Maudya sangat senang berjalan sendirian di kota kembang ini. Sudah lama dia tidak merasakan kehangatan, entah kenapa ingatannya kembali ketika dia masih sekolah menengah pertama. Ada seorang siswa laki-laki yang menarik perhatiannya. Tapi tidak pernah bisa dia dekati, sampai ... Maudya merasa penglihatannya semakin lama semakin buram, dan dia tidak mengerti kenapa kepalanya sangat sakit.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya seorang pria,
Pria yang sebenarnya dari tadi sudah melihat dan mengamati Maudy namun belum berani mendekat karena dia tidak pernah melihat orang ini sebelumnya.
"Saya tidak apa-apa" ujar Maudy,
"Ayo, duduk dulu" pria itu menuntun Maudy untuk duduk di sebuah pelataran toko "ini minum dulu" ujarnya menyerahkan sebotol air mineral, Maudy masih melihatnya seksama sampai pria itu mengernyit bingung apakah ada yang salah dengannya.
"Kalau yang di dalam pikiran kamu saya bawa racun, itu enggak benar. Saya bukan penculik gadis perawan atau preman jalanan yang hobinya memalak wanita cantik, atau .. banyak hal lain. Tapi, kalau kamu bilang saya mau mencuri hati wanita itu mungkin" ujarnya mencoba mencoba mencairkan suasana, bagaiman pun dia tahu bahwa wanita di depannya ini bukan wanita pada umumnya yang suka mencari perhatian atau apapun itu sebutannya, dia tahu karena wanita ingin baru sekali dia lihat berada di daerah ini.
....
"Nama saya Rein, saya tinggal di jalan Cemara blok A, dekat pohon mangga dan di depannya rumah kosong. Rumah saya juga ada pohon mangga-nya" katanya lagi mengulurkan tangan memperkenalkan diri.
"Kamu tinggal di sana? Terus kamu ngapain di sini?" tanya Maudy heran dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.
"Oh, saya di sini punya toko kain tepatnya punya orang tua sih, saya juga baru di sini selama tiga tahun belakangan ini dan buka cafe di depan sana. Namanya Cafe Kembang Santai" ujar Rein menjelaskan.
"Oh, kamu baru di sini. Aku Maudy, dulu kami tinggal di sini juga bersama keluarga ayah. Kebetulan ayahku asli orang Bandung dan dulu pernah punya rumah di Jalan Kesatriaan dua belas, dekat sekolah sebelum aku akhirnya ke Jakarta dan melupakan segalanya" ujar Maudy semakin pelan di ujung kalimatnya, membuat Rein mengernyit.
"Kamu bilang apa?" tanya Rein
"Oh, tidak. Dulu aku juga tinggal di sini sama nenek dan kedua orang tuaku. Tapi beberapa tahun ini tinggal di Jakarta sampai akhirnya aku kembali ke sini, lagi" lanjutnya menjelaskan,
"Kamu kok bisa di pasar ini? Dan kelihatannya kamu tidak sehat" ucap Rein.
"Ah, iya ini sudah pukul berapa? Tadi mama nyuruh aku buat belanja karena dia ada keperluan di rumah Bu Ani" ucap Maudy mulai panik,
"Kamu tenang aja dulu.saya bisa temani kamu kok, apakah kamu keberatan?" Rein melihat Maudy seksama.
"Ah, serius? Kamu tidak merasa aku repotkan? Maaf ya, kalau baru sehari saja di sini sudah buat orang lain susah" Maudy berkata dengan ekspresi memelas, menangkup kedua tangannya di d**a dan berujar dengan tulus.
Rein hanya tersenyum melihat ekspresi Maudy dan pandangannya benar-benar terpaku hanya pada wanita di depannya ini. Memaku setiap bentuk wajahnya yang manis dan mengingat bagaimana Tuhan menciptakan seorang wanita dengan begitu indahnya.
"Iya, ayo ikut saya. Saya akan bantu kamu berbelanja dan mengantarkan kami ke rumah" ajaknya.
...
Rein membantu Maudy berbelanja, mengajak ke tempat biasa di mana dia sering berbelanja murah dan barangnya bagus.
"Mang, beli kebutuhan dapur ya" ujar Rein tersenyum mengapa si mamang tempat biasa dia membeli kebutuhan pokok.
"Baik den, eh ini siapa den? Cem-ceman-nya kah?" goda mamang penjual terhadap Rein. Membuat Rein hanya tersenyum saja dan memandang Maudy yang memerah karena malu.
"Enggak mang, ini temen. Dia baru saja kembali lagi ke sini setelah sekian lama. Karena selama ini dia di Jakarta." Rein berusaha menjelaskan agar Si mamang penjual tidak meledeknya lagi dan Maudy nyaman berjalan dengan-nya walau pertama kali.
"Bener mang. Nama saya Maudy" ujar Maudy malu-malu.
Tidak lama menemani Maudy berbelanja, kebetulan wanita itu juga bukan tipe yang repot apa-apa harus sampai detail. Hampir sama dengan mamanya yang supel dan cepat Maudy seperti memiliki aura positif dan apabila dikenalkan kepada mama-nya kalau dia punya teman baru pastilah mama sangat senang.
Akhirnya mereka selesai juga belanja dan Rein mengantarkan Maudy ke rumah karena kebetulan rumah mereka juga berdekatan. Untungnya Maudy bukanlah orang kota kebanyakan yang apabila dibonceng dengan sepeda motor takut jatuh, rambut lepek dan sebagainya.
...
"Stop, di sini aja. Ini rumah nenek aku, sekarang kami yang tinggal di sini" ujar Maudy tepat di depan rumah neneknya.
"Oh, itu rumah saya" tunjuk Rein pada rumah yang ada di depan Maudy, "rumah saya dan kamu berhadapan, cuma jalan yang memisahkan. Jadi kamu bisa panggil saya kalau ada perlu atau minta bantu apapun" kata Rein menjelaskan.
"Wah, asik dong. Aku seneng banget dapat teman yang bisa diajak jalan-jalan keliling Bandung ini. Kamu enggak keberatan kan kalau suatu waktu aku ngajak-in kamu buat nyoba semua permainan di pasar malam dan kora-kora" Maudy berbicara dengan wajah bersinar dan mata yang tidak lepas memandang Rein membuat pria yang tingginya tidak jauh dengan Maudy itu mengerjab lalu mengangguk kaku.
"Terima kasih Rein, sudah mau jadi teman aku. Padahal aku itu enggak susah berteman kok. Hanya saja beberapa tahun terakhir ini, ... Ah sudahlah" ujarnya. Maudya belum siap jika Rein tau dia kehilangan sebagian ingatannya.
Dia merasa insecure karena memiliki teman yang sebernarnya dia belum kenal dan mau menjadi temannya tapi harus memiliki banyak kekurangan seperti dirinya.
Biarlah sekarang dia seperti ini saja. "Mau mampir dulu enggak Rein? Kenalan sama ayah dan mama aku" pinta Maudy.
"Kayanya untuk sekarang tidak, tapi nanti sore saya akan ke sini dan bawakan makanan yang biasa saya beli di tempat langganann saya." Rein bernegosiasi kali aja Maudy tersinggung karena dia tidak bisa singgah, namun bukan keinginannya. Jelas dia ingin mengenal wanita ini, hanya saja sepertinya ibunya akan marah jika dia lupa berbelanja pesanan ibu dan kebutuhan cafe. Dari tadi dia juga melirik ke arah rumah-nya takut ibunya keluar dan mengeluarkan taring-nya.
"Ah, sayang sekali. Padahal, aku mau ngenalin kamu sama ayah dan mama aku sebagai teman baru lho" ujar Maudy semangat, "tapi, it's okay nanti sore juga boleh"ucapnya tersenyum.
Setelah berpamitan Rein berlalu dari sana, untung saja ibunya tidak melihatnya di luar malah bisa jadi salah paham, dikira dia genit suka menggoda cewek bisa berabe nanti.
Tapi Rein tidak tahu jika ibunya tadi sedikit mendengar suaranya dan melihatnya dari jendela tanpa ada yang tahu, bahkan Rein sekali pun.
"Siapa ya itu? Neng geulis mau aja sama si Rein padahal kan si Sulis sahabatnya aja kadang malas liat dia. Apalagi si Mirna anak juragan lele, yang cinta mati sama si Rein banget, si Rein nah yang kagak mau. Ia sih, gue juga mikir-mikir atuh kalau mau besanan sama si tukang lele eh. Sapa juga yang doyan makan lele tiap hari, mana songong lagi. Tapi, itu teh geulis pisan. Bisa dijadikan mantu ini" ibu Rein berbicara sendiri saat melihat Maudy memasuki halaman rumahnya dan memiliki pikiran yang cerdas untuk menjodohkan anaknya.
Dasar ibu-ibu, tau aja yang bening yak.
...
"Ma, Maudy pulang. Maaf ya ma, lama" ujar Maudy ketika sudah melihat ibunya di dapur.
"Enggak apa-apa, mama juga baru pulang dari rumah Bu Ani. Besok ada kumpulan di sana. Kumpulan arisannya Bu Ani, mama bantu masak aja. Kamu tadi kesulitan enggak belanjanya?"
"Enggak ma, cuma tadi ...." Maudy ingat dia hampir pingsan, tidak mungkin dia menceritakan pada ibunya dong..bisa jadi mamanya khawatir nanti. "Tadi, Maudy enggak tahu tempat belanja murah ma, mama tau sendiri Maudy gak bisa nawar. Eh, ada teman yang nawarin bantu Maudy. Ternyata rumah dia ada di depan rumah kita. Rein namanya, itu sana...." Maudy menunjuk rumah depan yang terlihat dari jendela dapur atap-nya.
"Oh, anaknya cowok?" mama mulai penasaran, takut aja dia kalau kejadian dulu terulang lagi. Bukan, dia tidak pernah membeda-bedakan siapa pun orang itu. Hanya saja, mulai sekarang mereka perlu berhati-hati.
"Ia, baik kok ma" kata Maudy meletakan sambil belanjaannya ke tempat masing-masing.
"Kamu suka?" Maudy terhenti meletakkan tomat ke lemari pendingin. Namun, akhirnya selesai dia melihat mamanya seakan tidak senang, tapi dia berusaha santai dan tersenyum.
"Mama ini aneh, ya suka lah, dalam artian yang berbeda. Kalau dia cewek pun Maudy suka karena sudah baik bantu Maudy ma. Bukan karena apa-apa. Mama tahu sendiri kalau Maudy sulit buat jatuh cinta. Kalau itu yang mama maksud, tapi Maudy yakin mama bukan orang yang posessive enggak jelas kok" ujarnya tersenyum.
Membuat mamanya merasakan perasaan bersalah sekaligus senang. Bagaimana pun dia belum siap jika anaknya kembali merasakan cinta yang bukan dari mereka. Ah, ataukah dia masih berharap Arga datang dan membawa anaknya dalam bahagia? Tapi jelas-jelas keluarga itu yang membuat anaknya kehilangan ingatan masa remaja-nya.
Tapi, apapun itu dia patut bersyukur saat ini.
"Ah, sudahlah. Mama terlalu panik saja. Mama takut kamu kenal orang baru tapi jahat sama kamu. Mama minta maaf ya, istirahat sana. Mama mau buat cemilan aja dulu sama lauk untuk siang ini" mendorong Maudy agar beristirahat.
"Padahal, Maudy mau bantu mama lho. Mama enggak apa-apa? Kok Maudy rasa mama buat Maudy menjauh?" ujarnya memelas.
"Ah, enggak perasaan kamu aja. Mama sengaja biar kamu bisa istirahat. Mama udah suruh kamu belanja lagi tadi. Santai aja, mama enggak apa-apa kok" mama mengerlingkan matanya seolah semua baik-baik saja.
Walau Maudy ragu, karena dia melihat bukan sifat asli ibunya yang sebenarnya yang ditampilkan. Dia tahu ibunya suka menggoda atau menjahili-nya sama seperti ayahnya. Tapi rasanya agak aneh. Dia tidak mau berburuk sangka pada orang tuanya. Biar bagaimana pun mereka tetaplah orang tua yang melahirkannya. Merawat, menjaga dan melindunginya sampai sebesar ini.
...