Begitu Alven mengetuk pintu, suara pelan dari dalam terdengar, “Masuk aja… pintunya nggak dikunci.” Ia mendorong daun pintu itu perlahan. Aroma ruangan bercampur antara parfum wanita dan bau alkohol antiseptik. Lampu utama tak dinyalakan, hanya lampu sudut yang menerangi sebagian ruang tamu. Pandangan Alven langsung tertuju pada sosok Minthea di sofa. Ia duduk dengan lutut ditekuk, berselimut tipis, rambutnya berantakan, wajahnya pucat. Di meja ada beberapa pecahan gelas dan botol air yang tergeletak. “Kenapa kamu nggak ke rumah sakit aja?” suara Alven tenang tapi bernada tegas. Minthea menoleh perlahan. Matanya sembab, tapi sorotnya penuh perhitungan. “Aku takut keluar, Ven. Mereka mungkin masih di sekitar sini.” Alven melangkah masuk, menatap kondisi apartemen. “Mana barang-barang y

