Yang sebenarnya

1270 Words
"Ma, ya? Sekali ini aja. Kasihan tahu Iki dia lagi sakit, terus di rumah sendiri. Emang Mama tega kalau misalkan aku yang kayak gitu?" Aulia berdecak sebal mendengar putranya terus merengek sejak beberapa saat lalu. Bukan tidak kasihan, tetapi belakangan ini, nyaris setiap akhir pekan anak itu pasti tidak di rumah. Hari ini menjelang magrib Heksa baru pulang, dan sudah meminta izin untuk pergi lagi. "Enggak ada, ya, Dek. Kamu kelayapan terus akhir-akhir ini." Heksa membanting tubuhnya di sofa, melipat tangan di d**a, lalu membelakangi mamanya. "Abang ngapel terus enggak dimarahin. Giliran aku kok apa-apa dipersulit. Padahal, mau berbuat baik ini lho sama orang." "Abang, kan, enggak pernah sampai tidur di rumah orang. Jam sembilan aja Abang udah pulang." "Ck, tahu ah! Iki itu sahabat aku, Ma. Enggak tegalah aku biarin dia sakit sendirian. Kalau enggak dikasih izin pergi, aku mau mogok makan pokoknya." "Kayak kuat aja enggak makan." Pemuda itu berbalik menatap mamanya lagi. "Mama ngeremehin aku? Liat aja. Aku mogok makan dari sekarang. Titik," tegasnya. "Eh, enggak. Aku juga tadi enggak jajan di sekolah. Sebelum futsal juga enggak makan apa-apa. Berarti aku mogok makan dari tadi," ralat Heksa kemudian. Aulia berusaha untuk tidak goyah. Heksa gampang lapar, jadi mode ngambek seperti itu tidak akan bertahan lama. Daripada duduk diam dan ujung-ujungnya menuruti permintaan Heksa, lebih baik ia menyiapkan makan malam. Kaki jenjangnya terayun mantap ke arah dapur. Reksa yang baru saja selesai menunaikan salat magrib, kemudian turun untuk mengambil minum, hanya menautkan alis melihat kembarannya merengek sembari berguling di sofa. Pakaian yang biasa dikenakan saat futsal berikut kaos kakinya masih melekat, menandakan sang adik baru saja pulang. "Adek kenapa, Ma?" tanya Reksa kemudian sembari menuangkan air dingin sari kulkas. "Pengin nginep di rumah Miki. Katanya Miki lagi sakit. Emang iya?" "Mama aku dengar, ya. Mama enggak percaya amat sama aku sampai tanya Abang segala. Tanya Alma aja kalau enggak percaya." Setelah menandaskan air minum dalam gelasnya, Reksa kembali bersuara, "Kalau udah bawa-bawa Alma berarti dia jujur, Ma. Alma enggak akan pernah bohong sama aku." Heksa yang sedari tadi menguping, melonjak kegirangan. Terkadang, wajah polos Alma berikut kebaikannya memang berguna. *** Terus terang saja menjalin hubungan dengan sosok Reksa tak pernah Alma bayangkan sebelumnya. Semula, Alma justru dekat dengan Heksa. Heksa yang receh, mudah bergaul, dan santai membuat mereka bisa akrab dengan cepat. Namun, perasaan berbeda justru tumbuh saat ia bersama Reksa. Reksa yang tenang dan dewasa, sanggup membuat Alma merasa nyaman setiap kali mereka berdekatan. "Mau permen kapas enggak?" Gadis itu tersenyum, lalu mengangguk. Sudut bibir Reksa terangkat ringan membentuk sebuah senyum. Sesederhana itu kebahagiaannya. Hanya dengan melihat Alma tersenyum saja virus positif itu seolah menular, membuat Reksa turut bahagia. Biasanya, Reksa tak pernah mengajak Alma ke mana pun. Bukan tanpa alasan, Reksa takut kalau kekasihnya itu jadi omongan orang karena keluar malam. Jadi, paling ia membawakan makanan untuk dinikmati bersama orang tua gadisnya. Mengobrol atau main catur bersama ayah Alma, kadang saling bertukar cerita dengan ibunda gadis itu. Mereka memang sudah sangat dekat. Kali ini Reksa ingin mengukir kenangan baru dengan membawa Alma ke pasar malam. Mengobrol santai, menaiki beberapa wahana bersama, makan permen kapas, pasti menyenangkan. Toh tidak setiap hari juga mereka pergi. "Al, tahu enggak Miki sakit apa?" tanya Reksa. Pemuda itu mengajak Alma duduk sembari menunggu pesanan mereka. "Enggak. Kenapa emang?" "Heksa ke rumah dia. Katanya Miki sakit, terus minta dia nginep." Alma terdiam untuk beberapa saat, tampak tengah berpikir. "Iya di kelas sih agak kalem. Terus jam ke berapa gitu dia izin ke UKS karena sakit perut. Padahal biasanya sebelas dua belas sama Heksa enggak bisa diam." "Syukurlah, berarti Heksa jujur." "Kamu takut?" Reksa mengangguk cepat. "Aku enggak tahu Miki orang seperti apa. Kalau dia ternyata toxic, Heksa harus menjauh." "Sejauh ini, Miki anak baik kok. Dia enggak punya catatan jelek di kelas apalagi di sekolah. Sesekali emang iseng, sama kayak Heksa. Tapi, menurutku itu masih dalam batas normal." Reksa meraih jemari tangan kekasihnya, lantas bertutur lirih, "Titip adikku, ya, Al. Cuma kamu yang bisa aku percaya buat menjaga dia." Gadis itu kembali tersenyum. "Kamu tenang aja, selain karena dia adik kamu, Heksa juga sahabat aku. Aku enggak bakal biarin dia melakukan sesuatu yang enggak seharusnya dilakukan seorang pelajar." *** "Lah, kobam dia? Tumben amat. Biasanya kuat minum." Miki yang saat ini ikut membungkuk memijat tengkuk leher Heksa akhirnya menoleh. Ia juga keheranan melihat sahabatnya sudah kepayahan walaupun minum tak sebanyak biasanya. Padahal, apa yang Rendra bilang itu benar, Heksa kuat minum. "Udah, Ndu?" tanya Miki setelah melihat Heksa tak lagi muntah. Heksa hanya menjawab dengan sebuah anggukan. Muntah berkali-kali membuat tubuhnya lemas bukan main. Belum lagi kepalanya yang seolah dihantam batuan besar. Pemuda itu memejamkan mata sembari berusaha mencari pegangan agar tak jatuh, dan Miki setia memegangnya. "Ba-lik," ujarnya terbata. Melihat Miki yang juga sempoyongan membuat Rendra menyimpulkan kalau mereka berdua sama-sama mabuk, meskipun Miki tidak terlalu parah. "Mana kunci mobil lo? Gue aja yang antar. Oleng semua gitu yang ada mati nanti nabrak-nabrak." Miki mengambil kunci mobil di saku celananya, lantas melempar benda itu pada Rendra. "Emang paling pengertian," sahutnya. Rendra berdecak sebal. Padahal, ia baru saja sampai dan malah harus jadi supir pribadi mengantar dua manusia di hadapannya. "Nanti kalau kalian mati, enggak ada yang traktir gue mimik." Dengan bantuan Rendra, Miki memapah Heksa ke dalam mobil. "Anjir Reksa telepon lagi. Gimana nih?" panik Miki saat ponsel Heksa berdering. Beberapa kali ia mencoba membangunkan sahabatnya, tetapi Heksa bahkan sudah jatuh tertidur. Entah pingsan. "Ndu, abang lo nih. Mati gue kalau dia tahu lo tepar gini." Lagi-lagi tak ada sahutan. Dan Reksa jauh di sana pun seolah tak lelah mencoba untuk menghubungi adiknya. "Gue aja yang jawab," kata Rendra. "Alasannya apa? Pikirin dulu. Reksa itu pintar. Kalau misal lo nanti gagap jawabnya, dia malah curiga." Miki masih berusaha berpikir waras di tengah kondisinya sekarang. "Lagian ini manusia ngapain telepon tengah malam coba? Posesif amat." "Kasih gue sini. Kalau enggak diangkat juga nanti dia curiga." Miki menyerahkan ponsel sahabatnya pada Rendra, dan Rendra langsung menjawab panggilan yang masuk. "Halo." "Mana Heksa?" "Dia tidur. Pilek tadi. Ketularan kayaknya. Jadi, dikasih obat sama Miki dan langsung tepar." "Bangunin. Gue mau ngobrol dulu." Sifat keras kepala Reksa membuat Rendra mengumpat tanpa suara. Ternyata benar kata Miki kalau Reksa itu pintar dan tidak mudah percaya pada apa pun. "Oke gue bangunin, tapi kalau dia enggak bangun juga, besok pagi aja teleponnya." Rendra menepikan kendaraannya, lalu berbalik ke jok belakang. "Ndu bangun, woy! Abang lo telepon nih." Miki menggoyang-goyangkan tubuh Heksa, sesekali menepuk pipinya juga agar anak itu bangun. Namun, nihil. Heksa tak juga membuka mata. "Dia ngantuk banget anjir abis minum obat dibilang. Enggak mau bangun. Nama obatnya Tremenza, cari aja kandungannya apa kalau lo enggak percaya." Setelah itu Rendra memutuskan sambungan teleponnya sepihak. Peduli setan kalau ternyata nanti Reksa menyusul ke rumah mereka. Setidaknya, Rendra sudah memberi alasan yang sedikit masuk akal. Jika ia mengatakan Heksa tidur karena menelan paracetamol, jelas Reksa langsung datang menertawakannya karena obat itu tidak memberi efek kantuk bagi peminumnya. Kenapa Rendra tahu? Mempunyai kakak seorang apoteker sedikit banyak membuatnya tahu ihwal obat-obatan. "Kalau Reksa tiba-tiba ke rumah gue. Lo tanggung jawab, ya." "Ck, iya. Lo udah dibantuin juga bukannya bilang makasih malah ngancam gue juga." Tiba-tiba Heksa menegakkan tubuh, membuat Miki yang duduk di sebelahnya langsung memasang sikap waspada. "Kenapa lo?" tanya Miki. Bukannya menjawab, Heksa justru kembali muntah, membuat mata minimalis Miki sontak sedikit melebar. "Kenapa enggak bilang kalau mau muntah anjir. Kan kita bisa keluar dulu," ujar Miki dengan raut memelas. Sementara Rendra tertawa keras menyaksikan adegan itu. Selama mereka saling mengenal, Heksa tidak pernah terlihat separah ini. Ia jadi curiga ada yang tidak beres dengan sahabatnya. |Bersambung|
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD