Sahabat

1145 Words
Reksa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah pagi, tetapi Heksa belum juga menghubunginya. Nomornya kini bahkan tidak bisa dihubungi. Ia teringat kata-kata Yohan semalam tentang Miki dan beberapa temannya. Di sekolah, mereka memang bersih tak ada catatan apa pun, tetapi Miki juga tak sebersih yang telihat. Rendra—teman Miki—anak 11 IPS 5 pernah kedapatan tengah clubbing di salah satu kelab malam kenamaan di Jakarta. Sama sekali tak ada niat menghakimi, apalagi membatasi harus dengan orang seperti apa Heksa bergaul. Yohan pun bukan anak rumahan, tetapi Reksa bersahabat dengan pemuda itu. Sebenarnya, dengan siapa saja Heksa bergaul, selama bisa membentengi diri dan tak mudah terbawa arus, tidak menjadi masalah besar. Sayangnya, sulit bagi Reksa percaya kalau sang adik menyanggupi itu. "Bang, sarapan dulu!" Teriakan sang mama membuat Reksa tersadar. Ia langsung bangkit dari posisinya, lalu berjalan meniti satu per satu anak tangga menuju ruang makan. "Adek belum telepon, Bang?" tanya papanya yang juga sudah duduk di ruang makan. "Belum, Pa." "Itulah kenapa Mama enggak kasih pergi sebelumnya. Adikmu itu lagi senang-senangnya kelayapan. Mama ngeri kalau dia main aneh-aneh." Aulia kembali mengomel menyesali keputusannya membiarkan Heksa pergi. Bara melirik sang istri. "Kita percaya aja. Jangan justru berpikir aneh-aneh, nanti betulan kejadian, gimana?" Nafsu makan Reksa langsung menguap mendengar ucapan papanya. Ia juga memikirkan kemungkinan yang sama. Khawatir kalau Heksa melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. "Halo." Reksa mengalihkan pandangannya, menatap sang ayah yang menerima sambungan telepon sembari menjauhkan diri dari mereka. "Papamu gitu tuh, Bang. Pasti kerjaan lagi. Padahal, ini hari Minggu." Pemuda itu menghela napas, kemudian memaksakan diri tersenyum. Dunia memang panggung drama, bukan? Sejauh ini sang mama sudah melakukannya dengan baik, dan Reksa juga harus melakukan hal serupa. Setidaknya, ia bisa menangis sendirian setelah orang lain percaya dan berpikir bahwa semua baik-baik saja. Seperti apa yang selalu dilakukan mamanya. *** Miki melirik Heksa yang masih tidur di ranjangnya. Hingga matahari beranjak naik, sahabatnya belum juga bangun. Sembari menyeruput secangkir teh hangat, Miki membalik handuk kecil yang menempel di dahi Heksa, lantas mengecek kembali suhu tubuh pemuda itu. "Ndu, gue benar-benar bakalan dimakan Reksa kalau lo malah jadi sakit gini," katanya frustrasi karena mendapati suhu tubuh Heksa masih di atas normal. Semalam Miki juga sama mabuknya, jadi tidak terlalu memperhatikan. Dengan bantuan Rendra, ia hanya mengganti pakaian Heksa yang banjir keringat, sempat menyeka tubuh anak itu juga dengan air hangat, dan setelahnya Miki tidur. Begitu bangun pagi tadi, tahu-tahu Heksa demam. Heksa sempat terjaga sebentar saat Miki membangunkannya untuk makan. Namun, pada suapan kedua Heksa malah kembali muntah, lalu tidur sampai sekarang. "Kayaknya Mama pernah beli plester kompres demam deh. Itu dulu aja kali, ya. Kalau enggak turun juga baru gue panggil dokter." Ia meletakan cangkir di atas meja samping tempat tidur, lalu kaki jenjang pemuda bertubuh jangkung itu terayun mantap ke sudut kamar, di sana ada kotak P3K. Hampir satu bulan ini orang tuanya memang pergi ke luar negeri karena tugas. Jadi, sebelum pergi, mereka menyiapkan semua kebutuhan Miki termasuk obat-obatan. Beruntung, saat membuka kotak P3K, ia menemukan benda yang dicari. Miki mendekati ranjang tempat Heksa berbaring, lantas menaruh handuk kecil bekas mengompres sahabatnya. Tangan kukuh pemuda itu bergerak lihai membuka kemasan plester kompres demam, lalu menempelkannya di dahi Heksa. "Cepat sembuh, Ndu," ujarnya lirih seraya mengusak pucak kepala Heksa. Ternyata, gerakan kecil Miki membuat Heksa terusik. Pemuda itu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya membuka mata. Sosok Miki semula tampak kabur, dan perlahan mulai terlihat jelas. "Jam berapa?" tanyanya dengan suara serak. "Jam sebelas," sahut Miki. "Masih pusing lo?" Heksa mengangguk, meski samar. "Gue panggil dokter deh, ya? Apa gimana? Gue bisa dibunuh Reksa kalau lo sakit." Si pemuda berwajah pucat tersenyum. "Panik amat. Reksa bunuh semut aja enggak tega, gimana bunuh lo." "Lo jangan menyepelekan marahnya orang kalem. Apalagi adiknya yang gue bikin kayak gini. Dari hello kitty bisa berubah jadi singa." Lagi, Heksa tersenyum. "Bantuin gue bangun kek. Lemas banget ini gue!" Miki berdecak kesal. "Lo udah bisa marah-marah berarti udah sehat." "Serius nih." "Lo perlu gue bikinin oralit enggak? Kayaknya parah banget." "Ngapain bikin oralit anjir. Gue bukan lagi kena muntaber." "Ya abis gue takut lo kekurangan cairan. Keluar kelab muntah, di mobil muntah, tadi juga muntah." Heksa meringis. "Kok bisa separah itu, ya? Lo tahu gue, 'kan?" "Gue juga aneh anjir. Si Rendra aja sama bingungnya. Lo enggak lagi sakit parah?" "Lo nyumpahin gue sakit parah?" "Ya enggak." Pemuda itu diam lagi. Sejujurnya, Heksa juga curiga pada tubuhnya akhir-akhir ini. Namun, ia tak berani mengeluh. Jika dulu—paling tidak enam bulan sekali—sang ayah pasti mengajak keluarga kecilnya melakukan medical check up, setelah Reksa dan Heksa masuk SMP sudah tidak pernah lagi. "Tapi ... kalau seandainya gue sakit parah, Bokap balik kayak dulu enggak, ya?" Miki tahu, satu-satunya masalah yang tidak bisa Heksa kendalikan adalah masalah ayahnya. Itulah alasan kenapa sahabatnya mencari pelarian. "Jangan ngaco. Semua masalah pasti ada penyelesaiannya." *** "Assalamu'alaikum. Halo, Heksa ganteng pulang!" Heksa terpaksa berteriak narsis agar orang rumah tidak marah apalagi sampai curiga ia sakit. Seorang aktor memang dituntut totalitasnya. Padahal aslinya Heksa masih merasa lemas, pusing, juga mual. Membuka mulut terlalu lebar saja Heksa takut. "Masih ingat pulang lo? Di sana ngapain aja? Mendadak amnesia, jadi lupa fungsi handphone?" Kalimat sarkas itu bersumber dari Reksa. Ia kesal bukan main karena adiknya baru pulang sesore ini dan ponselnya pun baru aktif sesaat sebelum pulang. Itu juga setelah Reksa meminta tolong pada Alma agar kekasihnya menghubungi Miki untuk menyuruh Heksa pulang. Heksa juga bukan tanpa alasan memilih tinggal sedikit lebih lama di rumah Miki karena kondisinya tadi benar-benar jauh dari kata baik. Maka dari itu, ia memutuskan untuk kembali tidur dan bangun setelah merasa sedikit membaik. “Jawab salam itu wajib tahu, Bang.” “Wa’alaikumsalam.” Tak lama, sang mama muncul dari arah kamar. "Abang, udah ah jangan dimarahin dulu," tegurnya. "Dek, katanya pilek, ya? Coba sini Mama pegang, demam juga enggak." "Ha?" Mulut pemuda itu terbuka lebar mendengar pertanyaan sang mama. Pilek? "Iya, kata Abang semalam pas dihubungi kamu udah tidur karena minum obat pilek gara-gara ketularan Miki." Heksa mengumpat dalam hati. Ini siapa yang bikin alasan sih? Di depan Alma, kan, Miki pura-pura sakit perut kenapa gue jadi ketularan pilek? Reksa mendelik sebal melihat wajah bingung adiknya. Jelas sekali semalam yang bicara via sambungan telepon dengannya itu berbohong. "Ah, iya, Ma. Mendadak bersin terus. Mungkin karena cuaca aja." "Kamu tiduran di sini sebentar, biar Mama buatkan sup ayam biar badannya hangat." "Peluk sama Mama aja biar hangat." Aulia langsung memeluk erat tubuh putranya. "Bisa aja kamu. Tapi, tetap harus makan sup ayam buatan Mama. Tunggu sebentar, ya." Setelah memastikan mamanya benar-benar pergi, Reksa mendekat, lantas berkata, "Ada yang harus kita selesaikan. Tapi, enggak sekarang dan enggak di depan Mama." Heksa mengangguk pasrah. Miki bloon! makinya tanpa suara. Ia sudah berkali-kali mengatakan bahwa Reksa itu pintar, jadi harus mencari alasan masuk akal untuk kebohongan apa pun. |Bersambung|
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD