bc

Menjahit Luka

book_age12+
2
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
family
opposites attract
kickass heroine
heir/heiress
drama
bxg
scary
loser
harem
chubby
like
intro-logo
Blurb

Ayah melakukan pelecehan terhadap pembantu!

Itulah yang selalu Ara tutupi dari Luna, adiknya. Hingga lelaki itu telah tua renta dan sering sakit-sakitan, ibu pun kembali mengusirnya akibat kelakuannya yang tidak pernah berubah. Ayah terlunta-lunta dan tinggal di ruang yang hanya sepetak. Dalam kesendiriannya, akankah lelaki tua itu bertemu Tuhan atau justru menjadikan ini sebagai sebuah kesempatan untuk kembali bermaksiat?

Alam bawah sadarnya menyeret ia ke penjara dan menyaksikan dirinya sendiri mati.

Surat di tahun 1980 menjawab semua pertanyaan.

chap-preview
Free preview
1. Kesedihan Ibu Kembali Terulang
Ara yang tengah duduk di lantai memangku Kalya, putra semata wayangnya yang baru berusia satu tahun sembari membacakan sebuah buku cerita teralihkan perhatiannya oleh suara dering telepon dari ponselnya yang ditaruh di atas meja. “Sebentar ya nak.” Ia memindahkan Kalya ke sampingnya, lalu berdiri dan mengambil alat komunikasinya itu. Di layar telepon genggamnya tertera nama ’Ibu’. Sambil bergerak kembali ke tempat semula, duduk di samping Kalya, ia pun mengangkat telepon. “Assalamualaikum.” Sesekali Ara tersenyum kepada sang putra yang kini asik membuka-buka lembaran halaman buku. Suara ibu di seberang sana terdengar tegas, namun berat. “Waalaikumussalam. Ara, suamimu ada di rumah?” “Enggak ada bu. Berangkat pagi tadi.” “Kamu bisa titipkan dulu Kalya?” Ara terhenti sejenak. Ia menimbang. Namun lebih dulu ibunya kembali melanjutkan. “Ada yang ingin ibu bicarakan sama kamu dan Luna. Dia sedang menuju ke sini. Ibu tunggu sekarang di Masjid Salaf.” Ara mengernyit. Ada apa dengan ibunya? Adakah sesuatu telah atau sedang terjadi pada sang ibu? Atau ayah? Atau mungkin keduanya? Ara sudah bisa menduga bahwa ada yang tidak beres. “Baik bu. Ara telepon dulu Mba Lia, mudah-mudahan dia bisa ke sini untuk menjaga Kalya.” “Jangan naik angkutan umum ya? Naik ojek saja biar cepat.” “Iya bu. Ara siap-siap dulu.” “Hati-hati. Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam.” Perasaan Ara jadi tak enak. Jika saja ibunya itu mau lebih dulu menceritakan persoalan yang tengah terjadi melalui telepon, setidaknya bisa mengurangi sedikit rasa gundah di hati Ara. Perempuan tiga puluhan itu langsung menghubungi salah satu nomor kontak. Menunggu beberapa detik. Membuat Ara semakin gelisah. Khawatir Mba Lia sedang sibuk atau tak ada di rumahnya. Bila wanita empat puluh limaan itu tak juga menjawab telepon, maka Ara tak punya pilihan selain membawa pula sang putra menemui neneknya. “Ya mba.” Mendengar ujaran itu, perasaan Ara sedikit lega. “Assalamualaikum mba.” “Eh iya, waalaikumussalam. Gimana Mba Ara?” “Mba Lia lagi sibuk enggak?” “Enggak mba. Gimana?” “Mba, bisa titip Kalya? Barusan saya ditelepon ibu. Mendadak dan harus menemuinya.” “Bisa mba. Lima menit lagi saya ke situ.” “Terima kasih banyak mba. Ditunggu ya.” “Ya mba.” “Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam.” Ara memutus sambungan. Kemudian ia menggenggam alat komunikasinya itu di pangkuan kedua kakinya. Ia terdiam. Hatinya kini benar-benar gelisah. Sebelum-sebelumnya ibu tak pernah melakukan hal semacam ini. Sengaja merahasiakan sementara hal yang jelas-jelas bakal ia sampaikan. Sesulit dan segenting apapun masalahnya, ibu pasti menceritakan lebih dulu walaupun melalui sambungan telepon. Ya Tuhan, ini sungguh menyita konsentrasi Ara yang justru seharusnya tengah bersama sang putra. Bukan hanya fisiknya yang ada, namun juga pikiran dan hatinya. Seketika Ara merasa bersalah dan diperhatikannya sebentar Kalya yang tengah mengambil buku lainnya yang tergeletak di hadapan. Seolah-olah ia ingin meminta pengertian dari sang anak, lantas ia pun menjelaskan. “Nak, barusan nenek telepon. Katanya mamah harus ke sana. Dede sama Mba Lia dulu ya hari ini?” Semacam memahami perkataan sang mamah, Kalya pun menoleh, memandang sebentar. “Mamah janji, kalau sudah selesai mamah langsung pulang.” Ara mengelus rambut Kalya yang tipis dan berwarna pirang. Ia kemudian menghubungi suaminya, meminta ijin hendak ke luar rumah. “Assalamualaikum mas.” *** Sinar matahari menyengat. Ara turun dari kendaraan roda dua. Menyerahkan helm dan selembar uang kepada si tukang ojek. “Kembalinya ambil aja.” “Terima kasih mba.” Ara membalikan badan dan bergegas masuk area parkiran masjid. Mencari-cari sang ibu. Sambil terus berjalan, pandangannya berkeliling. Lalu didapatinya perempuan yang paling dihormatinya itu sedang duduk berhadapan bersama seseorang di teras masjid. Luna? Ara menghampiri dan seseorang yang ia terka barusan rupanya benar, Luna adiknya menoleh. Wajah tegang tersirat dari keduanya. Ara kemudian duduk di sebelah ibu dan adiknya. Ia lalu menjulurkan tangan dan mencium punggung tangan sang ibu. “Kalya di rumah?” “Iya bu. Mba Lia yang ke rumah.” Ara mengalihkan pandangan kepada Luna yang juga tengah melihatnya dengan tidak biasa. Semacam menyimpan kesal. Tapi tidak, bukankah rona wajah Luna semacam ini pernah disaksikannya beberapa kali dahulu. Saat ia telah mendengarkan dengan jelas oleh kedua telinganya sendiri mengenai kelakuan ayah mereka. Luna sedang membenci. Ya, Ara yakin adiknya itu sedang membenci. Barulah Ara tersadar dan menduga-duga, apakah ini ada hubungannya dengan ayah mereka? Apalagi yang telah ayah perbuat? Ayah kembali melecehkan pembantu? Tanpa mengindahkan dugaannya dan terlebih ingin segera mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya, Ara pun kembali memandang sang ibu. Ibu terdiam beberapa saat. Memperhatikan Ara dan Luna. Ekspresi wajahnya menyiratkan kebingungan sekaligus kegundahan. Sekali lagi Ara dan Luna saling pandang. Ibu lalu mengalihkan tatapan ke arah deretan penjual kaki lima yang berada di sisi area parkiran masjid. “Ngobrol di sana saja yuk!” Ibu bangkit diikuti Ara dan Luna. Mereka berjalan mendekati penjual ketoprak. “Kalian belum pada makan kan?” “Belum bu.” Ara tersenyum, sedangkan Luna telah lebih dulu terduduk tepat di belakang si penjual. “Pak, ketopraknya tiga ya. Satu jangan pedas, dua sedang.” “Minumnya?” “Ara? Ibu bawa.” Ibu lalu mengeluarkan sebuah botol minum dari dalam tas jinjingnya. “Teh tawar hangat saja dua.” Ibu dan Ara kemudian menyusul Luna yang nampak tengah menengadah, memperhatikan atap. “Sepertinya baru dibangun. Beberapa bulan lalu tempat ini kan belum ada.” Sungguh, ibu mana yang tak dapat menebak apa yang tengah dipikirkan anak-anaknya? “Ngobrolnya enak di sini,” ujar ibu sambil terduduk. “Ibu ada masalah?” Ara kembali menjatuhkan p****t di antara ibu dan Luna. Ibu menarik nafas dalam dan terdengar bunyi desah dari mulutnya yang sedikit terbuka. Seketika matanya berair. Kini Ara dan Luna hampir bisa memastikan akan apa yang tengah terjadi pada diri ibu mereka. Ekspresi wajah itu bukan hal yang pertama mereka lihat. “Kalian tahu kan setiap seminggu sekali ibu selalu menyuruh Elin untuk datang ke rumah dan membersihkan rumah sekaligus masak?” Ara menjawab perlahan, sedangkan Luna memilih diam. “Iya.” “Senin di minggu lalu waktu ibu baru pulang dari pengajian, baru sampai di rumah, tiba-tiba dia ijin pulang. Katanya ada saudaranya dari luar kota mendadak datang. Padahal dia belum sempat mengepel dan mengistrika pakaian. Tapi ya sudah, barangkali memang dia dibutuhkan untuk pulang segera, akhirnya ibu ijinkan. Tapi ibu merasa ada yang aneh. Elin kelihatan gugup dan terburu-buru sekali.” Ibu menjeda. “Malam kemarin ibu berniat menelepon. Maksudnya ingin memastikan apakah Senin bisa datang atau tidak. Tapi sebetulnya tanpa ibu telepon pun seharusnya dia bisa datang, karena kan memang sudah jadwalnya di Hari Senin membersihkan rumah ibu dan biasanya kalau pun dia tidak bisa datang karena ada keperluan atau sakit, dia pasti mengabari. Entah lewat telepon atau pesan singkat. Senin pagi ibu tunggu sampai jam sembilan, tapi enggak datang juga. Padahal biasanya jam setengah delapan atau jam delapan sudah datang.” Tiba-tiba ibu memperhatikan sekitar, ekspresi wajahnya nampak seperti tak nyaman. “Suara ibu terlalu keras enggak?” “Enggak bu.” “Barangkali kedengaran sama yang lain.” Ara ikut mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak ada pembeli lain di sekitar mereka duduk. Adapun letaknya agak jauh dan bisa dipastikan suara ibu tak bakal sampai ke sana. Terkhusus penjual ketoprak yang kini tengah berjalan menghampiri mereka guna menyerahkan pesanan mereka biarlah. Antara ibu, Ara, dan Luna kan memang tak ada hubungan apa-apa dengan tukang ketoprak itu. Jadi biarkan saja jika nanti penjual ketoprak itu mendengar apa yang ibu sampaikan. “Ini yang enggak pedas. Ini yang sedang.” Penjual ketoprak memberikan tiga piring ketoprak secara bergantian kepada ibu, Luna, dan Ara. “Terima kasih pak.” Penjual ketoprak itu kemudian kembali lagi ke tempatnya. Ara menyaksikan lelaki enam puluhan itu duduk di sebelah gerobaknya. Ia menduga lelaki itu telah mengerti, bahwa mereka butuh tempat yang mendukung untuk mengobrol. “Dimakan saja dulu.” “Nanti aja,” jawab Luna kepada sang ibu. Ibu menghela nafas. “Tapi kalau ibu belum makan siang enggak apa-apa dimakan aja dulu.” Ara justru lebih mengerti. Ibu menggeleng mantap, kemudian melanjutkan kisahnya. “Akhirnya ibu telepon. Ibu minta dia untuk datang. Ibu bilang, ayah sedang ke luar cukur rambut dan ibu enggak berani di rumah sendirian. Enggak lama dia datang. Ibu agak aneh. Enggak biasanya Elin begitu. Terus ibu tanya-tanya dia. Awalnya dia agak menutupi, tapi lama-lama dia menceritakan semuanya.” Ibu terdiam. Sorot matanya mulai sendu. Ara maupun Luna tak ada yang berani membuka suara. “Ayah kalian begitu lagi.” Ara mengerutkan kening. Mencoba memahami makna yang disampaikan ibu. Meskipun hati kecilnya telah mengira, namun ia berusaha menepis. Karena ini bukanlah kejadian pahit pertama yang ditorehkan ayah. Ara berusaha menolak kata hati untuk membenarkan dugaannya sendiri. Ia benar-benar tak percaya jika ayahnya yang sudah tua renta, bahkan mulai sakit-sakitan masih berani melakukan maksiat untuk kesekian kalinya. Luna membuang nafas cepat.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
474.5K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
521.1K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
613.6K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
473.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook