3. SALAH TINGKAH

1772 Words
Keadaan jalan raya terlihat begitu padat sore ini. Abiyan bahkan entah sudah berapa kali mengumpat akibat banyaknya pengendara terutama motor yang seenaknya sendiri memotong jalur. Bahkan, salah satunya nyaris saja menggores mobil mulusnya. Selanjutnya, Abiyan hanya bisa menghela napas, berharap emosinya tidak semakin tersulut. Laki-laki itu kini sedang dalam perjalanan menuju kafe tempat di mana ia akan bertemu sahabat-sahabatnya. Penampilannya terlihat sangat santai namun tetap rapi. Kaos polos warna putih dengan dengan kemeja berwarna hitam yang sengaja tidak ia kancingkan seluruhnya. Celana bahan warna krem serta sepatu berwarna putih menjadi perpaduan yang sangat pas untuk menampilkan ketampanannya yang paripurna. Abiyan sedang ingin mengulangi penampilannya di masa-masa ia kuliah dulu. Di tengah perjuangannya menghadapi kemacetan yang secara perlahan mulai terurai, sebuah panggilan masuk di LCD mobilnya membuat Abiyan cepat memasangkan earphone. "Halo. Apaan?" tanyanya tanpa berbasa-basi. Di seberang sana, sang penelpon hnya mengusap telinganya yang entah kenapa, suara Abiyan terdengar sangat berdengung sore ini. "Lo lagi marah-marah sama siapa, sih?" Abiyan menghela napasnya menyadari nada bicaranya yang memang tidak bersahabat, "Nggak ada. Jalanan macet banget karena orang-orang pada pulang barengan." "Ya kan itu emang jalanan untuk umum, Abiyaaannn. Kalau lo mau cepet, naik helikopter noh dari atas rumah sakit bokap lo." "Kreditan mobil gue aja belum lunas, Rell. Lo mau bantu lunasin? And fyi, itu bukan rumah sakit bokap gue." Benar, sang penelpon adalah Varell. Salah satu orang yang dulunya merupakan rival Abiyan tetapi kini menjadi sangat dekat. "Ogah, lo kata gue sendiri nggak punya kreditan. Emang itu rumah sakit punya siapa kalau bukan punya bokap lo?" Varell menyahut cepat. "Punya kakak gue," jawab Abiyan sambil memacu mobilnya yang mulai bisa melaju di atas kecepatan 20km/h. "Lo udah sampai?" sambung Abiyan karena Varel terdiam selama beberapa detik. "Udah, baru banget gue sampai. Belom ada yang dateng pula. Kebiasaan lo pada. Pokoknya yang dateng terakhir, ntar dia yang bayar," sungut Varell bersungguh-sungguh. "Lo yakin mau suruh si Diandra bayar? Gue sih yakin dia bakal jadi yang terakhir dateng." Spontan Varel tertawa mendengar perkataan Abiyan yang benar adanya. Diandra dan Vano selalu saja bergantian menjadi yang paling terakhir datang saat mereka berkumpul. "Ya, jangan deh kalau Diandra. Nggak tega gue sama anak orang." Intonasi bicara Varell menjadi sedikit lebih ramah. "Lo sama Diandra nggak tega, sama yang lain apalagi sama gue lo paling tega. Lo pikir kita-kita juga bukan anak orang." Abiyan bersungut-sungut kesal. "Bukan gue yang bilang," jawab Varell asal yang membuat Abiyan mendengkus cukup keras. "Ah, atau lo lagi jemput dia ya, Biy?" Varell mulai mengeluarkan godaannya pada sang sahabat. "D-i-a?" Abiyan membeo dengan penekanan penuh pada setiap hurufnya. "Perlu gue sebut merek?" Abiyan seketika menghela napas dengan raut wajah yang tidak terbaca saat menayadari siapa 'dia' yang dimaksud oleh Varell. "Nggak usah ngaco, deh. Gue aja nggak tahu dia tinggalnya di mana." Jelas saja sebab selama ini, 'dia' yang mereka maksud selalu datang dan pulang bersama sahabat wanitanya. "Perlu gue shareloc? Kali aja dia belum berangkat?" "Lo buka grup, gih. Dia udah berangkat sama Clara, Pe'a." Tanpa berniat menunggu jawaban Varell, Abiyan segera memutus panggilan tersebut. Percuma saja, semakin ia meladeni Varell akan semakin semena-mena dalam menggodanya. Sementara di kafe, Varell terlihat seperti orang gila karena ia tersenyum-senyum sendiri. Senang hatinya karena bisa meluncurkan godaan yang sudah lama tidak pernah ia lakukan kepada sahabatnya itu. Varell memiliki rencana besar, yaitu mencomblangkan Abiyan dengan Annisa. Meskipun ia tidak tahu bagaimana sesungguhnya perasaan Abiyan saat ini. Selain itu hal yang membuat Varell semakin tersenyum lebar ialah ketika ia melihat kedatangan Vano bersama Diandra. Baru kali ini, kedua sahabatnya itu bukan menjadi orang paling terakhir yang datang. "Gue barusan taruhan sama Abiyan, yang dateng terakhir dia yang bayar. Eh, lo pada udah dateng." Diandra dan Vano bahkan harus berhenti sepersekian detik sebelum mendaratkan pantatnya di kursi. "Ini orang kaya satu semena-mena banget, Ya Tuhan," celetuk Diandra dengan tatapan memicing penuh pada Varell. "Orang kaya kok kreditannya banyak," sahut Vano menimpali. Varell membolakan matanya sementara Diandra terkekeh karena ada yang sekubu dengannya. "Itu bukan kreditan." "Teruuusss?" tanya Diandra dengan intonasi yang dipanjang-panjangkan. Diandra sebenarnya juga terlahir di keluarga yang tergolong mampu namun memang tidak sekaya teman-teman seperkumpulannya. Selain itu, gadis asal Solo itu juga menjalani kehidupan mandiri di Ibukota. Sama seperti Annisa, dia adalah seorang perantau. Tidak jauh berbeda dengan Vano. Bedanya, Vano nekat mengambil kuliah kedokteran karena menolak untuk mengambil jurusan hukum seperti titah orang tuanya yang memang berprofesi di bidang hukum. Terutama sang ayah yang merupakan seorang anggota pengadil. Jadilah setelah meyelesaikan pendidikannya, Vano lebih memilih untuk menjalani hidup mandiri. "Investasi masa depan," jawabnya asal. "Terserah lo, dah. Ngomong-ngomong, Abiyan udah sampai mana? Clara sama Annisa mana?" Varell sedikit menurunkan kacamatanya, memandang penuh pada Diandra. "Mana gue tahu. Kalau gue tahu, mereka pasti udah gue seret ke sini," jawabnya yang membuat Diandra dan Vano kompak memberikan ekspresi mencibir. Setelah berkutat dengan kepadatan jalan raya selama hampir 1 jam, tepat ketika langit mulai menggelap dengan sedikit sisa cahaya merah di ufuk barat, SUV milik Abiyan akhirnya memasuki tempat parkir komplek ruko di mana kafe yang dimaksud Varell terletak. Ketika hendak keluar dari mobilnya, Abiyan melihat 2 orang yang sangat ia kenal melangkah memasuki kafe. Ia memilih mengurungkan niatnya sejenak. Tentu saja untuk melihat dari jauh wajah gadis yang sudah menarik perhatiannya. Wajah cantik yang terlihat semakin mempesona di bawah sorot lampu tersebut. Beruntung, sejak awal Abiyan tidak menyalakan lampu mobilnya sehingga keberadaannya sedikit tersamarkan. Terlebih, ia memarkirkan mobil di sudut yang cukup menepi. [Buruan masuk. Jangan dlihatin mulu ntar kesambet lo.] Kalimat sarkas pada pesan masuk yang seketika membuat Abiyan membolakan mata. Laki-laki itu memandang ke arah lantai 3 kafe. Tampak Varell yang sedang melihatnya sambil tersenyum usil. [Sialan lo.] Balasnya sebelum melangkah keluar dari SUV hitam tersebut. Awalnya Varell memang memilih di lantai 2, namun setelah kedatangan Diandra dan Vano tadi ia memutuskan untuk pindah ke lantai 3 di mana tempat duduknya berupa sofa bundar dengan meja di tengahnya. Ia juga sudah memeberitahukan kepada 3 temannya yang belum datang sehingga Annisa dan Clara bisa langsung menuju ke lantai 3 tanpa harus repot-repot bertanya. Varell memiliki rencana yang sejauh ini hanya ia sendiri yang mengetahui hal itu. "Kenapa pindah ke lantai 3?" tanya Clara tanpa basa-basi. "Ini anak dateng bukannya kasih salam atau apa," celetuk Vano yang dibalas cebikkan bibir oleh sang penanya. "Selamat sore, Dokter Vano yang juteknya melebihi Buaya Afrika," sapa Clara sarkas yang membuat Vano mendelikkan mata selebar-lebarnya. "Kemarin Beruang Kutub, sekarang Buaya Afrika. Besok-besok seisi kebun binatang deh lo sebutin semua, Ra," balas Vano dengan tak kalah sarkastik. Clara terkikik mendengar betapa ketusnya ucapan Vano, "Lagian, gue kan nanya sama Varell. Lo-nya sewot duluan." "Enak di sini," jawab Varell dengan santai. "Ra, lo duduk di sini samping gue," pintanya saat melihat Annisa hendak duduk terlebih dulu. "Kenapa harus gue? Lo nggak mau duduk deket Annisa?" Kening Anisa dan Clara sama-sama mengerut. Demikian juga Diandra dan Vano. Varell menggeleng, "Bukan gitu. Annisa kan anak baik-baik. Gue nggak mau khilaf sama anak orang," jawabnya asal sambil menarik cepat tangan Clara. "Sialan lo. Jangan bikin pasaran gue turun, Varell," balas Clara sambil menampol pundak Varell menggunakan slingbag-nya. "Bantuin gue, please. Lo pasti tahu apa yang gue maksud," bisik Varell sangat lirih di telinga Clara. Sangat sangat lirih hingga hanya Clara dan Tuhan yang bisa mendengarnya. Clara memandang Varell sejenak, tetapi laki-laki itu justru melirik pada Annisa. Clara langsung mengerti apa maksud Varell meskipun ia sedikit bingung. 'Jangan bilang kalau Abi juga suka sama Nisa?' batin Clara bermonolog. "Gue nggak ada salah apa-apa sama lo 'kan, Rell?" tanya Annisa dengan tatapan memicing setelah ia duduk. Kembali Varell menggeleng, "Sa, prinsip gue itu cuma satu. Karena gue terlahir dari rahim seorang wanita, buat gue wanita itu nggak pernah salah. Kalau ada sesuatu yang salah sama seorang wanita, sudah pasti prianya yang harus bertanggung jawab." Ke-empat orang di sana hanya bisa saling pandang setelah mendengar jawaban Varell yang entah bagaimana terdengar sangat bijak tersebut. "Tumben lo bisa ngomong bener. Habis nelen infus berapa botol lo?" Suara maskulin seseorang dari arah belakang Annisa dan Clara membuat mereka mengalihkan fokusnya. "Ini juga satu, nggak kedengeran suaranya tiba-tiba dateng kek setan," celetuk Diandra yang seketika membuat Abiyan melotot selebar mungkin padanya. "Di, kita punya dendam apa sih di kehidupan masa lalu? Lo kayaknya sensi banget sama gue." Abiyan melangkah menuju satu-satunya tempat yang tersedia untuknya namun belum bergerak untuk duduk. "Gue dendam gara-gara rumah sakit lo nolak gue." "Lo protes noh sama Noona gue. Dia yang punya itu rumah sehat, bukan gue." "Rumah sehat?" Annisa membeo dengan nada geli sementara yang lainnya merespon dengan tawa geli. "Rumah sakit udah mainstream, Sa. By the way, itu kenapa dua orang bisa duduk berdampingan? Yakin nggak timbul perang dunia ketiga lo pada?" Percayalah, jantung Abiyan mendadak berpacu dengan sangat kencang ketika menyadari ia harus duduk bersisian dengan Annisa. Tak jauh berbeda dengan Abiyan, Annisa juga tengah merasakan hal yang sama. Terlebih melihat penampilan Abiyan yang entah harus bagaimana mendeskripsikannya. Membuat Annisa teringat bagaimana Abiyan saat mereka sama-sama menempuh pendidikan sarjana dulu. "Gue mau bikin perhitungan sama Clara gara-gara dia nggak bawain gue nastar." "Astaga, nastar lagi nastar lagi. Lo punya masalah hidup apa sih ama nastar sampai segitunya banget." Saat minumannya nanti datang, Clara benar-benar akan menuangkan cairan tersebut ke wajah Varell. Kini, entah harus bagaimana menjelaskannya tetapi Annisa benar-benar merasa gugup dengan begitu luar biasa ketika Abiyan perlahan mendudukkan tubuhnya di sebelah gadis itu. Hanya saja, demi mengusir rasa gugupnya Abiyan langsung saja menyandarkan pundaknya pada sandaran sofa. "Are you okay, Sa?" tanya Diandra yang menangkap rasa tidak nyaman pada raut wajah sahabatnya itu. Annisa menggeleng cepat, "Nggak pa-pa, Di. Lo buruan lihat menunya sama Vano. Gue laper," jawabnya diplomatis yang membuat Clara dan Varell saling mengulum senyum. Di bawah meja, telapak tangan mereka sedang melakukan high five. "Lo booking lantai ini buat kita, Rell? Kenapa sepi banget?" tanya Annisa memecah keheningan. Sejak menapakkan kaki di sana, memang belum terlihat ada pengunjung lain selain mereka. "Banyak duit lo?" sambungnya ketika melihat Varell mengedipkan mata dengan senyum manisnya. Laki-laki itu sedikit melirik Abiyan yang sepertinya sedang melamun sambil menatap Annisa. "Eit, tenang aja, Sa. Kan Abiyan yang dateng terakhir." Mendengar namanya disebut, Abiyan yang saat itu tengah terpaku memandang sisi kiri kepala hingga bahu Annisa lantas membolakan mata. "Harusnya nggak usah lo ingetin, Sa. Kalau gue nggak bawa dompet, mau bayar pake apaan? Lo yang gue tinggal di sini, ya?" sahut Abiyan sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan kirinya yang ia letakkan pada sandaran samping. Spontan saja Annisa membolakan mata sembari menepuk pelan paha kanan Abiyan. Pelan dan spontan, namun Annisa sama sekali tidak menyadari jika hal itu mampu memantik sebuah rasa yang lain dalam diri Abiyan. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD