Heart Choice : Bab 1

1783 Words
Flashback Remaja itu sebisa mungkin berlari sangat kencang, untuk menghindari kejaran Satpol PP yang sedang beroperasi. Dia hanya seorang pengamen jalanan, bukan pengemis apalagi pencuri. Dia hanya pengamen kecil yang mencari sesuap nasi untuk makan sehari-hari bersama sang ibu. Baginya pengamen pekerjaan yang halal dan selama bukan pencuri. Remaja itu menundukkan dirinya di antara semak-semak yang cukup lebat dengan napas masih tersengal. Beruntung semak-semak itu cukup lebat, jadi tidak kelihatan dari luar. Dia berdoa semoga saja tidak ketahuan. Dia takut kalau sampai ketahuan pasti akan membuat sang ibu sedih dan khawatir. "Ah, saya mohon jangan tangkap saya." Remaja itu memohon saat ada orang yang memegang pundaknya dari belakang. "Hei! Kamu sedang apa di sini?" Remaja itu langsung memutar kepala, lalu matanya mengerjap beberapa kali saat melihat ada seorang remaja seumuran di atas dia sedang menatap heran. "Kamu sedang apa di sini?" "Saya sedang bersembunyi dari kejaran Satpol PP," jawabnya sembari melirik kanan dan kiri. "Kenapa?" "Saya dikejar-kejar, padahal saya bukan pencuri. Saya hanya seorang pengamen jalanan." Remaja yang satunya mengangguk paham. "Jangan bersembunyi di sini. Ayo ikut aku," ucapnya. Si pengamen jalanan itu kembali mengerjapkan mata. Dia memindai penampilan lawan bicaranya. Kaos training dan memakai tas di belakangnya. Sepertinya dia adalah anak sekolahan. Berbanding terbalik dengan penampilannya yang kotor dan kumal. "Hei, kenapa melamun? Ayo cepat pergi, sebelum ketahuan Satpol PP. Kamu mau tertangkap?" Si pengamen itu sedikit gelagapan. Dia langsung berdiri dari jongkoknya. "Ini pakai sementara dulu," ucapnya sembari memberikan Hoodie ke si pengamen itu. "Sudah cepat pakai. Nanti keburu Satpol PP nya datang." Akhirnya pengamen itu mengangguk seraya menerima Hoodie dari pemuda itu. Remaja itu menarik tangan si pengamen. Dia celingak-celinguk sana-sini untuk memastikan tidak ada Satpol PP yang mencari si pengamen itu. Mereka berjalan menuju mobil yang sudah menunggu si remaja itu. "Siapa nama kamu?" tanya remaja itu ke si pengamen setelah mereka sudah duduk di mobil. "Badai Prayoga." Remaja itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia baru mendengar nama seperti itu, 'Badai'. Tapi sudahlah ... terserah orang tuanya saja mau menamakan anak, siapa. "Namaku Arfiq Hadiutomo. Kamu bisa memanggilku Arfiq." Arfiq mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan Badai. Badai menerima uluran tangan dari Arfiq. "Kita mau kemana?" tanya Badai. "Owh kita mau ke rumahku sebentar. Nanti aku antar kamu pulang setelah ganti baju dan makan di rumah. Soalnya takut mami cariin aku kalau sampai pulang telat," jawab Arfiq santai. Badai pun hanya bisa mengangguk patuh. Dalam hati dia bersyukur bertemu dengan Arfiq dan menolongnya dari kejaran satpol PP. Kurang lebih setengah jam. Mobil yang dikendarai supir keluarga Arfiq, sampai di halaman rumah Hadiutomo. Badai ternganga melihat rumah Arfiq yang jauh lebih besar dan bagus dari rumahnya. "Ayo turun." Lagi-lagi Badai hanya mengangguk pelan. Merekapun keluar dari mobil. Arfiq berjalan di depan dengan langkah biasa saja. Sementara Badai mengekor di belakangnya sambil terus terpesona dengan rumah Arfiq. Arfiq berdecak kesal melihat pemandangan di depan sana. Di mana sang adik yang sedang menangis, sedangkan sang Mami masih berusaha membujuk dan menyodorkan sebuah sendok ke mulut adiknya. "Ayo dong, Sayang ... buka mulutnya yaa ... nanti kalau kamu sudah sembuh, Mami ajak kamu main ke Mall." Sang Mami masih terus membujuk putri bungsunya yang sedang demam, tapi susah sekali diberi obat. "Zaya nggak mau!!" teriaknya, masih terus menangis. "Kalau kamu masih sakit. Nanti Mas doang, yang diajak jalan-jalan ke Mall sama Papi dan Mami. Iya kan, Mi?" Bukannya mereda dan mau meminum obatnya, justru gadis kecil itu semakin pecah tangisnya. "Mas Alfiq, jahat sama Zaya...." "Makanya minum itu obatnya." "Hallo ... kenapa kamu menangis?" Bocah kecil itu menatap seseorang yang datang bersama kakaknya tadi. "Mami, dia siapa?" tanyanya polos, sembari menuding Badai dengan jari telunjuknya yang mungil. "Coba kamu tanyakan ke dia, Sayang...." "Kakak siapa?" tanyanya malu-malu. "Nama kakak, Badai," jawab Badai, sambil mengulurkan tangannya, "Nama kamu siapa? Apa Kakak boleh tahu?" Bocah itu menganggukkan kepalanya, dengan senyum malu-malu. "Nama aku Zaya," jawabnya pelan. "Owh Aya ... hallo Aya, Kakak boleh panggil kamu Aya kan?" "Iya boleh...." "Aya minum obatnya. Biar nanti cepet sembuh dan bisa main lagi." Bocah kecil itu hanya mengangguk masih dengan senyum malu-malu. Flash off Badai terkekeh pelan mengingat kenangan kurang lebih 10 tahun lalu. Sekarang gadis kecil itu, menjadi gadis dewasa yang cantik dan penuh keceriaan. Nama gadis kecil itu Zahra. Badai menyukai Zahra beberapa tahun belakangan ini. Namun dia tidak berani mendekat karena merasa tidak pantas bersanding dengan Zahra. Apalah dia hanya seorang pengamen jalanan yang ditolong Arfiq sang atasan dan dibiayai sekolahnya oleh keluarga Hadiutomo sampai sarjana. Kalau bukan karena keluarga Hadiutomo, mungkin Badai masih menjadi pengamen jalanan. Badai berterima kasih kepada keluarga Hadiutomo dengan cara menjadi tangan kanan Arfiq sang atasan yang sekarang menjabat CEO di tempat kerjanya. Badai memendam perasaan cukup lama ke Zahra. Dia tahu dan menyadarinya, kalau sang pujaan hati juga mempunyai perasaan yang sama dengannya. Sama-sama saling menyukai satu sama lain. Tapi dia pengecut tidak berani mengungkapkan perasaannya ke Zahra. "Yoga." "Ya Bu," jawab Badai, sembari menutup buku diary-nya yang tertulis hampir semua tentang Zahra. Sang ibu masuk ke kamar anak tunggalnya. Wanita paruh baya yang setiap hari berhijab itu, sangat berterima kasih ke Badai yang telah menjadi anak berbakti kepadanya. "Makan, Nak. Ibu sudah siapkan makanan kesukaan kamu," ucap beliau tersenyum lembut. "Baik, Bu. Nanti Yoga makan sehabis mandi dan sholat isya," jawab Badai balas tersenyum ke sang ibu tercinta. Namanya memang Badai Prayoga. Dia biasa dipanggil Badai, tapi kalau di rumah biasa dipanggil Yoga. "Ya sudah Ibu keluar dulu." Sang ibu langsung keluar setelah mengatakan itu ke anak lelakinya. Badai mengangguk dengan senyum kecil. Mereka hanya hidup berdua saja. Selama Badai kerja, sang ibu akan bersama seorang gadis yang bernama Salwa. Badai membiarkan Salwa menemani sang ibu. Karena Badai sedikit takut terjadi apa-apa dengan sang ibu, ketika dia sedang bekerja. Mengingat nama Salwa, Badai mendesah pelan. Sebab Badai tahu, Salwa sering mencuri pandang padanya. Walaupun Badai sudah bersikap datar dan tidak menunjukkan ketertarikan ke Salwa. Tapi Salwa tidak mengindahkannya sama sekali. Haruskah Badai bilang, kalau dia sudah mencintai gadis lain. Gadis yang selalu ada di hatinya sampai sekarang. Zahra Septiani Hadiutomo. Di tempat berbeda... Dentingan sendok memenuhi ruang makan Hadiutomo. Ruang makan terasa rameh, sebab ada celotehan Arash yang berbicara dengan bahasa bayinya. "Mi, Mami nggak niat jodohkan Aya dengan anak teman Mami atau kolega bisnis perusahaan Hadiutomo?" tanya Arfiq tiba-tiba. Zahra langsung tersedak mendengar pertanyaan sang kakak. Matanya melotot tidak terima dengan usulan sang kakak. "Mas, please. Nggak usah ngomong kaya gitu. Cukup Mas aja yang dijodohin karena Mas sudah cukup umur sebelum nikah sama Mbak. Aku masih muda, pengen nikmati masa mudaku dulu. Dan nggak mau buru-buru menikah," protes Zahra panjang lebar. "Mas Arfiq hanya bercanda, Aya. Mas juga jangan kaya gitu," ucap Indah mengelus lengan sang suami. Dia menengahi perdebatan yang dimulai suaminya. Arfiq langsung terkekeh pelan, mendengar protes Zahra dan ucapan sang istri tercinta. Sementara Pak Arlan dan Bu Mega hanya geleng-geleng dengan kedua anaknya itu. Bersyukur sejak ada Indah rumahnya sedikit tentram karena Arfiq menurut kalau sudah istrinya berbicara. "Sudah selesaikan makannya. Kasihan Arash itu kayanya sudah mulai ngantuk," ucap Bu Mega melihat cucu kesayangannya sudah mulai mengantuk. "Aah anak Daddy, sudah ngantuk ya, Nak." Arfiq mengusap kepala anaknya yang sedang duduk dipangku sang istri. Akhirnya merekapun melanjutkan makan malamnya. Dan setelah itu mereka beristirahat di kamar masing-masing. Pagi hari... Badai sudah siap berangkat kerja. Saat ini dia sedang memakai jas kantornya. Dia tidak lupa membawa dan memakai kacamatanya. Beberapa saat kemudian, Badai keluar setelah penampilannya sudah rapi. Badai menyempatkan sarapan masakan ibunya. Berhubung sekarang sang atasan selalu bawa bekal masakan istrinya. Akhirnya Badai juga minta dibawakan bekal oleh sang ibu. Sementara sang ibu dengan senang hati membuat dan membawakan bekal makan siang untuk sang anak. Badai keluar rumah setelah berpamitan dengan sang ibu. Saat menuju mobilnya, Badai berpapasan dengan Salwa. Gadis yang selalu menemani ibunya ketika dia sedang kerja. "Mau berangkat kerja, Mas Yoga?" tanya Salwa sembari tersenyum manis. Badai mengangguk dengan wajah datar. "Iya, Salwa. Saya mau berangkat kerja. Tolong jaga dan titip ibu saya ya?" Salwa mengangguk masih dengan tersenyum manis, "Tentu saja, Mas Yoga." Badai mengangguk pelan, "Saya permisi, Salwa." "Hati-hati, Mas Yoga," ucap Salwa hanya mendapat anggukan dari Badai. Badai melajukan mobil ke perusahaan Hadiutomo tempatnya bekerja. Sudah lama Badai bekerja di perusahaan Hadiutomo sebagai sekretaris utama Arfiq Hadiutomo sebelum Leni. Jadi bisa dikatakan posisi kerjaan Leni masih ada dibawah Badai. Tidak terasa waktu begitu cepat siang hari. Di tempat berbeda. Di rumah utama Hadiutomo. "Kamu sudah punya pacar, Ya?" tanya Indah ke sang adik ipar. "Belum," jawab Zahra cuek. Saat ini mereka sedang berada di kamar Arash, putra sulung Indah dan Arfiq. Sementara Arash sendiri sedang asyik bermain mainan yang dikasih sang Daddy, sembari berceloteh ini dan itu. Bahasa bayi itu hanya Indah yang paham. Bahkan Arfiq sendiri suka bertanya ke Indah, kalau tidak paham bahasa anaknya. "Masih belum bisa melupakan rasa buat Pak Badai?" Zahra terdiam sebentar sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya. "Mungkin," jawab Zahra, menghedikan bahunya acuh. "Kenapa ya, semua lelaki kaya gitu?" keluh Indah, seraya terus memperhatikan putra tampannya. "Bener, Mbak. Nggak Mas Arfiq, nggak Kak Badai sama aja. Gengsian plus pengecut," timpal Zahra dengan bibir cemberut. "Padahal mereka cinta ya, Ya? Daddy-nya Arash, dulu juga gitu. Cinta tapi gengsi," ucap Indah, lalu terkekeh pelan. "Hooh, sekarang Mas Arfiq nggak bisa lihat ada Mbak. Di mana ada Mbak, di situ ada Mas Arfiq. Cuma kalau lagi kerja doang nggak nempel terus ke Mbak. Mungkin Mas Arfiq dengan senang hati mengurung Mbak di kamar, kalau Arash dibawa pergi main sama oma dan opanya." Wajah Indah memerah sempurna mendengar ucapan adik iparnya. Apa yang dikatakan Zahra memang benar. Sang suami suka sekali mencari kesempatan dalam kesempitan. "Mungkin kamu perlu buat Pak Badai cemburu, supaya bisa ungkapin perasaannya." Indah mencoba mengalihkan pembicaraan. Zahra mengerjapkan mata beberapa kali. Tidak lama kemudian bibirnya menyeringai. Kenapa nggak dari dulu dia pancing Badai si muka datar kaya papan triplek cemburu. "Saran Mbak boleh juga," ucap Zahra sembari mengusap dagunya. "Eh kamu mau apa? Nggak boleh nyakitin perasaan orang lain loh, Ya...." Zahra terkekeh pelan. Kakak iparnya memang dari dulu tidak berubah. Pantas saja sang kakak selalu menggoda ini dan itu yang membuat wajah istrinya memerah sempurna. Entah apa yang dikatakan kakaknya. Yang jelas mungkin tidak jauh-jauh dari kata m***m. Itulah Mas Arfiq si m***m, kata Zahra. "Nggak apa, Mbak. Aku pergi dulu ya ... Arash! Aunty pergi dulu ya...." Zahra mengecup pipi Indah sekilas, dan memberikan ribuan kecupan ke pipi Arash. Zahra melangkah riang menuju garasi. Dia jadi punya rencana atas usulan kakak iparnya. Zahra akan meminta sahabatnya Ruian Abdi Dewangsa untuk memancing kecemburuan seorang Badai Prayoga. Dia juga ingin tahu bagaimana reaksi Badai nanti. "Jangan salahkan aku, kalau memancing Kak Badai cemburu. Salah siapa Kak Badai pengecut," gerutu Zahra sedikit kesal. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD