SATU

3268 Words
Seorang gadis berseragam SMA turun dari sebuah Porsche Cayenne putih dengan anggun. Seorang pria yang sebaya dengannya dengan sigap menutup kembali pintu mobil begitu gadis tersebut keluar. Tanpa melirik sang pria, gadis itu lalu berjalan dari lapangan parkir SMA Harapan Bangsa menuju gedung utama. Dibelakangnya, jarak beberapa meter dari sang gadis, si pria berjalan mengikutinya tanpa menghilangkan kewaspadaannya dengan keadaan sekitar. Tubuh gadis itu tinggi semampai. Rambutnya yang hitam kecoklatan tergerai hingga sepunggung dengan ujung-ujungnya dibentuk ikal bergelombang. Alis-alisnya meskipun tidak terlalu tebal dibentuk sedikit melengkung sepadan dengan kedua bola matanya yang bulat dan berwarna kecoklatan. Hidungnya kecil dan mancung. Bibirnya yang tipis berwarna kemerahan dilapisi lipgloss sehingga menambah kesan manis pada wajahnya yang putih bersih. Ujung dagunya yang lancip sesekali diangkat keatas menunjukkan kepercayaan dirinya yang tinggi. Setiap kali dia melewati lorong-lorong kelas, bunyi decak kagum dan pandangan mata mengiringi langkahnya. Biarpun demikian, gadis itu tidak mengacuhkan sekelilingnya. Matanya lurus menatap ke depan sambil sesekali menyibakkan ujung rambutnya yang tertiup angin. Ekspresinya tenang dan tidak terlihat seperti anak SMA kebanyakan. Setiap gerakan yang ia buat seolah sudah terlatih sebelumnya dan tampak indah dipandang. Pria dibelakangnya juga tidak kalah mengundang perhatian. Wajahnya yang unik dengan paduan oriental membuatnya seperti seorang penyanyi asal negeri gingseng Korea Selatan. Postur tubuhnya tegap dan atletis. Alis matanya yang tebal menambah kesan tajam setiap kali ia menatap dengan kedua matanya yang sedikit sipit. Sikapnya yang dingin membuat aura misterius pada dirinya. Pria itu bahkan tidak mempedulikan tatapan dari beberapa siswi perempuan yang mencoba untuk mendapat perhatiannya. Pria itu berjalan mengekori si gadis dengan gaya berpakaiannya yang terkesan santai dan cuek. Rambutnya sedikit gondrong untuk ukuran anak SMA pada umumnya. Di salah satu daun telinganya terdapat anting-anting berwarna hitam yang sering dikenakan oleh anak-anak band saat ini. Pakaian seragam SMA-nya yang serba putih terlihat sedikit berantakan namun tetap bergaya. "Hei kalian!!" Sebuah suara dari arah lapangan membuat si pria dan sang gadis mau tidak mau menghentikan langkah mereka. "Kalian peserta MOS kan? Ngapain berdiri disitu?" Seorang siswa laki-laki dengan potongan rambut seperti tentara dan tanda pengenal di dadanya berjalan menghampiri keduanya. Gadis itu mendesah seraya memutar kedua bola matanya dengan malas. Ia melirik sekilas pada siswa laki-laki yang berseru tadi dengan tatapan jengkel. "Kalian terlambat! Anak baru harus datang sebelum jam 7! Dan..," siswa laki-laki itu mengamati pakaian keduanya sejenak. "Dimana perlengkapan MOS kalian?" Sang gadis tidak menyahut. Sebagai gantinya, pria yang datang bersamanya bergerak maju mendekati siswa laki-laki itu. "Kami gak berniat untuk mengikuti acara MOS, Anggara Karsyivo," jawabnya setelah melirik tanda pengenal di d**a sang lawan bicara. Mendengar jawaban yang dianggapnya kurang sopan tersebut, siswa laki-laki yang bernama Anggara itu semakin terpancing emosinya. "Heh kamu anak baru! Yang sopan sama kakak kelas! Teman-teman kalian sudah datang dari jam setengah tujuh tadi tapi kalian justru datang satu jam lebih lama!" Sambil berkata demikian, tangan Anggara menunjuk ke sekumpulan siswa-siswi peserta MOS yang tengah berada di tengah lapangan memperhatikan mereka. Pria itu berdecak. Dengan sekali sentuhan yang pelan, dia mendorong bahu Anggara hingga tersurut beberapa meter kebelakang. Pria itu kemudian membiarkan sang gadis berjalan lebih dulu mendahuluinya. "Hei!! Mau kemana kalian?!" Anggara berteriak memanggil keduanya dengan wajah penuh menahan emosi. "Heh!! Anak baru!!" panggilnya lagi setelah dilihatnya sang gadis dan pria yang membuatnya kesal itu terus berjalan dan tidak mengubris panggilannya. Menoleh pun tidak. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang. Membuat Anggara menoleh kaget. "Kio," ucapnya begitu melihat orang yang menyentuh bahunya adalah seseorang yang dikenalnya. "Biarkan mereka," ujar Kio dengan suara pelan. "Maksud lo? Tapi mereka..." Anggara terlihat ingin protes. Siapa yang terima diperlakukan demikian oleh sepasang adik kelas di hari pertama tahun ajaran baru? "Mereka siswa khusus. Biarkan mereka untuk gak ikut MOS. Lo ga akan mau punya masalah dengan orangtuanya nanti kan." Pria yang dipanggil Kio itu mencoba menenangkan emosi temannya. "Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka siswa khusus?" "Yang cewek itu pewaris tunggal dari Prismax Group," beritahu Kio sambil menatap lurus punggung si gadis dan pria yang kini hampir tak terlihat. Wajah Anggara seketika berubah begitu mendengar temannya menyebut nama salah satu group perusahaan terbesar di Asia Tenggara itu. "Jadi.. Dia yang sempat jadi pembicaraan di ruang OSIS kemarin?" Kio mengangguk. Sheira Jeevana Miller. Putri tunggal dari pemilik Prismax Group, Jordy Miller. Muda, cantik, pintar, populer dan tentu saja borjuis. Terkenal karena sikapnya yang arogan dan perfeksionis. Sulit untuk didekati dan terkadang bertindak sesukanya. Digilai hampir oleh semua laki-laki seusianya. Keponakan kedua dari Pangeran Maroko bahkan pernah mencoba untuk mendekatinya namun ditolak oleh sang gadis. Membuat gadis-gadis lain iri akan kesempurnaan hidupnya. "Siapa laki-laki yang bersamanya?" Anggara menoleh menatap Kio setelah bayangan kedua orang itu menghilang dari balik koridor. "Dia terkenal dengan sebutan Ksatria Pelindung. Renandaz Dawizard. Dia bodyguard pribadinya Sheira. Jangan cari masalah dengannya." "Kenapa? Sehebat itukah dia?" tanya Anggara tidak percaya. Disentuhnya bahunya yang sempat di dorong oleh pria tadi. Masih terasa sakit dan ngilu. "Gue dengar dia pernah memukul KO pemegang juara nasional Karate tahun lalu. Dia juga pernah berhadapan langsung dengan 5 orang petinju profesional sekaligus di atas ring." "Mengerikan." Anggara bergidik ngeri membayangkan jika saja tadi Kio tidak menahannya, pasti sekarang bodyguard itu sudah menghabisinya dan membuatnya seperti perkedel sayur dihadapan para adik kelas dan teman-teman sesama panitianya. Kio mengangguk. "Itu baru yang diberitakan secara umum. Gue dengar banyak aksinya yang lebih mengerikan tapi ditutup-tutupi oleh Prismax Group." "Orang-orang seperti itu di sekolah kita? Wah.. Dalam beberapa hari kedepan, gue yakin akan banyak berita mengenai sekolah kita di media cetak maupun elektronik karena keberadaan mereka disini." Mendengar pernyataan temannya, Kio hanya mengangkat bahu. "Mungkin.." *** Ren berjalan mengikuti Sheira memasuki kelas X-1 yang masih kosong. Sudut matanya mengawasi gerak gerik gadis di depannya yang tengah sibuk memilih bangku yang akan ditempatinya selama setahun kedepan. Dari balik jendela kelas, Ren dapat melihat dengan jelas anak-anak baru yang masih dijemur di tengah lapangan oleh panitia MOS. Sama seperti tradisi MOS di sekolah-sekolah lainnya, kakak kelas adalah dewa dan adik kelas adalah pesuruh jika MOS sedang berlangsung. Sheira telah meletakkan tas punggungnya di atas sebuah meja yang letaknya persis di tengah ruangan. Melihat hal ini, Ren meletakkan tas ranselnya tepat di atas meja yang terletak di belakang kursi gadis itu. Setelah itu, dia bangkit berdiri dan kembali bergerak mendekati jendela memandangi teman-teman seangkatannya yang berdiri menahan panasnya matahari pagi. Ruang-ruang kelas X memang terletak di lantai bawah di gedung utama SMA Harapan Bangsa. Sementara untuk kelas XI dan XII terletak di lantai 2 dan 3. Selain gedung utama, terdapat gedung olahraga sekaligus gedung serba guna, dan gedung laboratorium serta ruang untuk para guru dan staff. Ketiga gedung tersebut saling berhadapan satu sama lain membentuk kotak. Di tengah-tengahnya terdapat lapangan basket yang juga dipergunakan para siswa melaksanakan upacara bendera. Di balik gedung olahraga dan serbaguna,terdapat lapangan parkir khusus untuk para siswa dan guru. Lapangan parkir ini cukup luas mengingat para siswa SMA Harapan Bangsa tergolong dari keluarga yang tingkat ekonominya di atas rata-rata sehingga pihak sekolah tidak kuasa untuk melarang siswanya untuk membawa kendaraan pribadi mereka kesekolah. Selain untuk ajang pamer kekayaan, lapangan parkir ini terkadang digunakan oleh para siswa untuk bermain sepak bola setiap kali ada pertandingan persahabatan antar kelas atau antar sekolah. Ren mengalihkan pandangannya dari balik jendela. Perlahan, dia bergerak ke bangkunya. Diliriknya Sheira yang tengah sibuk membersihkan ujung-ujung kukunya yang panjang. Sesekali gadis itu meniup ujung-ujung jarinya membuang kotoran yang menempel di sela-sela kukunya. Melihat kedatangan Ren, Sheira langsung menghentikan aksinya. "Gue harap lo ga terus-terusan mengganggu gue selama di sekolah. Gue udah cukup bosan dengan melihat lo setiap hari di rumah," ucap Sheira tanpa berpaling menatap Ren. "Tuan Besar minta gue untuk tetap mantau lo selama di sekolah," bantah Ren sesantai mungkin. Ia lalu menyandarkan tubuhnya di samping meja Sheira sambil menatap gadis itu dengan mata tajamnya. "Tapi gue ga minta lo untuk terus-terusan ngikutin kemanapun gue pergi. Gue bukan anak kecil lagi." "Bukan lo yang memperkerjakan gue, nona manja," jawab Ren dengan nada dingin. Sheira menghentakkan kedua tangannya ke atas meja dengan kesal. Belum sempat ia bangkit dari kursinya, beberapa orang anak memasuki kelas dengan celotehan-celotehan ringan khas siswa baru. Melihat para siswa mulai masuk ke dalam kelasnya masing-masing, Ren lantas bergerak duduk ke kursinya. "Lo merhatiin senior tadi ga? Yang mukanya unyu banget mirip Justin Bieber itu lho." Seorang gadis SMA dengan wajah blasteran dan rambutnya yang hitam panjang berbicara pada kedua temannya. "Oh iya, Kio ya namanya?" sahut seseorang berambut pendek sebahu disebelahnya. "Duuh cakep banget yaaah. Ga bosen deh liatnya," komentar si gadis blasteran dengan wajah menggemaskan. Dia sengaja menyipitkan matanya dan mengerucutkan bibirnya agar tampak semakin lucu. "Ih elo yaaa.. Dari kita SMP masih aja ga berubah. Masih suka ngecengin senior," balas salah satu gadis yang lebih pendek dari keduanya. Dia menjawir hidung si gadis blasteran dengan gemas. Gadis yang baru saja disindir hanya tertawa renyah mendengar sindiran temannya. Sambil tertawa, matanya menangkap sosok Sheira yang kembali berkutat membersihkan kuku-kukunya. Si gadis blasteran mendadak terdiam dan menyikut kedua temannya sambil menunjuk Sheira dengan ekor matanya. Kedua temannya yang seolah mengerti arti isyarat darinya kemudian ikut terdiam. Tanpa dikomando, ketiga gadis tadi berjalan mendekati Sheira. Gadis blasteran tadi, yang sepertinya telah di anggap 'leader' oleh kedua temannya berinisiatif menegur terlebih dahulu. "Hai.." Mendengar sapaan itu ditujukan untuk dirinya, Sheira mendongak. Dicermatinya penampilan gadis yang menyapanya dari ujung rambut hingga kaki sebelum kemudian membalas, "Hai". "Boleh duduk disini?" tanya gadis blasteran itu seraya menunjuk kursi kosong disebelah Sheira. Sheira terlihat berpikir sejenak. "Duduk aja." Tanpa perlu dipersilahkan dua kali, gadis itu bergegas meletakkan tubuhnya ke atas kursi. Kedua temannya yang lain sudah lebih dulu duduk di depannya. "Nama gue Vello. Vellorie Anandita. Lo?" Sang gadis blasteran mengulurkan tangannya. "Gue Sheira," jawabnya tanpa membalas uluran tangan tersebut. Mendengar Sheira menyebutkan namanya, gadis berambut pendek sebahu yang bersama Vello tadi menoleh ke arah keduanya. "Nama lo Sheira? Sheira dari Prismax Group itu?" Mendengar temannya bertanya demikian, gadis yang duduk disebelahnya ikut menoleh. "Ehhh?? Serius Sheira yang itu? Sheira Jeevana Miller? Yang sempet bikin heboh guru-guru sama pengurus OSIS karena sekolah disini itu??" Mendengar rentetan pertanyaan yang diajukan oleh kedua orang yang belum dikenalnya itu, mau tidak mau Sheira kembali menghentikan kegiatannya. "Iya, gue Sheira Jeevana Miller. Masalah?" Mata ketiga gadis didepannya sontak terbelalak tak percaya. "Lo tau gak kalau lo itu terkenal banget disini? Lo belum masuk di sekolah ini aja, nama lo udah beken di kalangan penghuni sekolah. Banyak yang penasaran dan pengen ketemu langsung sama lo. Gue punya kakak di kelas XII dan kakak gue bilang kalau penggemar lo disini udah ratusan. Bahkan ada fanclub segala. Gue gak nyangka bisa satu kelas sama lo. Oh iya, nama gue Arra." Gadis yang lebih pendek itu berbicara dengan intonasi cepat dan hampir tanpa jeda. "Kalau nama gue Chika." Gadis berambut pendek sebahu pun tidak ingin ketinggalan memperkenalkan dirinya pada Sheira. "Ohh.. Okee." Akhirnya Sheira buka suara setelah sekian detik terlihat bingung dengan kedua orang didepannya ini. Baru kenal tapi sudah berbicara padanya tanpa rasa segan sedikit pun. "Lo tadi ga ikut pembukaan MOS? Jam 10 nanti kita disuruh kumpul lagi di lapangan." Arra lagi-lagi bersuara dengan penuh semangat. Matanya menatap Sheira dengan berbinar-binar. Seolah menemukan air di gurun pasir yang gersang. "Gue gak ikut. Malas," jawab Sheira cuek. "Gue tadi sempat liat lo dipanggil Kak Angga. Pantas dia diam aja tadi. Biasanya Kak Angga terkenal galak sama siswa baru." Kali ini Chika berkomentar. Berbeda dengan Arra, Chika sedikit lebih kalem. "Angga?" ulang Sheira sambil menautkan kedua alisnya dengan bingung. "Panitia yang tadi manggil lo di koridor dan nyuruh lo gabung ke lapangan," beritahu Vello yang kini sudah mengeluarkan buku panduan sekolah dari dalam tas nya. "Ohh.. Panitia yang sok galak itu." Chika dan Arra mengangguk hampir bersamaan. Keduanya terlihat masih ingin berbicara ketika beberapa orang anak kembali masuk ke dalam kelas. Membuat suasana kelas semakin ramai oleh para siswa baru yang sedang berkenalan atau memilih bangkunya masing-masing. Beberapa siswa laki-laki mulai mencuri pandang ke arah Sheira. Berharap Sheira membalas tatapan memuja dari mereka. Namun ketiga gadis yang baru saja berkenalan dengannya itu membuat Sheira tidak dapat mengacuhkan mereka. Berbagai pertanyaan maupun pernyataan dari mereka membuatnya sedikit sibuk sehingga tidak terlalu memperhatikan sekitar. Dan meskipun Sheira menyadarinya, Ren sangat yakin Sheira tidak akan membalas kerlingan-kerlingan menggoda dari para siswa laki-laki itu. Selama hampir 10 tahun kebersamaannya dengan Sheira, Ren paham benar mengenai sifat anak majikannya itu. Sepengetahuannya, Sheira tidak akan membiarkan laki-laki manapun untuk mendekatinya apalagi membalas tatapan mereka. Bukannya Ren tidak tahu, dia mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan oleh keempat gadis yang didepannya ini. Namun Ren merasa bahwa bukan urusannya untuk ikut campur masalah pribadi Sheira. Ia hanya cukup mengawasi dan memastikan bahwa gadis itu selalu aman dan baik-baik saja. "Cowok yang di belakang itu pacar lo?" Arra yang sepertinya memang memiliki sifat selalu ingin tahu mendadak bertanya pada Sheira sambil menunjuk Ren dengan jari telunjuknya. Ren hanya melengos dan berpura-pura tidak mendengar percakapan mereka sambil berkutat dengan bukunya. "Bukan," jawab Sheira. "Dia cuma bodyguard." "Bodyguard? Bodyguard lo secakep itu?" tanya Arra hampir saja berteriak histeris layaknya seorang penggemar yang sedang menonton konser artis kesayangannya di atas panggung. "Kak Kio masih kalah cakepnya. Iya kan Vell?" Vello menoleh sebentar ke belakang melirik Ren yang tengah membaca buku kemudian kembali menatap kedua sahabatnya. "Err.. Iya," jawabnya dengan suara pelan. "Cieee Velloooo..," ledek Chika menggoda temannya yang wajahnya kini sudah seperti udang rebus. "Apaan sih.. Kita bukan anak SMP lagi tau." Yang digoda justru hanya tertunduk malu disusul tawa dari kedua temannya yang lain. "Lo tau pemain film Dennis Elnino kan? Gue dengar dia juga anak sekolah ini." Arra menoleh ke arah Chika yang memberi pertanyaan. "Dennis? Iya. Menurut kakak gue, selain bintang di media dia juga bintang sekolah ini." Ia lalu melirik Sheira yang tampak tidak tertarik mendengar nama Dennis disebut. "Kata kakak gue juga, Dennis ngefans berat sama lo, Shei." "Kyaaaah.. Serius lo Ra?" jerit Chika heboh. Sepertinya ia sudah terjangkit histeria oleh Arra. "Dia bukan ngefans sama elo nooon. Tapi sama Sheira." Vello menjentikkan jarinya tepat di depan hidung Chika. Membuat gadis itu langsung terdiam dan menghentikan aksi jerit-jerit tidak jelasnya. "Pesona lo keren banget deh Shei. Dennis yang aktor terkenal itu aja bisa tergila-gila sama lo," komentar Arra takjub. Diamatinya wajah Sheira lekat-lekat. "Gue ga peduli. Menurut gue gak ada cowok yang menarik." "Jadi gossip itu benar?" tanya Chika begitu mendengar komentar Sheira yang acuh tak acuh terhadap Dennis. "Gossip apaan Chik?" "Iya gossip apaan?" Vello dan Arra kontan memandangi Chika dengan sorot ingin tahu. Kedua gadis cantik itu semakin penasaran begitu melihat ekpresi Chika yang mendadak berubah sangat serius. Chika terlihat ragu-ragu. Dipandanginya Sheira dengan tatapan tidak enak. Mungkin berita yang disampaikannya bukanlah berita yang cukup baik sehingga membuat Chika sedikit sungkan untuk mengatakannya di depan Sheira. Sheira yang merasa bahwa dialah sumber dari keraguan gadis itu, lantas berkata, "gak apa-apa ngomong aja Chika." "Tapi janji gue jangan di apa-apain ya Shei?" tanya Chika kemudian melirik bodyguard yang duduk di belakang Sheira dengan takut. Sheira tergelak. "Enggak lah." "Jadi begini.." Chika mendekatkan wajahnya kepada ketiga orang didepannya itu. "Ada gossip yang beredar kalau elo, Shei, belum pernah punya pacar dan bokap lo diam-diam udah ngejodohin lo sama anak dari Angkasa Group," beritahu Chika mencoba setenang mungkin. "Itu beneran Shei?" Vello terbelalak menatap gadis yang baru beberapa menit dikenalnya itu. "Zaman emansipasi dan hak asasi udah mendunia gini, masih ada jodoh-jodohan begitu?" Yang ditanya hanya tersenyum kecil. "Memang benar kalau gue belum pernah punya pacar, bahkan suka sama cowok manapun sebelumnya. Tapi.. Yang perlu gue ralat adalah, bokap gue ga pernah menjodohkan gue dengan siapapun meskipun cowok itu anak dari Presiden sekalipun. Bokap amat sangat menghargai kebebasan yang gue miliki untuk menjalani hidup gue sesuai yang gue inginkan." "Jadi?" tanya Arra. "Apa lo.. Punya kelainan? Lesbian?" tanya Vello hati-hati. Sheira menggeleng cepat. "No. Gue normal. Gue cuma belum ketemu dengan cowok yang bisa naklukin hati gue." Arra mengangguk mengerti. "Untuk seseorang yang sesempurna elo, memang butuh waktu lebih lama untuk cari pasangan yang sesuai sama lo." "Gue ga sesempurna itu," elak Sheira kemudian kembali melanjutkan membersihkan kuku-kukunya. "Lantas?" kali ini Chika turut penasaran. "Lo mencari sosok yang seperti apa?" Sheira hanya mengangkat bahu tanpa menatap ketiga teman barunya yang memperhatikannya penuh rasa ingin tahu. Beberapa meter dari tempat keempat gadis itu duduk, dua orang pria tengah memperhatikan mereka tanpa berkedip. "Jadi dia yang namanya Sheira?" tanya pria yang bertubuh lebih atletis. Pria yang sedikit lebih tinggi mengangguk mengiyakan. "Ini menjadi lebih mudah dari yang gue kira. Pewaris tunggal dari Prismax Group ternyata satu kelas dengan kita." Pria bertubuh atletis itu tersenyum kecil. Sesekali tangannya sibuk memainkan ujung-ujung rambutnya yang menutupi sebagian dahi. Kulitnya yang kecoklatan menambah kesan tegas pada wajahnya yang terbilang tampan. "Lo yakin bisa menjerat perempuan seperti itu? Bodyguardnya.." Pria yang sedikit lebih tinggi darinya itu terdengar tidak yakin. Pria yang ditanya menoleh ke arah temannya dengan sorot mencela. "Lo meragukan kemampuan gue? Sudah puluhan perempuan yang berhasil gue taklukin. Perempuan seperti Sheira gak ada apa-apanya di depan gue. Kita lihat aja, dalam 3 bulan.. Dalam 3 bulan perempuan itu akan menyerahkan segalanya untuk Bastian Angkasa," ujarnya penuh dengan rasa percaya diri yang tinggi. *** Winarno berjalan tergesa-gesa begitu keluar dari pintu lift. Setelah tiba di depan sebuah pintu lebar yang terbuat dari kayu dengan ukiran yang indah, dia berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Setelah dirasanya siap, dia ketuk pintu itu secara perlahan. Seorang petugas keamanan berpakaian hitam membukakan pintu untuknya. "Apakah Tuan Besar di dalam?" tanyanya pada sang petugas. "Tuan besar sudah menunggu Anda, Pak. Silahkan masuk," jawab si petugas keamanan yang masih berusia cukup muda itu dengan hormat. Tanpa menunggu lebih lama, Winarno bergerak masuk ke dalam ruangan. Kehadirannya langsung disambut senyuman oleh seorang pria yang tengah berdiri di dekat dinding kaca yang menampilkan pemandangan padatnya kota Jakarta dari ketinggian. "Tuan Besar.." "Apa kau sudah mendapat laporan dari Ren?" Pria itu, Jordy Miller, berdiri memandangi Winarno tanpa sedikitpun mengubah ekpresi wajahnya yang tenang. "Ya, Tuan Besar. Menurut Ren, anak dari Angkasa Group, Sebastian Angkasa, sepertinya akan mulai melancarkan aksinya kepada Nona Sheira." Jordy Miller mengangguk. "Angkasa Group sejak dulu selalu ingin bermitra dengan kita, Winarno. Tapi kau tahu kan? Kita tidak mungkin bermitra dengan perusahaan yang terlibat dalam penyelundupan obat illegal." "Ya Tuan. Prismax Group akan mendapat masalah jika polisi mencium ketidakberesan pada Angkasa Group." Winarno menyetujui ucapan sang majikan dengan menganggukkan kepalanya. "Benar. Kita tidak bisa terlibat jauh dengan mereka. Tapi Winarno.. Apa jadinya jika putriku satu-satunya justru jatuh ke tangan Angkasa Group?" Jordy berjalan perlahan ke meja kerjanya. Dipandanginya sebuah foto yang terletak disana. Foto keluarganya. Winarno yang melihat aksi Tuannya, segera berkata, "saya yakin Ren bisa menjaga Nona Sheira dengan sangat baik Tuan. Anak itu sejauh ini selalu bisa diandalkan." "Hemm," gumam Jordy pelan. "Bagaimana dengan perkembangan latihan hariannya?" "Saat ini Ren sedang mempelajari Taekwondo, Tuan. Setelah dia berhasil menguasainya, saya pikir tidak ada lagi yang harus kita ajarkan padanya," beritahu Winarno dengan nada yang sangat yakin. Jordy menoleh menatap Winarno. "Benarkah?" "Benar Tuan. Semua jenis bela diri sepenuhnya sudah anak itu kuasai. Dia sangat giat berlatih setiap hari. Selain itu dia anak yang cerdas dan kuat. Tidak sulit baginya untuk.." "Ajari dia menembak dan panahan, Winarno." Jordy dengan cepat memutuskan ucapan Winarno. Matanya menatap orang kepercayaannya itu dalam-dalam. "Apa?" Jordy tersenyum. "Aku percaya pada anak itu. Aku yakin, anak itu bisa menjaga Sheira ketika aku tidak ada lagi di dunia ini kelak." "Tuan.." Winarno terlihat hendak menyangkal. Jordy mengangkat tangan kanannya memberi tanda Winarno untuk diam. "Ajari dia segalanya Winarno. Kelak Ren lah yang akan melindungi Sheira untuk mengembangkan kejayaan Prismax Group." "Ba.. Baiklah Tuan." "Kau boleh pergi. Laporkan segala sesuatu yang terjadi di sekolah itu padaku secara berkala." "Ya Tuan, saya permisi." Winarno membungkukkan badannya dengan hormat lalu keluar dari ruangan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD