4. PLAN FOR HOLIDAY

2503 Words
"Ini calon CEO satu sibuk bener hidupnya," celetuk Varell pada Abiyan yang baru saja kembali dari mengangkat telepon penting dari om Ashraf. Abiyan yang masih berdiri hanya tersenyum tipis pada sahabatnya itu, menandakan jika ia masih 'sibuk'. "Duduk, Biy. Itu pelayan mau naruh makanan ketutupan badan lo," ucap Annisa sambil spontan menarik lengan sahabatnya itu. Abiyan yang tampaknya tidak menyadari apa yang dilakukan Annisa hanya menurut sambil kembali mengempaskan pantatnya ke sofa. Diam dan fokusnya Abiyan sontak membuat aktivitas ke-lima orang yang lain ikut berhenti. "Gue nggak tahu ni anak otaknya terbuat dari apa. Jadi dokter, iya. Ngurus perusahaan, iya. Kepala pelayanan rumah sehat, iya. Masih sempet kuliah lagi pula. Lo makan apa sih Biy dulunya?" Cecar Vano dengan telapak tangan memangku dagunya. "Gue makan nasi, Van. Emangnya elo, makan hati mulu," jawab Abiyan tanpa memandang Vano. Matanya masih fokus menatap ke layar ponsel. "Kejam emang mulutnya nih anak." Ke-empat orang lainnya hanya tersenyum miring melihatnya. "Lo juga sama aja. Udah tahu Abiyan kalau lagi fokus emang sadis mulutnya. Nih lo makan gih biar nggak bawel," ucap Diandra ambil menyodorkan potongan nugget pisang ke mulut Vano dengan sedikit tergesa. Vano mendelikkan mata lebar-lebar namun tak urung tetap menerima suapan dari Diandra. "Lo jadi cewek nggak ada halus-halunya, Di. Katanya orang Solo tuh lembut-lembut, kalem." "Lo kata Diandra bubur, lembut." Clara memotong cepat keluhan Vano. "Biy," seru Annisa ketika Abiyan menarik sendoknya begitu saja. Annisa baru hendak memakan potongan martabak tetapi dengan cepat Abiyan menarik tangan gadis itu untuk menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya. 'Abiyan sadar nggak sih apa yang dia lakuin bikin jantung gue serasa mau copot,' rutuk Annisa dalam hatinya. "Suapin gue, Sa. Lo kan tahu gue masih sibuk," balas Abiyan dengan sangat santai. Padahal dalam hatinya, laki-laki itu sedang merasa antara gugup namun juga ingin bersorak kegirangan. "Bukan urusan gue. Lo yang sibuk kenapa gue yang kena." Annisa memukul pelan pundak Abiyan. Kali ini ia benar-benar gemas pada sosok sahabat yang disukainya itu. "Sa, lo nggak lihat ada yang aneh antara 2 orang di samping lo?" Sejak tadi Varell dan Clara seringkali tersenyum-senyum sendiri dan itu juju saja membuat Diandra menaruh curiga. Annisa spontan melihat ke arah Clara dan Varell, "Nggak ada apa-apa. Emang kenapa, Di?" Kemudian kembali beralih pada Diandra. "Mereka dari tadi senyum-senyum mulu. Coba lo cek, jangan-jangan di bawah mereka lagi pegang-pegangan tangan." Varell dan Clara kompak membolakan mata atas ucapan frontal Diandra tersebut. "Lo kira gue ada main sama Varell?" Clara memperjelas asumsi Diandra. "Habisnya lo berdua mencurigakan. Kalau saling suka ya udah sih. Kita berempat merestui, kok," ucap Diandra sambil menaik-turunkan alisnya menggoda Clara. "Sama Clara emosi mulu gue yang ada," sahut Varell asal lantas meneguk minumannya yang berwarna biru. "Lo pikir sama lo gue nggak emosi. Apalagi yang ada di otak lo isinya makanan mulu. Banyak makan tapi nggak tahu larinya ke mana. Di ambil cacing kali," balas Clara dengan intonasi yang tak kalah ketus. "Ra, itu artinya metabolisme badan gue bagus. Lagian nih ya, gini gini otot perut gue bagus lho. Lo mau bukti? Mau lihat?" tawar Varell dengan nada menggoda. "Jangan berusaha m*****i mata gue, Varell." "Gue cuma bicara jujur, apa adanya, Fransisca Maulina Clara." Kali ini Varell melingkarkan lengannya pada bahu Clara tetapi gadis itu menolak dengan mata melotot. "Udah gue bilang jangan ngerusak pasaran gue, Cacing Alaska." Clara berusaha melepaskan lengan Varell yang semakin ia memberontak, Varell justru semakin erat merangkulnya. "Ya kalau nggak ada yang mau sama lo, sama gue aja." Fix! Clara benar-benar sudah kesal dan mulai mengangkat gelas minumannya. Melihat gelagat tidak baik yang akan membahayakan penampilan tampannya hari ini, Varell akhirnya melepaskan Clara sambil memberikan senyum yang sangat manis. "Maaf, Clara," ucapnya dengan sangat lembut. Baik Annisa, Diandra maupun Vano hanya melihat sambil menikmati makanan mereka, tanpa berniat ikut campur sedikit pun. "Gue bilang juga apa. Kalau mereka duduk berdampingan, udah pasti meletus perang dunia ke tiga," ucap Abiyan menengahi perdebatan para sahabatnya. Urusannya telah selesai dan ponselnya sudah kembali bersarang di dalam sakunya. "Temen lo nih yang tadi maksa gue buat duduk di samping dia." "Makanya, lo yang peka, Ra. Varell itu kena efek kelamaan jomlo." "Sadar diri woy," umpat Varell sambil berusaha melempar Abiyan dengan bungkus sedotannya. "Padahal dia yang nggak pernah ngerasain punya pacar dari SMA," sambungnya ketika Abiyan hanya memberikan ekspresi mencibir. "Berarti, hatinya Abiyan masih original dong." "Lo pikir gue paketan burger pake kata original," desis Abiyan menanggapi ejekan Diandra. "Biy, lo kalau mau pesen sana. Kenapa dari tadi nyomotin makanan gue mulu, sih." Giliran Annisa yang bersungut-sungut karena Abiyan kembali mengambil makanan pesanannya. Bukannya apa, martabak manis rasa keju adalah camilan kesukaannya. Biasanya ia akan sangat pelit jika ada yang meminta, tetapi kali ini rasanya sangat sulit untuk menolak tingkah Abiyan. "Lo aja yang pesen lagi, Sa. Biar gue yang habisin ini," sahut Abiyan asal sambil tetap menikmati kudapan manis asin tersebut. "Tu anak satu kenapa jadi pendiem gitu?" Ketika Annisa kembali hendak berbicara, Abiyan justru menunjuk Vano dengan dagunya. Membuat perhatian semua orang beralih pada calon dokter saraf tersebut. "Lo semua pada nyadar nggak sih, kita ini selalu jadi pengunjung yang paling berisik," cibir Vano sambil tetap dalam posisi bersandar dengan tangan bersedekap. "Udahlah, santai. Mereka ngerti." Varell menyahut dengan tenangnya. "Guys, lo pada lagi borring nggak? Gue pengen liburan, entah ke mana gitu. Kayaknya pikiran gue lagi capek banget, butuh hiburan yang lain." Vano mengungkapkan isi pikirannya. Sudah lebih dari 2 tahun ini ia nyaris tidak pernah menjalani yang namanya liburan. "Kita mah liburan ayo-ayo aja, yang jadi masalah kan jadwal kita untuk kosong dalam waktu lebih dari 3 hari pasti susah banget. Masih mending beberapa bulan sekali kita masih bisa ngumpul." Semua orang hanya mengangguk tanda setuju dengan ungkapan Annisa. "Emang lo mau liburan ke mana?" Suara Diandra secara tiba-tiba membuat suasana menjadi begitu tenang dan serius. "Ya ... ke mana gitu kek. Bali, Jogja atau ke mana yang penting liburan. Mau ke pantai, mau naik gunung terserah." "Kita naik gunung aja gimana? Kayaknya kita nggak pernah deh liburan alam semacam itu bareng-bareng." Clara memiliki satu destinasi yang sangat ingin dia kunjungi tetapi karena jauhnya lokasi sampai sekarang keinginannya itu belum terwujud. "Gunung mana?" tanya Diandra penasaran. Gadis itu merupakan satu-satunya orang yang tidak bisa naik gunung atau liburan ekstrem lainnya. Bukannya manja, hanya memang dia tidak kuat. "Deketnya rumahnya Annisa. Ke Bromo, gimana? Kan nggak perlu mendaki terlalu ekstrem, biar Diandra bisa ikut." "Bromo dari rumah gue jauh keleus." Jelas saja, dari Surabaya menuju Bromo masih membutuhkan waktu 2 jam lebih. "Ya masih jauhan kalau dari sini lah, Sa," balas Abiyan tak kalah acuh, secara tidak langsung Abiyan menyetujui ide Clara. Membuat Annisa kembali memandangnya dengan melotot. "Nah itu cocok, katanya sunrise di sana bagus. Gue lihat di foto-foto yang banyak beredar juga gitu. Kan ntar pantainya kita bisa ke mana? Malang? Iya, Sa?" Bola mata Vano berbinar sangat cerah. Tadinya ia bingung ingin liburan ke mana, tetapi ide Clara terdengar begitu menyenangkan menurutnya. “Lo pilih satu. Kalau mau ke Bromo, ya Bromo aja. Kalau mau ke pantai, pantai aja.” Annisa memberikan saran. “Emang nggak bisa keduanya?” tanya Diandra tidak mengerti. “Ya bisa, tapi … kedua tempat itu letaknya jauh banget. Bukan tempat yang searah juga. Gue jamin pasti kecapekan deh lo pada.” Annisa tentu sama sekali tidak berbohong. Meskipun sekarang akses menuju tempat yang mereka inginkan sudah sangat mudah, tetapi tetap saja jauh dari rumahnya. “Ya udah, kita ke Bromo aja dulu. Kalau masih ada waktu dan kondisinya mendukung, baru ke pantai. Gimana?” Suara Abiyan memecahkan keheningan yang sempat melingkupi para anak muda itu selama beberapa detik lamanya. Sementara Varell hanya diam tanpa ingin berkomentar. Ia adalah orang yang paling mudah di antara mereka ber-enam. Prinsip Varell hanya satu, rencanakan dan berangkat. Masalah tempatnya bagus atau tidak menurutnya setiap orang memiliki perspektifnya masing-masing. "Kenapa Varell tiba-tiba jadi orang yang pendiem banget?" "Ya lo pada kan udah ribet, gue mah gampang aja. Berangkat tinggal berangkat," balasnya dengan sangat santai menanggapi pertanyaan Clara. "Ya kalau emang mau ke Bromo, sekalian bulan depan aja waktu gue pulang ke Surabaya. Kebetulan, udah 3 bulan lebih gue nggak pulang, nyokap udah neror gue mulu. Ntar nginep di rumah gue aja, lumayan kan mengirit biaya hotel," kata Annisa memberikan saran. "Asal nggak 3 kali puasa 3 kali lebaran aja, Sa." Giliran Vano yang mendapatkan lemparan bungkus sedotan dari Annisa. Meskipun tidak kena, tetap saja laki-laki itu bergerak mengelak. "Terus kita ke sana naik apa? Nisa kan biasanya pulang naik kereta?" "Kayaknya kalau naik kereta bakalan susah. Ke Bromonya mau naik apa? Nggak mungkin kan kita pinjem mobil bokapnya Annisa. Nggak tahu diri banget jadi tamu." Varell merespon pertanyaan Clara. "Pakai mobil gue aja." Abiyan menengahi dengan tenang. Benar kata Varell, tidak mungkin mereka menggunakan kendaraaan umum karena saat di Surabaya nanti pasti mereka juga butuh untuk berkeliling. "Ya udah, ntar kita patungan buat bensinnya," balas Vano yang membuat senyuman Abiyan terkembang lebar. “Gue paling seneng kalau lo peka.” Vano merotasikan bola matanya dengan jengah mendengar ucapan Abiyan. "Tapi mobilnya Abiyan kan mobil listrik?" Varell seakan teringat sesuatu. "Ya udah, patungan buat biaya chargernya. Eh, emang udah ada tempat charger mobil selain di Jakarta?" Diandra menjawab tenang. Abiyan hanya mengendikkan bahunya acuh, "Gue tahunya cuma di Jakarta doang. Tenang aja, ada kok mobil yang manual." Vano sebagai orang yang paling berkeinginan untuk merasakan liburan bertepuk tangan paling semangat, sangat semangat hingga membuat Diandra spontan menyubit pinggangnya. "Jangan bikin malu, lo." Gertakan Diandra membuat Vano hanya bisa meringis sambil mengusap otot-otot perutnya yang terasa panas. "Udah makin malem, kita pulang gimana?" tawar Annisa setelah melihat arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. "Ya udah, yuk." Yang lainnya menjawab secara bersamaan. Dengan tanpa perasaan dosa, Varell, Clara, Diandra dan Vano ngacir begitu saja meninggalkan Abiyan yang hanya bisa memandang mereka dengan jengah. Sementara Annisa yang berada satu langkah di belakang Abiyan hanya mengulum senyum. "Lo nggak turun, Sa? Ditinggal Clara lho, Temen lo satu itu kan gampang pikun." Annisa terkekeh atas ucapan sarkastik Abiyan. "Katanya kalau dompet lo ketinggalan lo mau niggalin gue di sini." Abiyan tersenyum kikuk, sambil menggaruk tengkuknya yang iba-tiba saja terasa gatal. "Gue bercanda, Sa. Ya kali gue ninggalin lo." Annisa kembali tertawa dan hal itu sukses membuat Abiyan terpana. "Gue tahu lo bercanda, Biy. Ya tapi gue nggak sekejam itu juga ninggalin orang yang lagi bayar. " Sambil berjalan menuju kasir, Abiyan mengangguk pelan. Selama ini Annisa memang selalu menemani siapapun yang bertugas untuk membayar makanan mereka. Usai dengan segala urusan pembayaran, keduanya melangkah keluar kafe. Entah apa yang menggerakkannya, secara spontan Abiyan membukakan dan menahan pintu untuk Annisa. Entah harus bagaimana menjelaskannya, tetapi gadis itu merasakan hatinya semakin berbunga-bunga mendapat perlakuan manis dari sahabatnya tersebut. "Claranya di mana?" Annisa celingukan ketika tidak melihat keberadaan Clara di depan kafe, padahal mobilnya masih ada. Abiyan yang baru saja mengeluarkan ponselnya ikut terkejut, namun bukan karena ketidak beradaan Cara melainkan adanya panggilan masuk dari Varell. "Halo. Apaan?" Annisa langsung menatap Abiyan yang juga memandangnya sambil bertelepon. "Siapa?" tanyanya pelan. Dengan bahasa isyarat, Abiyan memberitahukan jika itu adalah Varell. Panggilan itu hanya berlangsung selama satu menit. Abiyan menghela napas panjang. Ia sedikit curiga kalau Varell sengaja ingin mengerjainya agar mengantarkan Annisa pulang. "Kenapa, Biy?" Annisa masih menatap Abiiyan penuh tanya. "Ban-nya Clara bocor. Dia udah balik sama Varell." Jawaban yang diberikan Abiyan seketika membuat Annisa melotot. Serta merta ia merogoh ponselnya dan benar saja, terdapat sebuah pesan masuk dari Clara. [Ban mobil gue kempes, Sa.] [Maaf, ya.] [Lo pulang bareng Abiyan, oke? Sekalian pedekate.] "Pedekate, mbahmu," desis Annisa tajam dengan perasaan sebal sekaligus gugup. "Ternyata kempes beneran." Annisa melongo ketika melihat Abiyan yang sedang menendang-nendang ban depan kiri mobil Clara. Sepertinya sahabatnya itu tidak berbohong. "Ayo gue anterin lo pulang, Sa," ajak Abiyan yang kini melangkah memasuki mobilnya. "A, g-gue naik taksi aja deh, Biy. Nggak pa-pa," jawab Annisa dengan gugup. Tangannya bahkan sudah mulai berkeringat dingin, meskipun sebenarnya ia sangat senang Abiyan berinisiatif mengantarkannya pulang. "Terus gue biarin cewek pulang malem-malem sendirian? Lo mau bikin gue jadi cowok apaan, Sa?" "Bu-bukan gitu, Biy." Annisa semakin gugup serta bingung. Ia takut kalau Abiyan marah dan salah paham padanya. "Ya udah, ayo naik," titah Abiyan cepat. Kali ini Annisa benar-benar tidak bisa menolaknya sebab Abiyan sudah membukakan pintu penumpang untuknya. "Lo tinggal di mana?" tanya Abiyan sesaat sebelum melajukan mobilnya. "Harmony Indah C1.11." "You gonna be kidding me, kita temenan udah bertahun-tahun dan gue baru tahu alamat rumah lo. Untung aja gue sukses maksa lo buat pulang bareng." Ucapan Abiyan membuat Annisa mengerutkan dahinya. "Maksud lo? Lo tinggal di perumahan yang sama?" tanya Annisa memastikan. Namun Abiyan justru menggeleng dan hal itu membuat Annisa merasa bingung. “Rumah kakak gue. Tapi dia di cluster 1, lewat akses depan,” jelas Abiyan yang membuat Annisa menganguk mengerti. Akses utama perumahan yang ditempatinya memang lebih tertutup. Hal itu wajar, sebab memang menjadi tempat tinggal para pengusaha yang mana sisi keamanannya menjadi poin utama. Termasuk di antaranya, keluarga Alena dan Kim Yeong. “Gue pikir kakak lo tinggal di rumah mertuanya.” Annisa memberikan pendapatnya yang membuat Abiyan tersenyum kecil. “Ah … Namanya juga orang bingung mau ngabisin duit, Sa,” sahut Abiyan sekenanya yang membuat Annisa terkekeh. “Sama kayak elo, dong,” timpal Annisa setelah berhasil meredakan tawanya. Dengan cepat Abiyan menggeleng, “Jangan dibandingin sama Kak Al. Duit gue nggak ada apa-apanya dibanding dia.” Perkataan Abiyan sontak saja membuat tawa Annisa terlolos. Tawa yang begitu disukai oleh Abiyan. Tawa Annisa menjadi suara yang terakhir sebelum suasana di dalam mobil kemudian berubah hening selama beberapa saat. Keduanya sama-sama membisu karena tidak ada lagi topik yang harus mereka bicarakan. Hingga suara Annisa yang pertama kali memecah keheningan. "Kenapa rasanya dingin banget, Biy." "Mau dikecilin AC-nya?" tawar Abiyan dan Annisa segera mengangguk. Cess!! Abiyan dan Annisa sama-sama merasa seolah tersengat aliran listrik ketika tanpa sengaja kedua tangan mereka bersentuhan saat masing-masing berinisiatif untuk mengecilkan tombol AC. Beruntung, suasana mobil begitu temaram sehingga Abiyan tidak menyadari perubahan raut wajah Annisa yang kini merona. Annisa juga tidak bisa melihat betapa piasnya wajah Abiyan. "Eh, kalau naik mobil perjalanan sampai Surabaya kira-kira berapa jam, Sa?" Abiyan bertanya guna mengalihkan perasaan yang berkecamuk di dalam benaknya. Annisa tampak berpikir sebentar. Ia sedang menghitung berapa waktu yang biasa ia butuhkan jika menaiki kereta api. "Kalau naik kereta sih sekitar 8 sampai 9 jam. Itu yang eksekutif. Mungkin kalau mobil sekitar 11 sampai 12 jam-lah, udah plus istirahat. Tergantung, mau lewat jalan tol apa lewat jalur Pantura. Lo udah biasa nyetir jauh kan, Biy?" Abiyan tersenyum sekilas, "Belum sih. Paling jauh baru PP Jakarta sampai Bandara Kertajati. Gampanglah, ada Varell yang udah biasa." Annisa ikut tersenyum membenarkan ucapan Abiyan. Hingga beberapa menit kemudian, tidak terasa keduanya sudah sampai di depan kediaman Annisa. Sebuah rumah mungil yang terlihat begitu manis di mata Abiyan. Terlebih, banyak sekali tanaman bunga yang membuatnya terlihat semakin cantik. "Makasih ya, Biy." Abiyan mengangguk pelan. Tanpa Annisa ketahui, laki-laki itu ikut turun ketika Annisa keluar dari mobil. Abiyan hanya ingin memastikan Annisa aman hingga memasuki rumahnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD