Satu : Mempelai yang Sendirian

1722 Words
Resepsi telah berakhir satu setengah jam lalu, para tamu juga sudah kembali ke tempat mereka masing-masing. Beberapa sanak saudara juga telah pamit pada Chandra begitu juga dengan Farizal, sang kakak. Pria berusia lima puluh sembilan tahun tersebut pamit pada adik perempuannya setelah pasangan pengantin baru yang sedari tadi berada di samping mereka sudah bergerak menuju kamar hotel. Chandra telah menyuruh mereka untuk lebih dulu bergegas karena dia hendak mengantar sang kakak. Tapi kemudian, dia bergerak menuju kamarnya sendiri, merasa tak ingin mengganggu kemesraan putra dan menantunya malam ini. Bukankah setelah hari akad dan resepsi yang seakan tak berujung, malam pengantin adalah hal yang paling diidam-idamkan oleh semua mempelai? Setidaknya seperti pikiran ibu mertua yang amat sayang kepada menantu semata wayangnya itu. Hanya saja, ketika Seruni keluar dari kamar mandi, usai membersihkan diri dan make up yang dia pikir tidak akan bisa hilang, pemandangan kamar hotel yang kosong tanpa sosok suaminya adalah hal yang dia temukan. Eh, gue mesti buka jilbab apa nggak di depan lo? Kita nikahnya sah apa nggak, sih? Tadi beneran nama gue kan yang lo sebut, bukan Lusiana?  Jawaban yang Seruni terima usai mereka berada dalam kamar hanyalah satu kedikan lemah sebelum Jingga meninggalkannya sendirian dalam kamar pengantin mereka yang amat luas dan mewah sehingga hal yang bisa dirinya lakukan adalah menghela napas, mencoba membuang perasaan aneh dan ngilu-ngilu di d**a menyaksikan pemandangan menyesakkan tersebut. Dia tahu, Lusiana memesan satu kamar tidak jauh dari suite bulan madu yang sekarang mereka tempati dan dia bukan tidak tahu apa yang akan suaminya lakukan di kamar tersebut. Seruni melangkah lemah menuju koper biru donker berukuran enam belas inci miliknya yang tersembunyi di antara meja bawah rak televisi. Di sebelah kopernya terdapat koper hitam berbahan fiber kuat milik Jingga yang berukuran lebih besar.  "Nggak usah repot simpen baju ke lemari, kita nggak bakal lama di hotel. Pagi-pagi besok kita sudah balik ke rumah. Mama tahu aku harus rapat direksi, dia nggak bisa protes." Kembali Seruni menghela napas. Dia sudah berjongkok, menarik kopernya yang jarang sekali dia gunakan. Jika saja Zam tidak memaksa, tentu benda ini hanya akan teronggok di atas lemari kayu rakitan murah miliknya yang berada di lantai dua ruko tempatnya selama ini mengais rejeki. Dering tanda panggilan masuk terdengar dan Seruni buru-buru bangkit. Begitu cepat ia bergerak, tanpa sadar kaki kelingking kirinya terantuk ujung meja. Ia meringis selama beberapa detik lalu tertatih meraih gawai miliknya yang ternyata tergeletak di atas tempat tidur yang berhiaskan ratusan kelopak mawar yang ditata indah menyerupai bentuk hati. Wajah seorang lelaki berkumis tipis, hidung mancung dan alis mata berkilat jahil adalah hal yang ia lihat ketika tombol jawab ia geser perlahan. Panjang umur, baru diomongin, Seruni menggumam. Dia masih mengenakan jilbab segi empat warna abu-abu dan berpikir di manakah dirinya harus duduk karena Zam melakukan panggilan video. Sedetik kemudian, Seruni menghenyakkan tubuh di atas tempat tidur hingga membuat rangkaian kelopak bunga indah di sana berceceran ke segala penjuru kasur. "Wow, habis ngamuk, Neng? Makanan pembukanya sedep banget kayaknya, sampe acak-acakan gitu." Kekehan terdengar dan Seruni bisa melihat Zam, lawan bicaranya agak sedikit antusias. "Lo udah sampe ruko? Udah liat mobilnya?" Seruni bertanya, mengabaikan tatap penasaran dari seberang, "dia nggak di sini kalo lo mo tau. Di kamar sebelah, Uci nginep di sana." Raut wajah Zam berubah tegang tapi dia tidak menemukan hal yang sama di wajah Seruni. Wanita berusia akhir dua puluh enam tahun terlihat santai saat menyebutkan nama wanita yang dia tahu, telah merebut kebahagiannya sejak lama. "Mobilnya bagus, nggak? Bisa muat berapa paket? Gue udah janjiin ama orang pasar, kita bisa angkut kargo gede. Seputaran Jabodetabek, satu hari udah sampe." Zam mengangguk, "Luas. Lo sendiri yang minta APV, biar gedean. Bu Chandra nawarin yang lebih mahal tapi sesuai pesen lo, nggak usah minta yang aneh-aneh, cukup buat kita anter paket..." Zam berhenti bicara karena sesuatu terjadi dan ia baru sempat menyebut nama Seruni saat mendengar wanita muda itu mengaduh. "Jangan dilemparin ke muka, bisa nggak sih, Ni? HP lo tu gede, loh." Dia bicara lagi. Terdengar nada amat prihatin dari suaranya tapi jawaban Seruni bukanlah hal yang Zam suka. "HP baru, Bang. Gue belom biasa, kali. Lagian yang kena juga muka gue, bukan lo."  Zam terlihat menggeleng. Mata sipitnya seolah terbenam ketika dirinya memicing penuh curiga. Seperti tadi, Seruni tetap memasang raut wajah tanpa dosa seraya mengusap cuping hidung akibat kejatuhan gawai baru pemberian Chandra. "Besok gue masuk, Bang. Lo nggak usah repot mampir, ntar datang kalo gue minta pick up yang ke luar kota aja. Tapi itu juga kalo Jo ama Haris nggak masuk. Kayaknya mereka datang, sih, soalnya ngira gue ga masuk." Seruni menatap nanar layar gawai. Tangannya yang tadi menyentuh cuping hidung menyentuh bagian yang dia sadar terasa basah. Bukan air mandi, dia ingat. Perlahan, ditariknya telunjuk, agak sedikit jauh dari layar supaya Zam tidak sadar dan tidak heran ketika dia menemukan setetes darah di ujung jari. Ini HP apa batako sih, bikin idung bocor? "Idung lo kenapa?" Sebaris kalimat interogatif membuat Seruni cepat-cepat menoleh kembali ke arah layar, ia menggeleng dan menunjukkan setitik hitam benda yang kemudian membuat alis tebal milik Zam naik. "Joroknya masih kaga berubah. Buang tu upil. Kalo mertua lo tau, mantunya ratu dekil, bakalan langsung dipecat, tau rasa." Seruni tertawa nyaring, sehingga Zam tahu, wanita itu tertawa dengan nada amat dipaksakan, "Ya kali, susah-susah bujuk gue supaya mo kawin sama anaknya, terus gara-gara upil gue dipecat? Terus upah mobil ama HP baru gue mubazir dong dibalikin lagi." Zam terdiam. Dipandanginya wajah cantik Seruni lekat-lekat. Terbayang kembali sosok anak perempuan kurus kering berusia enam belas yang terikat tali pinggang kulit dalam gudang rumah keluarganya yang gelap dan pengap, masih memakai seragam SMAnya yang kusut dan robek di beberapa tempat akibat cambukan tanpa ampun yang dia terima. "Kaga ada yang boleh nolongin anak setan itu, termasuk lo, Zam. Biar dia mati! Biar dia mati dan badannya dimakan cacing. Supaya dia tahu, ngelawan gue sama aja namanya dengan cari mati." "Besok...." Zam berdeham, berusaha melonggarkan jalan napasnya yang entah kenapa tiba-tiba saja macet, "lo nggak perlu masuk. Istirahat aja yang banyak, jangan kecapekan. Udah dua malam lo nggak tidur dan gue nggak suka nemuin lo ketiduran di mana aja pas kita ketemu. Nurut kata gue, atau nggak usah lagi panggil gue Abang." Seruni mengangguk pelan, ia berusaha mengurai senyum yang Zam tahu, dipaksakan begitu rupa olehnya. "Kalo laki lo macem-macem, telepon gue, biar gue kasih dia pelajaran. Kalo dia nyakitin lo...." "Lo istirahat, Bang. Udah dua malem juga lo nggak merem." Seruni memotong, pura-pura menguap agar Zam maklum dia butuh beristirahat, lalu mengakhiri panggilanya malam itu. "Jaga diri, Ni." Dia berpesan untuk yang terakhir kali. Meski obrolan mereka belum kelar, meski ada banyak hal yang harus dibicarakan, termasuk tentang Jingga, mobil dan usaha kecil mereka yang susah payah merangkak, Zam undur diri.  Dia tahu, masih ada waktu untuk membahas semua itu walau dengan satu kenyataan membentang yang membuat hatinya teriris-iris, Seruni harus merelakan malam pertamanya berlalu tanpa ada arti sama sekali. Sabar, Sayang. Semua ini nggak bakal lama. Cuma sebentar dan kita akan jadi orang yang tersenyum paling akhir. *** Seruni meletakkan ponselnya di atas nakas lalu beranjak turun dari tempat tidur. Beberapa kelopak bunga menempel di ujung jilbab segi empat dan gamis kaos miliknya. Dengan kaki telanjang, ia berjalan menuju pintu kamar dan kemudian dibukanya pintu tersebut. Kepalanya muncul dari balik pintu dan diperhatikannya lorong kamar hotel tempat dirinya saat ini berada. Ada dua kamar di sisi kanan dan dua kamar juga di sisi kiri kamarnya saat ini. Salah satu dari kamar-kamar tersebut adalah kamar Lusiana. Dia tahu, Jingga berada di sana saat ini. Suara pria itu terdengar cukup jelas ketika menyebutkan nomor kamar saat Seruni berada di kamar mandi, 1442, sementara kamar mereka bernomor 1445. Seruni menunggu selama lima menit sebelum akhirnya memutuskan untuk menutup pintu. Diliriknya wadah yang seharusnya menjadi tempat kartu hotel  terpasang. Lampu dan AC kamar menyala walau tidak ada kunci di sana. Jingga telah menukar kartu tersebut dengan kartu tol miliknya agar listrik di kamar tetap menyala. Tidak ada kalimat penjelasan mengapa Seruni ditinggal malam itu, tapi dia tidak butuh jawaban.  Air mata Lusiana adalah pertanda bahwa dirinya tak perlu menunggu suaminya kembali.  Ah, seharusnya dia yang harus disalahkan karena telah jadi perusak hubungan mereka berdua selama bertahun-tahun. Walau kenyataannya.... "Aga buat gue ya, Ni. Dia ganteng dan bisa lindungin gue kalo ada apa-apa. Gue nggak punya kakak laki-laki, Aga bisa jadi bodyguard, sekaligus pacar. Gue tau kalian temenan, tapi Aga bilang, dia suka gue daripada elo...." Seruni memijat dahi, terasa agak kurang nyaman hingga kemudian dia memutuskan untuk masuk dan menutup pintu lalu kemudian, dengan tangan bergetar, kembali mendekat ke arah koper miliknya.  Seruni merogoh-rogoh kopernya, berusaha mencari sesuatu kala ia sadar, benda penting itu ternyata tertinggal. Dihelanya napas bernada frustasi dan kembali dipijatnya dahi yang entah kenapa, makin terasa nyeri lalu memutuskan berjalan menuju kembali ke arah tempat tidur dengan tubuh bergetar. Ponselnya kembali berdering dan nama Chandra hadir di sana, membuat Seruni bergegas meraih benda tersebut tanpa menyadari bahwa langkahnya sedikit goyah. Kali ini, ujung nakas membentur tempurung lutut kanannya dan ia mengaduh sambil memejamkan mata. Rasanya begitu nyeri dan Seruni tanpa sadar menaikkan ujung gamis untuk memeriksa lututnya yang cedera. Berdarah, ia menggumam. Tidak sempat melakukan apa pun karena panggilan kedua kembali datang. Chandra membutuhkannya dan Seruni tidak mau membuat wanita itu menunggu. Dihempaskannya kembali tubuhnya ke arah tempat tidur hingga kelopak mawar kembali berhamburan, lalu ditekannnya tanda terima dan wajah bahagia sang mertua segera memenuhi layar. "Aww, manten baru. Udah ngacak-ngacak kasur aja...." Seruni tersenyum riang, berusaha terlihat begitu ceria sementara ibu jari dan telunjuk kanannya tak henti mengusap memar di kaki yang mulai membiru. "Mama tau aja. Aga lagi mandi, Ma. Mau ronde kedua..." Dia besyukur pria itu tidak ada di sana, tidak melihat kala ia melemar jilbab di ujung kasur dan memasang lipstik sembarangan agar Chandra menyangka mereka sudah memulai pemananan.  Wanita itu tidak perlu tahu apa yang sedang terjadi saat ini di kamar sebelah. Yang dirinya tahu adalah malam ini, menantu dan putra semata wayangnya akan berperang dan berusaha membuat cucu yang sudah ia minta tidak lama setelah penghulu menanyai saksi yang hadir dalam acara akad nikah mereka pagi tadi. "Bagaimana, Saksi? Sah?" "Sah!" Walau penghulu, wali hakim, saksi, tamu dan keluarga Hutama tidak ada yang tahu, bahwa saat ini, pengantin baru tersebut tidak akan pernah melewati malam pengantin mereka dengan mesra sama sekali. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD