Prolog

795 Words
Alunan merdu lagu berjudul Pelangi yang pernah begitu terkenal dinyanyikan oleh Yuni Shara, terdengar hingga luar ballroom Rizaldi Hotel Senayan. Beberapa orang tamu berbusana resmi, yang lelaki memakai setelan kemeja, jas atau batik tampak lalu lalang di sekitar ruang pertemuan berukuran amat luas tersebut. Di samping mereka, berdiri para pasangan dengan penampilan amat anggun. Beberapa memakai kebaya, beberapa memakai gaun, dan tidak sedikit mengenakan dress atau bahkan gamis yang membuat pemakainya tampak beberapa kali lebih cantik. Mereka adalah tamu yang diundang dalam resepsi pernikahan Galang Jingga Hutama dan Seruni Rindu Rahayu.  Pesta sudah berlangsung selama satu jam lebih dan tamu terus saja berdatangan. Sebagian besar adalah tamu sang mempelai laki-laki yang berprofesi sebagai wakil pimpinan perusahaan konsultan keuangan itu adalah orang berduit yang telah lama menggunakan jasanya. Selain itu, rekan kerja, teman seperjuangan juga kerabat keluarga Hutama tak kalah banyak dan ramai. Mereka semua tampak menikmati acara yang terlihat amat mewah tersebut. Ada yang memilih berdansa mengikuti irama lagu yang pernah tenar di tahun 70an, dinyanyikan oleh Almarhum Chrisye dalam film Badai Pasti Berlalu, ada juga yang sibuk bercengkrama dengan teman lama yang kebetulan bertemu saat itu, atau juga, berdiri di depan stan makanan yang tersaji tanpa putus. Di atas panggung, Chandrasukma Hutama, ibunda mempelai lelaki yang kerap dipanggil Aga atau Jingga, terlihat amat berbahagia. Berkali-kali wanita tersebut membalas uluran tangan dan ucapan selamat dari tamu yang datang, entah dari tamu putra semata wayangnya sendiri, atau dari menantu baru yang telah ia rindukan kehadirannya sejak bertahun-tahun lalu. Tidak ada besan di barisan panggung. Hanya ada dirinya dan kakak tertua Chandra, Farizal Hutama yang menjadi pendamping karena ayah Aga telah lebih dulu menghadap Ilahi. Meski begitu, tidak ada duka menggelayut di wajah Chandra yang hanya dihiasi sedikit keriput. Tatanan wajahnya malam itu adalah hasil kreasi perias wajah kenamaan. Paduan krim malam dari Perancis serta rutinitas senam wajah, membuat Chandra tetap jelita walau usianya sudah menyentuh angka lima puluh lima. "Makasih loh, ya, udah mampir." Chandra menyalami satu persatu barisan tamu yang sepertinya semakin banyak. Diliriknya mempelai yang berada di samping kiri. Keduanya tampak sibuk menerima uluran tangan tanda selamat dari para sahabat. Jingga tersenyum ramah pada koleganya yang datang tanpa henti, sementara Seruni, dengan ramah membalas tiap ucapan tamu yang datang seraya tersenyum tulus. Ia tampak amat menawan dalam balutan jilbab warna emas dan gamis senada berbahan sutra yang Chandra pesan khusus pada desainer langganannya. Tidak heran, banyak sahabatnya memuji penampilan sang menantu.  "Dapet mantu solehah, cantik lagi. Beruntung banget, Jeng. Selamat, ya." Manik indah hitam kelam milik sang menantu kemudian terarah pada mata sang mertua yang masih memperhatikannya. Seruni membalas tatapan Chandra dengan sebuah senyum sampai seseorang menginterupsi dan dia segera mengalihkan pandang dan suara ringan penuh nada terima kasih membelai indera pendengaran Chandra. "Nikah sama dia? Mama nggak salah? Dari dulu Aga nggak seneng ama dia, Ma. Inget, nggak? Gara-gara Uni, berapa kali Aga dipanggil ke ruang guru, dimarahin sama Pak Jamal. Dia bikin ulah dan Aga yang disalahin, belum lagi dia selalu ganggu Aga pas pacaran sama Uci." "Mending kamu nikah sama Uni daripada Lusiana yang nggak tahu malu itu. Usia kamu sudah dua puluh tujuh, bayangkan dia bikin kamu menunggu sampai selama ini. Belum lagi, Mama sering dengar gunjingan orang tentang dia, suka ngajak laki-laki ke rumahnya, menginap sampai berhari-hari." "Uci bukan wanita seperti itu, Ma. Mama harus jaga ucapan Mama." Chandra membuang napas keras-keras, mencoba mengenyahkan kelebatan pertengkarannya dengan putra satu-satunya nyaris satu bulan lalu. Sejak awal, Jingga tidak pernah setuju dijodohkan dengan Seruni. Alasannya selalu sama, dia tidak suka dengan gadis itu, Seruni bukan tipe idaman dan sejak dulu, Seruni selalu membuatnya ingin marah. "Jangan coba lindungin Lusiana, Aga. Bukan Mama tidak tahu, kamu juga salah satu dari pria-pria yang sering menginap di rumah wanita itu." "Jaga mulut Mama. Uci bukan wanita seperti itu. Jika kepada Aga saja Mama tidak percaya, maka Mama tidak pantas disebut sebagai orang tua." Pertengkaran ibu dan anak itu mendadak terhenti karena Chandra terkena serangan jantung. Ia hampir tewas dan tidak ada yang bisa Jingga lakukan kecuali menganggukkan kepala menerima permintaan terakhirnya. Mimpi untuk menjalani bahtera rumah tangga dengan wanita yang paling dia cinta hanya tinggal mimpi. Tidak peduli kemudian protes dan tangisan meratap dari sang kekasih menjadi hal paling memilukan di dunia.  Lusiana bahkan hadir kala ia mengucap janji sehidup semati pada Seruni di hadapan Tuhan, begitu juga dengan saat ini. Walau tersembunyi di antara dua ribu tamu yang hadir, Jingga dapat mengenali sosoknya yang berdiri tidak jauh dari panggung dengan mata merah bengkak karena air mata dan punggung naik turun menahan agar tangisnya tidak kembali meledak seperti yang sudah-sudah. Sabar, Sayang. Simpan air matamu. Kita akan kembali bersama. Akan kupastikan dia menyesal, akan kupastikan dia mundur, lalu kita akan kembali seperti dulu. Tolong sabar sebentar, Uci. Cinta dan sayangku, hanya untukmu seorang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD