiba di San Fransisco. Setiap memandang suasana kota San Fransisco dari atas balkon kamarnya, wajah Fidelya terlihat sangat bahagia. Namun, bukan hanya pemandangan indah yang membuat Fidelya sangat menyukai San Fransisco. Di sanalah dia memiliki kenangan tak terlupakan akan ibunya. Kenangan masa kecilnya yang sangat indah dengan Sarah Harvey- ibu dari Fidelya. “Kapan musim dingin tiba? Aku merindukan rintik hujan, kenangan akan Mommy,” gumamnya mencebikkan bibirnya. Sarah Harvey adalah orang yang sangat mencintai Fidelya, wanita cantik dengan manik mata coklat terang sama persis dengan milik putrinya meninggal saat Fidelya masih kecil. Ibunda Fidelya telah berjuang melawan penyakit gangguan jantung yang dialaminya sepanjang hari. Fidelya sering diajak jalan-jalan oleh ibunya di Golden Gate Bridge atau Jembatan Golden Gate—jembatan berwarna kemerahan yang banyak disukai oleh seluruh turis di dunia. Pada setiap perayaan ulang tahunnya, Fidelya selalu meminta ayahnya Jordan berjalan-jalan ke sana, dengan begitu dia akan merasa bahagia dan bisa melepas kangen sama ibunya. Wanita itu kemudian masuk lagi ke dalam kamarnya setelah puas melihat dan merasakan embusan angin kota San Fransisco dari balkon kamarnya. "Sepertinya Daddy sudah berangkat ke kantornya," ucapnya sambil memanyunkan bibirnya. Putri kesayangan Jordan Harvey kemudian menguncir rambutnya sembarangan ke atas. "Sebaiknya aku segera mencuci muka dan turun, aku bosan juga tiap hari makan sendiri di dalam kamar." Sekali lagi dia berdialog sendiri. Fidelya berjalan menuju kamar mandinya sekarang dia berdiri tepat di depan wastafel dan ada kaca besar berbentuk oval dengan hiasan lampu ditepi mengelilingi kaca itu, terdengar suara air keluar dengan derasnya di saat Fidelya membuka knop di wastafel itu dia mengadakan kedua tangannya untuk menampung air kemudian membasuhkan pada mukanya, dia melakukan itu beberapa kali.Setelah itu tangannya meraih handuk berwarna putih yang tergantung tepat di sampingnya, Fidelya mengelap mukanya sampai kering. Tanpa sengaja Fidelya menabrak rak yang ada di dekat pintu keluar dan semua yang ada di atas rak itu jatuh berserakan bahkan handuk yang ada di tangannya pun terjatuh. "Sakit sekali!" Dia memegang dadanya yang terasa agak nyeri, seketika wajah cantik itu berubah pucat pasi dan ada peluh yang membasahi dahinya, pandangan Fidelya perlahan kabur dan akhirnya dia jatuh pingsan. Di lantai bawah seorang pelayan wanita muda sudah siap dengan nampan berisi segelas orange jus dan roti sandwich kesukaan Fidelya serta tidak lupa catatan kecil dari sang ayah--Tuan Jordan Harvey--setiap pagi tidak pernah lupa mengucapakan ucapan selamat pagi kepada putri sematawayangnya yang sangat dia cintai. “Coba kamu naik saja ke kamar Nona Fidelya, mungkin Nona Fidelya ingin sarapan di dalam kamar,” seru Eve, selaku kepala pelayan di kediaman keluarga Harvey. Kebiasaan Fidelya, menikmati makan paginya sambari berjemur di bawah sinar mentari pagi dengan menatap pemandangan bukit nan jauh di sana dari balkon kamarnya. Seluruh pelayan di kediaman keluarga Harvey sudah hafal benar aktivitas wanita cantik itu, karena memang Fidelya tidak banyak melakukan rutinitas sepanjang hari mengingat keterbatasan tubuh Fidelya dalam beraktivitas. Demi menjaga kebugaran tubuhnya, Fidelya menyewa seorang instruktur senam yoga dan juga kadang kala berenang. Para pelayan di kediaman Fidelya mendapatkan amanat mengawasi setiap kegiatan Fidelya agar wanita itu tetap dalam keadaan baik. “Jangan lupa untuk membersihkan meja dan kursi yang ada di balkon Nona Fidelya sebelum kembali dari sana,” titah Eve mengingatkan bawahannya. “Baik, Mam,” jawab Diana bergegas menaiki anak tangga berkelok menuju lantai dua di mana kamar nona mudanya berada. Diana merasa kasihan dengan Fidelya, memiliki kehidupan bak putri tidur dalam cerita dongeng anak-anak. Menjadi anak tunggal dari pengusaha kaya raya, tidak lantas membuat hidup Fidelya sempurna. Bagaimana Fidelya dapat menikmati kehidupan yang dia miliki saat ini, jika kesehatan tubuh tidak pernah berpihak kepada Fidelya? Menjalani rutinitas harian terbatas, mengurangi pergaulan dengan dunia luar karena sadar diri bahwa dia hanya akan menjadi bahan simpatisasi banyak orang jika penyakitnya tiba-tiba saja kambuh saat dia sedang berada di luar rumah. Fidelya juga menginginkan kehidupan sebagaimana para wanita lajang seumurannya. Menjadi wanita karir, memiliki banyak pengalaman di luar sana, dan juga mempunyai pasangan kekasih. Pasangan kekasih? Jangankan pasangan kekasih, wanita itu saja tidak mempunyai teman lelaki bahkan sebatas chating semata. "Nona Fidelya, saya membawakan sarapan untuk Nona Fidelya," ucap Diana di balik pintu kamar Fidelya. Pelayan muda itu sedang menunggu jawaban dari dalam. Namun sekian menit menunggu ternyata tidak ada jawaban dari nona mudanya. Mungkinkah nona mudanya tengah berada di kamar mandi? Tetapi tidak biasanya Fidelya mandi sebelum sarapan terlebih dahulu. "Kenapa Nona Fidelya tidak menjawab?" gumam pelayan itu bermonolog sendiri. Pupil Diana melebar seketika. "Atau jangan-jangan!" Mata pelayan itu membulat dan dia dengan cepat menerobos masuk ke dalam kamar Fidelya. "Nona! Nona Fidelya!" teriaknya sambil mencari keberadaan nona mudanya. Mata Diana kini mengedar ke seluruh ruangan, di kamar utama dia tidak menemukan sosok Fidelya ada di sana. Kemudian Diana melangkah menuju balkon kamar Fidelya, pintunya tertutup rapat, Diana tidak melihat Fidelya berada di tempat duduk berbahan dasar rotan favoritnya. Walk in closet, tinggal bagian ruangan tersebut yang belum Diana sambangi. Diana mempercepat langkahnya, pelayan muda itu akhirnya menangkap sesosok tubuh yang tergeletak di atas lantai marmer. Tubuh Fidelya begitu lemas terkapar di depannya. "Ya Tuhan! Nona Fidelya!" Pelayan muda itu segera berlari menghampiri Fidelya yang jatuh pingsan tepat di depan pintu kamar mandinya. Kemudian Diana berteriak meminta pertolongan sambari menekan HT miliknya. “Nona Fidelya membutuhkan pertolongan!” seru Diana. Tidak lama kemudian seluruh pelayan di kediaman keluarga Harvey bergegas menuju ke ruang kamar Fidelya. Seluruh pelayan di rumah Fidelya mendapatkan ilmu pengetahuan tentang memberikan pertolongan pertama terhadap Fidelya yang memiliki riwayat penyakit jantung bawaan lahir. Sayangnya, Diana adalah pelayan baru di sana dan belum memiliki keterampilan tersebut. “Menyingkir,” ujar Eve si kepala pelayan. Eve melakukan RCP atau resusitas jantung paru, yang merupakan langkah pertolongan pertama guna mengembalikan fungsi pernapasan sekaligus sirkulasi darah di dalam tubuh yang sempat berhenti. Tujuan melakukan resusitas jantung paru ini yaitu menjaga oksigen dan darah tetap beredar ke seluruh tubuh Fidelya. RCP ini biasa dilakukan kepada Fidelya saat wanita itu mengalami henti jantung dan tidak mampu bernapas secara normal. “Angkat kedua tangan Nona Fidelya, letakkan ke dahinya. Iya seperti itu, sekarang dongakkan kepalanya,” kata Eve dengan nada tegas. Di wajah Eve terlihat sangat tenang, namun tidak begitu dengan dalam kepala dan hatinya. Eve menyayangi Fidelya, apapun yang terjadi pada Fidelya, Eve turut merasakan kesakitannya jua. Setelah melakukan RCP tahap terakhir, Fidelya kembali bernapas dengan napasnya dalam, terlihat menyakitkan bagi siapapun yang melihatnya. “Oksigen!” seru Eve memberikan perintah. Setelah memastikan oksigen terpasang dengan benar, dan Fidelya dapat bernapas sedikit leluasa. Eve memerintahkan sopir keluarga Harvey untuk mengangkat tubuh Fidelya. “Kita bawa Nona Fidelya ke rumah sakit sekarang juga. Kalian jangan lupa hubungi Tuan Jordan,” seloroh Eve. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, sopir keluarga Harvey secepatnya mengangkat tubuh nona mudanya dan membawanya turun untuk dia bawa ke dalam mobil. Eve masuk lebih dahulu, kepala pelayan di rumah keluarga Harvey memerintahkan sopir menaruh kepala Fidelya di pahanya sebagai bantalan. Kepala Fidelya harus tetap mengadah, agar sirkulasi pernapasannya tidak terhambat. "Percepat laju mobilnya!” ucap Eve sekali lagi sarat akan kekhawatiran. "Baik Mam,” jawab sang sopir melajukan mobilnya dengan cepat melesat memecah jalanan San Fransisco yang kebetulan tidak begitu padat. "Nona Fidelya bertahanlah, Nona." Tangannya mengusap beberapa kali pipi Fidelya. Mereka membutuhkan liam belas menit perjalanan untuk sampai di rumah sakit yang sangat besar dan cukup terkenal di San Fransisco. Di sanalah Fidelya dirawat dan melakukan pengobatan untuk penyakit gangguan jantungnya, salah satu rumah sakit terdekat dari kediaman keluarga Harvey, mengikis waktu tempuh setiap kali kondisi tubuh Fidelya membutuhkan penanganan medis. Tim medis yang melihat hal itu langsung meletakkan tubuh Fidelya di atas bed dan mendorongnya masuk ke ruang UGD. “Dokter Thomas,” kata Eve memberitahu tim medis. Dokter Thomas segera mendapatkan panggilan dari UGD, lelaki setengah baya itu diberitahu mengenai kondisi Fidelya, tak lain adalah pasien tetapnya selama bertahun-tahun sejak dirinya dipindahkan ke rumah sakit tersebut. Oksigen segera mereka atur, lalu tim medis melakukan Echo jantung guna mengetahui kondisi jantung dengan memasang alat pacu jantung, dan ICD untuk memeriksa dan mengontrol detak jantung pasien. Hal ini dilakukan untuk mencegah komplikasi akibat kelainan pada jantung. "Dokter Thomas, tolong Nona Fidelya dia tadi pagi tiba-tiba pingsan di dalam kamarnya," jelas pelayan itu pada Dokter Thomas. "Tunggu saja di sini saya akan memeriksa keadaan Fidelya." Dokter paruh itu berjalan masuk ke dalam ruangan UGD. Sebagai kepala pelayan yang bertanggungjawab penuh atas kejadian di rumah selama tuan rumah tidak ada di tempat, Eve merasa bersalah sudah lalai menjaga nona mudanya. Eve berjalan mondar mandir di depan pintu ruangan di mana Fidelya ditangani. Eve berdoa, semoga saja Fidelya dapat kembali selamat. “Tuhan, berikan dia kekuatan untuk hidup lebih lama lagi,” doa Eve bersamaan air matanya yang menetes. Di kediaman keluarga Harvey, Diana menggenggam telepon rumah sambari menunggu panggilannya mendapatkan jawaban dari si penerima panggilan. Diana terus bergumam, dalam kegelisahannya pelayan muda itu berharap Tuan Jordan mengangkat panggilan teleponnya. Ayah Fidelya harus mengetahui kondisi terkini tentang putri sematawayangnya. "Tuan Harvey aku mohon angkat teleponnya," mohonnya. Namun, panggilannya tidak ada yang menjawab. “Bagaimana, Tuan Besar mengangkat panggilannya?” tanya rekan kerjanya. Diana menggeleng. “Belum ada jawaban.” “Hubungi telepon kantor sekretaris Tuan Jordan,” kata pelayan lainnya. Dari panggilan tersebut, sekretaris kantor Jordan Harvey memberitahu ternyata ayah Fidelya yaitu Jordan Harvey sedang ada rapat penting dengan rekan bisnisnya dan dia juga lupa meletakkan ponselnya di meja kantornya. Diana memberikan pesan kepada sekretaris Jordan Harvey, menjelaskan keadaan Fidelya. “Terimakasih banyak,” ucap Diana setelah mengutarakan maksud dan tujuannya menelepon sang sekretaris tuan besarnya. Sekretaris Jordan Harvey meletakkan telepon kantor tersebut. Wanita berambut merah tanah liat itu berlari kecil menuju ruang rapat di mana atasannya berada. Wanita itu memberitahu ayah Fidelya, bahwa putrinya sedang dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan medis. Fidelya ditemukan tidak sadarkan diri di kamarnya pagi ini ketika pelayan sedang mengantarkan sarapan untuknya. Fidelya sedang menghadapi penyakit bawaan lahirnya, lagi, dan lagi. Jordan Harvey tanpa menutup terlebih dahulu rapat pentingnya langsung berlari kalang kabut. Putrinya pasti kesakitan, Fidelyanya tengah menantikan kedatangannya. “Sayang, Daddy segera datang. Bersabarlah.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.0K
bc

My Secret Little Wife

read
97.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook