Bab 2: Pertemuan Tak Terduga (Lanjutan)
Setelah pertemuan yang tak terduga itu, hari-hari Aria dan Keira dipenuhi dengan rasa baru yang tak pernah mereka alami sebelumnya. Meskipun mereka kembali ke kehidupan masing-masing, perasaan tentang kehadiran satu sama lain selalu ada. Seakan-akan, bayangan mereka terpatri di dalam hati masing-masing, terus bergetar, mengingatkan pada janji yang tidak pernah terucap di bawah pohon sakura.
Aria menjalani pekerjaannya di toko dengan semangat yang berbeda. Setiap langkah terasa lebih ringan, setiap pekerjaan ia selesaikan dengan penuh harapan bahwa suatu hari nanti ia akan bertemu Keira lagi. Walaupun mereka tidak saling bertukar nomor atau alamat, ia yakin bahwa takdir akan menemukan cara untuk mempertemukan mereka kembali. Ia mulai menyimpan catatan kecil setiap kali melewati tempat-tempat baru di kota, berharap suatu saat Keira juga mungkin melewati tempat yang sama.
Keira, di sisi lain, juga merasakan hal yang sama. Dalam keramaian kota, setiap sudut jalan dan gedung-gedung yang menjulang kini terasa memiliki makna yang berbeda. Ia memandangi kerumunan, berharap melihat sekilas wajah Aria di antara mereka. Setiap sore, ia masih rutin pergi ke taman sakura, berdiri di bawah pohon yang menjadi saksi pertemuan pertama mereka, dan menatap ke arah pintu masuk taman, membayangkan sosok Aria akan muncul.
Suatu sore, saat Keira berada di taman sakura, ia melihat sekelompok anak-anak bermain dengan benang merah yang terikat di jari-jari mereka. Mereka tertawa-tawa, saling mengejek dengan polos, seakan menganggap benang itu adalah pengikat takdir mereka. Keira tersenyum kecil, teringat akan buku yang ia baca tentang mitos benang merah takdir yang menghubungkan dua jiwa.
“Keira!” panggilan itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat Siska, sahabatnya, datang dengan wajah penuh senyum.
“Hei! Kenapa kamu di sini sendirian?” tanya Siska sambil menepuk bahunya.
Keira menghela napas, ragu sejenak untuk menceritakan pertemuan tak terduganya dengan Aria. Namun, dorongan dalam hatinya terlalu kuat, dan akhirnya ia menceritakan segalanya pada Siska—tentang mimpi-mimpi, pertemuan di taman sakura, dan perasaan yang begitu asing namun nyata.
Siska mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya berbinar saat Keira selesai bercerita. “Keira, ini seperti kisah dari novel romantis! Aku tidak pernah menduga kamu bisa mengalami hal seperti ini. Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?”
Keira menatap ke arah langit yang mulai berwarna oranye karena senja. “Aku tidak tahu, Sis. Aku hanya merasa… aku harus percaya pada perasaan ini. Seakan ada sesuatu yang menghubungkan kami, meskipun aku tidak tahu bagaimana atau mengapa.”
Siska mengangguk, memberikan tatapan penuh dukungan. “Mungkin takdir memang punya rencana besar untuk kalian. Lagipula, kamu tahu kan, kalau kita terus mengikuti kata hati, kadang hal-hal yang tak terduga akan terjadi.”
Keira tersenyum, merasa lebih lega setelah berbagi dengan Siska. Meski belum jelas bagaimana mereka bisa bertemu lagi, hatinya kini lebih tenang. Ia memutuskan untuk membiarkan waktu dan takdir yang bekerja. Ia tahu, jika memang mereka ditakdirkan bersama, Aria akan kembali hadir di hidupnya.
Malam itu, sebelum tidur, Keira kembali bermimpi tentang taman sakura. Dalam mimpinya, ia melihat Aria berdiri di tengah taman, tersenyum padanya dengan mata yang bersinar penuh kasih. Kali ini, mereka tidak hanya diam. Keira mendekat, dan Aria mengulurkan tangan, mengikatkan benang merah di jari mereka berdua. Di dalam mimpinya, ia merasa bahwa pertemuan mereka tidak lagi hanya ilusi, melainkan janji yang perlahan menjadi nyata.
Ketika pagi tiba, Keira terbangun dengan perasaan hangat. Ia tidak tahu kapan akan bertemu Aria lagi, tapi kini ia percaya bahwa setiap langkah yang ia ambil akan membawanya semakin dekat dengan takdir yang telah dijanjikan.
Di sisi lain kota, Aria juga bermimpi yang sama. Dan dalam hatinya, ia yakin bahwa suatu hari, entah kapan atau bagaimana, ia dan Keira akan bersatu lagi.