Luka Mendalam

1900 Words
Makan malam bersama hari ini terasa sangat aneh, karena Mita harus bisa ikut berdrama dengan suaminya yang tukang drama itu. Mita melayani suaminya seperti raja, dan Ali memang ingin diperlakukan seperti raja. Ia mengambil kesempatan di depan keluarga seakan-akan dia adalah suami yang baik padahal sebaliknya. Mita terus-menerus menahan diri agar tidak lepas kendali, padahal di dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia ingin sekali melemparkan piring ke wajah Ali itu. Namun, Mita menjaga etika sekali agar tidak terlihat ia yang salah. Selesai makan malam, mereka semua kumpul di ruang keluarga untuk mengobrol dan saling bercengkrama satu sama lainnya. Banyak sekali yang diobrolkan antara Ali dan Mas Rizky saat itu. "Bun, mohon maaf, sepertinya Ali akan membawa Mita untuk ngontrak," ucapnya tiba-tiba membuat Mita terkejut, sebab tidak ada obrolan mereka mengenai kontrakan, mengapa tiba-tiba Ali berucap begitu. "Loh kenapa?" "Agar lebih bisa mandiri, Bun." "Tapi 'kan kamu lebih sering di Bogor daripada di Pekalongan. Nanti, Mita bagaimana?" "Mungkin nantinya Ali akan sering pulang, Kak. Kami mencoba untuk mandiri agar tidak selalu merepotkan keluarga Bunda." "Kami ini keluarga kalian juga, kenapa harus ada kata merepotkan?" tanya Mas Rizky tegas. Ia memandang Ali dengan tatapan tajam seakan tak suka dengan keputusan Ali. "Begini saja, daripada mengontrak, pakai saja paviliun sebelah kalau memang ingin belajar mandiri." "Bun, jangan. Itu paviliun Kak Anjani dan Mas Rizky." "Enggak pa-pa, Nak. Kak Anjani enggak akan keluar dari rumah ini, karena Mas Rizky tidak memperbolehkan meninggalkan Bunda. Dan dari pada Mita meninggalkan Bunda, lebih baik di sebelah, jadi masih dekat, bagaimana?" "Apa Kak Anjani dan Mas Rizky tak masalah?" "Enggak apa-apa, Dik. Benar kata Bunda, Kakak dan Mas Rizky enggak akan meninggalkan Bunda. Benar begitu, Pih?" "Iya, Dik. Pakailah rumah sebelah, agar Bunda dan Kak Anjani masih bisa bertemu denganmu," ucap Mas Rizky. "Nah, sudah tak ada masalah. Jadi, kalian pindahlah ke sebelah ya, 'kan hemat juga tidak harus bayar uang kontrakan, dan uangnya bisa untuk keperluan yang lain," terang Bunda. "Bagaimana, Dik?" "Gimana baiknya saja. Ikut saja apapun keputusannya," ucap Mita tak ingin memandang suaminya itu. "Ya sudah, Bun. Kami ikut apa kata Bunda saja," balas Mas Ali. "Jadi, kapan kalian akan pindah ke sebelah?" "Mungkin mulai besok ya, Bun," balas Mas Ali. Mita membelalakan matanya tak percaya, secepat itu suaminya ingin pisah dengan keluarga Mita. Hatinya sungguh merasa sangat kesal sekali. Dari ujung mata wanita itu melihat suaminya tersenyum, namun ini seperti sebuah senyum licik yang memang sudah direncanakan suaminya. Mita tak tau apa sebenarnya yang direncanakan suaminya, ia berpikir harus mencari tahu semuanya. Obrolan keluarga itu telah selesai, mereka kembali ke kamar masing-masing. Ali benar-benar merasa dirinya seperti raja, sesampainya di kamar ia membanting tubuhnya keatas ranjang, rebahan seenaknya seakan-akan itu ranjang hanya miliknya. Rasa rindu yang sejak tadi mendera, terkikis karena sebuah makian dan hinaan yang sungguh menusuk jiwa. "Dik sini," panggilnya meminta Mita mendekat. "Pijitin Mas dong, capek banget," perintahnya. Lihatlah sekarang, setelah ia memaki, menghina, mencaci lalu berdrama di depan keluar, dan sekarang tanpa rasa salah meminta di pijat. "Cepat sih, Dik! Nurut sama suami tuh! Jangan membantah kalau mau jadi bidadari surga!" ucapnya lantang. Cih! Nurut itu dilihat dulu seharusnya, suami yang macem apa dan seperti apa! Suami macem kaya kamu, Mas disuruh nurut akunya? Apakah sebercanda itu?! Otakmu benar-benar sudah kacau! "Iya Mas," ucap Mita dengan menggerutu di hatinya. Perlahan ia mulai memijat kaki suaminya itu, ingin rasanya ia menusuk-nusuk itu kaki dengan pisau yang tajam agar tidak seenaknya lagi. "Mas, kenapa tiba-tiba ingin ngontrak?" "Enggak pa-pa. Mas ingin kita mandiri saja, memang kenapa? Ada masalah?" "Tak ada, tetapi mengapa Mas tidak diskusi terlebih dahulu denganku?" "Memang kalau suami mengambil keputusan harus tanya istri? Sepertinya tidak harus, karena Mas adalah kepala rumah tangga! Kamu itu istri Mas, yang kemana aja dan dimana saja harus ikut dan patuh apa kata suami! Jadi, jangan pernah membantah apapun keputusan Mas! Sungguh, Mas tak suka di bantah! Kamu perlu pahami itu! Karena hidupmu sekarang tergantung, Mas!" "Oh iya, satu lagi! Selama Mas berada di rumah, kamu tidak boleh berangkat mengajar, privat menari dan privat jarimatika." "Loh Mas? Kok seperti itu? Aku 'kan kerja," protes Mita tak terima. "Aku ini suamimu! Sudah seharusnya kau patuh dan taat pada perintahku! Aku yang memerintahmu untuk tidak kerja! Itu artinya aku tak meridhoi! Jika suami tidak ridho maka Allah pun tak akan ridho! Turuti aku jika tak ingin dosa! Paham kamu!" Dasar, lelaki egois! Seenaknya saja mengatur dengan alibi suami! Dengan alibi dosa! Dengan alibi ridho! Kamu itu terlalu bersembunyi di belakang agama! Agama kau permainkan sedemikian rupa hanya untuk sebuah keegoisan yang memuakkan itu! Mita merasa kesal sekali, ia spontan memijat kaki suaminya keras dan membuat Ali meringis kesakitan. "Mita! Kau ini apa-apaan! Sakit sekali kaki Mas, dasar bodoh!" "Benar-benar kau istri tidak berguna!" makinya dengan gerakan kaki hampir menendang wajah Mita. Wanita itu segera menyingkir agar kaki suaminya tidak terkena wajahnya. Semua rasa rindu tak bertemu beberapa bulan sekarang sirna, yang ada di pikiran dan hati Mita justru emosi yang tak terkira. Pasangan lain jika tak bertemu beberapa jam saja sudah pasti ada rindu yang tertanam di hati, namun pasangan ini beda sekali. Tak bertemu berbulan-bulan bukan ada rasa rindu melainkan emosi untuk sebuah pelampiasan, aneh sekali rasanya. Seperti tak ada lagi cinta, kasih sayang dan juga perhatian yang diberikan oleh Ali. Mita merasa tak kuat namun harus tetap kuat menghadapi lelaki itu, ia berpikir ini adalah satu awal langkah untuk kehidupan lebih baik. Masalah pasti datang silih berganti, tergantung pasangan tersebut bagaimana cara menyelesaikan masalahnya. Masalah besar harus menjadi sebuah masalah kecil dan masalah kecil harus menjadi sebuah masalah yang harus bisa diselesaikan dengan baik. Daripada ada keributan yang menjadi, Mita keluar kamar untuk mencari udara segar. Tak lupa ia membawa ponsel yang sudah disimpan di atas nakas, suaminya sudah hampir terlelap dalam sebuah mimpi indah, mungkin. Namun, yang Mita harapkan adalah mimpi buruk masuk ke dalam tidur dan otak suaminya yang macem seperti iblis itu. *** Sesampainya di dapur, ia mengambil beberapa makanan untuk sekedar menghibur dirinya agar tak lagi emosi dengan ulah suami iblisnya itu. Salah tidak jika Mita menganggap suaminya itu seperti iblis? Karena memang semua kelakuannya seperti iblis. Ini baru tiga bulan umur pernikahan mereka, namun kesakitan, kekecewaan, air mata dan sakit hati sudah ditanamkan sejak dini. Dan, bukannya minta maaf atas semua kesalahan-kesalahannya, ia justru lebih memupuk kesalahan baru lagi. Lelaki iblis itu seakan enggan untuk meminta maaf atas semua kesalahan-kesalahannya. Entahlah, terbuat dari apa hati dan pikirannya itu. Hatinya begitu keras seperti batu karang, ia mulai mengingat kembali cerita suaminya tentang Emak yang tersinggung karena tidak diikut sertakan dalam semua persiapan pernikahan, mungkin ada kata dan perbuatan Ali yang menyakitkan dan menyinggung Emak. Tidak heran jika sekarang sikapnya juga semena-semena sama istri, karena sama Emaknya saja dia bia seperti itu. Lelaki itu membuat kesalahan pada Emaknya menangisnya sudah seperti anak durhaka tetapi membuat kesalah pada istrinya yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya justru santai saja dan terkesan sengaja membuat kesalahan-kesalahan agar bisa menyakiti hati Mita. Mita menarik nafasnya panjang, ia menyeka air mata yang mulai jatuh membasahi pipinya. Mita tidak boleh terlihat sedang menangis di depan keluarganya, ia harus terlihat sangat kuat seperti tembok cina. Menarik nafas panjang berkali-kali berharap rasa sakit, kesalnya hilang dalam seketika. Ia mulai memainkan ponselnya, menghubungi Nata agar menghandle privat jarimatika, karena Mita tidak diperbolehkan keluar oleh suaminya. "Assalammualaikum, Nata." "Waalaikumsalam Mita. Ada apa? Kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir, yang mengkhawatirkannya justru lelaki lain bukan suaminya. "Aku baik-baik saja, Nata. Apakah aku boleh meminta tolong?" "Dengan senang hati, apa yang bisa kubantu?" "Mohon maaf sekali, untuk beberapa hari kedepan aku tak bisa mengajar privat jarimatika." "Kenapa? Apakah kau sakit?" Iya hatiku yang sakit, Nata, ucapnya dalam hati. "Tidak, hanya saja suamiku meminta aku tetap di rumah selama ia pulang. Maafkan aku, Nata." "Ah baiklah Mita, tak apa-apa. Kau tenang saja, aku yang akan menghandle privat jarimatika. Berbahagialah selama suamimu dirumah ya, Mita." "Sekali lagi, terimakasih sekali ya, Nata. Aku tutup dulu ya teleponnya. Wasalamualaikum." "Waalaikumsalam." Akhirnya Nata bisa dan mau menghandle, sekarang tinggal bagaimana ia akan izin dari sekolah. Ia mulai memutar otaknya dan berpikir meminta izin melalui siapa. Tiba-tiba nama Bu Dewi terlintas dalam pikirannya, ia langsung menghubungi nomor Bu Dewi. "Assalammualaikum Ibu Dewi," sapa Mita. "Waalaikumsalam Ibu Mita, wah ada apa ini malam-malam menelpon? Apakah ada hal yang sangat penting?" "Ibu Dewi, aku mau minta tolong. Apakah boleh?" "Boleh banget. Mau minta tolong apa memangnya Ibu Mita?" "Bu, punten mohon maaf minta disampaikan ke Kepala sekolah untuk beberapa hari kedepan aku tidak bisa berangkat mengajar seperti biasanya." "Loh? Kenapa? Apa Ibu Mita sakit?" "Enggak Bu, hanya saja suamiku saat ini dan beberapa hari kedepan sedang ada dirumah." "Ah ternyata hehe. Baiklah Ibu Mita, siap laksanakan. Akan aku sampaikan pada Kepala Sekolah. Tenang saja, pasti kami semua mengerti karena pengantin baru hehe. Bahagia selalu Ibu Mita sayang," balasnya sangat bahagia sekali. "Hehe, Alhamdulillah. Makasih Ibu Dewi sayang. Wasalammualaikum." "Waalaikumsalam." Alhamdulillah, akhirnya semua beres dan tak ada masalah. Terimakasih ya Allah sudah menghadirkan orang-orang baik di sekitarku, gumamnya. Mita beranjak ingin masuk ke dalam kamar, namun rasanya masih enggan sekali untuk melihat wajah suaminya yang menyebalkan itu. Ia beranjak ke ruang keluarga, bukan untuk menonton tv tapi ia mulai mengingat kebahagiaan yang selalu hadir di dalam ruangan itu. Senyum bahagia yang selalu terukir dari bibir keluarganya, canda tawa yang hadir sering kali membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Tes … tes … bulir kristal mulai membasahi pipinya. Ia menangis tergugu di hadapan kursi yang biasa ayahnya pakai. Tangisnya tak terdengar oleh siapapun, ia menangis sejadi-jadinya, tangis dalam diam itu artinya ia mengalami sebuah penderitaan yang saat mendalam. Bahunya bergetar hebat, namun ia berusaha semaksimal mungkin menahan tangis agar tak terdengar oleh siapapun. Ia merasakan dekapan hangat yang selalu dirasakan saat didekap oleh Ayahnya. Matanya mulai melihat ke setiap sudut ruangan tersebut, ia merasakan kehadiran ayah di ruangan tersebut. Mita merasa ingin sekali membalas dekapan hangat tersebut dan menceritakan semua apa yang dialami olehnya dalam beberapa bulan ini. *** "Adik," panggil seseorang membuat Mita menengadahkan kepalanya dan menghapus kasar sisa-sisa bulir kristal yang jatuh. Ia menarik nafas panjang, menenangkan hati dan pikirannya. Langkah kaki mulai mendekat ke arahnya dan memegang bahunya. "Sedang apa disini, Nak?" "Bun," balasnya. "Kau menangis?" tanya Bunda saat sudah tepat berada di hadapannya. "Enggak kok, Bun. Kelilipan saja," elaknya. "Mita … Mita … kamu bisa menipu orang lain, tapi kau tak bisa menipu Bunda, Nak." "Ada apa?" "Mita rindu sekali dengan Ayah, Bun," tangisnya pecah. Ia memeluk erat tubuh Bundanya, tanpa terasa Bunda ikut menangis dengan Mita dan mengelus punggung tubuh anak bungsunya. "Sayang, tenang ya. Jangan menangis seperti ini, kasihan ayah, Nak," ucapnya parau. "Sungguh, Bun. Mita sangat merindukan, Ayah." "Ada apa, Nak? Ada apa sebenarnya?" "Enggak ada apa-apa Bun. Mita baik-baik saja, hanya rindu ayah." Nak, Bunda tau ada masalah yang menghantam kehidupanmu, tapi kau berusaha untuk tetap baik-baik saja tanpa mau menceritakan apapun pada Bunda. Kuat Nak, Mita itu kuat sayang. Bunda akan selalu ada untuk, Mita, ucap Bunda dalam hatinya. Mereka menangis dalam sebuah pelukan, seorang Bunda seakan tahu sebuah penderitaan yang dialami anaknya namun tetap diam karena tak ingin membuat anaknya tersinggung. Bunda akan tetap diam selama anaknya pun diam. Ia semakin mendekap tubuh mungil anaknya itu, sekarang tubuh mungil itu bergetar hebat, tangisnya pecah dalam dekapan sang Bunda. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD