Maudy sudah diperbolehkan pulang, dia akan pulang ke rumah orang tuanya. Dan dua minggu lagi dia sudah merencanakan akan ke Bandung di antar oleh Ayah dan Mamanya. Casya, Sky dan Nuril akan menjenguknya bila rindu.
Kebetulan, Nuril dan Fathur juga masih prewedding di Bali sekalian liburan. Dia pasti rindu Bandung dan akan menjenguk ke sana. Dia bahkan tidak tahu kapan terakhir kali menginjakkan kaki di kota kembang itu. Dia hanya mengingat kenangan manis di sana, dia sendiri bingung kapan dia ke Jakarta dan menetap di sini.
***
Tidak terasa hari ini Maudy bahkan sudah berada di Bandung bersama Mama dan Ayahnya. Untung saja, Ayahnya sudah pensiun dan memiliki sedikit usaha jadi lebih memudahkan-nya untuk menemani anak satu-satunya.
"Dy, kamu mau ngapain nak? Udah biar Mama aja, kamu istirahat dulu sana!" Perintah Mama memang tidak bisa dibantah.
"Ma, tapi ini gak bakalan buat Dy jadi lelah kok. Beneran!" Mulai menampilkan puppy eyes sehingga buat Mama tidak tega.
Tapi, kali ini Maudy salah Mama lebih peka dari yang dia pikirkan. "Kamu istirahat aja. Biar Mama yang susun," ujarnya.
"Masa Dy biarin Mama beresin keperluan aku sendiri sih sedangkan kita berdua di sini dan Dy enak-enakan gitu?" cemberutnya tidak terima.
Mama menghembuskan napasnya pelan, dia mengerti apa yang membuat Maudy menjadi tidak enak-kan seperti ini.
"Sudah, kamu itu anak Mama. Tenang saja, Mama tidak pernah merasa direpotkan sama anak Mama sendiri kok," ujar Mama mendekap kedua tangan Maudy dan melihat anak-nya itu dengan ketulusan seorang ibu.
Ayah yang dari tadi berdiri di depan pintu kamar pun hanya tersenyum dan menahan air mata yang akan keluar. Perasaan haru dan bahagia menjadi satu kala anaknya selamat dari maut dan haru karena istri-nya masih mau bertahan hidup dengannya.
Mama Maudy bukanlah orang susah, tapi hidup bersama keluarga-nya menjadikan ia wanita sederhana. Dan, dia sangat bangga akan itu.
"Kok, kalian pelukan tidak ajak Ayah sih?" Ayah memasuki kamar yang memang tidak tertutup rapat.
Seketika Maudy dan Mama melepaskan pelukan mereka dan tersenyum, Maudy mencebik sedang Mama mendengkus pura-pura kesal.
"Kok, Ayah datang udahan sih pelukannya?" goda-nya lagi.
"Ih, habisnya Ayah ganggu," ujar Maudy mencebik,
“Ayah kan tadi tidak masuk hitungan," lanjutnya lagi.
"Mama enggak mau peluk Ayah juga?" goda Ayah, yang membuat Maudy mencibir menggoda Ayahnya "Ayah, udah dong! Kan Ayah udah tua malu sama umur, Mama aja malu tuh!" tunjuk Maudy membuat Mamanya tersipu menahan malu akibat kelakuan suaminya, yang tidak tau tempat. Padahal-kan, anak mereka sudah dewasa.
"Kenapa harus malu? Ayah mau peluk istri Ayah dong," ujarnya memeluk Mama, "Dan Ayah juga peluk anak Ayah lah." beralih pada Maudy.
"Kalian itu dua orang kesayangan Ayah, setelah Nenek. Keluarga Ayah dan keluarga Mama hanya bonus, karena kita saudara. Kita harus saling menyayangi. Tapi, jangan yang apa Ayah bisa hidup tanpa kalian atau tidak. Jawabannya pasti - TIDAK! Karena Ayah benar Tidak tahu jadi apa kalau kalian tidak ada di sini sekarang," ujarnya memeluk kedua rumah-nya untuk pulang.
"Ayah bisa kehilangan semua tapi tidak dengan kalian," ucapnya,
"Ih, Ayah udah dong. Jangan sedih -sedih terus. Kita udah bersatu kan. Maudy emang enggak tahu apa yang terjadi di masa lalu, bukan tapi tidak ingat. Jadi, sekarang kita sudah kumpul lebih baik kita menikmati waktu ini sampai batas yang ditentukan. Karena Maudy kan nanti juga akan menikah," ujarnya terkekeh, dia sendiri malu mengungkap-kannya.
Seketika Ayah dan Mama berpandangan, berbagai macam pikiran merajai kepala mereka, Ayah yang hanya diam menatap Mama beralih pada Maudy sedangkan Mama entah apa yang dipikirkannya tapi sepertinya itu tidak terlalu bagus, dan lagi pula dia belum siap kehilangan bahkan setelah malaikat maut mengembalikan putrinya.
Ayah hanya menatap Mama yang memiliki banyak ekspresi, dia tahu sama seperti dirinya. Tapi, Ayah hanya bisa tersenyum menatap Maudy, dan Mama dia mengelus punggung istrinya itu dengan senyum menenangkan-nya.
"Ayah, masih kangen banget sama kamu. Jangan cepat-cepat menikah lah Dy" ujar Ayah mencoba bercanda,
"Ishh, apa Ayah mau belanjaan Maudy seumur hidup?" tanya Maudy, menggoda Ayahnya.
“Bisa, kenapa tidak? Kamu anak Ayah, tidak akan pernah bosan Ayah mengabulkan permintaan kamu. Ayah hidup juga untuk kamu," ujar Ayah membeli rambut anaknya yang lurus dan hitam.
Mama dan Ayah saling memandang penuh cinta terhadap Maudy dan memeluknya erat. Banyak hal yang berkecamuk di kepala Mama yang sampai sekarang dia belum bisa menjelaskannya.
...
Arga baru saja mendapatkan telpon kembali dari Mamanya bahwa Nenek kembali - mengigau dan - memanggil nama Maudy dalam tidurnya. Sempat terbangun dan tidak sadarkan diri kembali hingga berteriak histeris dan diberikan obat penenang kembali.
Arga sendiri bingung kenapa bisa Neneknya kembali mengalami hal seperti ini? Apakah karena rasa bersalahnya atau - ada hal lain yang mengakibatkan Nenek terus mencoba untuk berbicara dengan Maudy walau dia tahu itu mustahil.
Sebenarnya Arga sendiri memiliki banyak teka-teki dalam hidupnya selama ini. Perjalanan yang bisa dikatakan aneh. Dia juga bingung kenapa bisa terjadi.
Dering gawai-nya di atas meja menyadarkan kembali perhatiannya.
"Halo, kenapa Se?"
"Arga, loe di mana sih? Enggak jadi nih kita party?" dasar Tirta, emang enggak bisa banget dia lihat Arga tenang sedikit.
"Gue enggak dulu ya Ta, gue kayanya bakalan pulang duluan. Kasih tau Sean, gue harus pulang karena Nenek butuh gue."
"Ta," tapi Arga tahu bahwa Sean dan Tirta sedang rebutan untuk berbicara padanya.
"Ga," akhirnya, Arga sedikit lega karena yang menjawab kembali adalah Sean.
"Loe boleh pulang, dan silakan balik aja. Enggak usah pedulikan kita apalagi Tirta yang cuma bisa gangguin loe tanpa bantu," ujar Sean, "Gue bantu doa lo Se, lagian Arga juga butuh senang-senang ini. Oke, gue doakan loe dapat jodoh segera ya Ga, biar Nenek loe gak usah ngigau lagi buat orang yang gak bakalan kembali," teriak Tirta membuat Sean menahannya agar tak melanjutkan.
"Enggak usah didengarkan Tirta emamg begitu Ga, loe tahu sendiri dia adalah teman ter-gesrek jadi loe harusnya enggak perlu marah atau tersinggung. Biar gue aja yang bakalan hajar dia di sini." Sean meminta pengertian sahabatnya.
"Iya, gue paham kok. Gue balik duluan ya. Gue gak bisa nunggu kalian, sorry banget" ujarnya tulus
"It's okay Ga, hati-hati ya!"
"Ah, Se padahal gue belum selesai tahu ngasih doa ke Arga," sungut Tirta,
"Enggak usah, dia enggak buruh doa dari loe sih," lanjutnya. "Yang ada dia bakalan nyesel dapat doa dari loe" kekeh Sean puas sekali mengejek Tirta dan melihat wajah Tirta yang merenggut kaya anak bayi lagi nangis versi besar yang tidak ada imut-imutnya yang ada hanya wajah memelas kekurangan uang justru membuatnya ngakak habis.
Ini hari pertama Maudy tinggal di Bandung yang masih ditemani oleh Ayah dan Mamanya. Dan untuk sekarang dia belum bisa melaksanakan niatnya kembali kursus desain.
Dia masih harus banyak beristirahat, dan melatih organ-organ tubuhnya seperti berjalan dan olahraga senam pagi agar membantunya melancarkan peredaran darah juga.
"Dy, ayo makan Nak," ujar Mama dari dapur.
Maudy menoleh ke dalam rumah, karena dia berada di teras yang di depan rumah mereka ada taman bunga kecil-kecilan tempat Nenek dulu berkebun, dan rasanya itu sedikit mengobati perasaan rindunya terhadap jalan-jalan yang belum bisa dia realisasikan.
Mereka tinggal kembali di rumah Nenek yang menjadi kenangan sebelum pindah ke Jakarta. Maudy ingat mereka memiliki rumah di sini selain rumah dinas sang Ayah. Tapi, entah kenapa Ayah tidak membawanya ke sana. Dan apapun alasannya dia senang di sini.
"Kamu nanti lagi senamnya, makan dulu panggil Ayah di kebun belakang ya!" Mama menyuruhnya memanggil Ayah yang sedang berada di kebun belakang.
Oh, iya rumah Nenek tidak terlalu besar tapi halamannya luas. Halaman depan yang dijadikan taman sih ukuran normal, hanya saja di halaman belakang itu sedikit memanjang dan bisa bercocok tanam. Jadi, Ayah biasa ke belakang kalau di sini menanam tebu, ubi dan pisang. Dan itu biasa membuat Maudy senang bukan main bisa bermain dan belajar banyak hal tentang alam.
"Oh, ya nanti setelah kamu panggil Ayah kita makan. Mama ada keperluan ke rumah Bu Ani, kamu bisa bantu Mama ke pasar?" tanya Mama karena dia enggak mau anaknya menjadi anti sosial tapi tidak memaksa juga. Karena dulu, sebelum kejadian ini Maudy benar-benar anak yang aktif.
"Boleh, Ma. Maudy bisa kok," ujarnya semangat menganggukkan kepalanya.
"Iya sudah ayo panggil Ayah dulu"
Maudy pun mengikuti ibunya yang lebih dulu masuk untuk memanggil Ayahnya.
...