bc

Autumn, I'm in Love

book_age16+
718
FOLLOW
1.7K
READ
friends to lovers
sensitive
doctor
drama
bxg
city
office/work place
friendship
virgin
friends
like
intro-logo
Blurb

Annisa Natasha Alika tidak pernah menyangka kalau kepulangannya dalam rangka berlibur harus membuatnya menghadapi situasi sulit. Di usianya yang menginjak angka 27 tahun, Annisa diharapkan sudah memiliki pasangan oleh keluarganya. Atau minimal, kekasih.

Jika tidak, ada seseorang yang sangat siap untuk meminangnya dengan segera. Seseorang itu bukanlah sosok yang asing, melainkan mantan kekasihnya sendiri di masa SMA, Danar Septi Nugraha.

Abiyan Nicholas Aditya juga tidak pernah menyangka jika kedatangannya untuk berlibur ke suatu tempat di Jawa Timur justru membuatnya ikut merasakan keadaan sulit. Ia dibuat gusar ketika menyaksikan gadis yang disukainya mendapat tekanan penuh dari keluarga.

“Nisa, gue suka sama lo,” gumam Abiyan dengan lirih, ketika dilihatnya Annisa sedang tersenyum mengamati hasil foto mereka. Pemandangan yang begitu indah di mata Abiyan, segala keindahan pagi itu terasa lengkap oleh senyuman Annisa.

“Lo bilang apa, Biy?” Annisa tertegun selama beberapa detik sebelum menoleh ke arah kanannya, di mana Abiyan sedang menatapnya dengan intens.

Situasi menjadi sulit, karena Danar tidak bisa menerima begitu saja penolakan Annisa.

Kisah mereka berawal di sini…

Layaknya musim yang selalu berganti, ombak di lautan yang bergerak pasang surut, begitu pula perasaan mereka.

chap-preview
Free preview
1. ANNISA NATASHA ALIKA
Semburat jingga mengimbangi d******i warna putih dan biru di langit sana. Seolah menjadi penutup yang tepat untuk memanjakan mata bagi seisi alam raya yang tengah merasakan lelah setelah berkutat selama seharian  penuh dengan berbagai macam aktivitasnya. Sedikit banyak mampu memberikan penghiburan saat menempuh perjalanan pulang dari tempat kerja menuju rumah, yang mungkin akan terasa membosankan akibat padat dan ramainya keadaan lalu lintas. Tinggal beberapa menit lagi, jarum jam akan menunjukkan pukul 5 sore. Sesosok bertubuh tinggi semampai dengan rambutnya yang panjang terkuncir kuda berjalan menuju tempat administrasi. Jam kerjanya sudah berakhir sejak sekitar 1 jam yang lalu, tetapi banyaknya tugas yang harus ia kerjakan memaksanya untuk mengulur waktu pulang. “Dokter Annisa baru pulang?” tanya seorang perawat dengan nametag Larasati. Gadis bernama Annisa itu mengangguk sambil tersenyum ramah, “Saya harus mengerjakan tugas dari kampus tadi, Suster. Karena referensinya by practice, makanya lebih baik saya kerjakan di sini saja sekalian.” “Nggak heran sih kalau Dokter Annisa sampai dapet beasiswa untuk spesialis sekaligus Master. Keren banget sih, Dok. Ajarin dong gimana caranya,” celetuk seorang dokter muda yang baru saja bergabung. Namanya Arindi. “Caranya? Rajin belajar,” jawab Annisa berkelakar. “Kayaknya Dokter Annisa selain pantes jadi dokter, juga pantes jadi guru nantinya.” Sambil menyerahkan dokumennya, Annisa tersenyum simpul menanggapi ucapan Larasati. “Kok guru, sih, Suster. Dosen dong,” balas Arindi membetulkan. “Oh, iya. Tapi guru juga ada lho, Dokter. Di sekolah kesehatan,” sahut Larasati seolah tidak mau mengalah. “Sudah-sudah. Ini kenapa jadi kalian yang berdebat.” Annisa menengahi. “Dokter Annisa.” Suara bariton yang sangat khas itu menghentikan percakapan ketiga gadis muda di depan bagian administrasi tersebut. “Dokter Adam.” “Em, Suster Laras. Jadwal visit saya sudah di cetak, ‘kan?” Arindi yang menyadari suatu hal lantas mengalihkan fokunya pada Larasati. “Sudah,, Dokter. Sebentar saya ambilkan.” “Nggak usah. Biar saya ambil sendiri di dalam,” sergah Arindi cepat. “Permisi, Dokter Adam dan Dokter Annisa.” Adam dan Annisa hanya mengangguk samar, terlebih Annisa yang hanya bisa tersenyum kikuk. Kini ia kembali memusatkan perhatiannya pada sosok laki-laki yang memanggil namanya tadi. “Ada apa, Dokter?” Ditatap oleh Annisa dengan begitu saja sudah mampu membuat seorang Adam Alexander Harvey merasa berdebar. “Em, Dokter Annisa malam ini sibuk? Saya ingin mengajak makan malam.” Annisa menghela napas perlahan. Sangat pelan seolah ia tidak ingin napasnya itu terdengar oleh laki-laki yang entah sudah berapa kali berusaha menarik hatinya tersebuut. “Maaf, Dokter Adam. Bukan saya bermaksud tidak sopan. Tetapi nanti malam saya sudah memiliki janji dengan teman-teman kuliah saya.” Adam tampak kecewa, dan Annisa bisa menangkap betul raut kekecewaan itu. Sebenarnya Annisa sendiri merasa tidak enak menolak tawaran dari sang putra pimpinan rumah sakit tempatnya tersebut. Tetapi apa mau dikata, janji untuk berkumpul bersama teman-temannya datang terlebih dahulu. Ditambah, Annisa tidak mau membuat Adam menaruh harapan lebih padanya. “Ah, begitu rupanya. Baiklah, lain kali semoga Dokter Annisa ada waktu luang sehingga bisa menerima tawaran saya untuk makan malam bersama,” ucap Adam yang terdengar penuh pengharapan. Annisa memilih untuk tidak menjawab, sebab ia bingung harus memberikan jawaban seperti apa. Sekali lagi ditegaskan, Annisa tidak ingin memberikan peluang yang membuat Adam akan menaruh harapan lebih padanya. Maka, yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk pelan sambil tetap memasang senyum ramahnya. “Saya permisi dulu, Dokter Adam. Sekali lagi saya minta maaf.” “Tidak apa-apa, Dokter Annisa. Saya bisa mengerti.” Annisa melangkah cepat meninggalkan bagian depan ruang administrasi tersebut. Ia tidak ingin berlama-lama melakukan interaksi dengan Adam karena hal itu akan memicu berkembangnya gosip yang pasti sangat tidak mengenakkan untuknya. Begitu keluar dari rumah sakit, Annisa segera menuju ke tempat pemberhentian kendaraan umum untuk bisa pulang menuju rumahnya. Annisa Natasha Alika, gadis berparas ayu khas jawa dengan rambut kecoklatannya yang semakin terlihat bersinar terkena sinar mentari senja. Seorang dokter muda yang juga tengah menempuh spesialis dan Master sekaligus. Kampus tempatnya menimba ilmu spesialis saat ini mengadakan program double degree dan atas keuletannya, Annisa bisa menjadi salah satu dari 10 mahasiswa yang beruntung untuk mengikuti program exclusive tersebut. Annisa hidup sendiri di ibukota. Meskipun pada kenyataannya ia tidak benar-benar sendiri. Beberapa saudara sepupunya ada juga yang tengah menempuh pendidikan tinggi di kota metropolitan tersebut. Namun, mereka tinggal terpisah. Annisa tinggal di Jakarta Pusat sementara dua orang sepupunya tinggal di daerah Depok. Annisa merupakan seorang anak perantau. Sejak kecil ia bermimpi ingin menjadi seorang dokter jantung lulusan salah satu universitas terkemuka di Indonegia. Awalnya, kedua orang tua Annisa dan terutama sang ibu merasa keberatan jika harus melepaskan anak sulung perempuan mereka satu-satunya itu. Namun sekali lagi, berkat keuletan serta kerja kerasnya, Annisa mampu membuju sang ibu agar bersedia melepaskannya menuntut ilmu di Ibukota. Annisa berasal dari Surabaya. Di kota Pahlawan tersebut, sang ayah berprofesi sebagai pengusaha mebel yang sangat sukses. Karena tidak ingin Annisa mengalami kendala ataupun kesulitan yang tidak diinginkan, oleh sang ayah Annisa di belikan sebuah rumah minimalis dengan 2 kamar tidur. Adijaya, ayah Annisa bersikeras meskipun awalnya sang putri menolak. Namun daripada tidak diizinkan untuk berkuliah di Jakarta, Annisa akhirnya memilih mengalah. Kecuali untuk fasilitas mobil. Annisa menolak mentah-mentah pemberian sang ayah karena ia tidak merasa membutuhkannya. Terhitung, sudah hampir 9 tahun Annisa menjalani kehidupan mandirinya di Jakarta. Sampai saat ini, kedua orang tuanya masih rutin memberinya uang saku setiap bulan. Namun sejak bekerja, Annisa nyaris tidak menyentuh uang itu sama sekali, kecuali untuk kebutuhan yang sangat mendesak seperti sakit dan lain sebagainya. Sisanya, ditabung untuk keperluannya menempuh pendidikan spesialis. Adam, merupakan salah satu dari sekian pria yang entah sudah berapa kali berusah mendapatkan perhatiannya. Terlebih sejak masa ia menempuh sarjana. Annisa pada saat itu hanya ingin berfokus pada pendidikannya sehingga ia merasa tidak memiliki waktu untuk meladeni rayuan yang dilontarkan oleh para buaya kampusnya tersebut. Butuh waktu 30 menit menggunakan moda transportasi umum untuk Annisa sampai ke rumahnya. Terletak di komplek perumahan yang tidak terlalu mewah tetapi sangat aman dan terjaga. Begitu memasuki rumah, Annisa bergegas membersihkan diri dan berganti pakaian. Saat perjalanan pulang tadi, Clara yang akan menjemputnya mengatakan akan segera sampai. Annisa tidak mau membuat sang sahabat menunggu terlalu lama. “Gue pakai baju yang mana, ya?” gumamnya sambil memilah-milah potongan kain di dalam lemari. Annisa selalu kesulitan memilih outfit jika harus berkumpul bersama teman koasnya. Sebab, di situ selalu ada seseorang yang membuatnya mampu merasa salah tingkah. Setelah beberapa menit menimbang, Annisa akhirnya menjatuhkan pilihan pada sebuah jumpsuit tanpa lengan berwarna putih dengan motif polkadot hitam. Sepatu senakers berwarna putih mempermanis penampilannya karena jumpsuit yang ia kenakan hanya sepanjang atas mata kaki. Dan untuk rambut, Annisa memilih menggerainya alami. Di tengah acaranya bersiap, sebuah panggilan masuk datang dari sang ibu. “Iya, halo, Mama,” sapa Annisa begitu panggilan terhubung. “Halo, Kak. Udah pulang dari rumah sakit, Nak?” “Udah, Ma. Baru aja. Tapi habis ini Nisa mau keluar sama temen-temen koas,” sahut Annisa sambil me-roll rambutnya. “Nggak pa-pa. Oh ya, kapan kamu pulang ke Surabaya, Kak?” Aktivitas tangan Annisa seketika berhenti, dengan dahi yang sukses mengeryit karena keheranan mendengar ucapan snag ibu. “Mungkin bulan depan, Ma. Ada apa, Ma?” “Nggak pa-pa, Sayang. Mama ‘kan kangen sama anak gadis Mama.” “Oh, gitu. Nisa kira ada apa. Tumben banget Mama tanya kapan Nisa pulang, ‘kan.” Di seberang sana, sang ibu hanya tertawa geli mendengar dumalan putri kesayangannya itu. “Ya sudah, Mama tutup dulu, ya. Kamu keluar sama siapa nanti?” “Dijemput Clara, Ma. Paling bentar lagi anaknya sampai.” “Hati-hati, ya, Nak. Semangat untuk kerja sekaligus kuliahnya.” Hati kecil Annisa menghangat setiap mendengar ucapan penuh doa dari orang tuanya, terlebih sang ibu. “Terima kasih, Ma. Salam untuk Papa, Arga sama Airlangga.” “Pasti, Sayang.” Annisa segera menutup panggilan itu begitu mendengar suara klakson yang sudah sangat di hapalnya. Siapa lagi kalau bukan Fransisca Maulina Clara. Gadis pemilik suara paling cempreng yang pernah dikenalnya, sekaligus sahabat yang sangat menyayanginya. “Annisa ....” Benar kan apa dikata. Baru saja Annisa membuka pintu mobil, Clara sudah mengeluarkan suaranya yang sebenarnya akan sangat bagus jika dia diam saja. “Apa sih lo berisik. Sekali aja nggak pakai teriak-teriak bisa nggak!” Annisa bersungut-sungut sambil memasangkan seatbelt. Namun, bukannya menjawab Clara justru memandang Annisa dengan lekat, dan hal itu tentu saja membuat gadis itu salah tingkah sendiri. “Kenapa sih? Ada yang salah sama penampilan gue?” tanya Annisa sembari memperhatikan penampilannya sendiri. Clara mengangguk, sedetik kemudian ia menggeleng. “Pertama, kenapa gue ngerasa lo wangi banget sore ini. Kedua, itu roll rambut harus banget lo pake?” ucap Clara sambil menunjukkan dagunya ke arah poni Annisa. Yang dimaksud segera menyadari keganjilannya, keduanya saling tertawa menyadari apa yang terjadi. “Gugup gue. Tadi lagi pakai catok, Nyokap tiba-tiba nelpon. Kelupaan deh,” sahut Annisa dengan santainya, tetapi tangannya tidak juga bergerak untuk membuka roll tersebut. “Eh, tapi nggak masalah, sih. Lo pakai sampe nanti ketemu Abiyan juga boleh,” celetuk Clara sambil mulai menjalankan mobilnya, memasuki jalanan protokol. Blush ... Wajah Annisa seketika memerah mendengar nama seseorang yang selalu membuatnya salah tingkah itu disebut. Buru-buru ia mengontrol keadaan. “Apaan coba pakai bawa-bawa Abiyan.” “Masih aja gengsi. Pantes aja Abiyan nggak sadar-sadar sama perasaan lo. Gue salut deh sama lo, Sa. Bisa ya ... nahan suka selama bertahun-tahun.” Annisa hanya menghela napas tanpa berniat menanggapi ucapan Clara. Sebenarnya bukan Annisa bermaksud mengumbar-umbar perasaannya, tetapi Clara adalah orang yang sangat peka mengenai keadaan di sekitarnya. Dan hanya dengan memperhatikan saja ia sudah tahu jika sahabatnya ini menyimpan rasa pada sosok sang dokter gigi tampan tersebut. “Ada pembahasan lain yang lebih penting, Mbak? Ini kayaknya sampai nanti lo bakal bahas Abiyan terus.” “Nggak pa-pa dong. Kan gue menyenangkan perasaan sahabat gue ini,” kikik Clara yang membuat Annisa merotasikan bola matanya jengah. “Kalau lo mau nyenengin gue, mending nanti lo bayarin makan gue.” “Dibayarin Abiyan mau?” “Bukannya emang setiap ngumpul kita sering dibayarin sama Abiyan, ya?” Clara mengangguk sambil terkekeh, membetulkan ucapan Annisa. “Tapi satu hal yang gue nggak pernah salah, ya, Sa ...” Clara menjeda ucapannya untuk menunggu respon Annisa. “Apaan?” buru Annisa disertai rasa penasaran. “Lo emang cantik banget. Kalo Abiyan nggak suka sama lo, itu artinya ada yang salah sama dia.” Bolehkah Annisa merasa sedikit tersanjung mendengar pujian tersebut, tetapi secepat kilat Annisa berusaha mengembalikan logikannya. “Menurut lo gue cantik, menurut Abiyan belum tentu.” “Lo berani taruhan berapa? Gue jamin Abiyan bakal bilang kalo lo itu cantik.” Annisa tergelak sendiri jadinya, sepertinya Clara terlalu lama berada di meja operasi hari ini sehingga membuat skrup-nya sedikit oleng. “Nggak boleh main taruhan, Clara. Itu dosa. Dosa lo ‘kan udah banyak.” Mau tidak mau tawa Clara berderai atas ucapan jujur Annisa tersebut. “Lo emang rese, Sa.” **** 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Oh, My Boss

read
386.8K
bc

Touch The Cold Boss

read
241.9K
bc

Pengantin Pengganti

read
85.8K
bc

You're Still the One

read
119.4K
bc

Hate You But Miss You

read
1.5M
bc

ISTRI SATU JUTA DOLAR

read
437.9K
bc

MANTAN TERINDAH

read
9.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook