Jika sakit lepaskan saja. Tidak perlu dipertahankan.
Ingatan Maudy melayang sangat jauh, dia bahkan tidak menyelesaikan membaca bukunya. Ketiduran dan entah apa yang terjadi dalam tidurnya.
"Maudy" namanya seakan dipanggil sangat lantang,
"Maudy" maafkan nenek,
"Jangan mendekat atau aku bunuh diri. Kamu bahkan tidak pantas bersamanya,"
"Maudy, lepaskan cucu nenek. Dia pantas mendapatkan yang lebih baik."
"Apakah saya tidak lebih baik nek? Apakah nenek meragukan kebaikan ku? Aku pernah berbuat jahat pada nenek? Kenapa seolah aku lah yang bersalah atas apa yang terjadi pada orang di masa lalu nenek?"
"Kamu tidak tahu apa-apa. Lepaskan saja dia, dan berbahagialah lebih baik seperti itu. Dan jangan saling mengenal lagi" perintah itu begitu menyakitkan.
"Maudy, aku tidak pernah menyangka kamu bahkan bisa berbuat seperti itu. Apa yang kamu lakukan sampai nenek jatuh sakit? APA?" bentak suara itu begitu kasar di gendang telinganya,
"A..ku, aku tidak ber..buat apa-apa" Maudya terbata, dia tidak tahu bahwa ini adalah jebakan. Dia benar-benar polos dan naif. Apa yang terjadi pada nenek seolah menjadi tanggung jawabnya padahal dia pun korban.
Tapi, kenapa seolah-olah dia adalah dalang semua kesalahan ini? Apa yang terjadi sebenarnya di sini?
Maudya terus saja menangis dan mengigau dalam tidurnya. Dia tidak sadar bahwa memang ada beberapa orang yang memanggil namanya saat ini, ada yang menyadarkan, memanggil untuk meminta maaf, dan memang membencinya sampai ke ubun-ubun.
...
Dering alarm di atas nakas membangunkan Maudy dari mimpi buruknya. Dia tersentak dan langsung terduduk di atas ranjang, melihat ke arah jalan di nakas ternyata masih pukul empat sore. Astaga, dia bahkan melewatkan makan siangnya. Dia lupa kalau ternyata dirinya mengunci pintu kamar sehingga ibunya tidak bisa masuk, biasanya dia tidak akan menguncinya, mungkin ada baiknya, agar mamanya tidak mengetahui bahwa dia mimipi buruk dan kemungkinan suara igau-annya keluar secara tidak sengaja. Dia saja terbangun dengan sentakan hebat.
Menghembuskan napas, Maudya hanya berharap itu adalah bunga tidur yang tidak perlu kembali lagi. Memasuki kamar mandi dan membersihkan wajahnya lalu memoleskan creme agar tidak terlihat pucat sekali.
Maudy keluar dari kamar dan melihat seisi rumah kosong, dia kelaparan bagiamana tidak melewatkan jam makan siang hampir empat jam lamanya, dan tumben sekali mamanya tidak membangunkannya?
Maudya menuju dapur dan melihat ada puding di atas meja, sedikit bentuknya sudah berubah pastilah ayahnya yang makan. Dan satu toples cookies. Biasanya mama akan membuat banyak dan meletakkan satu atau dua tempat di meja makan untuk disantap bersama agar tidak habis sekaligus.
Karena dia lapar, akhirnya dia makan nasi dengan tumis kangkung yang dibeli-nya tadi di pasar dengan sambal udang. Maudy tidak tahu bahwa sekarang mama dan ayahnya sedang dalam keadaan hening di sebuah ruangan.
...
"Ma, jawab ayah dengan jujur. Sejak kapan mama berhubungan kembali dengan mereka" ayah sebenarnya kesal dan sedikit geram akan tindakan istrinya tapi dia belum bisa memarahi begitu saja.
"Ayah, dengarkan dulu penjelasan mama. Jangan marah dulu, jangan marah di sini nanti Maudy bisa tahu yah" mama Maudya memohon dengan memelas kepada suaminya.
"Ayah enggak tau ma, mama tau sendiri kan dulu bagaimana perlakuan keluarga itu kepada Maudya. Ayah akui mereka memang baik, entah karena sifatnya atau hanya berpura-pura tapi setelah kejadian itu mereka memandang rendah Maudy seakan dia bersalah dan patut dihukum mati." Ayah menghembuskan napasnya kasar, dia bahkan melihat bagaimana putrinya diseret keluar setelah pertunangan terjadi.
Mereka melemparkan kotoran tepat di muka-nya dan keluarganya. Astaga, dia masih membayangkan itu adalah mimpi, tapi ternyata tidak. Itu nyata dan mereka sudah melaluinya.
Dia berharap Maudy tidak pernah mengingat masa lalu itu, tidak bisa dibayangkan-nya jika anaknya mengingat kembali kenyataan pahit yang harus membuatnya kehilangan separuh ingatannya.
"Ayah, tidak tahu kenapa mama masih bisa berhubungan dengan mereka, tolong berhenti ma. Dan jangan buat semua semakin rumit dan mengorbankan anak kita satu-satunya."
Setelah mengatakan hal itu ayah berlalu dan meninggalkan mama sendirinya di sana.
Tanpa mereka sadari Maudy mendengar sekilas perkataan ayahnya, dia memang tidak mengerti apa yang terjadi tapi perkataan ayah yang mengatakan dia lebih senang Maudy kehilangan ingatannya bukanlah sesuatu yang biasa. Ayahnya adalah lelaki hangat dan penyayang terhadap keluarga, dia marah saja tidak dia keluarkan secara sembarangan, contohnya sekarang. Dia mungkin kesal dengan ibunya tapi, ayah tidak membentak hanya saja perkataan ayah tadi tersirat sesuatu yang memang harus dijauhkan oleh ibunya. Karena, biasa ayah tidak pernah melarang siapa pun untuk berkenalan dan dekat dengan keluarga ini. Kecuali, satu hal yang fatal.
Maudy langsung berpikiran jelek tentang ibunya, apakah dia selingkuh? Dan meninggalkan Maudy, itu kenapa selama ini dia selalu berharap Maudy tidak lagi pergi dari sisinya? Apakah ayahnya tahu, dan masih mau memaafkan ibunya demi dirinya? Atau Maudy bahkan membela ibunya dulu, dia merasa ayahnya sekarang sangat over protective padanya, tidak dipungkiri bahwa ia senang, tapi tidak harus selalu begitu kan? Apabila dia menikah nanti, masa harus selalu dekat dengan kedua orang tuanya? Maudy memegang pipinya yang sudah merona merah, membayangkan ia akan menikah.
Astaga, bahkan memiliki kekasih saja tidak ah, bukan tidak. Tapi, belum.
..
Mama Maudy keluar dari ruangan itu, ia memang sedih tapi tidak bisa harus selalu menyalahkan kesalahan orang lain kepada orang yang tidak bersalah. Keluarga Arga memang bersalah, tapi mama Arga pun bahkan tidak mengerti kenapa ibu mertua dan anaknya menyakiti Maudy.
Dia menghapus air matanya agar tidak kekuatan oleh anak dan suaminya. Meski begitu dia ingin membantu walau tidak tahu apa yang harus dia perbuat.
"Mama dari mana?" Maudy tiba-tiba menyegah mamanya untuk ke kamarnya dan melihat mata mamanya sembab dan memerah.
"Mama berantem sama ayah? Ayah ngapain mama? Ikh, Maudy gak suka gini. Maudy akan bicara sama ayah" Maudy berlalu bahkan sebelum ibunya sempat berkata apapun.
"Maudy," panggil ibunya, dia berhasil menghentikan anaknya, dia tidak ingin Maudy memarahi ayahnya. Yang salah bukan suaminya tapi dia yang menyembunyikan ini, walau tidak bisa disalahkan juga karena dia pun tidak mengerti bagaimana mereka masih menghubungi keluarganya. Memang dia tidak mengganti nomor teleponnya, tapi mereka pikiran keluarga Arga sudah tidak sudi bahkan sekedar mendengar nama mereka. Itu sebabnya dia santai saja, sampai Rita mama Arga menghubunginya.
"Ih, mama tenang aja biar Maudy yang bilang sama ayah" Maudy berlalu dan mendapati ayahnya baru saja masuk dari dalam rumah melalui pintu belakang.
"Ayah," panggilnya keras, "kok ayah marahin mama sih? Maudy gak suka liat mama nangis karena ayah marah sama mama ya"! Dia mengancam ayahnya dengan pandangan lurus menatap sang ayah sambil cemberut.
Ini adalah trik yang biasa dia lakukan. Ayah dan ibunya biasa bertengkar perbedaan pendapat biasa dalam rumah tangga. Dia sudah mulai paham disaat berumur sepuluh tahun ketika melihat ibunya menangis ketika ayahnya meminta maaf. Saat itu dia adalah anak kecil yang belum tau apa-apa.
Tapi setelah dijelaskan ibunya nakal, begitu kata ayah. Dan ibu bilang dia menangis ketika ayah memarahinya, hanya sebatas itu. Namun, dia tahu bahwa ibunya tidak bisa dikasari atau dibentak, mungkin ayah saat itu terlalu marah sampai lupa bahwa anaknya melihat ibunya menangis ketika ayah membentak.
Ayahnya hanya menghembuskan napas kasar, dia tahu istrinya bukan orang yang mudah menangis walau dimarahi atau apapun kecuali, ketika kita memarahi-nya tepat mengenai hatinya dan memang dia bersalah. Dia tahu, pasti Maudy melihat mamanya menangis tadi, "ayah minta maaf ya. Ayah enggak sengaja marahain mama kamu" jawab ayah jujur. Dia bersungguh-sungguh ketika masih melihat Maudy marah padanya.
"Ayah minta maaf sama mama dong, jangan sama Dy" ujarnya, membuat sang ayah tersenyum.
Dia hanya mengangguk dan mengikuti Maudy berjalan mendekat kepada istrinya. Dia sebenarnya masih kesal tapi rasa cinta-nya pada Maudy dan sayang-nya pada istrinya terkalahkan. Apalagi dia sudah tua, tidak ada gunanya marah-marah dan bukan waktunya lagi untuk ngambek tidak jelas.
"Sekarang ayah peluk mama dan minta maaf karena buat mama menangis" ujar Maudy dengan polosnya.
"Maafin ayah ya ma" kata ayahnya memeluk mamanya membuat Maudy senang bukan main. Sedangkan, mama hanya tersenyum canggung, sudah lama mereka tidak melakukan ini di depan siapa pun. Seolah semua tersita dengan kejadian Maudy kecelakaan, dan perhatian ekstra lebih kepada anaknya dari pada suaminya. Mungkin sang ayah juga begitu.
..
Maudya pun kembali ceria dan sudah membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah karena sebentar lagi akan magrib mereka bersiap menyiapkan makan malam.
'tok tok tok'
Bunyi pintu diketuk membuat Maudy dan mamanya memandang satu sama lain. Siapa kira-kira gerangan yang mengetuk pintunya, karena setahu mereka belum ada orang yang tahu bahwa Maudy dan mamanya kembali ke Bandung kecuali Bu Ani dan keluarganya. Karena, dia termasuk keluarga dekat mama Maudy yang tinggal di Bandung.
Walau mamanya keturunan Jogja tapi sudah lama tinggal di Bandung, dan bertemu dengan ayah Maudy juga di kota kembang ini.
"Biar Maudy aja ma" ujarnya mencegah mamanya lebih dulu.
Akhirnya Maudy pun membuka-kan pintu dan melihat Rein yang bertamu sore hari ini.
"Hai, saya ganggu tidak?" Rein melirik ke dalam takut orang tua Maudy ada dan tidak senang melihatnya,
"Hai, enggak kok ... Silakan masuk" Maudy mempersilakan, "siapa Dy?" teriak mama dari dapur.
"Teman Dy ma" balas Maudy dengan sedikit kencang, " ehm, mau minum apa Rein? Eh, .. sebentar ya "katanya berlalu ke belakang.
Maudy sibuk membuatkan Rein minuman, sampai mama ya heran sendiri. "Siapa sih Dy? tanya mamanya,
"Oh, ah itu mah teman Dy yang tadi anterin pulang yang bantuin Maudy belanja. Yang rumahnya di depan rumah kita, tuh" tunjuk Maudy.
"Cowok yang kamu bilang itu?" tanya mama lagi, Maudy hanya mengangguk.
"Kok, kamu heboh gitu banget. Dia ganteng emang?" Mama sengaja menggoda Maudy, memancing bagaimana sih reaksi anaknya ini,
"Ya, lumayan. Tampan sih. Cuma lebih keren seseorang kayanya. Hampir sama kaya Fathur ma" ujar Maudy, kemudian ia menyadari ada yang aneh dari pertanyaan mamanya, "kenapa? Mama tertarik? Ih, udah ada ayah lho" godanya balik, memang dasar Maudy jahil.
"Enak aja kamu, ya enggak apalah. Mama bisa cuci mata" ujar mamanya,
"Sesekali liat yang bening Dy, bosan juga sama ayah terus." Mama terkikik sendiri mendengar ucapannya, sampai ayah Maudy muncul di dapur.
"Siapa yang bosan sama ayah?" Ayah berpura-pura tidak melihat kedua wanita itu terkejut, dia justru santai mengambil cemilan di dalam toples.
"Ih, ayah. Dy terkejut tau. Ini mama, kan di depan ada teman Maudy eh, ternyata mama mau ikutan katanya mau cuci mata" kerling Maudy kepada ayah dan melihat ibunya dengan wajah memerah tersenyum simpul.
"Oke, Maudy antar minum dulu. Jangan cemburu ayah. Mama jelaskan aja ke ayah" kekehnya,
"Kamu ini ya!" Mama hampir saja mencubit pinggang Maudy tapi anak itu sudah berlari dan ayahlah yang berdiri di hadapannya. Membuatnya membalikan tubuhnya dan kembali dengan kegiatan memasaknya.
...
"Eh, Rein maaf ya lama. Aku baru saja dari belakang kasih tau mama kalau temen aku datang. Ini sekalian minum, mungkin ayah dan mama sebentar lagi akan ke depan kok." Ujar Maudy memberikan minuman serta cemilan seadanya pada Rein.
"Ah, maaf saya merepotkan kamu" Rein merasa tidak enak dia sudah hampir magrib dan kelihatannya sibuk malah bertamu.
"Enggak apa-apa, makan aja dulu" tawarnya.
"Temannya udah dikasih minum Dy? Mama udah selesai masaknya dibantu ayah. Ajak temannya makan yok" mama Maudy berucap dan menyapa Rein.
Rein yang disapa seketika bangkit dari duduknya dan menyalami mama Maudy dengan hangat. Begitu pun ketika ayah Maudy datang di belakang mamanya.
"Nama saya Rein Tante, rumah saya di depan rumah Tante ini. Persis di bawah pohon mangga itu" tunjuknya,
"Oh, Iya Tante juga belum berkenalan dengan ibumu, kamu tinggal dengan ibumu kan?atau bersama keluarga lain?" tanya mama Maudy,
"Iya, sama ayah dan ibu. Ayah kebetulan jarang di rumah karena dia bekerja sebagai mekanik di sebuah kapal dan kadang jarang bisa berlabuh tetap di dermaga." Ujarnya Rein,
Rein tidak mengatakan bahwa ayahnya bahkan mantan nakhoda yang masih dibutuhkan perusahaan jadi sudah pensiun jadi nakhoda namun, masih tetap berlayar kadang-kadang.
"Saya tinggal dengan ibu dan adik laki-laki di rumah. Jadi tidak terlalu sepi" ujar Rein lagi.
"Ah, iya makan dulu nak Rein bareng kami" ajak mama Maudy,
"Iya makan dulu, ayo" katanya ayahnya,
Sedang Maudy tahu sepertinya Rein belum bisa bergabung dengan mereka hanya menunggu jawaban-nya karena apapun itu dia tidak memaksa.
"Maaf, Tante dan om saya hanya ingin mengantarkan makanan ini. Kebetulan tadi saya beli banyak dan saya teringat Maudy yang baru pindah. Saya belum bisa bergabung dengan om dan Tan. Maaf ya, ibu pasti sudah lebih dulu menunggu di rumah. Ibu bisa ngamuk nanti, soalnya ibu kalau ngamuk mengerikan" ujar Rein mencoba berkelakar dengan menyebut ibunya galak dengan sengaja.
Mereka hanya tertawa dan Maudy menerima pemberian Rein serta tidak lupa mengucapkan terima kasih. Setelahnya Rein berlalu, karena ibu pasti sudah menunggunya pulang untuk makan malam bersama.
...