"Ngel makan dulu yuk. Biarin nenek kamu istirahat dulu," ajak Arissa lalu menuntun anak itu menuju wastafel untuk mencuci tangannya.
Sejujurnya Arissa merasa kasihan dengan anak ditangannya ini karena meskipun masih kecil, rasanya banyak sekali masalah yang menimpanya.
Jadi tadi, ketika mereka tiba di rumah Angelo, mereka segera menghubungi ambulance untuk membawa nenek anak laki-laki itu ke rumahsakit. Mario yang mengambil keputusan begitu karena menurut pria itu, sakit nenek Angelo bukanlah penyakit ringan biasa yang bisa sembuh dengan hanya meminum obat. Lagipula tempat tinggal Angelo dan neneknya tidak layak sama sekali untuk tinggal, apalagi untuk merawat orang sakit.
Saat mereka siap-siap pergi, seseorang yang mengaku tetangga Angelo datang untuk menanyakan apa yang dia dan Mario lakukan disana. Dan dari pembicaraan singkat yang dlakukannya dengan orang yang mengaku tetangga Angelo itulah akhirnya Arissa tau sedikit tentang kehidupan Angelo dan neneknya.
"Ngel, tante boleh tanya nggak?" Sambil menikmati makanan mereka, Arissa mulai berbicara dengan Angelo. Menurutnya suasana tenang dan sedikit santai inilah waktu yang cocok untuknya mencari tau kebenaran apa yang didengarnya dari orang tadi.
Mengangkat kepalanya dari makanan padangan yang ada dipangkuannya, Angelo menatap Arissa dan mengangguk ragu. Sebenarnya Arissa tidak mau melakukan ini karena dia tau kalau pertanyaannya mungkin terlalu sulit untuk anak berumur 6 tahun. Tapi dia harus melakukannya untuk mendapat sedikit clue tentang masalah apa yang sebenarnya sedang dikerjakannya. Sepertinya masalah yang dibawa Angelo jauh lebih rumit dari bayangannya saat menerima permintaan tolong anak itu.
Soal Mario, terserahlah. Arissa tidak ambil pusing dengan keberadaan pria itu. Toh tanpa Arissa tanyapun dia yakin pikiran Mario sejalan dengannya, yaitu mencari tau tentang Angelo dan keluarganya.
"Angelo sama nenek udah lama ya tinggal di rumah Angelo yang sekarang?"
Angelo mengangguk. "Iya, sudah sejak aku lahir." Katanya dengan pelan.
"Tinggalnya hanya sama nenek aja?"
"Nggak. Dulu aku tinggalnya sama mama juga, sebelum mama pergi buat cari kerja katanya."
Arissa menganguk dan menghela napasnya pelan. Kemudian diletakkan makanannya yang hanya berkurang sedikit ke meja tamu ruangan itu.
"Angelo ingat itu sudah berapa lama?"
Tidak segera menjawab, Angelo nampak berpikir sesaat. Lalu anak itu menggeleng terlihat tidak yakin dengan apa yang dipikirkannya.
"Seminggu?"
Angelo menggeleng.
"Sebulan?"
Kepala Angelo kembali menggeleng.
"Setahun?"
"Tidak, mama belum pergi selama itu." Jawab Angelo kali ini terlihat yakin.
Masih melanjutkan pencarian awalnya, Arissa lanjut bertanya, "Angelo ada kenal atau tau teman mama nggak? Atau yang dekat dengan mama kamu?"
Untuk yang kesekian kalinya kepala Angelo menggeleng, "Mama nggak punya teman, mereka tidak suka mama karena katanya mama adaalah w************n.
Bibir Arissa menipis. Dia begitu kesal dengan orang-orang yang dimaksud Angelo, meski dia tidak bertemu dan tidak mendengarnya langsung. Buatnya orang-orang itu begitu tega dan tidak punya otak karena bisa begitu teganya pada anak seumuran Angelo. Hingga anak sekecil Angelo harus tau tentang penyebutan jahat yang anak-anak tidak perlu tau.
"Angel sama nenek pernah ke kantor polisi buat nyari mama?"
Wajah Angelo terlihat kebingungan. Arisa meringis karena merasa sudah salah memberi pertanyaan. Pertanyaannya jelas sulit untuk dijawab anak seumuran Angelo. Menggaruk leher bagian belakangnya, Arissa salah tingkah apalagi ketika matanya tidak sengaja berpapasan dengan tatapan Mario. Tapi secepat dia menyadari hal itu, secepat itupula Arissa memalingkan wajahnya.
Namun belum dia berpaling sepenuhnya, dia tiba-tiba teringat sesuatu. 'Oh iya ya, Mario-kan polisi. Berarti bisa dong dia nyari mama Angelo.' Tanpa sadar, Arissa yang sibuk dengan pikirannya menatap dalam pada Mario. 'Tapi diakan di divisi kriminal dan kejahatan, bukan di divisi pencarian orang hilang. Apa mungkin dia mau membantu aku?'
"Aku akan bantu kamu mencari info tentang mama Angelo." Seolah bisa membaca pikiran Arissa, Mario tiba-tiba menjawab pertanyaan yang ada dipikiran Arissa.
"Ya?" Arissa tidak yakin dengan telinganya hingga perlu memastikannya.
"Aku akan membantu kamu."
Arissa terdiam. Kepalanya terasa kosong karena dia benar-benar tidak menyangka dengan bantuan yang ditawarkan oleh Mario. Mengingat bagaimana pria itu dan sikapnya setiap kali mereka bertemu, harusnya Mario enggan membantunya.
Tapi ini...
"Ini juga tugasku sebagai polisi, jadi aku akan membantu kamu dan Angelo. Lagipula aku sudah bilangkan kalau aku memang berniat membantunya sejak awal."
"..."
Arissa diam tidak menjawab, hanya termangu. Sesuatu dalam dadanya terasa tersentil karena merasa malu dengan dirinya. Yap Arissa malu karena baru menyadarinya sekarang kalau dia ternyata sangatlah kekanakan dan pendendam. Seharusnya dia tidak boleh begitu karena Mario punya hak menolaknya. Perasaan bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan, jadi Arissa tidak berhak marah. Soal justifikasi yang dilontarkan Mario saat itu, Arissa sering mendengar justifikasi sepihak dari orang lain dan dia bisa mengabaikannya. Seharusnya dia pun bisa melakukannya untuk Mario-kan?
Menghembuskan napasnya berat, Arissa menatap Mario sesaat sebelum menundukkan kepalanya sedikit.
"Maaf." Katanya pelan namun dia pastikan cukup jelas untuk didengar Mario. "Maaf sudah kekanakan dan tidak sopan ke kak Mario." Katanya lagi kali ini dengan langsung menatap mata pria itu.
***
"Arissa bodoh bodoh bodooohhh..." maki Arissa pada dirinya sendiri sambil memukul-mukul pelan jidatnya pada setir mobilnya. "Seharusnya lo nggak biarin diri lo terbawa suasana, jadi nggak ngelakuin hal bodoh dan memalukan seperti kemarin sore." Lanjutnya lagi bermonolog dengan wajah lemah dan gusar.
Bukan saat ini saja Arissa memaki sikapnya yang menurutnya bodoh itu, tapi sejak dia pulang dari rumahsakit dan memutar ulang permintaan maafnya pada Mario. Bukan karena dia merasa salah atau menyesal sudah meminta maaf. Menurutnya itu adalah keputusan yang tepat karena seperti yang dipikirkannya kemarin, Mario punya hak untuk menolak dan menerima permintaan maafnya. Arissa tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk kedua hal tersebut. Jadi intinya yang membuat Arissa begini bukanlah apa yang dilakukannya, tapi pemilihan momen dan sikapnya ketika meminta maaf.
Menurut Arissa, seharusnya dia bisa melakukannya setelah berpikir matang dan lebih elegan lagi dari yang kemarin. Apalagi setelah melihat respon Mario atas permintaan maafnya, maka jadilah Arissa yang menyesal seperti ini.
"Kira-kira kemarin kak Mario mikir apa yah soal permintaan maaf itu. Dia nggak mikir kalau gue ini cewek yang anehkan?"
Arissa kembali bertanya pada dirinya sendiri, pertanyaan paling penting yang mengganggunya dari kemarin sampai sekarang. Pertanyaan yang pastinya tidak akan mendapat jawaban karena dia tidak menanyakannya langsung kepada Mario. Arissa tidak punya keberanian besar dan ego yang tinggi untuk melakukan itu. Selain itu kalau Mario memikir Arissa aneh, pria itu tidak salah juga. Arissa memang aneh karena selain hobby bicara sendiri, baper dengan tingkahnya sendiri, dia juga sering melakukan sesuatu yang spontan dan tanpa berpikir dahulu.
"Aissshhh...” dengus Arissa kesal.
Kepalanya kemudian menggeleng gusar, dilihatnya bangunan kantor polisi tempat dimana Mario bekerja. Kemarin mereka membuat janji untuk bertemu disana untuk mencari tau keberadaan mama Angelo. Tempat tinggal Angelo masih masuk dalam wilayah hukum kantor polisi Mario, jadi mereka memang harus ke tempat ini kalau ingin mendapatkan informasi yang lebih valid.
"Tau akh, bodo amat. Sekarang bukan itu yang penting, tapi mama Angelo. Gue harus ketemu kak Mario sekarang." Katanya lalu membuka pintu mobilnya dan keluar darisana.
Dengan langkah yang cepat dia segera berjalan memasuki wilayah kantor polisi itu, dia tidak mau pikirannya berubah lagi. Bisa-bisa kalau Arissa berpikir terlebih dahulu, dia akan mendekam lagi dimobilnya dan menyesali hal yang tidak penting seperti tadi.
"Loh Arissa, kamu ada apa kesini?" Suara yang begitu familiar tertangkap indera pendengaran Arissa.
"Komandan Leon."
Senyum Arissa mengembang. Raut wajahnya yang tadi masih awut-awutan tiba-tiba berseri cerah. "Lama tidak bertemu. Komandan apa kabar?" Katanya setelah mendekat pada orang yang baru menyapanya barusan.
"Baik," jawab Leon dengan senyum kecil yang Arissa tau memang sangat khas dari pria itu. "Kamu apa kabar? Ada masalah apa sampai datang kesini?"
Senyum Arissa kembali merekah lebar. Katanya, "Aku baik komandan. Nggg aku kesini buat..."
"Bertemu Mario?" Tebak Mario sebelum Arissa menyelesaikan ucapannya.
"Eoh? Kok komandan tau?"
Leon kembali terenyum dan menjawab, "Tadi saya ajak dia ke rumah saya karena Marinka ingin bertemu, tapi dia menolak karena katanya dia sedang menunggu seseorang. Dia tidak bilang kalau orang itu kamu, tapi karena saya lihat kamu saya jadi tau siapa yang ditunggunya."
Arissa menyengir malu entah untuk apa, hanya saja dia merasa seperti ketahuan.
"Kamu taukan kemana harus perginya?"
Kepala Arissa mengangguk, "Tau kok komandan. Kan pernah magang disini." Canda Arissa yang hanya dibalas kekehan sebentar oleh Leon.
"Oke, kalau begitu saya pergi dulu ya." Pamit Leon kemudian meninggalkan Arissa yang berdiri ditempatnya sampai Leon benar-benar menghilang dari pandangan matanya.
Sedikit banyak mood Arissa berubah setelah bertemu Leon, salah satu orang yang sangat Arissa hormati. Meski dulu mereka tidak banyak berinteraksi dan dia tidak lama dibimbing oleh pria tersebut, Arissa mempelajari banyak hal dari Leon.
"Kamu sudah datang?"
Saat Arissa tengah mengintip ke ruangan divisi kejahatan dan kriminal, Mario muncul dari belakang tubuhnya. Lalu tanpa diminta, Arissa mengikuti Mario yang berjalan masuk ke dalam ruangan yang ternyata tidak banyak berubah meski sudah beberapa tahun ditinggalkannya.
"Silahkan duduk, aku ambil berkasnya dulu." Kata Mario mempersilahkan sebelum pergi ke luar lagi meninggalkan Arissa yang sudah duduk di kursi yang ada di depan meja Mario.
Menunggu Mario kembali, Arissa mengeluarkan agendanya. Tempat dia mencatat hal-hal penting mengenai pekerjaannya. Disana dia menyimpan beberapa informasi yang didapatnya mengenai mama Angelo setelah tadi pagi Amara, nenek Angelo bangun. Tidak banyak yang dia dapat, tapi menurut Arissa sangat membantu.
"Tadi aku sudah bertanya ke divisi pencarian orang hilang, mereka bilang tidak pernah menerima permintaan pencarian dari nenek Angelo." Mario yang baru kembali dengan segelas minuman dan sebuah berkas ditangannya, langsung bicara to the point ke masalah mereka.
Semenjak permintaan maafnya kemarin, rasanya tension diantara Arissa dan Mario berkurang. Jadi tanpa mereka sadari pengalamatan yang mereka gunakanpun berubah, tidak seformal saat mereka bertemu beberapa hari yang lalu.
Mario mendorongkan KTP nenek Angelo yang dibawanya setelah meminta ijin dari Angelo terlebih dahulu.
"Walau begitu, aku mendapat beberapa informasi tentang beberapa orang yang mungkin tau tentang Magdalena." Jelas Mario lagi sambil menyebut nama mama Angelo, putri dari Amara.
Kepala Arissa mengangguk mengerti. Kemudian diambilnya foto yang tadi pagi Amara berikan kepadanya, saat dia berkunjung kesana sekalian memberi makan pada Angelo. Foto itu adalah foto Magdalena dengan seorang pria berumur sekitar 50-an yang Amara sendiri tidak tau siapa namanya.
"Tadi pagi kata nenek Angelo, sehari sebelum Magdalena pergi pria ini datang menemui Magdalena." Ucap Arissa sambil menunjuk pria yang ada di foto. "Dia tidak tau siapa namanya, tapi nenek Angelo yakin kalau orang ini tau kemana Magdalena pergi." Jelas Arissa lalu melihat Mario yang tampak tenang mengamati foto yang dibawa Arissa.
"Bukankah orang ini tidak familiar untukmu?"
"Ya?"