BAGIAN 10 | KETUKAN DI PINTU

2176 Words
Aku tidak ikut dengan Leano, mereka hanya pergi berdua dan aku memilih untuk tetap tinggal di sini. Rumah bernuansa sedikit kuno ini terasa nyaman disandingkan dengan ukiran kayu. Aku tidak pernah mengeksplor rumah Leano, hanya saja aku sesekali pernah datang kemari. Perhatianku tertuju pada beberapa pelayan yang sudah menyelesaikan kamar yang akan aku dan Yuwen gunakan nantinya. Terdapat dua bad yang terpisah, sepertinya aku akan tidur di bawah saja. “Kamar Anda sudah siap tuan, kami undur diri dulu. Jika Anda membutuhkan sesuatu, tekan saja bel yang ada di seberang sini. Kami akan melayani Anda!” Aku mengangguk, lalu menutup pintu kamar setelah mereka pergi. Ruangan ini cukup luas, ting—sebuah notif masuk dari ponselku. Membuatku lekas duduk di atas kursi dan membuka laptopku. Sepertinya tidak akan ada waktu untuk terus bersantai seperti ini. Tok…tok, aku menoleh saat pintu kamar diketuk sebanyak 4 kali. Tidak biasanya, batinku. Aku masih diam di tempat dudukku sembari menatap layar monitor di depanku yang masih belum menunjukkan informasi yang aku inginkan. Tok…tok…ketukan itu kembali terdengar sebanyak 4 kali, aku tahu aturan di dalam rumah Leano. Ketukan hanya bisa dilakukan dengan tiga kali, dan itu jelas bukan Yuwen karena beberapa menit lalu dia masih mengirimkan pesan bahwa sudah sampai di restoran milik Leano. Aku juga tidak yakin jika itu adalah ketukan dari pelayan tadi, aku tidak memanggil mereka. Tok..tok…kali ini ketukan itu hanya terdengar sebanyak 2 kali, aku semakin was-was. Bel ada di sebelah pintu, dan tidak baik jika aku harus pergi ke sana. Dengan perlahan, aku mengambil pisau yang tersedia di dalam laci, dan berjalan menuju ke arah pintu yang setelah beberapa menit aku diamkan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda ketukan itu lagi. Aku sudah berada di pertengahan pintu, semakin dekat, debaran jantungku semakin terasa. Aku tidak pernah merasakan tremor seperti ini, tanganku mencapai knop pintu. “Lucy, apa yang kamu lakukan!” Bertepatan saat aku membuka pintuku, suara itu terdengar dari arah lorong. Pelayan berlari dengan tergesa-gesa, seorang anak kecil, berumur sekitar  4 tahunan menatapku dengan wajahnya yang dipenuhi dengan coklat dan mata bulat bernetra hitam yang menatapku dengan berkedip-kedip. Aku legah, ternyata itu adalah seorang anak kecil. “Maafkan putri saya Tuan, dia baru pulang dari sekolah hari ini, jadi saya membawanya kemari sebelum mengantarnya pulang. Sekali lagi, maafkan putri saya Tuan!” “Tidak masalah, tapi ajarkan putri Anda untuk mengetuk dengan peraturan di rumah ini. Aku hampir saja melakukan sesuatu padanya, aku pikir dia seseorang yang tidak berada di rumah ini!” “Iya Tuan, mamafkan saya sekali lagi!” “Baik!” Sosok pelayan itu membungkukkan badannya dan lekas menarik tangan anak kecil itu menjauh, sesekali tatapan mata bulat itu tertuju padaku. Gigi kelincinya tersenyum sambil melambaikan tangan padaku. Aku masih berdiri di ambang pintu, lalu menghela nafas. Sepertinya aku butuh jalan sore di sekitar sini. Aku lekas mengambil mantel tebal dan juga ponsel dan beberapa alat yang aku butuhkan. “Soren Tuan, Anda hendak pergi keluar?” Aku mengangguk, pintu gerbang lekas terbuka. Aku berjalan kaki, tidak membawa kendaraan. Jalanan sepi, namun aku masih bisa melihat ada beberapa orang yang sedang lari sore. Udara sore membuatku mengeratkan mantelku, rasanya dingin sekali. Sesekali aku menatap ke arah pepohonan yang masih cukup rindang, menyebrangi jalanan dan tidak lama. Aku tiba di danau yang juga dihuni oleh beberapa orang. Aku mencari tempat yang sepi, dan berdiri tepat di depan danau. Rasanya sejuk dan pikiranku sedikit tenang. Melihat danau ini, aku jadi teringat dengan Teresa. “Apa kau yakin dia terbunuh setelah kau tiba di sini?” “Aku sangat yakin, jika tidak percaya. Kau bisa bertanya pada orang yang ada di sini. Aku hanya tidak sengaja ingin menyapanya. Tapi dia tiba-tiba terjatuh dari duduknya, membuatku kalut dan berteriak!” Suara itu samar-samar terdengar dari sebelah kiriku, semakin lama, suara-suara itu kembali terdengar jelas. Aku menutupi wajahku dengan masker, berkeliaran saat ini memang sangat tidak dianjurkan bagiku. Tapi karena penasaran, aku mendekati kerumunan itu dan menatap apa yang terjadi dari setumpuk orang yang berjejer di sebelahku juga. Tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh, sengaja untuk menghindari kecurigaan. “Dia sudah tidak bernyawa, lalu apa yang akan kita lakukan? Kau yang tadi satu-satunya saksi, sepertinya kita harus menunggu polisi untuk datang dan melakukan interogasi!” “Tidak, aku tidak mau, lagipula aku tidak mengenalnya dan tidak tahu kenapa dia seperti itu!” Aku menatap seorang remaja yang sepertinya masih berusia 17 tahunan menolak perintah dari sosok paruh baya yang terlihat paling dominan di tengah-tengah perdebatan itu. Dari tempatku berdiri, aku cukup sadar jika ada seseorang yang terletak di tanah, persis di sebelah kursi lipat yang ada di selahnya. “Tidak, kamu harus tetap berada di sini. Kau yang membunuh gadis ini, kau tidak bisa menolak. Kau harus diperiksa. Aku sudah memanggil polisi, kau tidak lari, banyak yang melihatmu!” “Tapi aku tidak melakukannya, sama-sekali tidak melakukannya. Anda jangan memfitnah saya, saya bukan pelakunya saya harus pergi….”burgh—lelaki paruh baya tadi memukul remaja itu dengan kuat. Hal itu memicu bisik-bisik di sekitar mereka. Antara sepertinya tidak tega melihat remaja itu, namun tidak berani melerai karena takut terlibat dengan masalah. Sekitar danau semakin ramai karena teriakan-teriakan itu, aku tetap berdiri dan menyaksikan apa yang ingin lelaki itu katakan. Lelaki paruh baya itu terlihat sangat marah ketika lelaki itu mengatakan jika dia bukan pelakunya. Aku menaikkan bahu, itu bukan urusanku, dan lagipula gadis itu sudah mati. Tidak ada yang perlu dilakukan lagi, hanya tanggung jawab saja. “Bohong, kau penipu, aku pernah melihatnya berbicara denganmu. Aku tidak kenal dengannya, namun aku pernah melihatnya di sekolahku dan juga di dalam tokomu. Apa mungkin kau yang membunuhnya? Jangan melakukan fitnah padaku, aku sama-sekali tidak melakukan apa-apa padanya.” “Tapi botol ini sudah cukup menjadi bukti jika kau yang meracuni gadis ini, anak muda. Apa kalian tidak melihat ini? Botoh ini dari kantongnya sendiri, dia yang membunuh gadis ini, dia harus dihukum!” teriak lelaki paruh baya tadi. Langkahku yang hampir saja menjauh lekas berhenti, aku menatap remaja tadi yang terus menggeleng dan menolak. Aku tersenyum dalam hati, lelaki paruh baya itu sama-sekali tidak sadar jika dia mengatakan hal itu, sama-saja dengan mengungkap siapa pembunuh sebenarnya. Aku berjalan mendekat setelah beberapa polisi datang. Sebelumnya, aku juga menunjukkan identitasku pada mereka. “Tangkap lelaki paruh baya itu, dia yang melakukan pembunuhan ini dan merencanakannya!” seruku, menatap lelaki paruh baya itu dengan alis terangkat. Wajahnya bahkan terlihat semakin pucat, tangannya gemetaran dan matanya memutar-mutar. “Apa yang kamu ketahui HAH? Aku jelas baru saja datang dan tidak sengaja melihat pemuda ini ingin pergi dari sini setelah berteriak!” “Kau sudah membunuh gadis itu lebih dulu dan meletakkannya di sini ketika masih sepi dan tidak ada orang. Kau hanya menjebak lelaki ini, karena sepertinya kau pernah melihatnya beberapa kali. Dan satu lagi, bisa aku lihat kantong jaketmu?” aku menatap remaja tadi. Dia mengangguk dan lekas menyerahkan kantong jaketnya padaku. Tanganku memasuki kantong itu, dan terkekeh, “Kantongnya bolong dan kau mengatakan jika botol itu dari kantongnya? Apa kau sadar sedang menggali lobang di depanmu sendiri, orang tua?” “T—tidak, aku tidak….” Dor—tembakan itu terdengar, beberapa yang terkejut berteriak karenanya. Aku menatap sosok paruh baya itu yang terjatuh dengan satu kaki yang berdarah. Polisi memborgol tangannya dan mengamankannya. Ambulance juga membawa jasad itu pergi. Kerumunan itu juga perlahan mulai menghilang. Aku menarik nafas lalu pergi. “Tunggu sir!” Aku berbalik dan menatap sosok remaja itu, “Terima kasih atas bantuan Anda. Aku tidak tahu cara melawan mereka jika Anda tidak datang. Aku memang tidak membunuh gadis itu, hanya saja aku pernah melihatnya menangis sendirian di tepi danau ini. Jadi, aku pikir dia juga melakukan hal yang sama sekarang. Aku hanya ingin menyapanya untuk kali ini, tapi aku terkejut melihat tubuhnya yang tiba-tiba terjatuh. Dan ketika aku melepas topi dan juga kacamanta, aku terkejut melihat wajahnya sudah mulai membiru dan ada beberapa bekas luka di lengannya!” “Aku akan pergi!” “Tunggu tuan, bisa aku tahu siapa nama Anda? Aku sangat berhutang budi pada Anda!” “Tidak ada, tidak usah merasa berhutang budi padaku.” *** Sehabis dari sana, aku lekas menuju ke arah rumah Leano. Memasuki rumah, ternyata Yuwen sudah berada di dalam kamar. Dia menatapku dengan tatapan bertanya. “Darimana saja kau? Kami hanya pergi beberapa menit tapi kau sudah berkeliaran dengan keadaan kita yang seperti ini. Apa kau sudah melihat berita malam ini?” “Apa?” “Mereka baru mengetahui ledakan yang terjadi di dalam gedung itu, dan katanya tidak ada korban jiwa yang ditemukan. Jadi, kemungkinan besarnya, si Parker itu hancur di sana atau dia selamat. Aku menakutkan jika dia selamat dan akan mengintaimu seperti sebelumnya!” Helaan nafas terdengar, aku bersandar di kursiku dan menatap berita itu. Berita yang baru saja muncul dan sekarang sudah ramai. Aku bahkan yakin jika tempat itu juga sudah ramai. Perhatianku tertuju pada Yuwen yang masih bekerja di atas ranjangnya. “Apa menurutmu, saran Leano bagus? Aku harus menyelidiki tempat yang dia katakan untuk mencari jawaban mengenai apa yang terjadi. Jika begini terus, maka aku yakin dia tidak akan berhenti untuk menyeráng dan memberiku terror!” “Aku pikir itu ide yang buruk, Lio. Jika kau pergi, maka sama saja dengan menyerahkan dirimu sendiri pada keadaan yang tidak kau ketahui. Sebaiknya kita menyelesaikan kasus pembunuhan itu lebih dulu, aku takut jika terlalu lama dengan korban itu, maka kita tidak akan bisa berlibur lagi.” “Baiklah!”ucapku, lalu mengambil jaket dan juga kunci mobil. Yuwen juga lekas mengambil mantelnya dan juga jaketnya. Kami akan kembali melakukan penyelidikan malam ini. Keadaan Yuwen juga sudah lebih baik dan dia memilih untuk ikut denganku. *** Kami memasuki sebuah kompleks yang tidak pernah kami lewati sebelumnya. Kali ini, aku yang lagi-lagi mengambil alih kemudi. Aku menatap Yuwen yang sedang melacak dimana keberadaan kami saat ini. “Apa kita harus turun? Jalan ini buntu dan tidak ada tempat untuk memutar!” Kami keluar, aku menatap tembok-tembok yang menghalangi apa yang ada di luar sana. Sepertinya, jalanan ini memanglah buntu. Aku menatap sebuah lorong saat melewati jalanan kecil, tanganku bergerak dan menyentuhnya. Tok…tok…aku terkejut ketika mendengar bunyi ketukan sebanyak dua kali. Itu jelas bukan Yuwen, karena dia berdiri di belakangku. Aku berjalan menjauh, tok…tok, bunyi itu lagi. Kali ini sebanyak 4 kali dan ini seperti pola yang dibalik ketika berada di rumah Leano. Tidak mungkin jika pelakunya lagi adalaha anak kecil itu. “Apa kau mendengar ketukan 2 kali pertama dan 4 kali terakhir itu?” bisik Yuwen pelan, dia berjalan ke arahku. Aku mengangguk dan menunjuk ke arah depan, bunyi ketukan itu berhenti. “Aku juga mendengarnya ketika berada di rumah Leano!” “K—kau mendengarnya?” “Ya, tapi pelakunya adalah anak kecil. Tapi aku tidak yakin jika pelakunya adalah anak kecil itu lagi!” Yuwen menggeleng, dia menatap ke arah depan dengan nafasnya yang tidak stabil. Aku berbalik dengan perlahan, menatap ke depan. Shut—aku memiringkan kepalaku, membuat pisau yang terlempar itu tidak mengenaiku. Aku menatap anak kecil yang juga aku temui di rumah Leano, juga berada di depan kami saat ini. Rambutnya menutupi matanya, darah mengalir di tangannya, senyuman di wajahnya sama persis ketika berada di rumah. Tangannya berlumur darah dan pisau yang tadi dia gunakan untuk menyeràngku juga sudah berlumur darah. Aku meneguk ludah kasar, aku tidak pernah menghadapi anak kecil atau sesuatu yang terlihat dengan mereka. “Kau mengenalku?” Yuwen menarik tanganku, mata anak kecil itu tertuju padanya. Aku menatap Yuwen yang sangat panik, sepertinya, kali ini kami tidak menghadapi manusia. Aku tidak melihat bayangan dari anak kecil itu. Srakk—“Arghh!” erangku saat merasakan luka tusukan di kakiku. Anak kecil itu menatapku dengan seringai di wajahnya. Dia tertawa, membuat wajahnya melebar dan pipinya hampir saja terobek. Aku menatapnya dengan ngeri, ini jelas bukan situasi yang tepat. Aku menyuruh Yuwen untuk masuk ke dalam mobil. “Sialan!” seruku dan mencabut pisau itu, darah keluar dari kakiku. Aku pernah membaca bahwa ada jiwa yang terperangkap di dalam tubuhnya setelah mati. Karena tidak ingin mati, maka dia masih bisa terlihat dan akan melukai orang yang tepat. Sesuai dengan yang bisa memberikan mereka kekuatan. “Arggggg!” teriakku kesakitan saat merasakan gigitan di pergelangan tanganku. Mata melotot bernetra hitam itu menatapku dengan seringai. “Sialan, seharusnya aku tidak mengikutimu!’ teriakku, tanganku yang lepas menarik rambutnya dan bruk—aku membantingnya ke jalanan. Jleb—aku menusukkán pisau itu ke dalam mata hitamnya. Gadis kecil itu berteriak kesakitan. “Lio, menyingkir!” teriak Yuwen Aku lekas menyingkir dan crakk—mobil itu menggilas badan anak kecil itu. Aku terkejut melihat Yuwen yang baru saja melakukannya. Sebuah mata bergelinding di hadapanku, aku menaikkan kakiku dan crat—bola mata itu hancur saat kakiku memijaknya dengan keras. Aku menatap Yuwen yang baru saja menatapku. Kami saling menatap, dengan keringat yang membanjiri kening kami. Aku lekas naik ke dalam mobil dan memundurkan mobil dari gang itu. Ini tidak benar, sepertinya permasalahan kami tidak hanya akan sebatas kasus ini saja, tapi sepertinya kami juga akan berhubungan dengan makhluk astral ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD