Mia POV
Aku mengikuti Sabda ke ruang kerjanya. Pria itu terlihat tengah banyak pikiran. Aku melewati ruang tamu dan menemukan Bi Indy yang tengah membereskan ruangan. Wanita paruh baya itu mendekat dan membuat langkahku terhenti.
"Bapak kenapa Bu? Kelihatannya kayak lagi marah."
Aku menyipitkan mataku. Bi Indy adalah asisten rumah tangga yang ditawarkan Mama padaku. Dia pasti akan melaporkan segala hal yang terjadi di sini. Aku tidak akan membiarkan siapapun mengusikku lagi. Wanita ini, bagaimanapun caranya harus segera disingkirkan.
Aku menghela nafas pelan sebelum menjawab, "Nggak kenapa-napa, dia cuma mau cepat-cepat ke ruang kerjanya buat mandi. Saya permisi dulu karena masih ada yang harus saya diskusikan sama suami saya."
"Ah, iya Bu. Tadi saya cuma lihat sekilas, karena muka Bapak nggak enak jadi saya tanya ke Ibu. Saya pikir Ibu sama Bapak berantem lagi." Ekspresi wajahnya tampak sangat jujur dan ramah, tapi aku bukanlah Mia yang dulu. Dari sini saja aku sudah dapat menebak niat liciknya.
"Bibi bisa pergi sekarang."
"Baik Bu. Kalau ada apa-apa Ibu bisa telfon saya."
"Ya!" kataku malas. Bagaimana caranya agar aku dapat mengeluarkan wanita itu tanpa dicurigai. Aku harus lebih banyak berpikir untuk hal itu.
Aku sudah akan melangkah menuju tempat Sabda ketika suara teriakan Bisa Indy terdengar. Wanita terguling dari tangga, aku mendekat dan saat itu juga bertepatan dengan Juan yang datang.
Bi Indy meringis sambil memegang kakinya.
"Cepat panggil ambulance! Saya khawatir kalau kaki Bibi keseleo."
"Baik Bu." Juan bergerak cepat, pria itu beberapakali menenangkanku tanpa dia tahu jika sebenarnya aku tidak khawatir sama sekali dengan keadaan wanita itu. Aku memang berpikir untuk mengeluarkannya, tapi bukan ini yang ada di pikirannya. Ini terlalu kebetulan.
"Kamu telfon dulu aja. Saya yang jaga Bi Indy di sini," kataku pada akhirnya dan langsung disetujui Juan. Pria itu mundur sejenak dan kini hanya ada aku dan Bu Indy. Juan sudah sibuk dengan ponselnya.
"Ibu, saya takut kalau kaki saya patah." Wajah Bisa Indy pucat karena kesakitan.
"Bibi jangan banyak gerak. Kita harus tetap tunggu ambulance," kataku tenang.
Sabda sepertinya mendengar keributan itu karena kini aku melihatnya yang keluar dari ruang kerjanya terburu-buru. Dia melongok dari lantai dua dan aku juga melihatnya. Kami bertemu pandang hingga akhirnya dia berinisiatif sendiri untuk bersuara.
"Kenapa?"
Aku mengangkat kepalaku sedikit agar dia dapat mendengar suaraku, "Bibi kepleset. Aku udah minta tolong Juan buat panggil ambulance."
"Oke." Sabda hanya mengatakan itu dan beralih pada Juan. Pria itu memberikan beberapa instruksi pada Juan lalu berbalik dan kembali melangkah menuju ruangannya. Aku hanya mengedikkan bahu tidak peduli. Toh, masih banyak waktu dan masih banyak kesempatan yang tersisa agar aku dapat kembali lebih dekat dengan pria itu.
Aku masih di sana ketika petugas ambulance datang untuk menjemput Bi Indy. Setelah mobil itu pergi aku kembali masuk dan merebahkan diri di sofa. Aku merasa lelah dan sedikit pusing, padahal aku sama sekali tidak mengkonsumsi alkohol. Benar, aku tidak minum, Sabda yang minum tapi meninggalkan aroma alkohol di sekitarku.
Aku mengurut pelipisku pelan untuk menghilangkan pening.
Suara deringan telfon membuatku enggan untuk bergerak. Biasanya Bi Indy akan langsung lari dan mengangkat, tapi karena dia sedang tidak ada terpaksa aku yang harus menjawab.
"Hallo, sayang. Katanya Bisa Indy jatuh ya?" Suara Mama menyambutku di ujung sana.
"Iya."
"Tapi kamu baik-baik aja kan sayang?!" tanya Mama lagi.
"Aku baik-baik aja Ma. Bibi baru aja dibawa ke rumah sakit. Kayaknya lukanya lumayan parah."
"Kenapa dia ceroboh banget sih. Mama bakal kirim orang dari rumah buat bantu-bantu di sana ya. Kayaknya Bi Indy butuh waktu lama buat sembuh."
Aku mengernyit kesal. Dia masih saja ingin mengirimkan orangnya lagi masuk ke dalam rumah ini. Jika itu dulu, aku pasti akan sangat berterima kasih karena perhatian yang diberikan Mama, tapi keadaan sudah berbeda. Aku bukan lagi Mia yang bodoh dan mudah tertipu.
"Nggak usah repot-repot Ma. Sabda udah cari penggantinya kok."
"Yang benar? Kamu yakin orang itu bisa diandalkan?" tanya Mama sedikit tidak percaya. Mungkin dia terkejut karena aku berani menolak bantuan terselubung darinya.
"Iya Ma. Mama kan tahu sendiri kalau keluarganya Sabda punya banyak asisten di rumah utama. Dan sudah dipastikan kalau mereka juga bisa diandalkan," seruku. Keluarga Sabda 100 bahkan 1000 kali lebih bisa diandalkan daripada bantuan dari wanita itu.
Untuk sesaat hanya ada keheningan. Mama tidak mungkin bisa mendebarkan karena keluarga kami memang tidak ada apa-apanya dibandingkan keluarga Sabda.
"Baguslah kalau begitu. Mama cuma takut kamu merasa nggak nyaman aja karena nggak ada orang yang kamu kenal di sana."
Aku merasa kesal karena dia masih saja bertingkah keterlaluan. Dia tidak punya hak untuk mengaturku.
"Mama nggak usah khawatir, tadi kan udah Mia bilang kalau Sabda udah ngurus semuanya. Mia tutup Ma, Sabda udah panggil Mia."
Aku menutup teleponku sepihak. Jika aku membiarkan saja dia pasti akan memberikan banyak masukan tidak berarti yang malah membuatku semakin naik darah.
Aku membalikkan tubuhku dan tersentak karena menemukan Sabda sudah berdiri di belakangku dengan tangan yang dimasukkan ke dalam kantong celana dan tangan satunya lagi tengah memegang cangkir. Dia mengernyit.
Apa dia mendengar percakapanku dengan Mama?
Aku menatap wajahnya lekat. Mencoba membaca rautnya, tapi tidak bisa karena dia menggunakan masker. Dasar masker sialan! Memangnya mau sampai kapan dia menggunakan benda itu disaat aku sudah melihat dengan jelas bagaimana rupanya.
"Udah berapa lama kamu berdiri di sini?"
Dia menyerahkan cangkir itu kepadaku sebelum menjawab, "Dari sejak kamu angkat telfon."
Jadi Sabda dengar semuanya? Aku menundukkan kepalaku karena tertangkap basah telah berbohong, "Maaf, aku pakai nama kamu buat bohong. Kamu nggak marah kan?"
"Nggak."
"Terima kasih."
Aku mulai menyesap air yang ada di cangkir sambil terus menatap wajahnya. Ternyata menghadapi pria ini harus memutar otak supaya dapat membuka percakapan.
"Manis. Apa ini? Air madu?" Aku sedikit terkejut dan menatapnya takjub.
Sabda mengangguk sebagai jawaban. Apa ini? Jangan bilang ini bentuk perhatian darinya.
Dadaku menghangat seketika. Aku kira akan membutuhkan banyak usaha untuk membuat Sabda menunjukkan perasaannya padaku.
"Nanti kamu tidur duluan aja," ucapnya. Dia mengusap pelan rambutku. Sabda benar-benar sudah bersikap hangat padaku. Kemudian dia berbalik dan melangkah menuju lantai dua.
"Aku minta tolong orangku buat cari tahu soal situasi perusahaan Papa kamu," katanya, sambil berhenti di tengah tangga.
Dia membicarakan hal itu seolah itu bukan apa-apa untuknya. Aku tahu dengan jelas bagaimana buruknya situasi saat ini. Krisis ini hampir membuat perusahaan Papa gulung tikar.
Aku menghela nafas kasar. Di kehidupanku yang kalau, setelah tidur bersama aku banyak meminta pada pria itu dan dia menyetujuinya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana keadaan dia saat itu. Ternyata aku memang sejahat itu.
"Terima kasih," kataku lagi.