Part 1 - First Meet

1652 Words
  Di sebuah Kelab,     Levine menenggak gelas wine kelimanya dengan cepat.     "Satu lagi!" perintahnya pada Bartender sambil menyentakkan gelas  ke meja.     "Anda yakin Tuan? Anda sudah minum terlalu banyak," tanya bartender muda itu dengan sungkan. Dia hanya khawatir melihat keadaan Levine yang sudah hampir kehilangan kesadaran.     "Tidak usah banyak tanya! Cepat berikan aku satu lagi kalau kau tidak mau kehilangan pekerjaanmu!" Levine mulai mengancam sambil menyodorkan gelas kosong kepada si bartender.     Bartender bermanik cokelat itu hanya diam dan menuangkan kembali Wine ke dalam gelas Levine. Dia kembali meminumnya dengan cepat.                  Sebenarnya kepala Levine sudah terasa berat dan sakit, tapi dia tetap memaksa untuk terus minum. "Aku tidak mau, aku tidak mau menikah dengannya." Tiba-tiba dia meracau. "Tidak akan pernah, meskipun aku harus mati aku tidak akan menerimanya!" ia semakin meracau tidak jelas. Beberapa jam sebelumnya,     Setelah pembicaraan Levine dengan ayahnya mengenai pernikahannya dengan gadis yang bernama Nadeline, ia kemudian pergi ke lantai atas untuk menjenguk ibunya.     Levine berjalan pelan menaiki anak tangga dan masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar yang sebenarnya tidak bisa disebut kamar, karena penampakan di dalamnya lebih terlihat seperti sebuah ruangan di rumah sakit.     Ruangan itu berdominasi warna putih, lengkap dengan berbagai peralatan medis layaknya seperti di rumah sakit sungguhan, dan tentunya sangat dijaga kebersihannya.          Mata Levine langsung tertuju ke satu titik. Sebuah tempat tidur di mana ada seseorang yang sekarang sedang terbaring lemah di sana.     Ibunya, terbaring lemah tak berdaya dengan banyak alat melekat di tubuhnya. Penopang hidupnya agar tetap bernapas. Sebuah komputer penunjuk detak jantung berada di sisi kanan tempat tidur, mengeluarkan bunyi detakan yang beraturan.     Levine berjalan pelan mendekati ibunya, dilihatnya tubuh ibunya yang kurus dan pucat. Entah sudah berapa lama ibunya mengalami keadaan seperti ini.     Ia duduk di sebelah ibunya, dan mulai menggenggam tangannya dengan perlahan. "Ibu, ini aku Levine. Aku sudah pulang, bangunlah Bu..."     Tidak ada jawaban. Tentu saja ibunya masih tertidur seperti biasa, berbulan-bulan tetap dalam keadaan yang sama. Levine kemudian mengecup tangan ibunya pelan.     "Tadi aku bicara dengan Ayah, dia bilang aku harus menikah dengan seorang gadis bernama Nadeline. Apa Ibu benar-benar tahu tentang masalah ini?" tanya Levine.     "Aku tahu Ibu bisa mendengarku, jawab Bu apa memang ini yang Ibu inginkan?" Levine tahu meskipun Ibunya tertidur, dia pasti bisa mendengar perkataannya.     "Apa Ibu sangat menginginkannya? Kalau memang Ibu menginginkannya maka jawablah!" Levine berteriak saking frustrasinya.     Mungkin sekarang jika ada orang yang melihatnya maka Levine akan dikira tidak waras karena berbicara dengan orang yang tidak sadar. Tapi dia sudah sangat frustrasi dengan keadaannya saat ini, dan dia sangat berharap agar ibunya bisa bangun untuk menjawab semua pertanyaannya.     "Bu! Katakan sesuatu, apa ini keinginan Ibu? Kalau memang ini keinginan Ibu maka... baiklah, aku akan menerimanya," Levine menghela napas. Berusaha meredakan amarahnya, tidak ada gunanya dia protes kepada ibunya yang sedang sakit. Ibunya tidak bersalah, dia bahkan sudah terlalu banyak berkorban demi Levine.     Dan jika pernikahan ini memang keinginan ibunya. Maka, Levine bersedia menerimanya. Asalkan ibunya bisa sembuh, asalkan dia bisa melihat ibunya sehat kembali, maka Levine bersedia melakukan apa saja. Jika memang dengan begini, entah bagaimana lalu ada sebuah keajaiban yang membuat ibunya bangun kembali, maka Levine bersedia berkorban. Biarlah dia menghabiskan masa lajangnya cukup sampai di sini saja, tidak apa, asal ibunya kembali padanya.     "Tapi hanya demi Ibu, dan berjanjilah bahwa setelah ini Ibu akan sembuh," Levine benar-benar berharap, keputusannya ini bisa membuat ibunya sembuh. Levine berharap suatu hari ibunya akan terbangun. Agar dia melihat bahwa putranya telah menuruti keinginannya, lalu dia akan tersenyum bangga, seperti dulu.     "Baiklah Bu, sekarang aku harus pergi. Aku akan lakukan keinginan Ibu dan sebagai gantinya tetaplah hidup untukku," Levine lalu mengecup kening ibunya sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan ruangan.     Setelah itu Levine langsung keluar dari rumah, masuk ke dalam mobilnya, melaju dengan cepat tanpa tujuan sampai akhirnya dia memutuskan untuk menenangkan pikirannya di sebuah kelab.                                                                                 ******     Kepala Levine terasa semakin sakit dan pandangannya mulai menggelap, dan akhirnya karena sudah terlalu banyak minum, dia sudah tidak bisa menahan dirinya untuk tetap terjaga, Levine menyandarkan kepalanya di meja, menjadikan kedua tangannya sebagai tumpuan. Hingga perlahan-lahan kegelapan mengambil alih kesadarannya... Dan dia tertidur.     "Tuan, Anda baik-baik saja?" Bartender yang melihat Levine tiba-tiba saja tertidur langsung mengguncang bahu Levine untuk membangunkannya.     Levine tentu tidak merespon karena dia sudah benar-benar kehilangan kesadaran. Meskipun sayup-sayup dia masih bisa mendengar suara si bartender, tapi kepalanya sudah terlalu berat untuk diangkat.     "Ck.. bagaimana jika dia pingsan di sini?" Bartender mengira Levine pingsan karena terlalu banyak minum. Dia masih berusaha membangunkan Levine sambil memerhatikan sekeliling, mencari jika mungkin ada orang lain yang datang bersama Levine.     "Sial! Dia sendirian, apa aku harus mengantarnya pulang? Yang benar saja!" rutuk si bartender, panik.     "Ada apa Brian?" tiba-tiba terdengar suara lembut seorang wanita memanggil si bartender.     "Ah, Nona syukurlah! Pria ini sepertinya mabuk berat dan tidak sadarkan diri." Jelas Brian--si bartender.     "Tunggu sebentar Brian, biar kulihat." Wanita muda itu lalu mengguncang bahu Levine pelan sambil sedikit menunduk untuk melihat wajahnya.     "Tuan, Anda tidak apa-apa?"     Levine sedikit membuka matanya dan melihat wajah wanita itu. Cantik. Pikiran pertama Levine saat melihat paras wanita itu, ya dia memang sangat cantik, terlebih karena dia memiliki warna mata yang sama seperti Levine. Dan hanya dengan melihat kedua matanya, Levine tahu wanita ini juga pasti seorang keturunan yang berdarah asing campuran sama seperti dirinya. Dan bibirnya. Ah, Levine tidak pernah begitu tertarik melihat bentuk bibir seorang wanita seperti sekarang. Ditambah lagi dengan polesan lipstik tipis berwarna merah muda, yang menjadikan bibirnya terlihat semakin indah.     Sial! Pikiran Levine jadi benar-benar kacau.     Wanita itu menyentuh bahunya. "Tuan, apa Anda datang bersama seseorang?"     Levine kembali memejamkan matanya dan tidak menjawab pertanyaan wanita itu. Sungguh, dia sudah berusaha untuk tetap terjaga tapi tidak bisa. Levine lagi-lagi kehilangan kesadaran.     "Aku rasa dia sendirian, Brian apa kau pernah melihat pria ini sebelumnya?"     "Tidak, sepertinya dia baru pertama kali datang ke sini," Brian menggeleng, sama bingungnya dengan wanita itu.     "Kalau begitu kita harus melakukan sesuatu. Begini saja, aku akan mengantarnya pulang sementara kau tetap di sini dan gantikan tugasku sebentar."     "Ya, tapi bagaimana kita tahu di mana rumahnya?" tanya Brian.     Wanita itu tampak berpikir sejenak. "Hmm... tunggu sebentar."     Wanita itu merunduk dan perlahan mengambil dompet dari saku celana Levine, kemudian membukanya untuk mencari kartu identitas milik Levine.     "Aku bisa mengantarnya ke alamat ini, Brian bantu aku membawanya ke taksi." Ucap wanita itu setelah membaca alamat tempat tinggal Levine pada kartu identitasnya.     Dengan sigap Brian menuruti perintah wanita itu dan mulai memapah tubuh Levine. Saat Brian mengangkat tubuh Levine sesuatu terjatuh dari tangan kanannya. Sebuah kunci mobil, dan wanita itu mengambilnya.     "Sepertinya ia bawa mobil sendiri, begini saja bawa saja dia ke mobilnya. Biar aku yang menyetir nanti." Ucap wanita itu. Mereka pun membawa Levine ke dalam mobilnya.     "Nona yakin bisa mengantarnya sendiri?" tanya Brian setelah membantu Levine duduk di mobil.     "Ya, tenanglah aku bisa melakukannya sendiri. Sekarang kembalilah bekerja, Brian." Perintah wanita itu sembari tersenyum, menenangkan Brian yang khawatir. Brian pun mengangguk, meski dia masih cemas, lalu menutup pintu mobil. Dan kembali masuk ke kelab untuk melanjutkan pekerjaannya.     Lalu wanita itu masuk ke mobil dan duduk di bangku setir, sementara Levine duduk di sebelahnya. Tak lupa dia memasangkan sabuk pengaman dengan hati-hati pada Levine, sambil berusaha menjauh dari deru napas pria itu yang dipenuhi bau alkohol.Setelah selesai, barulah dia menyalakan mesin mobil. Dan mobil pun mulai melaju meninggalkan kawasan kelab.     Dan Levine? Tentu saja dia masih tertidur, bahkan sangat pulas. Sampai dia tidak tahu bahwa sekarang ada seorang perempuan asing yang sedang menyetir mobilnya.                                                                                                                                                                                  *****     Mereka sampai di depan sebuah gedung apartemen. Seperti yang dia baca di kartu identitas milik Levine, alamat tempat Levine tinggal memang di sini. Dengan susah payah wanita itu memapah tubuh Levine dari mobil dan memasuki lobi.     Sampai dia tiba di depan meja resepsionis. "Permisi Tuan, apa Anda punya key card  cadangan untuk apartemen atas nama Tuan Le... Levine Anderson?" tanya wanita itu pada petugas resepsionis sambil membaca kartu identitas Levine.     Resepsionis menatap heran ke arah dirinya yang masih memegangi Levine sambil terengah.  "Maksud Anda Member Card?" resepsionis memastikan maksud pertanyaan wanita itu.     "Ya tentu, apalah itu..." wanita itu segera mengangguk, lengannya mulai kebas karna menahan tubuh Levine yang jauh lebih tinggi dan berat darinya.     Resepsionis itu segera mengambil semacam kartu dari lemari kabinet di belakangnya, lalu menyusul wanita itu dan membantunya memegangi Levine.     "Apa yang terjadi dengan Tuan Levine?"     "Oh, dia salah satu pelanggan di kelabku, kurasa dia terlalu banyak minum, dan aku tak melihatnya bersama siapa-siapa," wanita itu menjelaskan selagi mereka berdua mulai berjalan menuju lift. Masing-masing dari mereka memegangi bahu Levine dari sisi kiri maupun kanan.     Resepsionis itu hanya mengangguk mengerti setelah mendengar penjelasan si wanita. "Mari, saya bantu membawa Tuan Levine ke apartemennya" dia menawarkan bantuan setelah mereka memasuki lift.     "Ya, terima kasih. Dia memang cukup berat," wanita itu tersenyum, nampak sangat tertolong.     Mereka membawa Levine menuju lantai di mana apartemenya berada. Sesampainya di depan pintu apartemen dengan nomor delapan puluh sembilan, resepsionis membantu membukakan pintu lalu mereka masuk ke dalam. Mereka membawa Levine ke kamar, dan membaringkannya ke tempat tidur.     Wanita itu mengatur napasnya kelelahan, tenaganya terasa habis cukup banyak untuk memapah pria yang beratnya tak tertandingi dengan tubuhnya yang jauh lebih kecil.     Untunglah resepsionis bersedia membantunya. Kalau tidak, maka seluruh tangan dan kakinya pasti mati rasa karena gemetar.     Mereka berdua kembali ke ruang tamu setelah memastikan Levine tidur dan resepsionis menutup pintu kamar.     Wanita itu memerhatikan sekeliling masih sambil mengatur napas, baginya ruang tamu ini terlalu besar untuk sebuah apartemen.     Tapi mungkin pria di depannya ini memang kaya raya melihat penampilan dan juga mobil yang dia miliki.     "Apa dia juga tinggal sendiri?" pikir wanita itu.     Mengingat wajah Levine yang tertidur pulas tadi, meski hanya sekilas membuat wanita itu perlahan tersenyum, entah kenapa.     "Baiklah Tuan Levine, setidaknya aku sudah membantumu. Jaga dirimu baik-baik, mungkin saja kita akan bertemu lagi lain kali." Batin wanita itu masih memandangi pintu kamar yang tertutup.     Setelah itu petugs resepsionis keluar dari apartemen lebih dulu. Sementara wanita itu masih di sana. Dia meletakkan dompet dan kunci mobil Levine di atas meja ruang tamu.     Kemudian wanita itu pun pergi Meninggalkan Levine bersama mimpinya.     Yah, siapa yang tahu mungkin mereka akan bertemu lagi?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD