Heksa memejamkan mata dengan badan bersandar penuh pada sandaran jok, membiarkan supir taksi online mengantarnya ke sekolah. Ia belum cukup kuat untuk membawa kendaraan sendiri, tetapi tidak ingin merepotkan kakak dan ayahnya juga. Apalagi, Reksa harus menjemput Alma lebih dulu. Walaupun sang ayah memberi izin seandainya Reksa ingin memakai mobil agar mereka bisa berangkat bersama, Heksa lebih dulu menolak.
Teringat sesuatu, anak itu kembali membuka mata, lantas mengambil ponselnya. Heksa mengetik sesuatu di laman pencarian.
Alis tebalnya bertautan membaca beberapa artikel yang muncul. Nyaris mendekati, tetapi tidak semua gejala yang dirasakannya ada dalam satu bagian utuh. Akhir-akhir ini Heksa sering merasa nyeri di bagian ulu hati, yang paling menjengkelkan kadang merambat hingga ke bagian tengah punggung. Diperparah pula dengan mual, muntah, dan menurunnya nafsu makan.
Mungkin seharusnya Heksa menemui dokter karena gejala tersebut mulai mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Sayangnya, ia terlalu takut. "Positif aja, mungkin emang maag doang," gumamnya pelan, walaupun ia tidak yakin kalau melakukan self-diagdosis adalah keputusan yang tepat dibanding menemui seorang profesional.
Pemuda itu merapatkan ritsleting jaketnya, saat hawa dingin mulai mendominasi. Ia melempar pandangan ke luar, berharap padatnya jalanan bisa mengalihkan semua pikiran buruk di kepalanya. Namun, selepas perempatan, pada belokan terakhir sebelum memasuki kawasan sekolah, Heksa justru melihat seorang gadis berseragam sama dengannya dikelilingi beberapa lelaki. Satu di antara mereka bahkan tak segan bersikap kasar. "Pak, stop di sini!"
"Lho, Dek, SMA PB masih di depan."
"Enggak apa-apa. Saya ada perlu," sahutnya sembari mengeluarkan uang dari dompet, lalu memberikannya pada sang supir. "Bintangnya nanti pas saya sampai sekolah. Saya buru-buru sekarang, Pak."
"Makasih, Dek."
Heksa langsung turun, lantas menghampiri gadis itu juga beberapa pemuda yang mengelilinginya. "Ada apa nih?" tanyanya begitu mereka saling berhadapan.
"Gue enggak punya urusan sama lo. Jadi, mending lo pergi."
"Ini urusan gue juga dong. Kalian anak SMK Bina Satria, 'kan? Ngapain kalian kasar sama anak PB? Cewek lagi. Kalian cowok bukan sih?"
Pemuda berambut pirang itu melengos. "Dia cewek gue, b*****t. Jangan ikut campur. Pergi lo sana!"
Dengan satu tarikan, Heksa berhasil meraih jemari tangan gadis bertubuh mungil yang saat ini tampak kebingungan. "Ayo pergi. Kalaupun dia cowok lo, jangan mau diperlakukan kasar. Cowok yang suka kasar sama cewek itu banci!"
Cowok bule yang seragamnya tampak sudah acak-acakan langsung murka mendengar ucapan Heksa. Pemuda itu maju selangkah, kemudian menarik gadisnya menjauh. "Jangan sentuh cewek gue. Gue enggak kenal lo, begitupun sebaliknya. Mending lo pergi sekarang mumpung gue masih berbaik hati kasih kesempatan."
"Gue enggak akan pergi tanpa dia."
Arnold semakin marah. Ia mendorong Heksa, sebelum akhirnya melepaskan satu pukulan yang sukses membuat Heksa terhuyung, nyaris jatuh. "Gue udah kasih lo peringatan!"
"Kak Arnold, cukup!" Gadis itu menjerit melihat kekasihnya memukul anak yang satu sekolah dengannya. Kalau sampai terjadi sesuatu, Arnold akan dalam masalah besar karena lokasi mereka berdekatan dengan SMA Pijar Baskara.
Ketika Heksa hendak membalas, si gadis menahannya.
"Jangan. Ayo kita pergi. Nanti kamu bisa bermasalah karena berkelahi." Tanpa memedulikan kekasihnya, gadis itu membawa Heksa menjauh. Ia bahkan tetap berjalan sekalipun Arnold berteriak memintanya berhenti.
"Kalian bakal gue kasih pelajaran. Lihat aja!"
***
Alma ❤
Heksa masih sakit tah?
Kenapa jam segini belum kelihatan?
Padahal, sebentar lagi masuk.
Chat aku juga enggak dibalas.
Alis tebal pemuda itu bertautan. "Lho, bukannya tadi udah mau sekolah?"
Me
Harusnya sih sekolah.
Me
Soalnya tadi udah siap.
Me
Cuma dia enggak mau bareng.
Yohan yang duduk bersebelahan dengan Reksa kontan menoleh saat mendengar sahabatnya meracau tak jelas. "Lo kenapa?"
"Heksa belum datang."
Yohan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu kembali bersuara, "Lima menit lagi bel. Miki ada di kelas enggak? Coba tanya cewek lo."
Me
Miki udah ada?
Alma ❤
Miki dari tadi udah di kelas kok, lagi ngerjain PR.
"Ada katanya." Reksa beranjak dari duduknya berniat mencari sang adik, tetapi belum sempat kakinya melangkah, suara bel mendahului. Ia berdecak kesal. Harusnya Heksa memang tidak sekolah dulu kalau akhirnya menghilang dan membuatnya khawatir seperti ini. Reksa takut terjadi sesuatu di jalan, mengingat saudara kembarnya pergi dalam keadaan sakit dan naik taksi online.
Melihat kecemasan yang begitu kentara di wajah sahabatnya, Yohan memutuskan untuk mencari Reksa. Setidaknya ia tahu beberapa tempat bersembunyi anak-anak yang suka membolos. "Lo tunggu di sini aja. Sebentar lagi Pak Markus datang. Kalau dia tanya, bilang aja gue ke toilet dulu."
"Lo mau ke mana?"
"Nyari adik lo."
"Gue aja."
"Lo enggak pernah bermasalah. Jadi, tunggu di sini. Gue juga enggak akan jauh, cuma memastikan di beberapa tempat."
Reksa akhirnya mengangguk walaupun tidak benar-benar setuju Yohan pergi.
***
Memang dasarnya sedang apes kuadrat. Setelah pagi-pagi kena tonjok, aksi menyelundupnya pun ketahuan oleh guru piket. Akhirnya Heksa dan si gadis berbadan minimalis itu berakhir dengan lari pagi di lapangan.
"Hah, capek!" keluh pemuda itu dengan tubuh terbungkuk dan napas ngos-ngosan. Tahu akhirnya tetap dihukum, Heksa tidak akan repot-repot memanjat gerbang timur, apalagi pundaknya sampai jadi tumpuan kaki si gadis mungil yang saat ini turut dihukum bersamanya. Walaupun pendek dan badannya kecil, tetap saja berat. "Heh, Botol Cimory! Tungguin gue dong. Badan lo enak mini, jadi ringan larinya. Gue capek nih. Mana sakit lagi bahu gue tadi lo injak."
Gadis itu menoleh, lalu menatap pemuda di belakangnya dengan wajah galak. "Kakak yang nyuruh. Bukan aku yang minta. Aku, kan, udah bilang enggak mau!" semburnya. Ia tak ambil pusing dan langsung melanjutkan hukumannya.
Heksa melengos mengingat perdebatan dekat gerbang tadi. Padahal, ia hanya ingin membantu. Malah dikira modus hanya karena Heksa meminta gadis itu naik ke pundaknya untuk melintasi gerbang. Mereka sempat berbincang banyak, dan Heksa baru tahu kalau gadis bernama Aurora itu adik kelasnya.
Kalau dilihat-lihat, Aurora itu manis. Tinggi badannya ia yakin hanya sekitar 150 sentimeter lebih sedikit, terpaut jauh dari Heksa. Rambutnya sedikit kecokelatan, ikal di bagian bawah. Matanya bulat menggemaskan, terutama saat mengerjap. Bulu matanya pun lentik tebal. Jangan lupa lesung pipi yang membuat senyum gadis itu kian menawan.
Tunggu. Kenapa Heksa jadi memujinya? Gadis itu galak dan tidak tahu terima kasih. Segera saja ia menggeleng. Love at the firts sight itu tidak pernah ada di kamus Heksa. Lagi pula, Aurora sudah memiliki kekasih yang sama galaknya dengan gorila.
"Aku duluan, Kak. Makasih buat yang tadi."
Ah, s**l! Karena asyik memikirkan gadis itu, Heksa sampai tidak sadar bahwa ia baru menyelesaikan dua putaran dari empat putaran yang diharuskan.
***
"Lo dari mana aja anjir? Gue pikir bolos."
Heksa mendengkus sebal karena baru masuk ia sudah ditanya-tanya. Miki tidak tahu, ya, kalau saat ini Heksa sedang capek-capeknya? Meskipun matahari belum berdiri tegak, tetapi panasnya benar-benar luar biasa. Sembunyi di UKS yang difasilitasi dengan pendingin ruangan hingga bel pelajaran pertama selesai berbunyi pun, tak berefek banyak. "Kipasin gue dong. Panas banget nih."
"Udah pakai AC, Bos. Masih panas juga?"
"Banget. Bu Wati nyuruh gue lari lima keliling tadi."
"Tumben dia kejam amat? Biasanya paling disuruh keliling ke kelas-kelas sambil bilang, 'saya tidak akan terlambat lagi' gitu doang."
"Ketahuan manjat gerbang timur. Si Putri Tidur berisik banget lagi anjir manjat doang."
Alis Miki bertautan. "Putri Tidur? Siapa?"
"Anak kelas 10. Namanya Aurora."
"Pantesan banyak teman seangkatan sama kakak kelas yang mau, tapi selalu lo tolak. Ternyata incarannya degem."
"Dia udah punya cowok."
"Bawa motor jago, tapi enggak tahu gimana caranya nikung?"
Heksa langsung menyentil dahi sahabatnya, membuat pemuda itu mengaduh kesakitan sembari melemparkan sumpah serapah.
"Enggaklah anjir. Gue gerak kalau dia putus aja. Kalau gue nikung punya orang, apa bedanya gue sama cewek s****n itu?"
Miki tahu siapa perempuan yang dimaksud, dan ia langsung merasa bersalah karena sudah membuat Heksa kembali mengingatnya.
|Bersambung|