Jadwal Sabda malam ini teramat padat. Pria itu harus menghadiri pesta koktail yang sebenarnya tidak terlalu penting. Dia hanya diharuskan untuk menunjukkan wajahnya meski sebentar. Jika disuruh memilih, pria itu tentu saja akan memilih untuk pulang lebih awal dan beristirahat di tempat tidurnya.
Suasana di tempat itu amat tidak menyenangkan. Begitu dia datang, semua orang langsung menyerbunya dan mengajaknya berbincang, niat awalnya yang hanya datang untuk setor wajah harus tertunda karena dia Sabda tidak mendapatkan celah agar dia bisa kabur.
Sedangkan Dimas dipaksa oleh Papanya untuk datang ke perusahaan hari ini. Pria itu sangat tidak menyukai bekerja di perusahaan. Yang paling Dimas minati adalah musik tapi menurut para tetua apa yang dia lakukan bukan termasuk pekerjaan. Mereka tidak tahu saja jika Dimas sangat berbakat dan banyak lagu-lagu yang dia buat dapat diterima di masyarakat.
Pesta yang diadakan perusahaan memang rutin dilakukan dan setiap keluarga harus mengirimkan perwakilannya agar kesan profesional tetap tersandung. Sabda menatap ke arah Dimas yang terlihat bingung di sini. Moodnya langsung berubah karena ponakannya itu merupakan mantan pacar istrinya. Sabda masih ingat dengan jelas kejadian Minggu lalu yang membuat Mia marah hanya karena dia melarang Mia untuk bertemu Dimas.
Lagian siapa sih yang tidak kepincut dengan ponakannya itu. Musisi tampan, kaya, dan berbakat walaupun kekayaannya tidak sebanyak milik Sabda.
Mata ekor Sabda masih menatap Dimas yang kini sudah sibuk dengan ponselnya. Apa jangan-jangan pria itu tengah berhubungan dengan Mia? Tapi tidak mungkin karena Mia tadi mengatakan dia ingin menonton TV.
"Dimas."
Mendengar seseorang memanggil namanya membuat Dimas menoleh.
"Om!"
"Sibuk banget sama handphone lo." Dimas hanya tersenyum kecil. Tidak mungkin dia mengatakan jika dia tengah bertukar pesan dengan adik ipar omnya itu kan. Meski Sabda menikah dengan mantan pacarnya, tapi rasanya akan terdengar aneh jika dia mendekati adik mantan pacarnya.
"Biasa kerjaan."
"Lo harusnya nggak bawa kerjaan luar ke kantor. Kalau lo di kantor Lo cuma boleh fokus sama semua kerjaan yang ada di sini," tegur Sabda.
Dimas menjadi salah tingkah dan hal yang sama terjadi pada Papanya. Hanya untuk menghindari pertanyaan lain dia malah terjebak sendiri. Semua yang ada di sini tahu jika hubungan keduanya memang bisa dibilang rumit dan sekarang Sabda tengah memperingatkan Dimas secara terang-terangan di depan para dewan perusahaan.
Hubungan keluarga mereka juga tidak seindah berita. Sabda tahu bagaimana sifat keponakannya itu dan ditambah dia hidup dengan penuh kemewahan dan dimanja. Membuat Dimas selalu menggunakan kekuasaan Papanya untuk membantu setiap keonaran yang dia buat.
Dimas berprestasi di dalam musik tapi tidak di perusahaan hal itu yang membuat Sabda kadang kesal. Jika dia bisa berusaha sekeras itu untuk membuat lagu, tapi kenapa dia tidak seberapa itu untuk meminta kebebasan. Kehadiran Dimas di kantor hanya sebagai pajangan yang tidak bisa menyelesaikan satu berkas walaupun sudah dijelaskan berulang-ulang kali.
Kadang Sabda tidak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya yang berbeda 15 tahun dengannya. Harusnya pria itu tidak memaksa putranya yang sudah jelas tidak menyukai perusahaan untuk terus diam di sini dan berusaha keras untuk menyelesaikan berkas yang diselesaikan orang lain. Sabda muak dan mulai jengah dengan keduanya.
***
Mia POV
Aku bangun lebih awal dibandingkan kemarin. Karena cuaca yang sangat mendukung aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman yang sudah disulap sedemikian rupa bagai perkebunan bunga. Semerbak aroma wangi, suara burung yang berkicau, ditambah sepoi-sepoi angin membuat pagiku terasa menyenangkan.
Kemarin setelah aku menyelesaikan pekerjaanku, aku langsung bergegas pulang berharap menemukan Sabda di rumah. Namun ternyata pria itu pulang terlambat karena harus menghadiri pesta koktail yang pernah dia bahas kemarin. Dan aku belum bertemu dengannya hingga sekarang.
Puas mengelilingi rumah, aku kembali berjalan masuk. Juan membawa asisten rumah tangga yang baru dan sepertinya dia dapat dipercaya karena wanita itu tampak akrab dengan Juan. Aku melangkah menuju dapur ketika mencium aroma menggoda yang menguat dari sana.
Bi Susi, nama asisten rumah tangga yang baru itu, tengah menyiapkan sarapan. Tiba-tiba ide aneh muncul di kepalaku. Hal yang tidak pernah aku pikirkan akan aku lakukan di kehidupanku yang sebelumnya.
"Aku mau bantu masak, boleh?" tanyaku pada Bi Susi yang langsung menghentikan gerakannya untuk menatapku.
"Ibu mau masak?" ulangnya.
"Iya."
Ibu yakin?"
Aku mengangguk dengan cepat. Tidak ada yang namanya kata terlambat sebelum mencoba. Mungkin ini pertama kalinya, tapi aku akan berusaha keras untuk menyajikan makanan yang layak dimakan oleh Sabda. Bagaimanapun juga dia adalah suami yang harus aku perhatikan.
Aku sudah mengenakan celemek dan bersiap di dapur. Beberapa asisten juga ikut menemani di sana karena ini pengalaman pertama. Aku mulai memasukkan bawang dan cabai, dari yang pernah aku lihat di video, hal pertama yang perlu dilakukan ketika membuat tumis adalah memasukan bumbu dasar seperti bawang dan cabai. Setelah mengeluarkan aroma aku segera memasukan sayuran yang sudah dipotong-potong dan memberikan air. Bi Susi mendekat dan menatapku dengan ekspresi memelas.
"Kenapa?" tanyaku.
"Ibu katanya mau buat tumis."
"Iya."
"Nggak usah di kasih air, Bu. Kalau mau dikasih juga sedikit aja, Ibu masukannya terlalu banyak." Aku nyegir. Aku hanya memasak mengikuti insting seperti yang dibicarakan orang-orang dan aku sengaja memasukan sebaskom air agar sayuranku cepat matang. Semua orang terkekeh melihat tingkahku. Kemudian Bi Susi mengambil alih pekerjaanku karena aku banyak memasukan bumbu yang tidak penting ke dalam. Pada akhirnya aku hanya bisa diam menyaksikan Bisa Susi masak, sesekali dia menjelaskan sesuatu dan berjanji akan mengajariku memasak.
Kegiatan di dapur tidak berlangsung lama karena aku dan para pekerja banyak mengobrol. Aku memang tidak memasak tapi aku ikut membantu menyiapkan dan mengambilkan bumbu untuk Bi Susi. Bisa dibilang aku adalah asistennya.
Suasana seperti ini membuatku senang. Aku tidak merasa sendiri berada di rumah sebesar ini.
Kegiatan kami terintrupsi ketika sebuah langka mendekat. Sabda muncul dengan setelan kantornya. Dia menatap kami dengan alis yang dinaikan satu.
"Kamu udah bangun?" sapaku yang kini sudah membawa sepiring mentimun iris. Aku tahu tatapannya mengisyaratkan banyak pertanyaan tapi Sabda tetaplah Sabda. Pria itu tidak akan membuka mulutnya jika tidak dipancing.
"Ayo duduk kita sarapan. Bi Susi masak sup makaroni," seruku. Entah kenapa aku sangat menyukai sup yang dibuat Bi Susi. Tadi aku sudah mencicipi semangkuk kecil dan itu masih tidak cukup.
Sabda menurut ketika aku mempersilahkan dia untuk duduk. Aku senang kami bisa sarapan bersama lagi meskipun masakan pertamaku hancur total.