"Anakku sakit, aku harus pulang."
Perempuan cantik yang saat ini meringkuk di atas tempat tidur sembari menidurkan bayi laki-laki di sampingnya hanya menghela napas panjang. Bukan kali pertama mereka menjadi pelarian saat pria itu lelah dengan dunianya, tetapi untuk pertama kalinya ia merasa sakit itu nyata.
Tak mendapat jawaban, si pria menoleh, melepaskan tatapan dalam pada perempuan cantik yang hanya menggunakan lingerie, kemudian mendekat. "Marah?" tanyanya.
Dengan cepat perempuan itu menggeleng. "Enggak pernah punya alasan buat marah, tapi aku punya satu pertanyaan."
"Apa?"
"Kapan aku menjadi satu-satunya?"
Seandainya kecelakaan itu tidak pernah terjadi, hingga membawa bayi tak berdosa terhantar ke dunia, Bara tidak akan sampai sejauh ini. Mengambil keputusan atas apa yang dipertanyakan perempuan itu pun akan lebih mudah kendati mereka menjelin hubungan sudah bertahun˗tahun. Sayang, kehadiran bayi mungil bernama Hegar mengubah semua, membuat Bara menyayanginya.
"Oke enggak perlu dijawab. Aku tahu jawabannya."
"Kamu tahu aku enggak akan pernah bisa memilih. Sampai sejauh ini, semuanya baik-baik aja. Jadi, tolong jangan melakukan apa pun, termasuk memaksa aku mengambil keputusan karena kamu tahu siapa yang akan aku pilih pada akhirnya."
Bara membungkuk, menghadiahkan sebuah ciuman pada bayi kecilnya, lantas beralih mencium bibir ibu bayi itu. "Aku pulang sekarang. Jaga putra kita."
Selepas kepergian Bara, perempuan itu bertutur lirih, "Enggak cuma kamu yang berhak memutuskan, Mas. Mbak Aulia pun berhak menentukan apakah dia akan terus berpura-pura kuat dan keras kepala dengan tetap berbagi suami, atau akhirnya menyerah membiarkan kita bahagia hidup tanpa dia." Pandangannya teralih pada putra tunggalnya. "Mami akan berjuang demi kamu. Kamu harus mendapat pengakuan."
***
Meski putra kembarnya tak melaporkan apa pun, insting seorang ibu tidak pernah meleset. Tadi pagi Heksa menyisakan sarapannya, dan begitu pulang sekolah juga tidak keluar kamar. Makan siang yang Aulia bawakan ke kamar anak itu masih utuh tak tersentuh. Dengan segera ia mengambil kesimpulan, Heksa sakit. Dan itu terbukti ketika Aulia mendesak Reksa ihwal kondisi adikya.
"Papa udah ditelepon, Ma?" tanya Reksa.
"Sebentar lagi pulang. Tadi masih ada kerjaan katanya."
Reksa melengos. "Bilang sama Papa, prioritaskan mana yang harus diprioritaskan. Uang Papa bukan segalanya. Aku sama Adek lebih suka Papa ada di sini."
Aulia memaksakan seulas senyum, lalu menangkup wajah putra kesayangannya. "Enggak boleh begitu, Sayang. Papa juga, kan, kerja buat kita semua."
Pandangan pemuda itu berubah sendu. Sebesar apa pun usaha sang mama menutupi semua, tetap saja lukanya terbaca. Reksa berani bertaruh kalau saat ini mamanya bahkan tahu di mana pria yang selalu ia panggil papa itu berada. Ma, sampai kapan Mama menyimpan semuanya sendiri?
Ditatap seperti itu membuat Aulia tergesa beralih pandang. Jika Heksa lebih peka urusan rasa, maka Reksa cenderung tajam dalam tatap. Putranya yang satu ini bisa menerjemahkan dengan cepat situasi yang tengah dihadapi.
"Ma."
Suara lemah Heksa merenggut perhatian keduanya. Kompak mereka mendekat, mengambil posisi duduk di sisi tempat tidur yang berlainan, membuat Heksa terapit.
"Kenapa, Nak? Apa yang sakit? Sini bilang sama Mama."
Heksa tak menjawab. Bagaimana mungkin ia memberitahu di mana letak sakitnya sementara sang mama bungkam perihal kesakitannya selama ini. Seorang anak hanya mencontoh apa yang dilakukan orang tuanya, bukan?
"Enggak, Ma."
"Kok Adek bohong? Mukanya pucat gitu pasti ada yang dirasain, 'kan? Ayo bilang mana yang sakit."
Mama aja enggak kelihatan pucat, tapi pasti lagi sakit banget. Reksa membatin.
"Aku baik-baik aja, Ma." Heksa berusaha menegakkan tubuh demi meyakinkan sang mama, kemudian sedikit merapat dan menghadiahkan kecupan singkat di pipi mamanya. "Nih, masih bisa cium Mama."
"Dek, Mama serius nih."
"Ma, Adek enggak apa-apa. Paling kecapean doang. Mama tahu sendiri dia kayak ulat bulu pecicilan banget."
Di satu sisi Heksa berterima kasih karena sang kakak mau membantu saat ia terjepit. Namun, di sisi lain Heksa juga kesal karena Reksa menyebutnya ulat bulu.
"Ya udah, Mama keluar dulu. Adek sekarang tidur aja. Nanti kalau Papa pulang Mama suruh ke atas bawa makanan."
"Makasih, Ma."
"Iya, Sayang," sahut Aulia sambil mencium kening putranya. "Abang juga keluar, yuk. Biarin adiknya istirahat."
Reksa mengangguk dan langsung mengekor di belakang sang mama.
***
Bara menyunggingkan senyum saat sang istri berdiri di ambang pintu menyambut kedatangannya. Ia menghadiahkan sebuah kecupan, lalu membiarkan Aulia membawa tasnya.
"Adek di mana sekarang?"
"Di kamar. Belum makan sama sekali dari pulang sekolah. Coba kamu yang bujuk, Mas."
Lelaki itu mengangguk. "Makanannya udah siap?"
"Iya udah. Aku masak bubur ayam buat Adek, tapi enggak tahu dia bakal mau makan atau enggak," sahutnya. Aulia langsung bergegas mengambil semangkuk bubur yang sudah ditaruh dalam nampan, lalu menyerahkannya pada sang suami.
"Kalau aku yang bujuk, dia pasti mau makan. Jangan khawatir." Selanjutnya, Bara langsung melangkahkan kaki jenjangnya ke kamar Heksa.
Beberapa kali Bara mengetuk pintu, tetapi tak terdengar sahutan sama sekali dari orang di dalam sana. Akhirnya ia memutuskan untuk masuk dan langsung dihadapkan pada sosok putranya yang berbaring dalam posisi membelakangi pintu.
"Hai, Jagoan."
Heksa mengernyit, lalu membuka mata. "Papa."
"Apa yang sakit, hm?"
"Perut, Pa."
"Sakitnya sakit gimana? Maag?"
Pemuda itu menggeleng. Rasa sakitnya memang sulit dideskripsikan. Kadang di bagian tertentu, kadang menjalar juga ke area lain. Dan sejujurnya paling mengganggu adalah rasa lelah berlebihan yang membuat Heksa ingin terus berbaring. Padahal, itu sama sekali bukan gayanya.
"Udah minum obat?"
"Enggak. Aku enggak bilang apa yang sakit sama Mama," sahut Heksa. Di depan mamanya ia menyembunyikan semua karena perempuan itu juga melakukan hal yang sama. Namun, di depan papanya Heksa berani terus terang agar perhatian sang papa utuh untuknya. "Tapi, di laci ada obat bekas kemarin."
Bara memutar tubuhnya, kemudian membuka laci dan menemukan obat untuk menetralisir asam lambung yang berbentuk suspensi. "Jadi, udah berasa sakit dari kemarin?"
"Sedikit. Itu dibeliin Miki."
"Sekarang minum dulu obatnya. Setengah jam lagi baru makan. Nanti Papa panasin lagi buburnya."
"Pa?"
"Hm?"
"Jangan kerja terus."
Kepala pria itu tertunduk, merasa bersalah karena berkali-kali membohongi putranya dengan alasan yang sama; bekerja. "Papa emang lagi agak sibuk, Dek. Jangan karena Papa enggak ada kamu jadi malas makan, atau main sampai enggak ingat waktu."
"Pa ...." Lagi, Heksa bersuara.
"Kenapa lagi, Dek?"
"Aku mau Papa sama Mama terus. Aku enggak mau Papa atau Mama sama yang lain. Keluarga buatku itu cuma Papa, Mama, Abang, terus aku. Enggak ada tempat buat yang lain."
Bara merasa tertohok mendengar pernyataan putranya, tetapi tetap berusaha terlihat normal. Ia kemudian berkata, "Papa, kan, emang masih sama Mama. Sama kalian juga. Papa enggak ke mana-mana."
"Kalau Papa bikin Mama sakit, aku bakal pergi. Enggak akan mau ketemu Papa lagi. Selamanya."
"Udah, ah. Ayo minum obatnya dulu. Jangan ngelantur."
"Janji dulu," desak Heksa sembari mengacungkan kelingkingnya.
Dengan berat hati Bara menautkan kelingkingnya dengan milik putranya. Perjanjian ini hanya sebatas kata karena pada kenyataannya ia sudah begitu dalam menyakiti sang istri.
"Kalau Papa ingkar janji ... nyawaku taruhannnya."
|Bersambung|