Chapter 18

1509 Words
Aku berusaha fokus pada targetku, namun ketika aku melepaskan tembakan, peluru itu tidak mengenai sasaran. Aku berdecak kesal, ini sudah kesekian kalinya aku meleset. “Sabarlah sayang.. nanti kau juga pasti bisa.” ucap Lucas menenangkan. Saat ini kami sedang latihan menembak. Setelah selesai bekerja tadi, aku menuju ruang latihan sesuai dengan jadwal yang diberikan. Aku mencoba mengingat ucapan Lucas ketika memberikan briefing pada saat aku pertama kali latihan seminggu yang lalu. Dia mengatakan: Dalam pertempuran antar keluarga mafia, hukumnya adalah membunuh atau dibunuh. Ketika kau menunjukan belas kasih, itu adalah kelemahan dan akan berakhir dengan membahayakan orang-orang yang ingin kau lindungi. Kalimat itu terus mengiang di kepalaku, aku tidak dapat berhenti mengkhawatirkan apa yang mungkin terjadi kepada Lucas dan para anggotanya. Artinya ketika aku memutuskan untuk bersamanya, bukan hanya diriku sendiri yang harus aku lindungi tetapi juga termasuk Lucas dan keluarganya. Hal itu juga yang memicu aku untuk menjalani latihan yang sudah berjalan selama satu minggu ini. Saat pertama kali mencoba menembak sasaran tidak bergerak, aku dapat dengan mudah mempelajarinya karena kunci utamanya adalah fokus dan aku ahlinya di bagian itu. Namun ketika sasaran mulai bergerak, aku mulai mengalami kesulitan. Selain fokus aku juga harus dapat mengestimasi kemana sasaran akan bergerak. Aku bersiap untuk mencoba sekali lagi, sasaran yang aku tuju mulai bergerak ke kiri, lurus lalu ke kanan. Lucas sepertinya melihat keraguanku, dia bergerak mendekat dan berdiri tepat di belakangku. “Posisikan dirimu dengan sasaran, kaki dan bahu diberi jarak. Topang pegangan kananmu, dengan telapak kirimu. Satukan pikiranmu dengan senjata yang sedang kau pegang, kau dan senjatamu adalah satu.“ ucap Lucas. Aku mengikuti ajarannya, lalu melepaskan tembakan. Peluru itu akhirnya mengenai sasaran. Aku berteriak senang. Lucas tersenyum “Lihatkan.. percayalah pada dirimu. Kau pasti bisa.” ucapnya. Aku tersenyum “Hmm.. Semoga aku selalu mengingat arahan yang kau berikan tadi.” ucapku sambil mengisi peluru lagi ke dalam senjataku lalu bersiap untuk menembakkan pelurunya. === Aku mematut diriku di depan cermin, memastikan pakaian yang aku kenakan sudah rapi. Sebelum akhirnya aku menutup loker dan meletakan pakaian sport yang aku kenakan tadi ke dalam keranjang laundry. Hari ini adalah jadwal latihan bela diri, sehingga aku cukup banyak berkeringat dan membutuhkan mandi di ruangan yang disiapkan oleh Lucas, lengkap dengan semua perlengkapan gantiku untuk berbagai sesi latihan. Setelah selesai aku berjalan keluar ruangan dan menuju keluar area latihan. Di sana Lucas sudah berdiri menunggu untuk mengantarku pulang. Kami saling melempar senyum ketika tatapan kami bertemu. “Aku bisa pulang dengan Aaron saja seperti biasa.” ucapku. “Ini jumat malam dan aku tidak jadwal meeting jadi aku bisa mengantarmu.” ucap Lucas sambil merengkuh pinggangku. “Eum.. kita sudah membicarakan berkali-kali bukan, jika berada di area kantor sebaiknya hindari sentuhan fisik.” ucapku sambil berusaha melepaskan tangan Lucas yang saat ini berada di pinggulku. “Termasuk sudah di luar jam kerja?” tanya Lucas yang masih saja bertahan. Aku mengangguk “Iya.. kapanpun itu selama di area kantor.” jawabku yang masih berusaha melepaskan diri dari Lucas, namun lagi-lagi Lucas berhasil menarikku. “Lucas?!” ucapku kesal. Lucas tertawa “Bukankah tadi kau sudah latihan bagaimana cara melepaskan diri dari rengkuhan musuhmu?” ucap Lucas. “Apakah adil membandingkan aku yang baru saja latihan seminggu lebih dengan dirimu yang sudah belasan tahun.” sahutku kesal. “Ayolah, Sayang.. It’s Okay. Mereka juga sudah tahu kalau kau adalah kekasihku.” “Tapi ada etika yang harus kau jaga.” “Aku hanya merengkuhmu, bukan bercinta denganmu di sini. Jadi aku masih menjaga etikaku.” Pipiku langsung memerah ketika Lucas menyebutkan kata ‘bercinta’. Well.. aku memang belum pernah melakukannya, tapi kalaupun seandainya pernah, bukankah itu hal tabu untuk disebutkan di depan orang lain selain kami berdua?! Pikirku kesal. Aaron dan Darrius ikutan terkekeh melihat interaksi kami. Handphoneku berdering. Ethan is calling Lucas menarik handphoneku ketika aku berniat mengangkatnya. “Lucas.. berikan padaku.” ucapku kesal. “Buat apa dia menelponmu?” tanya Lucas, memperlihatkan wajah tidak sukanya. “Mana aku tahu, berikan padaku jadi aku bisa tahu maksudnya menelpon.” Lucas diam tak bergerak, sementara handphoneku terus bergetar. “Lucas?!” ucapku dengan nada merajuk. Lucas akhirnya menswipe button accept dan menekan button speaker. Aku menatap tidak percaya dengan apa yang baru dia lakukan, namun Lucas nampak tidak perduli. “Andrea?” sapa Ethan dari seberang sana. Aku menghela nafas kesal “Hi.. Ethan.” ucapku. “Hi.. masih di kantor?” ucap Ethan. “Hmm.. iya.. sudah akan pulang.” jawabku, sedikit merasa risih karena pembicaraan kami dapat di dengar oleh Lucas, Aaron dan Darrius. “Ah.. apakah kau ingin aku menjemputmu?” tanya Ethan. “Tidak.. tidak usah Ethan. Terima kasih.” “Baiklah.. jadi kau akan langsung ke tempat makan malam kita atau mau ke apartemen dulu?” tanya Ethan. Aku melirik Lucas yang saat ini terlihat garis rahangnya mengeras karena menahan amarah, matanya menatap tajam ke arahku. Sial.. kenapa aku bisa lupa aku sudah janjian dengan Ethan sekitar dua minggu lalu. Ini memang rencana regular aku dan Ethan sesuai dengan yang Mommy minta. “Eum.. Ethan aku sepertinya tidak bisa datang. Aku akan mengabarimu lagi nanti.” ucapku. “Kenapa, Rea? Kau baik-baik saja kan? Kau sakit? Mau aku antar ke dokter?” tanya Ethan dengan suara khawatir. “Tidak.. aku baik-baik saja. Aku tutup dulu ya. Sampai nanti.” ucapku langsung aku tekan button hang up dan aku ambil handphoneku dari Lucas. Aku memasukan handphoneku ke dalam tasku dan mendongak memberanikan diri menatap Lucas yang masih terdiam menatapku tajam. Pintu lift terbuka dan aku melangkah masuk ke dalam lift, aku dapat merasakan Lucas ikut memasuki lift. Aaron dan Darrius sudah hendak masuk namun Lucas memberikan kode sehingga mereka terdiam di tempat dan Lucas menekan button tertutup lalu menekan button 21. “Kau tidak jadi mengantarku pulang?” tanyaku bingung. “Aku harus menjelaskan beberapa hal dulu kepadamu, Nona Rosewood. Demi memastikan kau tahu dimana batasanmu.” ucap Lucas yang akhirnya bersuara. “Harus di Penthouse mu? Apa tidak bisa di jalan saja nanti?” tanyaku sedikit gugup akan berduaan saja dengan Lucas. “Kenapa? Kau takut aku membunuhmu?” Aku menatap kesal ke arah Lucas “Hmm.. terima kasih karena bisa menjabarkan sebab keenggananku.” ucapku. Pintu lift terbuka, Lucas melangkah keluar dengan menggandeng tanganku. Aku berusaha mengikuti langkah panjangnya yang dengan cepat dia langkahkan menuju Penthousenya. Setelah melewati beberapa penjaga, Lucas membuka pintu dan menahannya untuk memberiku jalan masuk. Aku melirik Lucas yang masih menatapku tajam, sedikit ragu melangkahkan kakiku masuk ke Penthousenya. Setelah aku masuk Lucas menutup pintu. “Kau ingin kita berbicara sambil berdiri seperti itu atau kau ingin membicarakannya sambil duduk?” tanya Lucas ketika melihatku yang hanya berdiri di dekat pintu. Aku menghela nafas, lalu berjalan menuju ruang duduk dan duduk di salah satu sofa. “Ingin minum sesuatu?” tanya Lucas. Aku menggeleng, jujur ada perasaan waspada di dalam diriku. Well.. ini pertama kalinya aku berduaan saja dengan Lucas setelah kami sepakat untuk menjadi kekasih. Biasanya kami akan bertemu pada saat bekerja atau latihan. Lucas pun duduk di sofa yang tidak jauh dariku dan kembali menatapku. Tatapan dan diamnya membuat aku salah tingkah. “Kau tahu apa yang ingin aku bicarakan padamu?” tanya Lucas. “Tidak tahu tepatnya.” Jawabku, memang berbagai kemungkinan muncul di kepalaku, tapi aku tidak tahu pastinya. Lucas menghela nafas “Aku ingin mengatur batasan-batasan yang perlu kita sepakati dalam hubungan kita.” ucap Lucas. “Seperti?” “Seperti hubunganmu dengan Ethan atau pun lelaki lainnya. Aku tidak mengijinkan kau bersama dengan lelaki lain.” “Tapi Ethan adalah temanku.” “Lebih tepatnya adalah lelaki yang dijodohkan ibumu.” “Mommy tidak menyatakan secara eksplisit seperti itu” “Tapi bisa dipastikan, itu adalah agenda ibumu.” Aku menatap Lucas kesal, walaupun sebenarnya aku sudah pernah terpikir seperti yang dia ucapkan “Kau hanya belum mengenal ibuku. Jadi kau bisa beranggapan seperti itu.” ucapku. Lucas mengangguk “Okay, jadi kapan kau ingin memperkenalkan aku dengan ibumu? Mungkin jika dia tahu kau sudah memiliki aku, maka dia tidak akan berusaha menjodohkan kau lagi.” ucap Lucas. “Hah? Tidak begitu maksudku, Lucas.” “Kenapa? Kau sudah mengenal keluargaku, maka aku tentunya juga ingin mengenal keluargamu.” “Apakah pembicaraan kita bisa kembali saja kepada batasan-batasan yang tadi ingin dibahas?” ucapku, enggan melanjutkan pembicaraan kapan Mommy akan bisa berkenalan dengan Lucas, dan kenapa saat ini aku belum bisa mengenalkan Lucas kepada Mommy maupun keluargaku lainnya. “Andrea.. please, kenapa kau selalu berhasil membuatku frustasi sendiri? Aku berusaha berpikir sehat di sini, namun kau selalu saja berhasil membuatku berpikiran diluar akal sehatku.” “Seperti?” Lucas menarik nafas panjang lalu menatapku dalam. “Aku mencintaimu, tergila-gila denganmu. Jadi jangan buat aku selalu berpikir suatu saat kau akan meninggalkan aku. Aku tidak bisa kehilanganmu.” ucap Lucas. Aku menatap Lucas “Well.. Eum.. aku tidak tahu bagaimana caranya agar kau tidak berpikir seperti itu.” ucapku bingung. “Ya Tuhan, Andrea Arabella Rosewood!” ucap Lucas frustasi. Aku yang sering dianggap jenius oleh orang-orang sekitarku, mendadak bodoh dalam hal seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD