"Gue emang enggak peka kayak lo yang bisa langsung merasakan andai sesuatu terjadi sama gue. Tapi, mata gue cukup tajam untuk bisa membaca sekecil apa pun kebohongan yang coba lo sembunyikan."
Heksa memainkan jemarinya dengan gusar saat ucapan Reksa kemarin malam terngiang kembali. Suka atau tidak, Reksa pasti mulai mengawasinya sekarang. Ia harus lebih berhati-hati agar saudara kembarnya itu tak sampai tahu apa pun.
Sulit tetap berkonsentrasi dengan kepala yang penuh. Pak Hanafi di depan sana sibuk menjelaskan, sementara tak satu pun sanggup Heksa rekam di otaknya. Semua hanya tinggal lalu.
Miki terkejut saat Heksa tiba-tiba mencengkeram kuat pergelangan tangannya. Pemuda itu bahkan sudah menjatuhkan kepala di atas meja, menyembunyikan wajahnya di sana. Ia nyaris bereaksi panik, tetapi sahabatnya itu bertutur lirih meminta Miki tak melakukan pergerakan mencolok yang akan mengundang perhatian Pak Hanafi. Jantungnya berdebar cepat karena tangan Heksa kini bahkan terasa basah oleh keringat.
"Ndu, lo kenapa?" tanyanya pelan.
Pemuda itu tak langsung menjawab, tetap pada posisinya. Sibuk meredam erangan. Melakukan gerakan sekecil apa pun rasanya menyakitkan. Perut Heksa nyeri luar biasa, menjalar pula hingga ke belakang.
"Anjing, gue lapor Pak Hanafi nih!" Miki berseru pelan. Ia mulai panik melihat Heksa yang tak juga mengangkat kepala.
Tama yang duduk tepat bersebelahan dengan Miki dan Heksa langsung menoleh menyadari kegaduhan di sebelahnya. Pemuda itu menatap Miki, bertanya tanpa suara, hanya lewat mata yang saling bertemu.
"Bawa kayu putih atau minyak angin enggak lo?" Miki bertanya.
Hanya gelengan yang Miki dapat. Namun, ia melihat Tama meminta bantuan pada gadis berjilbab di sebelahnya dengan menanyakan hal yang sama. Dari gadis itu Tama mendapat minyak aromaterapi roll on, yang langsung ia berikan pada Miki.
"Nih, pakai."
Heksa menerima benda itu, lalu menarik bagian bawah kemeja seragamnya hingga keluar dari celana, lalu mengoleskannya sebanyak mungkin. Bodo amat kalau habis, Heksa bisa menggantinya nanti. Siapa tahu dengan panas bisa membuat rasa sakitnya mereda atau setidaknya teralih.
Untunglah tak lama bel istirahat berbunyi.
"Kalian mengerti? Ada yang mau ditanyakan?"
"Tidak!" sahut Heksa paling keras. Entah tidak ada yang ditanyakan, atau justru tidak ada yang dimengerti. Ia sudah tidak tahan dan rasanya ingin cepat-cepat keluar.
"Tugasnya jangan lupa dikerjakan karena pada pertemuan berikutnya dikumpulkan."
"Iya, Pak."
Setelah salam, guru berkepala plontos itu melenggang meninggalkan kelas diikuti oleh Heksa yang seragamnya sudah acak-acakan. Miki juga mengekor dari belakang karena sejujurnya ia masih merasa cemas pada sahabatnya.
Menyaksikan hal itu Alma hanya geleng-geleng. Heksa dan Miki memang tak terpisahkan. Jadi, mana mungkin Reksa berpikir untuk membuat mereka berjauhan? Itu nyaris tidak mungkin.
***
"Mbak, minta obat dong." Tidak permisi atau sekadar memberi salam, Heksa masuk begitu saja ke ruang kesehatan. Pemuda itu juga langsung membaringkan tubuhnya di ranjang tanpa memerhatikan sekitar.
Alyssa yang hari ini bertugas membantu Mbak Luvita menautkan alis menyadari kehadiran pemuda itu.
"Lho, Mbak Luvi ke mana?" Miki yang ikut masuk langsung bertanya.
"Ke luar sebentar," sahut Alyssa santai. Ia pikir yang masuk barusan itu Reksa. Namun, melihat bukan Yohan yang menyusul, Alyssa tersadar kalau itu kembaran Reksa. Mereka memang kembar identik, jadi sedikit sulit dibedakan. "Teman lo kenapa? Mau dibikinin teh?"
Miki menyibak tirai, dan langsung dihadapkan pada sosok Heksa yang tengah meringkuk di salah satu ranjang UKS. "Boleh. Gangguan pencernaan juga kayaknya, ada minyak angin atau apa gitu yang panas?"
"Ada. Kalau di drama Korea, gangguan pencernaan itu biasanya tusuk jarum gitu langsung sembuh."
"Cih, jangankan tusuk jarum. Baru lihat aja dia udah mewek." Miki menimpali. Ia tahu betul sahabatnya anti sekali terhadap jarum. Jangankan ditusuk atau disuntik, melihat kilaunya saja dia kabur duluan. Jadi, jangan heran kalau menyuruh Heksa mendatangi seorang dokter sama sulitnya dengan meminta pemuda itu lompat ke jurang.
"Heh, Setan! Gue dengar, ya."
Alyssa terkekeh mendengar pemuda itu menyahuti di tengah-tengah rintihannya. Ternyata kembarannya tidak sekaku Reksa. "Ini,” katanya sembari menyerahkan minyak aromaterapi. “Gue bikin teh dulu sambil nunggu Mbak Luvi."
Miki hanya mengangguk, kemudian bergerak lebih dekat pada sahabatnya dengan membawa botol berisi minyak aromaterapi berwarna hijau. "Nih, coba pakai lagi. Siapa tahu nanti baikan."
"Sakit banget anjir." Heksa tak langsung menerima. Ia mengubah posisinya yang semula meringkuk, menjadi duduk, kemudian membungkuk mengambil posisi sujud.
"Kalau dipikir-pikir, lo kayak cewek PMS. Kualat nih pasti kemarin udah bohong sama nyokap lo."
Heksa berdecak sebal. "Lo enggak bisa prihatin sedikit aja? Perut gue sakit banget ini. Rasanya kayak mau mati."
"Ndu seriusan sakit banget? Izin balik aja kalau gitu."
"Enggak. Nanti Nyokap panik."
"Wajarlah, kan anaknya sakit. Lo gimana sih?"
"Nyokap juga sering nyimpen rasa sakitnya. Masa gue lemah apa-apa harus ngadu dan bikin dia khawatir."
Pemuda itu menghela napas lelah. Kalau orang rumah tidak ada yang tahu Heksa sakit, Miki panik sendirian. Percayalah itu sama sekali tidak menyenangkan. Miki mungkin b****k, tetapi ia tetap punya hati.
***
"Gue pikir lo di UKS nemenin kembaran lo."
Reksa yang tengah makan bersama Alma refleks menoleh pada gadis berambut panjang yang duduk di meja sebelahnya. "Heksa sakit?" tanya pemuda itu.
Alyssa mengangguk. Tadi ia berniat membuatkan teh juga membeli makanan untuk Heksa, tetapi Mbak Luvita memintanya beristirahat dan mengambil alih tugasnya. Karena di kelas tidak ada siapa pun, Alyssa memutuskan untuk pergi ke kantin, rupanya gadis itu bertemu Reksa dan pacarnya. "Lihat aja. Kayaknya enggak bagus-bagus banget kondisinya."
Alma menciut, takut kalau Reksa marah. "Aku benar-benar enggak tahu. Tadi Heksa masih biasa aja kok di kelas. Malah pas sebelum bel bicaranya juga masih keras banget."
Reksa mengulurkan tangan, mengusap puncak kepala kekasihnya lembut. "Bukan salah kamu. Dia emang aktor yang baik," tuturnya. "Kamu lanjut makan. Aku lihat Heksa dulu."
"Ikut."
"Habiskan dulu makanannya, nanti kamu nyusul ke sana." Reksa bangkit lantas membayar makanannya juga Alma sebelum benar-benar pergi.
Alyssa jadi diam mendengar apa yang beberapa saat lalu dikatakan Reksa. Dia memang aktor yang baik. Ia takut laporannya barusan membuat Reksa dan Heksa bertengkar.
***
"Heksa mana?"
Miki yang berdiri di depan pintu kamar mandi, dan Mbak Luvita yang tengah menyiapkan obat untuk Heksa kompak berbalik. Tentu saja Miki terkejut melihat kehadiran Reksa, tetapi rasa terkejutnya tak berlangsung lama karena ia segera sadar dari siapa Reksa tahu Heksa ada di UKS. Alyssa. Perempuan itu teman sekelas Reksa.
"Di dalam."
Tanpa menunggu persetujuan, Reksa langsung masuk ke dalam kamar mandi dan mandapati sang adik tengah muntah-muntah. Reksa menghela napas panjang, sebelum akhirnya menggerakan tangannya memijat tengkuk leher Heksa. "Gue bilang jangan sekolah kalau sakit," ujarnya pelan.
Sebenarnya, Reksa sudah membaca keanehan saudara kembarnya sejak pulang kemarin. Heksa tidak sebawel biasa, banyak mengalah, dan puncaknya tadi anak itu sama sekali tak menghabiskan sarapannya. Reksa meringis mendengar adiknya kembali muntah dengan suara menyakitkan.
"Ja-ngan bilang Mama."
Pemuda itu memutar bola matanya. Jenuh. Terlalu banyak kepura-puraan dalam hidup anggota keluarganya. "Minta balik aja, ya. Lo enggak mungkin konsentrasi belajar kalau begini."
"Nanti Mama jadi tahu."
"Ya udah lo istirahat di sini aja sampai bel pulang. Nanti lo pulang bareng gue."
"Hm."
"Udah?"
Heksa mengangguk. Ia pasrah saja saat sang kakak memapahnya keluar dari kamar mandi, lalu membantunya kembali berbaring di ranjang UKS.
"Mbak, boleh minta surat izin buat adik saya? Kayaknya dia enggak bakal kuat lanjut ikut pelajaran."
"Diantar pulang aja kalau gitu."
"Nanti pulangnya sama saya, Mbak setelah bel pulang."
Mbak Luvita mengangguk mengerti. Ia langsung mengisi surat izin untuk Heksa, lantas memberikannya pada Reksa.
"Lo balik ke kelas aja. Gue titip ini," kata Reksa sembari menyerahkan suratnya pada Miki.
"Oke. Titip Pandu."
"Dia adik gue kalau lo lupa."
Miki berdecak kesal. “Masih aja posesif," racaunya. Padahal, Miki juga khawatir. Setelah memastikan Heksa benar-benar tidur, Miki melenggang pergi kembali ke kelasnya.
|Bersambung|