(8) Sister

2697 Words
Holly point of views . . Berdiri di pinggir pagar balkon kamar sambil menghirup udara sore hari yang menyejukkan memang menenangkan. Apalagi dengan melihat pemandangan elok dari sang mentari yang akan kembali ke peraduannya, itu adalah perpaduan yang sempurna. Pagi tadi aku sudah berpamitan kepada seluruh orang yang aku sayangi, karena besok aku harus menjalani pelatihan khusus. Berat rasanya jika harus berjauhan dengan ayah dan ibuku. Tapi ini adalah takdir, aku harus menjalaninya. Sambil merenung aku bersenandung kecil, meresapi hembusan angin yang mengiringi sore ini. Terkadang di saat seperti ini aku merasa seperti berada di sebuah ruang kosong, sendirian. Hingga perasaan itu sedikit hilang tatkala aku melihat beberapa orang anak yang sedang bersepeda di jalan depan rumah. Sekilas, rasa rindu yang familiar datang mendera. Ingatan tentang waktu yang kuhabiskan bersama kakak kembarku muncul begitu saja. Entah di mana dia sekarang, keberadaannya tak pernah diketahui oleh siapapun. Ia menghilang tanpa jejak. Saudara kembarku yang lenyap seolah ditelan bumi. Bertahun-tahun aku dan keluargaku mencarinya, tapi ia tak pernah ditemukan. Banyak yang bilang kalau dia sudah mati. Tapi aku bisa merasakan kalau dia masih hidup. Dia masih berada di jagat raya ini, entah di bumi atau di planet lain. Meski begitu aku yakin suatu saat nanti kami berdua akan bertemu lagi. Entah kapan. Bruk! Suara benda jatuh berhasil membuyarkan kenangan indah yang terasa pahit itu. Akupun bergegas masuk ke dalam kamar dan melihat kalau ternyata sesuatu yang jatuh tersebut adalah fotoku bersama Kakak. Karena kacanya tidak pecah, aku bisa bernapas lega. Jadi aku memungutnya kembali seraya memperhatikan potret dua gadis serupa yang sedang tersenyum ke arah kamera. Sembari menghela napas panjang aku membawa foto itu ke balkon, mencoba menikmati kesedihan ini bersama pemandangan indah senja yang tidak pernah bosan kupandangi. Meski mengingat sosoknya adalah hal yang sangat menyakitkan, tapi aku tidak pernah berpikir untuk melupakannya. Ini memang terkesan seperti menyiksa diri sendiri. Aku juga tahu itu.  Karena terlalu hanyut dalam suasana sedih yang kuciptakan sendiri, tanpa sadar cairan bening yang aku benci melelah dengan sendirinya keluar dari mataku. Lalu mengalir turun dan jatuh tepat ke tanaman bunga anggrek yang sudah layu. Bunga anggrek yang ditanam kak Helly beberapa tahun yang lalu. Krakk... krakk... Tiba-tiba sebuah suara datang dari bawah di dekat kakiku. Karena penasaran aku pun menunduk, begitu melihat apa yang terjadi, aku sontak tersentak saking terkejutnya. Bisa kulihat tanaman bunga anggrek yang sudah layu itu kembali segar. Bunga berwarna putih tersebut tampak bersinar. Sangat indah. Secara refleks tanganku terjulur menyentuhnya, seketika ukuran bunga tersebut membesar dan semakin terlihat cantik. Begitu berkilauan seakan-akan keajaiban baru saja menimpanya. 'Apa ini kekuatanku?' Aku hanya terdiam, speechless. Merasa takjub dengan apa yang kulihat. Tapi di sisi lain ini terlalu tiba-tiba bagiku, sehingga aku tak bisa mencernanya dengan baik. “Itu... luar biasa!” suara lembut seseorang mengejutkanku. Dengan cepat aku menoleh ke arah sumber suara. “Terresa?” Gadis berambut merah sebahu itu mendekatiku. Oh bukan! Rupanya dia mendekati bunga anggrek tadi. Dengan mata penuh binar tangannya meraba bunga anggrek tersebut. Seolah-olah itu adalah benda paling indah yang pernah dia lihat. “Kukira kau berbohong mengenai hal ini,” ucapnya seraya berjongkok menghirup aroma bunga anggrek yang ternyata begitu harum. Sepupuku yang satu ini memang tidak percaya dengan hal-hal yang tidak realistis seperti sihir. Menurutnya, penyihir beserta makhluk fantasi lainnya hanya ada di negeri dongeng. Jadi saat mendengar pengakuanku dia langsung membantah dengan tegas. “Ck! Sudah kubilang aku tidak berbohong. Aku ini penyihir, Terre!” tegasku sambil berkacak pinggang. Terresa sama sekali tak mendengarkan, dia justru malah memetik salah satu bunga anggrek tersebut. Mengelus-elusnya seolah itu adalah harta berharga yang perlu dijaga. “Bisa kau buat bunga-bunga di tamanku hidup lagi?” pintanya tanpa menatap diriku dan terus fokus pada bunga anggrek di tangannya. Sungguh tak sopan. Permohonan macam apa itu? Refleks aku menggeram kesal, “Aku sendiri tak tahu bagaimana caranya,” jawabku sembari mengangkat bahu tak acuh. Kemudian melangkah masuk ke dalam kamar. Terresa sontak melotot, “Haa? Lalu yang tadi itu, bagaimana kau melakukannya?” bagus, nada bicaranya terdengar menuntut sekarang. Gadis cerewet itu mengikutiku yang sedang duduk di pinggiran tempat tidur. Masih berusaha memahami semua hal aneh yang terjadi belakangan ini. Jujur saja, kepalaku terasa sangat pusing, dan kedatangan Terresa memperburuk semuanya. Terresa sekarang sudah duduk di sampingku ketika aku merebahkan badan, “Air mataku tak sengaja jatuh ke atas pot itu,” jawabku malas. Dia seketika menatapku curiga. Matanya yang sipit semakin sipit saat memandangku dengan tatapan mengintimidasi. “Kau menangis?” tanyanya seakan sedang memastikan sesuatu. Dengan ragu akupun mengangguk. Dan bisa kurasakan aura seseorang yang duduk di sampingku ini berubah drastis. Entah kenapa udara menjadi terasa sangat berat. “Menangisi Helly?” Terresa menebak, kulihat ada seringai sinis di wajahnya. Sejujurnya aku sama sekali tak ingin menjawabnya. Lagipula aku yakin Terresa sudah tahu tanpa perlu kujawab. Sebab saat inipun raut wajahnya berubah. Auranya begitu mendominasi, mengurungku dalam suasana yang tiba-tiba mencekam. Padahal ini kamarku, tapi aku justru merasa dibantai oleh auranya. “Sudah kubilang dia sudah mati, Holly! Kau harus melupakannya!” ujarnya penuh penekanan.  Aku tahu! Tapi bagaimana mungkin aku melupakan saudara kembarku sendiri? Orang gila macam apa yang tega melakukan hal seperti itu? “Ini bukan urusanmu, Terre! Apa yang aku rasakan itu urusanku! Jangan ikut campur!” bantahku tegas. Jika soal berdebat, aku tak mungkin kalah. Terresa seharusnya tahu itu. Dia selalu saja begini, bersikap seolah mengerti dan tahu semuanya, padahal kenyataannya berbanding terbalik. Itulah yang membedakannya dengan Kak Helly. Aku memang akan menjadi sangat sensitif jika hal itu berkaitan dengan kakakku. Mereka tidak mengerti betapa hancurnya diriku saat mengetahui Kak Helly menghilang. Hidupku berubah kelam, separuh jiwaku ikut hilang. Tapi, dengan mudah mereka menyuruhku melupakannya?! Ini gila! “Aku sepupumu, Holly! Aku masih kakakmu. Aku punya hak atas dirimu! DAN AKU TIDAK AKAN MEMBIARKANMU TERSIKSA KARENA TERUS MENGINGATNYA!” bentaknya dengan suara yang amat keras. Sampai-sampai kepalaku semakin pusing mendengarnya. Selama ini, aku tak pernah mengerti. Kenapa semua orang begitu mudah melupakan Kak Helly? Mereka terus saja menyuruhku melupakan Kakak. Tak terkecuali ayah dan ibuku sendiri. Maksudku, aku tidak mungkin bisa melupakan Kak Helly. Itu sama saja dengan aku membuang sebagian diriku. Beberapa saat setelahnya Terresa tampak terkejut, seolah tersadar dengan perbuatannya, “Kau tak tahu apa-apa, Holly. Menurutlah, dan lupakan dia!” suaranya merendah, tapi dia tetap menekanku. Kemudian tangannya berusaha merangkulku, namun segera kutepis. Mataku terasa panas dan buram. Pada akhirnya aku tak bisa menahan cairan bening itu keluar. “Kalian yang tidak mengerti, kalian tidak akan mengerti betapa kehilangannya aku. Kalian tidak akan pernah mengerti rasa sakit yang aku rasakan,” ucapku lirih, sambil menjauh dari Terresa yang sedari tadi berusaha meraihku. Bibir Terresa kini membentuk satu garis lurus, “Sebab itulah kau harus melupakannya, Holly. Ayah dan ibumu juga sudah menyuruhmu melupakannya. Jadi, lupakan dia! Anggaplah dia tidak pernah ada di hidupmu!” DEG! Apa katanya? Menganggap Kak Helly tak pernah ada dia bilang? Kegilaan macam apa lagi ini? “JANGAN SENTUH AKU! PERGILAH DARI KAMARKU, TERRESA! KAU TAK MENGERTI APAPUN TENTANG PERASAANKU!” teriakku menggema di seluruh ruangan. Mungkin hingga keluar karena aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk meluapkannya. Ini memang keterlaluan. Tapi aku sungguh sangat muak. Mata Terresa mulai berkaca-kaca, kulitnya yang putih memerah menahan emosi. Tangannya terkepal, hendak melayangkan pukulan ke arahku. Aku tidak akan pernah takut berhadapan dengannya. Sekalipun dia itu kakak sepupuku. “Kau tidak bisa terus memaksaku untuk melupakan Helly, sampai kapanpun dia itu saudaraku. Dan seumur hidup aku tak akan pernah melupakannya! Ingat itu, Terresa!” ucapku sambil sesenggukan. Aku siap ditampar olehnya. Lebih siap dari apapun. Gadis berambut merah sebahu itu menggeram kesal, “Kau akan menyesal, Holly. Kau. Akan. Menyesal,” ujarnya penuh penekanan. Dengan iringan isak tangis dia keluar dari kamarku. Sekarang aku hanya memandangi kepergiannya dengan tatapan nanar. Ada sedikit rasa menyesal karna telah membentaknya. Aku tahu aku tak seharusnya melampiaskan kekesalanku padanya. Hanya saja, kata-kata Terresa itu sungguh keterlaluan. Aku jadi tidak tahan. 'Maafkan aku!'. Dengan lesu aku terduduk di lantai kamar, menutupi wajah sembabku menggunakan kedua tangan. Semuanya kenapa jadi seperti ini? “Aaarrrggghh!AKU BENCI SEMUA INI!” aku pun hanya bisa menjerit sambil menjambak rambutku sendiri. Kupandangi kembali fotoku bersama Kak Helly. Kudekap erat foto berharga itu. Harapanku tak pernah berubah. Dari dulu, aku selalu berharap agar kakakku pulang ke rumah dan tersenyum lebar seperti biasa. ‘Kakak… di manapun kau, kuharap Kakak baik-baik saja. Dan kuharap, bukan hanya aku yang merindukanmu. Karena sampai saat ini pun aku masih mengharapkanmu kembali. Jadi semoga suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi’. “Holly...” Seseorang tiba-tiba membuka pintu dan berjalan mendekatiku. Aku masih bergeming, tanpa menoleh maupun menjawab. Sentuhan tangan lembutnya menghanyutkanku. Saat ini, aku telah sepenuhnya berada dalam pelukannya. Tangisku semakin pecah kala dia membawa kepalaku bersandar di bahunya. “Ssstt... jangan menangis.” Ibu mengecup puncak kepalaku penuh kasih sayang. Sentuhannya sangat menenangkan. Sedikit memberikan angin sejuk dalam ruangan yang suram ini. Aku pun terbuai, tanpa sadar aku menguap lebar. “Belum saatnya kau tahu. Nanti, suatu saat nanti kami akan menceritakan semuanya. Untuk sekarang, bersabarlah dulu,” sayup-sayup aku mendengar suara bisikan Ibu. Kemudian aku mulai mendengar senandung merdu yang menyejukkan kalbu. Pandanganku mulai samar, sesuatu yang kuat seolah menarikku dengan keras ke alam bawah sadar. “Lupakanlah Helly untuk sementara waktu. Itulah yang terbaik untukmu.” Itu adalah kalimat terakhir yang aku dengar sebelum benar-benar terlelap. Terlena oleh pelukan hangat ibuku. Kalimatnya menyakitkan, tapi entah mengapa aku pun bisa merasakan kalau Ibu terpaksa mengatakannya. Sebab saat mataku tertutup sepenuhnya, aku bisa merasakan ada sesuatu yang dingin menyentuh ujung kepalaku. Dan samar-samar kudengar seseorang terisak, sedih. 'Siapapun... tolong hentikan rasa sakit ini'.   =»«=   Srat... Srat... Zruuut... Sesuatu yang berbunyi nyaring membuat tidurku terusik. Namun aku masih memejamkan mata, enggan mencari tahu. Kututup kedua telingaku agar tidak lagi mendengar suara berisik tersebut. Tak peduli apapun yang terjadi, aku sudah lelah. 'Tolong jangan ganggu aku untuk saat ini!', batinku menggerutu, memohon. Tapi hasilnya sia-sia. Zruuut... Kraak... Suara itu terdengar lagi. Aku mulai merasa sangat amat terganggu. Siapapun yang membuat suara berisik seperti itu sungguh tak bisa dimaafkan. Seenaknya saja mengganggu tidur seseorang. Terserahlah. Tak akan kupedulikan suara-suara nyaring yang berasal dari luar rumah tersebut. Kutarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh. Mencoba kembali ke alam mimpi. Tuk! Tuk! “Ow!” Sesuatu yang keras memukul-mukul kepalaku dengan cukup kencang. Membuat emosiku naik sampai ke ubun-ubun. Oke, sepertinya ini sudah kelewatan. Tuk! Tuk! Baik. Cukup. Aku akan memaki siapapun itu yang telah menggangguku. Aku akan memaki dan memarahinya habis-habisan. “Aduh! Sudah, hentikan! Jangan mengangg-“ Ucapanku terhenti begitu saja saat kulihat orang yang memukuli kepalaku. Namun aku hanya terdiam menatapnya tak percaya. Dengan mata membesar dan mulut yang menganga lebar aku membatu di tempat. Tubuhku mendadak kaku. Ternyata yang memukuliku bukanlah manusia. Melainkan tongkat kayu pemberian Profesor Peter yang katanya adalah senjataku. Tuk! Tuk! Dia kembali memukuliku, aku meringis kesakitan karena pukulannya yang keras. Apa yang sebenarnya dia inginkan? “Berhenti! Aduduh... kau mau apa dariku?” tanyaku kesal sambil mencoba menangkis pukulannya. Tongkat itu menunjuk-nunjuk ke arah balkon. Membuat kedua alisku saling bertautan. Apa sebenarnya mau benda ini? 'Apa dia ingin menunjukkan sesuatu?'. Sekali lagi tongkat itu memukuliku. Lalu menunjuk ke arah balkon. Daripada kepalaku benjol akibat ulahnya, akupun akhirnya berjalan ke arah balkon dengan langkah kesal. Dan setelah melihat apa yang terjadi aku kembali terkejut dengan pemandangan yang saat ini kulihat. Halaman rumahku dipenuhi tanaman berduri yang merambat sampai ke dinding-dinding rumah. Ada juga yang merambat sampai ke balkon kamarku. 'Ya ampun! Apa ini perbuatanku?'. Aku membatu di tempat, tak mampu mengucapkan apapun lagi. Tongkat yang tadi memukuliku juga sudah kembali ke tempatnya. Jadi dia ingin aku melihat semua ini? 'Apa yang sebenarnya terjadi?'. Beribu pertanyaan bermunculan di otakku yang sedang kacau balau. Aku memijat pelipisku, merasakan kepalaku yang mulai berputar-putar. Semuanya terlalu tiba-tiba dan aku sama sekali tidak bisa mengerti. Tet... tet... Tanpa kuduga communication clock milikku berbunyi sekaligus bergetar. Tanda ada yang menghubungiku. Setelah menekan tombol untuk menerima panggilan, muncul wajah seorang gadis berambut coklat dari layar cahaya transparan yang berbentuk persegi itu. Gadis tersebut terkejut saat melihatku. Mungkin karena penampilanku yang saat ini sangat berantakan. Tapi sedetik kemudian dia segera menepis keterkejutannya, dan kembali dengan ekspresi tenangnya seperti biasa. “Ada apa, Lave?” ucapku akhirnya, memilih untuk lebih dulu menyapa. “Kau kenapa, Holly? Kau terlihat sangat berantakan,” jawabnya sembari menatapku khawatir. Bagaimana tidak? Penampilanku sekarang sudah seperti orang gila yang depresi karena selalu gagal kabur. Rambut berantakan bagai rambut singa, wajah kuyu dengan mata sembab dan merah. Baju dan pakaian bawahku kusut. Apa yang lebih berantakan dari ini? Orang lain yang melihatku mungkin akan benar-benar menganggap aku ini orang gila sungguhan. Namun meski begitu aku berusaha tersenyum, “Aku hanya sedang kacau, Lave. Entahlah, banyak sekali yang membebani pikiranku,” jelasku walau dia tidak memintanya. Di seberang sana Lavender menatapku prihatin, “Apa kedua orang tuamu tak mengizinkanmu pergi?” Jika masalahnya sesederhana itu aku tidak mungkin seberantakan ini. Rasanya aku ingin menyalahkan semua orang. Tapi aku tahu tak ada yang bisa aku salahkan. Hidup kenapa sesulit ini? “Tidak! Bukan itu. Ada masalah pribadi yang tak bisa kuberitahukan padamu,” aku hanya bisa menggeleng, lalu tersenyum masam. Aku dan Lavender belum sedekat itu untuk saling bertukar masalah pribadi. Jadi aku tidak bisa menceritakan apapun padanya. Ini bukan karena aku tidak percaya, tapi aku hanya belum siap untuk membuka diri pada orang yang baru kukenal kemarin. Lavender terlihat menghela napas kasar, tapi kemudian dia tersenyum, “Tak apa, Holly,” jawabnya mencoba mengerti. “Apa kau sudah bersiap untuk besok?” “Belum. Mungkin nanti malam,” jawabku jujur. Gadis berambut coklat itu mengangguk pelan, “Oh, begitu,” senyumnya. Aku tahu dia orang yang tidak banyak bicara. Jadi berbasa-basi bukanlah kebiasaannya. Aku yakin di sana dia pasti sedang berpikir bagaimana cara menghadapiku yang kacau ini. Makanya dia diam saja selama beberapa saat. Aku sendiri tidak bisa berpikir dengan benar. Mungkin itu juga yang membuat percakapan di antara kami menjadi begitu canggung. Entahlah, sejenak ada sesuatu yang mengganjal perasaanku. Seperti ada sesuatu yang harus aku tanyakan. Dan... “Lave, apa senjatamu bisa bergerak sendiri?” tanyaku akhirnya setelah tahu sesuatu yang membuatku bingung sejak tadi. Di seberang sana Lavender terlihat berpikir. Sedangkan di sini aku menunggu jawabannya dengan tak sabar. Namun tak berselang lama, jawaban Lavender membuatku kecewa. “Tidak! Apa milikmu bisa bergerak sendiri?” dia menatapku bingung sekaligus penasaran. Aku mengangguk pelan dengan wajah yang sama bingungnya, “Tadi tongkat itu memukuli kepalaku. Dan itu karena dia mencoba memberitahuku bahwa halaman depan rumahku sudah menjadi taman tumbuhan berduri,” akhirnya aku menceritakan hal ini. Lavender terdiam, mencoba memahami ceritaku. Itu bukan cerita yang rumit, jadi sepertinya dia mengerti. Hanya saja dia belum bisa mempercayainya. “Maksudmu Holand memukulimu dengan alasan ingin memberitahukan sesuatu padamu?” tebak Lavender dengan kedua alis yang terangkat. Holand? Siapa pula dia? Kini giliran aku yang terdiam mencerna ucapannya. Aku sontak mengerutkan dahiku, menatapnya dengan tatapan menyelidik. Sepertinya dia mengetahui sesuatu yang tidak aku ketahui. “Holand?” ucapku memastikan. Lavender, gadis itu menganggukan kepalanya. “Nama senjatamu Holand. Aku tahu setelah aku membaca buku diary milik Lord Hugeman,” jelasnya kemudian. Oh, begitu rupanya. Pantas saja. Dia hampir membuatku pingsan saking banyaknya pertanyaan yang tidak bisa kutemukan jawabannya. Tapi untunglah hal memalukan seperti itu tidak terjadi. “Jadi ternyata para s*****a itu memiliki nama?” Gadis berambut coklat di balik layar terlihat mengangguk mantap. Namun, kemudian dia menatapku dengan sorot mata penuh tanda tanya. Tampaknya ia telah meyadari satu hal. Yah, jika memang kenyataannya seperti itu aku tidak akan terkejut. Faktanya Lavender memang lebih pintar dariku yang sangat d***u ini. “Tadi kau bilang halaman depan rumahmu tiba-tiba dipenuhi tanaman berduri 'kan?” ia akhirnya bertanya. Aku langsung mengangguk meng-iyakan, “Iya. Itu kenapa ya?” Lavender tampak mengusap dagunya, “Apa kau melakukan sesuatu sebelumnya?” Untuk sejenak aku terdiam, mencoba mengingat sesuatu. “Tidak, aku hanya diam berbaring di tempat tidur,” jelasku membuatnya kembali mengusap dagu. “Aku yakin itu akibat kekuatanmu. Apa kau sedang marah atau sedih?” tanyanya dengan tatapan mencari-cari sesuatu dari raut wajahku. Tapi sayangnya dia bukan orang yang sepeka itu untuk menyadarinya. Satu fakta ini kuketahui dari Rega, laki-laki itu pernah bilang kalau Lavender adalah orang yang sangat tidak peka. Dan sebenarnya hal itu lumayan menguntungkan bagiku. Jika dibilang marah aku tidak akan menyangkalnya. Dibilang sedihpun aku tidak akan menyanggahnya. Faktanya tadi aku berteriak dan memaki-maki orang yang menyuruhku melupakan Kak Helly. Aku merasa kesal setengah mati tadi. Jika bukan dengan alasan mereka adalah keluargaku, mungkin aku sudah memukuli mereka semua. “Benar. Aku memang sedang kesal. Bahkan sangat kesal,” jawabku setelah cukup lama terdiam. Lavender kembali mengangguk. Entah untuk yang keberapa kalinya gadis itu menggerakan kepalanya ke atas dan ke bawah. Akupun enggan menghitungnya. “Mungkin itulah sebabnya. Karena kau sedang emosi, tanpa kau sadari kekuatanmu keluar dan menumbuhkan tanaman berduri itu,” ucapnya mengutarakan pendapat. Aku pribadi sangat setuju dengan pendapatnya. Mungkin, karena aku memang sedang emosi kekuatanku keluar tanpa kusadari. Tadi saja air mataku bisa menumbuhkan kembali tanaman yang sudah layu. Jadi menumbuhkan tanaman berduri karena terlalu emosi cukup masuk akal. 'Gadis yang cerdas', kelebihannya yang satu ini tidak bisa kutandingi. “Sepertinya begitu” kataku menyetujui pendapatnya. Kemudian kami berdua sama-sama mengangguk. Lavender pun tersenyum dan berpamitan, membuat sambungan komunikasi kami berakhir. Setelahnya aku melangkah kembali ke dalam, berjalan gontai menuju kamar mandi untuk berendam. Mungkin itu bisa sedikit menyegarkan pikiranku yang tak kunjung jernih. 'Ini benar-benar hari yang melelahkan'.   =»«=      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD