Heart Choice : Bab 2

2034 Words
Zahra mengendarai mobilnya ke suatu tempat, di mana dia berjanjian dengan Ruian, sahabatnya. Sebelum melajukan mobilnya, dia sudah menelpon Ruian untuk bertemu di tempat biasa. Biasa yang dimaksud Zahra adalah Cafe langganan mereka. Zahra dan Ruian sudah lama bersahabat dan mereka satu kampus. Mereka juga sama-sama anak bungsu di keluarganya. Kenapa tidak dari dulu Zahra mengerjai Badai biar cemburu ke dia. Kalau saja kakak iparnya tadi tidak bilang, mungkin Zahra tidak akan kepikiran membuat buat seorang Badai Prayoga cemburu. Sepertinya seru juga, membuat wajah datar bak papan triplek milik Badai cemburu. Zahra menaikkan sudut bibir. Dalam hati terus saja mengutuk Badai yang pengecut sampai saat ini belum menyatakan perasaan ke dirinya. Dalam hati Zahra juga bertanya-tanya, kenapa Badai tidak berani menyatakan perasaannya. Zahra sendiri tidak mau mengatakan lebih dulu. Hei! Dia seorang cewek dan Zahra sudah bosan mendekati Badai, yang hanya di tanggapi tidak peduli oleh si wajah datar itu. Apakah karena status sosial mereka yang berbeda. Tapi setahu Zahra, papi dan mami tidak mempersoalkan status sosial. Buktinya Mas Arfiq, kakaknya menikah dengan Mbak Indah gadis biasa. Kurang lebih setengah jam mobil yang dikendarai Zahra tiba di Cafe langganan dirinya dan Ruian. Cafe ini dekat dengan perusahaan Hadiutomo, milik keluarganya. "Kak Badai si muka datar. Siap-siap aja kamu akan aku buat kalang kabut karena cemburu nanti," gerutu Zahra membenarkan penampilannya sebelum keluar mobil. Zahra keluar mobil, kemudian keningnya berkerut melihat mobil Ruian yang sudah ada di parkiran cafe. "Eh si Abdi Dewangsa udah nyampe ternyata. Cepat amat itu bocah," gumam Zahra. Zahra melangkah menuju Cafe. Dari kejauhan Zahra melihat Ruian yang sudah duduk santai. "Yan!" panggil Zahra, membuat si pemilik nama menoleh ke gadis dengan rambut sebahu itu. "Hai, Ya," sapa Ruian ceria. Tanpa banyak bicara, Zahra mendudukkan dirinya tepat di hadapan Ruian. "Kamu mau pesan sesuatu, Ya?" "Boleh deh, kebetulan aku haus." "Mau pesan apa?" tanya Ruian sembari membuka buku menu. Zahra yang sedari tadi memindai sekeliling, menoleh ke arah Ruian yang sedang memilih menu makanan. "Biasa aja deh," jawab Zahra santai. Ruian mengangguk, paham. Cukup lama bersahabat dengan Zahra, tentu saja Ruian tahu mana di sukai dan mana yang tidak di sukai Zahra. Ruian memanggil salah satu pelayan lalu menyebutkan menu makanan yang di pesan mereka. Setelah menunggu setengah jam. Akhirnya menu yang di pesan mereka sampai. "Kamu ada perlu apa, Ya? Tumben banget ngajak aku ketemuan. Biasanya sedang asyik main dengan ponakan kamu." Zahra menyedot minumannya, sebelum menjawab pertanyaan Ruian. "Arash lagi main sama mommy-nya. Aku mau minta tolong sama kamu," pinta Zahra langsung pada intinya. Kening Ruian berkerut beberapa lipat. "Minta tolong apa?" Zahra menceritakan semuanya tentang Badai tanpa terkecuali. Sementara Ruian hanya menyimak, terkadang mengangguk paham apa yang dikatakan Zahra. Yang Zahra tidak tahu, pemuda di depannya tersenyum tapi tidak dengan hatinya. Sebisa mungkin Ruian tidak menunjukkan perasaannya ke Zahra. Yup, benar. Ruian mempunyai perasaan terhadap gadis bernama lengkap Zahra Septiani Hadiutomo itu. Sayangnya, Zahra tidak mengetahui perasaan yang dimiliki Ruian. Sebab di hati Zahra hanya ada satu nama yaitu Badai Prayoga. "Begitu, Yan," sungut Zahra kesal. Bahkan bibirnya cemberut, maju beberapa senti. Ruian terkekeh geli. Kemudian menyodorkan minuman ke arah Zahra. "Minum dulu," ucap Ruian dengan seulas senyum kecil. Zahra langsung mengambil minuman, lalu meminumnya hingga tandas. Ekor mata Ruian melihat pria berkacamata baru masuk ke cafe. Ruian menaikkan sudut bibirnya. "Sepertinya kamu capek ya, Sayang." Ruian mengusap puncak kepala Zahra. Sedangkan tubuh Zahra hanya menegang. Kemudian mendelik tajam ke Ruian. 'Tadi Ruian memanggil aku 'sayang'. Seriously ... apa-apaan makhluk tampan bernama Ruian Abdi Dewangsa ini. Cari mati kayanya nih orang,' sungut Zahra dalam hati. Ruian mengkode Zahra lewat tatapan mata. Zahra mengikuti arah mata Ruian. Saat itu juga Zahra melebarkan matanya tidak percaya. Di sana ada mahluk datar yang tadi mereka bicarakan. Zahra mencondongkan tubuhnya sedikit ke Ruian, "Dia udah lama datang? Dia dengar pembicaraan kita nggak? Kenapa kamu tidak bilang sih...," desis Zahra tajam. Lagi-lagi Ruian terkekeh pelan, "Tenang, Sayang ... dia baru datang kok. Lagian jarak kita cukup jauh, jadi tidak mungkin dia dengar," ucap Ruian sedikit berbisik ke Zahra. Zahra menghembuskan napas lega. Syukurlah. Pikirnya. Mereka tidak tahu ada seseorang yang sedang panas hatinya. Apalagi saat Zahra mencondongkan tubuhnya ke pria lain. "Oh ya, Yan. Ngapain dia ada di sini ya?" tanya Zahra sedikit berbisik. "Aku nggak tahu," jawab Ruian sembari mengedikkan bahunya acuh. Zahra terus melirik ke sisi di mana Badai duduk santai di temani beberapa makanan. Dalam hatinya masih bertanya-tanya. Sedang apa makhluk datar tapi tampan itu datang ke Cafe langganannya dan duduk santai di sana. "Samperin sana kalau kamu mau." Zahra berdecak kecil, "Helow ... ngapain aku kesana. Tolong dengar baik-baik ya, Ruian Abdi Dewangsa. Aku adalah cewek, Yan. Sudah sepantasnya seorang cowok yang datang ke cewek. Bukan malah sebaliknya." Ruian terkekeh pelan. Gadis dengan rambut sebahu itu memang ajaib. Kadang bisa menjadi dewasa, menyebalkan, manja, dan juga cengeng. Anehnya Ruian malah menaruh perasaan ke Zahra. "Terus gimana, Yan. Kamu mau kan bantuin aku?" tanya Zahra dengan raut wajah sedikit memelas. Ruian mengangguk dengan senyum kecil. "Itu bisa di atur." Setidaknya Ruian bisa berpacaran dengan Zahra, walaupun hanya pura-pura. "Ok, kapan bisa memulai rencananya, Ya?" tanya Ruian, tangan dia mengambil gelas berisi ice lemon tea lalu meminumnya. Zahra terdiam sebentar sebelum menjawab pertanyaan dari Ruian. "Secepatnya aja." "Ok siap." Ruian menganggukkan kepalanya. Zahra dan Ruian pun mengobrol apa saja, sesekali tertawa bersama. Tidak peduli dengan perasaan seseorang yang seperti berdiri di dekat kompor. Panas. Di tempat Badai... Badai terus memperhatikan dua sejoli yang sangat asyik mengobrol dan bercanda. Rasanya dia ingin membawa Zahra pulang ke rumah Hadiutomo. Tidak akan membiarkan gadis itu mengobrol dengan pria lain. Benar ... seseorang yang sedang di perhatikan Badai adalah si ceria pujaan hatinya, siapa lagi kalau bukan Zahra Septiani Hadiutomo. Gadis yang selalu ada di hatinya sudah lama. Tadinya Badai tidak sadar bahwa ada Zahra di dalam Cafe itu. Sempat ragu juga. Ternyata pas sudah masuk ke dalam Cafe ada pujaan hatinya duduk dengan seseorang. Mau keluar dari Cafe, penasaran dengan mereka. Jadilah Badai masuk ke dalam sekalian memantau Zahra dari jarak lumayan jauh. Badai sendiri tahu siapa yang sedang mengobrol dengan Zahra. Putra bungsu sekaligus pewaris Dewangsa Corp, Ruian Abdi Dewangsa. Badai dan Ruian dua orang yang sangat berbeda, termasuk status sosial mereka yang tidak sepadan. Badai hanya seorang pengawal sekaligus asisten pribadi Arfiq Hadiutomo, kakak dari Zahra. Sementara Ruian, statusnya dengan Zahra sepadan karena sama-sama anak orang kaya. Apalagi Zahra dan Ruian adalah anak bungsu di keluarganya. Badai tidak bisa mendekati Zahra karena status mereka yang jelas sekali berbeda. Badai tidak punya nyali untuk mendekati adik dari atasannya. Alias pengecut. Bukan tanpa alasan Badai tidak bisa mendekati Zahra. Alasan pertama Badai adalah dia masih tahu diri dengan statusnya. Kedua, Badai tidak mau dibilang sudah di kasih hati malah minta empedu. Sudah di tolong keluarga Hadiutomo malah mencoba mendekati anak bungsunya. Ketiga, Badai tidak tahu Zahra beneran suka ke dirinya apa tidak. Apa hanya bercanda apa bagaimana. Dan sekarang malah Badai melihat dengan mata kepala sendiri. Bagaimana Zahra dan Ruian sangat dekat. Segala perhatian Ruian bisa ditangkap di mata Badai Prayoga. Tatapan Ruian, Badai sangat-sangat tahu yaitu tatapan cinta ke lawan bicaranya. Di dalam pikirannya bertanya-tanya. Ada hubungan apa di antara mereka berdua. Apakah ada hubungan spesial antara keduanya. Tapi di lihat dari bahasa tubuh Zahra, mereka tidak ada apa-apa. Haruskah dia berdiri dan menghampiri mereka berdua. Namun mengingat sifatnya yang kata Zahra seperti papan triplek, Badai jadi ragu mendekati mereka berdua. Badai menghembuskan napas pelan. Takut mendekati Zahra karena status sosial, tapi tidak mendekati Zahra, dia tidak akan pernah rela kalau pujaan hatinya berpacaran dengan orang lain bahkan kalau sampai menikah. Badai masih memperhatikan dua sejoli itu. Sampai-sampai menu yang dia pesan hanya memakannya sedikit. Di sisi Zahra dan Ruian... Zahra dan Ruian masih mengobrol dan bercanda karena memang akrab dan kebetulan orang tua mereka juga bersahabat. "Aku mau pulang dulu, Yan," pamit Zahra sembari beranjak dari duduknya. Ruian mengangguk dengan senyum kecil, "Hati-hati, Ya." Badai mendesah lega saat Zahra pulang. Diam-diam Badai juga rindu bercanda dengan gadis kecil yang selalu di hatinya. Malam hari... Rumah kediaman Hadiutomo... Zahra terkikik saat membaca pesan dari Ruian. Mereka membahas apa saja, termasuk rencana untuk membuat Badai cemburu. "Anak Mami lagi chattingan sama siapa sih? Sepertinya seru banget." Bu Mega mendudukkan dirinya tempat di samping Zahra. Mereka sedang berkumpul di ruang tengah Hadiutomo. Semua menoleh ke arah Zahra dan Bu Mega. Terkecuali Arfiq yang sedang fokus bermain dengan anak semata wayangnya. "Aya sedang chattingan dengan Ruian, Mi," jawab Zahra hanya menoleh sebentar ke sang mami. "Oowh Ruian." Bu Mega menganggukkan kepalanya paham. "Mami nggak ada rencana buat jodohkan Aya dengan Ruian, Mi," celetuk Arfiq tanpa menoleh ke arah sang mami dan adik bungsunya. Dia masih fokus bermain dengan Arash yang hari ini sudah mulai aktif lagi. Sebab dua hari yang lalu Arash mengalami diare. Zahra melebarkan matanya mendengar celetukan sang kakak. "Mas jangan aneh-aneh, deh! Aya sama Ruian hanya bersahabat. Catat, Mas! Hanya bersahabat," kata Zahra tajam dan menekankan kata bersahabat. "Siapa tahu kalian berjodoh. Iya kan anak Daddy." Arfiq mengangkat tubuh Arash ke pangkuannya. "Boleh juga sih ... gimana anak Mami, kamu mau nggak?" tanya Bu Mega dengan senyum geli. Beliau ingin menggoda anak bungsunya. "Kok, Mami jadi ikutan Mas Arfiq sih...," gerutu Zahra sedikit cemberut. Arfiq dan Bu Mega saling pandang lalu tersenyum geli. Sementara Indah cuma menyimak, dan Pak Arlan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya nggak apa, Aunty. Ruian baik dan sepertinya kalian juga cocok," ucap Arfiq santai. Zahra memutar bola matanya, jengah. "Aya nggak mau, Mas. Lagipula kami hanya bersahabat." "Bersahabat kemudian jadi suami-istri kan banyak contohnya, Ya." "Aya nggak mau. Lagian Aya masih muda, nggak mau nikah dulu." "Ya---" "Sudah-sudah. Arfiq jangan ledek adikmu terus," lerai Pak Arlan. Zahra menatap tajam kakaknya. Sementara Arfiq hanya terkekeh pelan. Di tempat yang berbeda... Badai sedang makan malam setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan yang diberikan sang atasan. Besok pagi ada meeting dan Badai harus mengerjakan beberapa berkas menjadi satu file. Di kepalanya masih teringat tentang tadi siang, di mana Zahra dan Ruian bercanda sangat seru dan juga akrab. Mungkin yang belum tahu, akan mengira bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Mengingat kata kekasih membuat Badai bertanya-tanya dalam hati. Benarkah mereka berpacaran. Tapi sejauh yang Badai tahu, Zahra masih menyukainya. Entahlah itupun benar apa tidak, Zahra menyukainya. "Yoga." Badai menolehkan kepalanya ke arah sang ibu yang sedang mendudukkan dirinya tepat di hadapan Badai. "Kenapa, Bu?" tanya Badai dengan seulas senyum kecil. "Kamu sudah dewasa, Nak. Umurmu sudah tua. Kapan Ibu punya mantu dari kamu?" Badai tersenyum tipis. Jangankan kepikiran mencari calon istri. Mendekati Zahra saja, dirinya belum punya nyali. "Ibu sudah tua dan Ibu pengen punya cucu dari kamu." Badai terkekeh pelan mendengar perkataan ibunya. "Allah belum kasih, Bu. Nanti kalau sudah dikasih pasti juga aku akan menikah." Sang ibu menghembuskan napasnya pelan, "Sudah ada calonnya, tapi kamu malah cuek dan datar gitu." Lagi-lagi Badai tersenyum tipis, "Nanti ya, Bu. Aku belum sepenuhnya membahagiakan Ibu." "Bagaimana dengan Salwa, Nak?" Gerakan tangan Badai berhenti sejenak. Seketika Badai tahu arah pembicaraan yang diajukan oleh sang ibu. "Tidak bagaimana-bagaimana, Bu," jawab Badai santai. Kemudian melanjutkan makannya. "Kamu tidak ada perasaan buat Salwa?" Badai yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya lalu tersenyum kecil. "Mungkin perasaan sebagai adik." Memang Badai tidak mempunyai perasaan apapun terhadap Salwa. Dia hanya menganggap Salwa adik tidak lebih. Dia hanya mencintai Zahra. "Cobalah membuka hati buat Salwa, Nak. Sepertinya Salwa suka padamu." Badai terkekeh pelan, "Kalau jodoh tidak kemana, Bu." Sang ibu mendesah pelan. Dalam hati beliau bertanya-tanya. Siapakah gadis yang bisa meluluhkan hati Badai. Sebab selama ini raut wajah Badai selalu datar, dan selama ini juga sang anak tidak pernah membahas tentang gadis yang disukainya. "Coba pikirkan lagi tentang Salwa, Nak...," pinta sang ibu. Beliau beranjak dari duduk dan pergi menuju kamarnya. Badai hanya tersenyum tipis, dan tidak menjawab. Badai menatap punggung milik sang ibu, kemudian mendesah pelan. Kalau boleh Badai meminta ke Yang Maha Kuasa. Dia ingin dijodohkan dengan pemilik nama Zahra Septiani Hadiutomo, bukan dengan Salwa Prameswara. Apakah sekarang waktunya mendekati Zahra dan mengatakan bahwa dia sudah lama mencintai gadis ceria itu. Pemilik hatinya adalah Zahra. Sementara sang ibu lebih condong ke Salwa. Apakah bisa dirinya bersatu dengan Zahra. Hanya waktu yang bisa menjawab, dan Badai berdoa. Semoga semesta mendukung permohonan dan mengabulkan doanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD