Seseorang bertubuh tinggi atletis dengan wajah tampannya yang mampu membuat para wanita rela menghabiskan waktu bermenit-menit untuk memandangnya, melangkah dengan cepat meninggalkan ruang rapat. Sisa pekerjaannya secara administrasi masih cukup banyak mengingat banyaknya orang yang menggunakan jasanya sejak pagi hari.
Abiyan Nicholas Aditya, dokter gigi tampan yang kini menduduki jabatan sebagai kepala unit pelayanan di Rumah Sakit Cahaya. Ketampanannya tidak kalah dari sang kakak ipar yang berasal dari Negeri Ginseng. Hanya bedanya, Abiyan adalah seorang Indonesia tulen.
Selain berprofesi sebagai sorang dokter gigi, Abiyan juga tengah berjuang menyelesaikan Spesialis sekaligus Master-nya di salah satu kampus besar di Negeri Singa, National University of Singapore atau yang biasa disebut NUS. Lokasi yang tidak jauh dari kantor pusat The Wyn Lions, perusahaan milik keluarga yang perlahan mulai dialihkan kepadanya.
Abiyan akhirnya menerima jika ia yang harus meneruskan tampuk kepemimpinan perusahaan, mengingat sang kakak tidak mungin melakukan hal itu. Pekerjaan Alena sebagai wakil direktur rumah sakit saja sudah begitu berat ditambah, kedua keponakannya yang super duper aktif membuatnya tidak tega jika sang kakak harus ikut megurus perusahan.
Salah satu alasan yang membuat pekerjaan Abiyan terasa begitu banyak hari ini ialah, beberapa dokumen itu telah menanti untuk ia sentuh sejak beberapa hari berlalu. Sebabnya, ia memang baru saja pulang ke Indonesia setelah hampir 2 minggu harus berada di negeri seberang untuk mengurus beberapa tanggung jawabnya yang berada di sana.
Lelah, itulah yang tengah Abiyan rasakan saat ini. Namun, laki-laki itu tidak pernah mengeluh sebab apa yang tengah ia jalani saat ini merupakan konsekuensi atas keputusannya sendiri. Awalnya, ia ingi menyelesaikan Spesialis dan Masternya secara berurutan tetapi melihat datangnya peluang, Abiyan tidak ingin menyia-nyiakan hal itu. Terlebih, ia merasa mampu melakukannya serta dukungan keluarga yang begitu luar biasa.
Ting!
Suara notifikasi dari ponselnya membuat konsentrasi Abiyan sedikit buyar. Awalnya, Abiyan tidak ingin terlalu memusingkan hal itu, tetapi melihat nama yang terpampang di layar sukses membuatnya meletakkan bolpoin dan memilih menyentuh benda pipih tersebut.
From : Varell A.
[Gue udah pesen tempat.]
[Siapapun yang dateng duluan, bilang aja atas nama Mr. V]
[Share Loc.]
Bunyi pesan dari obrolan grup yang membuat Abiyan mencibir sang pengirim.
Abiyan N. : [Sok misterius lo pakai nama Mr. V]
Annisa N. : [Paling-paling juga ntar lo duluan yang dateng]
Varell A: : sedang mengetik....
Diandra L : [Udah pasti nggak pakai ragu, gue sama Vano akan jadi yang paling akhir dateng.]
Varell A : [Clara mana Clara ... Jangan lupa pesenan nastar gue.]
Oke, fix!
Abiyan benar-benar ingin menggetok ubun-ubun sahabat gesreknya tersebut. Yang ada di dalam otak Varell sepertinya memang terbatas pada cookies, cookies dan cookies. Hampir setiap mereka merencanakan agenda berkumpul, pasti ada saja kue kering yang dipesan oleh Varell kepada Clara yang memang terkenal paling jago membuat kue kering.
Clara FM : [Gue nggak sempet bikinin kue pesenan lo. Beli aja di depot.]
Pesan dari Clara menjadi pesan terakhir yang terbaca oleh Abiyan sebab setelah itu ia memilih mengabaikan ponselnya. Kembali berkutat dengan pekerjaan di hadapannya. Selain karena ia yakin tidak akan ada balasan lagi selain Varell dan Clara, sejak tadi jantungnya mendadak berdegup sangat kencang. Segera setelah ia membaca pesan yang terkirim tepat di bawah namanya.
Annisa, nama yang yang hampir 2 tahun ini melayang-layang memenuhi benaknya. Atau lebih tepatnya, setelah ia menagkap basah ucapan Annisa yang sedang berada di rooftop rumah sakit malam itu.
Abiyan tahu, perasaannya terhadap Annisa berbeda dengan apa yang pernah ia rasakan dulu semasa SMA terhadap Tara. Namun, ia belum yakin apakah ia memang sudah jatuh cinta pada salah satu sahabatnya itu ataukah hanya sekadar suka.
Selama hampir 2 tahun ini pula, Abiyan selalu berusaha bersikap biasa-biasa saja jika mereka sedang mengadakan acara berkumpul. Beruntung, sejak dulu ia memang seringkali menggoda dan mencandai Annisa sehingga, tidak ada satu pun yang menyadari perubahan rasa dalam hatinya terhadap gadis itu. Dan beruntung juga, Varell tidak pernah lagi mencandainya mengenai seseorang yang menyukainya. Meskipun Abiyan menaruh curiga jika seseorang yang dimaksud Varell adalah Annisa, namun ia tidak ingin berpendapat lebih jauh.
Abiyan dan Annisa sudah lama saling mengenal mengingat fakultas mereka yang bisa dibilang bertetangga. Ditambah, kantin mereka menjadi satu dan keduanya sempat bergelut di organisasi yang sama, hanya saja berbeda divisi. Namun, mereka baru benar-benar akrab dan dekat ketika menjalani masa co-ass di rumah sakit yang sama mulai sekitar 4 tahun yang lalu.
Seringkali mendapatkan jadwal koas di waktu yang bersamaan membuat ke-enam dokter muda itu menjadi semakin dekat hingga membentuk perkumpulan mereka sendiri. Persahabatan yang terjalin begitu erat dan berlangsung hingga saat ini. Abiyan, Varell dan Diandra sebagai dokter gigi muda sementara Annisa, Clara dan Vano sebagai dokter umum muda.
Kalau boleh jujur, rasanya Abiyan ingin sekali menanyakan maksud ucapan Annisa saat di atap rumah sakit malam itu. Namun, kata persahabatan yang sudah terjalin begitu erat membuatnya maju mundur dan berakhir dengan mundur saja. Abiyan tidak ingin merusak keakraban dan kedekatan mereka dengan menanyakan hal yang menurutnya sedikit konyol tersebut. Abiyan tidak mau, Annisa merasa tidak nyaman dan membuat jalinan persahabatan mereka berantakan nantinya.
Terlebih, setelah dia memberika kado untuk Annisa hingga saat ini, gadis itu sama sekali tidak pernah membahasnya. Jadi, Abiyan berusaha menganggap bahwa itu hanya angin lalu.
Jarum jam menunjukkan pukul setengah 5 ketik indera pendengarannya menangkap suara ketukan pintu ruangannya. Abiyan mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang kini membuka handle pintu tersebut.
"Om ...." Senyum lebar Abiyan terukir manakala melihat siapa yang kini bersusah payah mendorong pintu ruangannya. Keponakan cantiknya, ditemani oleh seorang suster di belakangnya.
Laki-laki itu segera melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya, bangkit dari kursi nyamannya dan menghampiri gadis cantik kesayangannya itu.
"Hai, Cantk," sapa Abiyan yang kini berjonkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Alea.
"Om Aby." Alea memberikan ciuman di pipi paman kesayangannya. Menghampiri Abiyan di ruangannya menjadi rutinitas wajib sejak gadis kecil yang kini memasuki usia 2 tahun itu bisa berjalan.
"Alea bersama siapa ke sini, Sayang?" Abiyan meraih tubuh mungil Alea kemudian bangkit dengan Alea berada dalam gendongannya.
"Tama Kakak, tama Daddy," jawabnya polos sambil menangkup pipi sang paman menggunakan kedua tangan mungilnya.
"Sama, Sayang. S...." Abiyan mengajari Alea mengeja hurup tersebut.
"Sshh ... sshh." Reaksi yang diberikan Alea membuat Abiyan terkekeh. Ia tidak mengerti kenapa Alea masih sangat kesulitan untuk mengeja huruf dingin tersebut. Berbeda dengan Aleo yang kesulitannya mengeja huruf R.
"Dokter Aby, maaf. Ini beberapa dokumen yang harus diperiksa minggu ini." Suara dari seorang suster yang tadi menyertai Alea membuat Abiyan mengalihkan fokusnya sejenak.
"Letakkan saja di meja, Suster. Dan terima kasih sudah mengantarkan bocah ini ke ruangan saya," balas Abiyan sambil tersenyum ramah kemudian mengecup pelipis sang keponakan.
"Sama-sama, Dokter. Kalau begitu saya permisi, Dokter. Mari," pamitnya sopan lantas tersenyum pada balita yang selalu membuatnya mendapat tugas tambahan tersebut.
"Tda-tda. Kakak," balas Alea riang sambil melambaikan tangannya.
"Kakak Aleo di mana, Sayang?" Abiyan membawa Alea duduk di kursi kerjanya.
"Kakak dengan Mommy," jawab Alea sambil menyandarkan kepalanya pada bahu Abiyan.
"Adek dan Kakak ke sini bersama Daddy?" Abiyan mengusap lembut pucuk kepala Alea.
"Memangnya Daddy-nya Alea tidak ke kantor?" sambungnya ketika mendapati Alea mengangguk.
"Ndak tau." Kali ini Alea menjawab dengan nada cuek, nada yang sangat khas dirinya dan hal itulah yang membuat Abiyan sangat gemas pada keponakan cantiknya tersebut.
"Ya sudah, Alea duduk dulu, ya. Om Aby mau beres-beres dulu. Setelah itu kita ke ruangan Mommy-nya Alea."
"Iya, Om." Alea menjawab dengan penuh semangat. Lagi-lagi, membuat Abiyan merasa sangat gemas.
Abiyan segera merapikan dokumen yang belum ia periksa di atas meja. Sementara dokumen yang sudah ia periksa, kini ia letakkan di atas meja kecil yang terletak tidak jauh dari pintu. Dan tidak lupa, melepaskan snelli dan mengantungnya di tempat yang tersediaa.
Usai mengemasi pekerjaannya, dengan menggendong Alea keduanya segera menuju ke ruangan Alena. Abiyan sedikit bersyukur karena kedatangan Alea membuatnya ingat jika ia harus mengakhiri jam kerjanya. Abiyan memiliki kebiasaan mudah lupa waktu jika sudah berkutat dengan pekerjaan.
Sepanjang perjalanan menuju ruangan sang kakak, keduanya saling bercanda dan bahkan hingga bernyanyi-nyanyi kecil. Abiyan serasa tidak pernah lelah menanggapi segala macam kosakata yang meluncur dari bibir mungil Alea. Menurutnya, hal itu juga menjadi pelajaran sendiri untuknya meskipun ia sendiri belum tahu kapan akan memiliki momongan sendiri.
Jangankan momongan, pasangan aja belum, Thor!
Sesampainya di ruangan sang kakak, Abiyan serasa ingin mengumpati dua orang yang sangat dihormatinya tersebut. Bagaimana tidak, kedua kakaknya sedang asyik berpelukan sambil menikmati sihir senja dari sang surya sementara si sulung dibiarkan bermain lego sendiri di atas sofa. Dan lagi, pintu ruangan itu tidak tertutup sepenuhnya.
Alena tersenyum manis melihat kedatangan sang adik yang menampakkan wajah masam sambil duduk di sisi putranya dengan memangku putrinya. Sedikit pun, Alena tidak ingin melepaskan pelukannya dengan sang suami.
"Eit, Om Aby nggak boleh protes, ya," ucapnya dengan kalimat menggoda. Abiyan hanya merotasikan bola matanya tnda jengah. Sementara Kim Yeong yang memang tidak mengetahu kedatangan Abiyan lantas memutarkan kepalanya.
"Hai, Biy."
"Hai juga, Hyung." Abiyan membalas sapaan sang kakak ipar dengan sangat sopan. Berbeda jauh dengan bagaimana ia merespon kakak kandungnya.
"Ni anak adiknya siapa sih sebenernya," gumam Alena mencibir sang adik.
"Tahu gitu mending tadi Alea langsung aku bawa ke ruangan Mama," balas Abiyan dengan acuh tak acuh.
"Ke mana, Om?" Alea bertanya sebab mendengar namanya disebut.
"Ke ruangan Eyang Putri," jawab Abiyan dengan senyum evilnya.
"Mau ...." Alea bersorak kegirangan sambil bertepuk tangan.
"Kakak, ayo ke lruangan Eyang," ajaknya pada sang kakak yang seketika menghentikan aktivitasnya menyusun lego.
Dengan terburu-buru, Alea merangsek menuruni pangkuan Abiyan. Pun demikian Aleo yang menuruni sofa dengan bantuan sang paman. Kedua balita lucu nan menggemaskan itu berjalan tertatih menuju orang tuanya. Meninggalkan sang paman yang kini tertawa puas melihat pelototan dari ibunda mereka.
Jelas saja Alena memelototi sang adik yang sudah mengacaukan momen mesranya dengan sang suami. Alena tahu jika Abiyan sangat tahu ia begitu menyukai menikmati sunset dari ruangannya bersama sang suami. Sementara Kim Yeong hanya ikut terkekeh melihat bagaimana reaksi sang istri pada adik iparnya yang terkadang memang kelewat jahil tersebut.
"Mommy, ayo ke lruangan Eyang," rengek Alea sambil menarik ujung dress sang ibu. Sementara Aleo langsung mengulurkan tanganya pada sang ayah sebagai tanda jika ia minta digendong.
"Om-nya yang ngajak, Emak sama Bapaknya yang kena," desis Alena tajam ke arah sang adik yang masih terkekeh puas.
Sambil masih tertawa, Abiyan melangkah mendekati keluarga kecil nan bahagia tersebut.
"Bye. Adek Ganteng pulang duluan, ya. Bye, Sayang," pamitnya pada kedua keponakannya yang masih merengek untuk segera ke ruangan sang nenek.
"Nggak ikut ke ruangan Mama, Dek?" Semenjak menikahi Alena, Kim Yeong menjadi terbiasa memanggil Abiyan dengan embel-embel 'Adek'.
Abiyan menggeleng cepat, "Nggak, Kak. Aku mau langsung pulang. Mau ngumpul sama anak-anak habis ini."
"Ngumpul apa cari cewek?" lirik Alena tajam. Kali ini giliran Abiyan yang membolakan mata.
"Aishh ... kepo." Usai memberikan senyuman termanisnya pada sang kakak yang tampak ingin menelannya mentah-mentah, Abiyan segera ngacir begitu saja dari ruangan wakil direktur tersebut.
"Adek satu, gitu amat. Untung sayang." Kim Yeong tersenyum mengulum lantas mengusap lembut pucuk kepala sang istri.
"Ya udah, kita ke ruangan Mama, yuk. Sebelum Si Cantik nangis nantinya," ucap Kim Yeong menjawil dagu lancip Alea.
Sementara Abiyan kini sudah berada di depan ruangan sang ibu yang tampaknya masih sibuk dengan pekerjaan administrasinya.
"Mama," panggilnya dari pintu yang membuat sang ibu mendongakkan kepalanya.
"Kenapa, Dek?"
"Abi pulang duluan, ya. Mau keluar sama anak-anak habis ini." Dokter Diana hanya mengangguki ucapan sang putra sementara matanya kembali berfokus pada pekerjaannya.
"Jangan pulang larut malem."
"Beres. Ntar kalau kemaleman Aby nginep di tempatnya Varell aja. Oh, ya. Cucu Mama mau pada ke sini, lho. Udahan dulu kerjanya. Bye, Ma." Tanpa berniat menunggu jawaban sang ibu yang pasti akan menceramahinya jika sampai ia menginap di apartemen Varell, Abiyan segera berlalu meninggalkan ruangan khusus ibu hamil tersebut. Tentu saja setelah memberikan senyuman manisnya yang membuat sang ibu hanya bisa menghela napas pasrah.
"Salah ngidam apa dulu hamil anak itu," ucap dokter kandungan itu pelan sembari membereskan pekerjaannya. Tentu saja untuk meluangkan sedikit waktunya guna bermain bersama sang cucu.
Sementara Abiyan tentu saja tengah dalam perjalanan pulang ke rumah. Terlebih dahulu ia harus membersihkan diri dan berganti pakaian barulah ia menuju kafeyang sudah dipesan oleh Varell..
Kan, mau ketemu gebetan, ya, Biy. Hhh.
****