Bab 3 - Menerima Takdir

1234 Words
Butuh beberapa waktu, untuk Nadia mencerna semuanya. Segala hal yang tidak masuk akal ini, benar terjadi adanya. Entah bagaimana ia harus menerima, kenyataan ini tetap tak bisa dia pahami dengan mudah. Terdengar suara pintu yang dibuka. Terlihat, Vincent masuk dan berjalan mendekati Alicia. Kemudian, ia pun duduk di hadapan Alicia. "Sekarang, apa kamu percaya dengan apa yang aku bilang?" Meski, kenyataannya sulit untuk ia percaya. Tapi pada akhirnya, ia memaksakan diri untuk mengangguk mengiyakan pertanyaan Vincent. "Jadi, bagaimana bisa kamu berakhir dengan kecelakaan seperti itu?" tanya Vincent tajam. Nadia bingung, harus menjawab seperti apa. Kecelakaan yang ada diingatannya adalah, kecelakaan saat ia sakit dan terjatuh dari motor. Hanya itu. "Ma-maaf. Saya, ga ingat apapun." Benar, lebih baik jika sekarang Nadia berpura-pura lupa ingatan. "Hhh ...." Vincent memijit keningnya. "Sepertinya, kamu butuh istirahat lebih banyak lagi supaya kamu ingat semuanya. Aku, akan panggilkan Mona. Untuk membawamu kembali ke kamar." "Siapa Mona?" tanya Nadia, sesaat setelah Vincent berdiri. "Mona, adalah asisten pribadimu," jawab Vincent sambil berlalu. Setelah Vincent keluar dari ruang kerjanya, Mona masuk tak lama kemudian. "Nyonya," sapa Mona. Cantik. Puji Nadia dalam hati. Dilihat dari wajahnya, sepertinya usia Mona masih cukup muda. mungkin, berkisar antara dua puluh delapan tahunan sampai tiga puluhan. "Apa kamu, yang bernama Mona?" tanyanya hati-hati. "Benar, Nyonya. Silahkan ikuti saya." Mona berjalan lebih dahulu. Tadi, sang Tuan sudah memberikan informasi terkait keadaan Alicia padanya. Jadi, ia tak merasa heran lagi melihat perilaku yang aneh dari nyonya-nya tersebut. "Silahkan istirahat, Nyonya. Jika anda membutuhkan saya, anda bisa memencet bel yang ada di sini." Mona mempersilahkan Alicia masuk, lalu memberitahukan letak bel untuk memanggilnya yang berada di samping nakas. "Saya pamit, Nyonya." Sebelum Mona undur diri, dengan cepat Alicia menahan tangan wanita itu. Membuat Mona, kembali menghadapkan tubuhnya ke arah Alicia. "Apakah, ada lagi yang bisa saya bantu?" tanyanya. "Ehm. Bisakah, kamu menceritakan tentang saya, tuan Vincent, dan semua hal di rumah ini?" pintanya. Mona mengangguk, lalu mengajak Alicia duduk di sofa yang terletak di depan jendela. "Mana yang ingin Nyonya ketahui lebih dulu?" tanya Mona saat mereka sudah duduk berhadapan. "Semuanya," jawabnya cepat. Mona pun, mulai menjelaskan semua hal pada Alicia. Dari silsilah keluarga, hubungannya dengan Vincent, juga pekerjaan Alicia yang menurut Nadia sangat ekstrem. "Jadi, saya beneran jadi model majalah dewasa?" tanyanya ragu. "Benar, Nyonya." Nadia terkulai lemas. Entah bagaimana ia bisa membayangkan, dirinya berpose dengan pakaian yang sangat seksi. Sedangkan, pakaian terseksi yang pernah ia kenakan, hanyalah rok selutut yang ia pinjam dari temannya saat ingin wawancara kerja dulu. Nadia, lebih nyaman dengan celana dan rok yang panjangnya mencapai betisnya. Suara pintu yang dibuka dengan keras, sukses membuat keduanya terlonjak kaget. Terlihat, seorang wanita paruh baya, yang Mona infokan sebagai Rebecca, ibu Alicia, masuk ke dalam kamar itu. "Al." Becca menghambur, memeluk Alicia erat. Pipinya basah oleh air mata. "Maafin Mamih, yang baru bisa datang hari ini, ya?" Becca terus menangis, menyesal karna baru bisa melihat kondisi anaknya sekarang. "Mamih baru bisa dapat pesawat pagi, itu pun ternyata harus delay dua jam. Maafin, Mamih," lanjutnya. Alicia mengusap lembut punggung Becca. Senang rasanya, ada seseorang yang mengkhawatirkan keadaannya. Meski, yang dikhawatirkan bukanlah dirinya yang asli. Melainkan Alicia, sang pemilik tubuh. Tapi, ia sudah cukup puas dengan itu. Setidaknya, ia bisa merasakan sekali saja, kasih sayang dari seorang ibu. "Ga pa-pa, Mih. Al baik-baik aja, kok," ucapnya menenangkan. Becca merenggangkan pelukannya, dan menatap Alicia lekat. "Nyonya Alicia mengalami amnesia, Nyonya." Tanpa diminta, Mona sudah menjelaskan kondisi Alicia pada Becca. Becca menutup mulutnya. Tak percaya, jika kondisi anaknya sampai seperti ini. Ia tak berani membayangkan, bagaimana kondisi Alicia jika saja airbag itu tak bekerja dengan baik. Pasalnya, bagian depan mobil Alicia ringsek cukup parah. Sungguh, Alicia amnesia, lebih baik ketimbang ia harus kehilangan putri kesayangannya itu. Roy, ayah Alicia masuk tak lama kemudian. "Bagaimana keadaan anak Papih?" Roy mengusap kelapa Alicia lembut. "Alicia, hilang ingatan, Pih." Becca tersedu. Beralih memeluk Roy. "Besok, kita bawa saja Alicia ke Singapur. Kita lanjutkan pengobatan di sana, sampai Al ingat semuanya lagi," perintah Roy. "Maaf, saya ga mengijinkan kalian membawa Alicia pergi ke Singapura. Di sini, saya masih lebih dari mampu mengobatinya sendiri," Vincent yang baru saja masuk ke kamar Alicia, menyela obrolan kedua mertuanya tersebut. " Tapi, dia anak saya," dalih Roy. "Saya lebih berhak. Karna saya suaminya." Penuh penekanan, Vincent mengatakannya. Seolah, ia tak ingin didebat lagi. Roy mendesah. Bagaimana pun, Vincent benar. Vincent lebih berhak terhadap Alicia sekarang. Karna ia adalah, suaminya. Akhirnya, ia pun mengalah dan membiarkan Alicia diobati oleh Vincent di sini. Sejak tadi, Alicia hanya bisa terdiam melihat interaksi semua orang di depannya. Ia tak mengerti, apa yang sedang mereka bicarakan. Ia takut, jika nantinya salah bicara hingga akhirnya ia memilih diam saja. Mona, yang melihat gelagat tak nyaman dari nyonya-nya, akhirnya berusaha untuk membuat semua yang ada di kamar itu keluar. "Maaf, Tuan dan Nyonya. Nyonya Alicia, masih butuh banyak istirahat. Lebih baik, jika sekarang kita membiarkan Nyonya sendiri dulu," sela Mona menengahi mereka. Mereka semua sontak melihat ke arah Alicia. Paham dengan kondisi Alicia, semua pun setuju dengan ucapan Mona barusan. Hingga akhirnya, mereka meninggalkan Alicia di kamar sendirian. Nadia termenung. Bingung memikirkan kondisi dirinya sekarang. Namun, mau tak mau, sepertinya ia harus mulai menerima kenyataan. Bahwa ia kini adalah, Alicia. *** Setelah dua pekan Alicia kembali ke dunia modeling, Alicia merasa semakin tak nyaman. Seberapa pun, ia berusaha keras untuk menyesuaikan dirinya. Kenyataannya, ia memang benar-benar tak bisa lagi melakoni dunia itu. Bukan karna ia tak bisa berpose di depan kamera. Karna kenyataannya, justru ia bisa bergaya senatural mungkin saat pemotretan.  Namun, ini lebih karna pakaian yang ia gunakan saat pemotretan. Bergaya di depan kamera, juga di depan banyak orang, dengan hanya menggunakan pakaian dalam saja, membuat ia malu setengah mati. Untungnya, kontrak dengan majalah yang sekarang, akan berakhir satu pekan lagi. Ini menjadi kesempatan untuknya, agar tak memperpanjang kontraknya. Padahal menurut Mona, pihak majalah sudah menyiapkan kontrak baru sesuai keinginan dirinya dulu. Tapi, Alicia tetap menolak. Jadi, sekarang ia hanya perlu bertahan seminggu lagi sampai kontraknya benar-benar berakhir. "Kamu, beneran ga mau lanjut, Al?" tanya Vallerie, direktur sekaligus pemilik agensi tempatnya bernaung. "Engga, Mbak." Sungguh, Vallerie yang biasa dipanggil Valley itu sangat risih mendengar Alicia memanggilnya 'mbak'. Meski, sudah beberapa kali ia mengatakan pada Alicia untuk memanggilnya 'Valley' seperti dulu, tapi tetap saja Alicia memanggilnya 'mbak'. "Padahal kalau kontrak ini diperpanjang, kamu bisa ikut pemotretan di Hawai bulan depan." Valley masih terus berusaha membujuk Alicia. Jika yang mendengar kalimat barusan adalah Alicia yang asli, mungkin ia akan bersemangat memperpanjang kontrak itu. Sayangnya, kini Alicia hanyalah tinggal raga saja. Sedangkan jiwanya, adalah jiwa Nadia. Nadia justru ngeri, membayangkan dirinya berpose dengan pakaian seksi di pinggir pantai dan dilihat oleh banyak pasang mata yang berlalu lalang. Nadia menggelengkan kepalanya, mencoba mengenyahkan pikirannya barusan. "Oke, lah. Kita cari kontrak lain aja, ya?" Pasrah. Akhirnya, hanya itu yang bisa dilakukan oleh Valley. "Kalau bisa, jangan yang pakai baju-baju seksi gitu ya, Mbak," pinta Alicia. Valley mengangguk, menyetujui permintaan Alicia. "Kalau udah selesai, saya boleh pamit kan, Mbak?" tanya Al. "Boleh," ijinnya. "Oh, iya. Sekalian deh kamu ambil libur, ya. Sambil nunggu ada kontrak baru," usul Valley yang langsung disetujui oleh Alicia. "Yaudah, Mbak. Saya pamit dulu, ya." Alicia meninggalkan ruangan Valley setelah ia diijinkan pergi. Valley menatap punggung Alicia yang semakin menjauh. Entah kenapa, ia merasa seperti berhadapan dengan orang lain. Bukan lagi berhadapan dengan Alicia yang dikenalnya selama beberapa tahun ini. "Separah itu kah, amnesianya?" bathinya bertanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD