8 TAHUN KEMUDIAN

1290 Words
Yuki berdiri di boncengan belakang sepeda, sedangkan bocah laki-laki bernama Emir mengayuh sepeda ontelnya. Mereka berdua melintasi komplek kawasan Elit, Yuki berpegangan di bahu Emir tapi pandangan matanya terus memandangi bangunan rumah mewah yang ia lewati dengan takjub, rumah di area ini sangat megah serta memiliki desain yang mewah bagaikan istana. “Nggak. Aku tinggal di kota Bangil, aku dan keluargaku ke Jakarta untuk liburan di rumah Kakek Nenekku.” “Terus kamu dari mana ‘kok sampai tersesat jauh?” “Tadi aku jalan-jalan naik sepeda, terus keluar dari area perumahan. Aku keliling di jalan tapi malah tersesat,” jawab Emir. Sebenarnya, ketika Emir berkeliling dengan sepeda menikmati pemandangan di Jakarta, ia malah bertemu dengan 2 pemuda berandalan yang berusaha memelaknya. Emir mengayuh sepedanya dengan kencang tanpa arah tujuan berusaha melarikan diri. Namun, pada akhirnya Emir tertangkap. Kedua berandalan itu merampas semua barang berharga yang Emir kenakan, dari mulai jam tangan, uang, sepatu bahkan celana dan kemeja yang melekat di tubuh Emir juga mereka rampas. Untung saja Emir berhasil melarikan diri bersama sepedanya setelah memberikan perlawanan. Emir sudah meminta jasa tukang ojek untuk mengantarnya pulang ke rumah kakeknya, akan tetapi tak satu pun dari mereka mau mengantar Emir karena penampilannya yang mirip dengan gelandangan, dan Emir juga tak membawa uang. Meski Emir sudah berjanji akan membayarnya setelah sampai di rumah, tapi melihat penampilan Emir, mereka tak percaya apalagi Emir hanya seorang bocah berusia 10 tahun. Tak lama kemudian, Emir tiba di kediaman kakek dan neneknya. Kepulangannya disambut dengan antusias oleh keluarganya. “Emir, kamu dari mana saja, Nak? Kami semua dari tadi nyariin kamu. Lain kali kalau mau keluar rumah, pamit dulu.” Ruby memeluk Emir dengan posesif. Ruby merasa cemas dan takut jika sesuatu yang buruk menimpa putranya. Sejak tadi, suami dan keluarganya sudah mencari-cari Emir tapi tidak ketemu. “Emir, alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Nak.” Rindu sangat bergembira melihat cucunya pulang dalam keadaan selamat. “Kami sangat takut kalau kamu kenapa-kenapa. Sebenarnya kamu pergi kemana? Kenapa kamu jadi berantakan begini?” Rindu mengusap wajah cucunya dengan lembut. Ia merasa iba melihat penampilan Emir. “Aku cuma tersesat, Umi. Untung ada dia yang bantu aku.” Emir menunjuk Yuki yang berdiri di sebelahnya sembari mengamati perhatian Ruby dan Rindu pada Emir. Yuki merasa cemburu, Vivian tidak pernah sekalipun bertanya dan mencemaskan Yuki jika Yuki pulang terlambat ke rumahnya. Mungkin, dia akan lebih bahagia jika Yuki pergi dan tak pernah kembali. Pandangan Ruby beralih pada Yuki, wanita cantik itu menguraikan senyuman hangat yang membuat hati Yuki jadi teduh. “Terima kasih, ya, Nak! Ayo, masuk dulu, yuk!” “Maaf, Tante. Ini sudah malam, sebaiknya saya langsung pulang saja,” tolak Yuki. “Kamu nggak mau makan dulu, Nak!” tawar Ruby. “Nggak, Tante. Terima kasih.” *** Setelah liburan kenaikan kelas, hari ini adalah hari pertama Yuki menduduki bangku kelas 3 SD. Wali kelas membagikan lembaran kertas kosong pada semua siswa di kelasnya. “Anak-anak, tulis kesan-kesan kalian tentang kehidupan kalian bersama ayah dan ibu kalian. Satu jam lagi kumpulkan.” Wali kelasnya Yuki memberikan instruksi yang membuat Yuki bersedih. Yuki bingung harus menulis apa, sejak kecil ia sudah kehilangan orang tuanya, sedangkan ibu angkatnya sangat membenci Yuki. Jangankan membelai Yuki, melihat Yuki saja Vivian merasa risih. Tanpa terasa, air mata Yuki menetes, ibu angkatnya tidak pernah menyayanginya, dia lebih sering memarahi Yuki daripada mencurahkan kasih sayangnya pada Yuki. “Yuki, kamu kenapa, Nak?” tanya Ani yang merupakan wali kelas Yuki. “Nggak apa-apa, Bu.” Yuki segera menghapus air matanya saat tertangkap basah sedang menangis. “Cuma kelilipan aja, Bu," Yuki berkelit. “Owalah, kirain kenapa. Ya sudah, ayo tulis.” “Iya, Bu.” Yuki mengangguk patuh. Ani berlalu pergi melewati bangku Yuki begitu saja. “Ayah, ibu, Yuki kangen. Kapan kita bisa ketemu?” Yuki memandangi kertas kosong di bangkunya dengan perasaan hampa, ia sangat merindukan orang tuanya. Rindu belaian dan kasih sayangnya. Yuki berusaha mengingat kenangan indah bersama dengan kedua orang tua kandungnya. Yuki hanya mampu mengingat tangisannya ketika kedua orang tuanya meninggalkan Yuki untuk selamanya. Yuki mulai menggoreskan penanya di atas kertas polos, kemudian menceritakan perhatian dan kasih sayang Adi yang merupakan ayah angkatnya. *** 8 tahun sudah berlalu... Yuki duduk di sofa sembari membaca pelajaran sekolah untuk siswa kelas 10. Saat ini, Yuki sudah mulai beranjak dewasa. “Mbak, ada kiriman dari Ayah.” Alea meletakkan sebuah bingkisan paket di atas meja tepat di hadapan Yuki. Lambat laun, Alea mulai bisa bersikap baik dan mau menerima keberadaan Yuki sebagai saudara angkatnya. Tak sia-sia Yuki selalu bersikap baik dan padanya. “Makasih, Dek.” Yuki tersenyum sambil mengulurkan tangan hendak mengambil paketnya, tapi Vivian keburu menjarahnya. “Apa ‘sih isinya?” ujar Vivian sembari membolak-balik paket di tangannya. Dengan cepat Vivian membuka paket milik Yuki yang ia dapat dari Adi. “Wah, ini baju bagus banget, Nak. Sangat cocok buat kamu. Ukurannya pas di kamu.” Vivian merentangkan gaun yang cantik itu di tubuh Alea. Alea memandang Yuki dengan tatapan sungkan. “Tapi, Bu. Itu ‘kan kiriman dari Ayah buat Mbak Yuki,” protes Alea sambil memandang Yuki dengan tatapan iba. Miris dan sedih, itulah yang Yuki rasakan setiap kali ibu angkatnya mengasingkan Yuki demi anak kandungnya. “Yuki udah punya banyak baju bagus, dia juga udah kerja. Dia udah mampu kalau cuma untuk beli baju kayak gini. Iya, kan, Yuki?” Vivian meminta persetujuan dari Yuki dengan senyuman yang dipaksakan. “Iya, bajuku udah banyak.” Yuki menyunggingkan senyuman palsu, sementara hatinya terasa ngilu. “Aku juga kurang suka sama modelnya,” lanjut Yuki. Yuki terpaksa berbohong karena tak ingin melihat ibunya semakin membenci Yuki. Siapa tahu jika Yuki sering mengalah dan menurut, maka ibunya akan bisa menyayangi Yuki dengan tulus seperti dia menyayangi Alea. “Beneran, Mbak? Aku nggak mau kalau nanti ayah marah sama aku.” tanya Alea. Tersirat keraguan di matanya. “Iya, itu buat kamu aja. Nanti aku beli sendiri.” Yuki sudah memiliki penghasilan sendiri dari hasil jual online kosmetik. "Tuh, kan. Apa ibu bilang, Yuki itu nggak suka baju model gini. Ayo, dicoba dulu." Akmal melangkah menghampiri ibunya sambil membawa hp. “Ayah telpon, Bu.” Setelah menyerahkan hp pada Vivian, Akmal berbalik pergi ke dapur untuk makan. "Assalamu alaikum," Vivian mengucap salam seraya menguraikan senyuman manis pada suaminya. Wajah suaminya sudah memenuhi layar hp. "Wa alaikumsalam. Vivian, kenapa baju untuk Yuki dipakai Alea, bukankah aku sudah mengirimkan baju untuk Alea?" tanya Adi. Adi tak sengaja melihat Alea mengenakan pakaian yang ia kirimkan untuk Yuki. Ia tak suka melihat Vivian bersikap pilih kasih pada Yuki dan Alea. "Loh, Yuki sendiri 'kok yang ngasih baju itu sama Alea. Katanya dia nggak suka sama modelnya. Kalau nggak percaya, tanya aja sendiri sama orangnya!" Vivian kembali bersilat lidah, lalu melempar semua kesalahan pada Yuki hingga Yuki merasa tak enak hati pada Adi. Vivian mengarahkan video call-nya pada Yuki. "Iya, Yah. Yuki yang ngasih baju itu untuk Alea. Baju Yuki udah banyak, Yah. Mending uangnya ditabung aja buat masa depan." Yuki takut jika Adi akan tersinggung dengan perkataan Vivian. "Kamu jangan pikirkan masalah tabungan, tabungan Ayah udah cukup. Kamu mau oleh-oleh apa dari Ayah, kalau Ayah pulang nanti?" tanya Adi dengan lembut. Ia sama sekali tak tersinggung dengan penolakan Yuki. "Aku nggak minta oleh-oleh, Yah. Aku cuma pengen lihat Ayah pulang dengan selamat dan sehat." Yuki tak mau terlalu membebani Adi. Adi susah payah banting tulang, rela merantau jauh dan berpisah dari keluarganya. Semua itu Adi lakukan demi kebahagiaan keluarganya, demi mencukupi kebutuhan keluarganya tapi hasilnya dihambur-hamburkan dengan membeli sesuatu yang tak berguna oleh Vivian dan anak kandungnya. Adi sangat mengenal karakter Yuki, Yuki tidak pernah meminta sesuatu kecuali Adi yang menawarkan. Berbeda dengan Vivian, Alea dan Akmal, mereka sesuka hati meminta sesuatu dari Adi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD