3.

1206 Words
Tiga bulan sudah berlalu setelah kegagalan Althaf untuk mempertemukan Nizar dengan Nasya. Althaf kini sudah putus asa dan tidak ingin lagi berusaha mempertemukan keduanya. Sementara Nizar? Tidak perlu ditanya lagi, ia pun juga tidak pernah menyinggung tentang rencana pertemuan yang gagal itu. Seperti biasa Nizar sudah sampai di kantor tepat pada waktunya atau bisa dibilang lebih awal. Ia memang orang yang sangat bertanggung jawab. Dari ia sekolah sampai sekarang ia bekerja dengan jabatan yang tidak bisa dibilang remeh, Nizar selalu datang tepat waktu. Ia sangat menjaga kedisiplinan. Nizar berjalan dengan santai menuju ruangannya sambil sesekali menjawab sapaan beberapa karyawan yang menyapanya. "Assalamualaikum.. " salam Althaf yang membuat Nizar sedikit terkejut karena Althaf menyapanya dengan cara yang tidak biasa yaitu dengan bergelayut dipunggungnya. "Wa'alaikumsalam. Ya Allah Thaf bisa gak sih gak usah ngagetin gitu? " ucap Nizar sedikit berbisik sambil mengelus dadanya karena keterkejutan yang dibuat oleh sahabatnya itu. "hehe gak bisa. " "lo gak lihat banyak karyawan hah? " ucap Nizar lagi masih dengan berbisik karena takut didengar para karyawannya. "yaudah sih biarin di denger juga. " Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Nizar sudah kehabisan kata-kata saat berdebat dengan Althaf, jadi ia memilih diam saja. Mereka berpisah ketika sudah sampai di depan ruangan Althaf. Sementara Nizar melanjutkan langkahnya menuju ke ruangannya yang memang didesain bersebelahan dengan ruangan Althaf atas permintaan Althaf sendiri. ***** "Assalamualaikum Mas... " "Wa'alaikumsalam, loh dek kok tumben ke sini. " ucap Althaf. Althaf sedikit terkejut melihat keberadaan adik sepupunya itu. Pasalnya, sekitar dua bulan yang lalu adiknya ini berpamitan untuk pergi ke luar negeri untuk mengikuti sebuah study atau seminar yang Althaf sendiri tidak paham apa yang dimaksud oleh adiknya itu. Karena dia sama sekali tidak mengerti bidang yang sedang digeluti oleh adiknya itu. "emang kenapa sih Mas? Gak boleh emang Nasya kesini? Nasya kan kangen sama Mas Althaf. " ucap Nasya yang sudah berada dalam pelukan kakaknya itu. "ya boleh dek, cuma kaget aja tiba-tiba udah nyampe ke Indonesia. " jawab Althaf sambil mengelus kepala Nasya yang masih tertutup hijab lebar. Tok... Tok... Tok... Bunyi pintu diketuk, dan Althaf pun mempersilahkan si pengetuk untuk masuk tanpa melepas pelukan adiknya. Karena jujur, ia pun juga merindukan adiknya ini. "maaf pak mengganggu, ini ada file yang harus ditandatangani. " ucap seorang karyawati. "oh iya taruh aja disitu ya. Makasih. " "baik pak, oh iya pak saya juga mau mengingatkan kalau sepuluh menit lagi bapak ada pertemuan dengan wakil dari PT. Bursana diruang meeting pak." "oh iya hampir aja lupa. Makasih ya udah ngingetin. Kamu langsung ke ruang meeting aja, nanti saya nyusul. " ucap Althaf lalu diangguki oleh seorang karyawati itu yang tak lain adalah sekretaris Althaf. "yaaahh Mas Althaf mau ninggalin Nasya ya?" ucap Nasya sudah melepas pelukan kakaknya dan memasang wajah sedihnya. "maaf ya dek, aku juga lupa kalo ada meeting. Yaudah kamu tunggu di sini dulu ya? Paling cuma sebentar kok. " Dengan berat hati Nasya hanya bisa menganggukkan kepalanya dan mengijinkan kakaknya untuk keluar ruangan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Nasya lalu menjatuhkan dirinya ke sofa yang berada di samping meja kerja Althaf. Setelah beberapa saat sibuk sendiri dengan handphone nya, Nasya merasa bosan karena berdiam diri terlalu lama. Nasya bukanlah seorang yang bisa diam saja tanpa melakukan sebuah kegiatan atau berbicara dengan orang lain. Sifat dari ayahnya itu memang menurun secara sempurna tertanam dalam dirinya. Ia lalu mulai mencari kesibukan dengan duduk di atas kursi kebesaran Althaf dan mulai membereskan atau lebih tepatnya merubah posisi berkas-berkas yang ada di atas meja kerja Althaf karena meja Althaf sudah rapi sebenarnya. Sesekali ia membuka-buka berkas yang ada di atas meja tapi hanya sekilas karena Nasya juga sama sekali tidak tertarik dengan apa yang sedang dipegangnya. Sebenarnya, Ia juga pewaris dari perusahaan yang saat ini sedang di kelola oleh Althaf. Dan ia pun juga harus membantu mengelola perusahaan ini. Namun takdir berkata lain, ia lebih tertarik untuk menjadi seorang dokter daripada menjadi seorang pengusaha. Berbeda dengan Althaf dan juga sepupunya yang lain yang juga tertarik untuk mengurus sebuah perusahaan. "Thaf ini dokumen yang lo minta, udah selesai. " ucap Nizar yang baru masuk ke ruangan Althaf dan melihat kursi Althaf membelakangi pintu. Perlahan yang duduk di kursi itupun membalikkan kursinya karena mendengar ada yang masuk ke ruangan kakaknya. Nizar cukup terkejut karena bukannya Althaf yang ia lihat tetapi seorang gadis cantik yang sekarang juga sedang melihat ke arahnya. Cukup lama mereka saling berpandangan, Nizar langsung mengalihkan pandangannya ke arah manapun selain ke arah gadis itu sambil mengucap istighfar. Ia sampai tidak sadar kalau dia bukanlah mahram dari gadis itu sampai berhak memandanginya seperti itu. "maaf, saya tidak tahu kalau pak Althaf sedang tidak ada di ruangan. " ucap Nizar sedikit gagu sambil menundukkan kepalanya. "oh gak pa-pa kok, maaf anda ini siapa? Mas Althaf nya lagi ada di ruang meeting. " ucap Nasya sambil berdiri dari tempat duduknya ingin menghampiri lelaki yang baru masuk ke ruangan kakaknya itu. "eemm saya... Saya... " "eh Zar kenapa? " ucap Althaf dari balik punggung Nizar. "emmm nih gue mau kasih dokumen yang lo minta tadi pagi. " jawab Nizar langsung menyerahkan dokumen yang sedari tadi ia genggam. "ohhh, makasih ya. " jawab Althaf santai namun selang beberapa detik, ia baru menyadari kalau Nizar dan Nasya sudah bertemu bahkan sedang bertatap muka saat ini. Seketika Althaf mendongakkan kepalanya melihat ke arah Nizar dan Nasya secara bergantian. "Zar, lo tau gak? Ini yang namanya Nasya, yang mau gue kenalin ke lo. Adek gue. " ucap Althaf begitu antusias dan ia juga berkata begitu Kepada Nasya dengan ekpresi yang tak kalah antusiasnya. Sementara Nizar dan Nasya sama-sama bingung dengan ekspresi Althaf yang bisa dibilang berlebihan itu. Nasya dan Nizar pun saling berkenalan dengan menangkupkan kedua tangan mereka masing-masing. Namun sayang kebahagiaan Althaf sepertinya tidak bertahan lama karena belum sempat Nasya dan Nizar mengobrol, Nasya harus segera kembali ke rumah sakit untuk menangani seorang pasien. "yaudah Nasya duluan ya Mas. " ucap Nasya setelah telponnya terputus. "iya hati-hati ya. " jawab Althaf lesu. "iiih jangan sedih gitu dong Mas, kan lain kali kita bisa ngobrol lagi. " ucap Nasya. "iya kan Mas? " ucap Nasya lagi namun bukan kepada Althaf tetapi kepada Nizar. Nizar pun hanya menganggukkan kepalanya yang masih setia menunduk sedari tadi. "Assalamualaikum Mas. " salam Nasya mencium punggung tangan Althaf lalu beralih mencium pipi kakaknya itu. Detik kemudian Nasya pun sudah menghilang dari pandangan Althaf. Althaf yang tadinya hendak kembali menyelesaikan pekerjaannya mengurungkan niatnya karena melihat ada yang aneh dengan sahabatnya. "Zar.. " "Zar... " "Zar! " ucap Althaf dengan nada yang agak meninggi karena yang dipanggil sedari tadi tidak juga merespon. Dan benar saja, usahanya itu berhasil. "eh iya kenapa? " jawab Nizar santai setelah sadar dari lamunannya. "lo kenapa sih? Dipanggil gak nyaut-nyaut. Lihat apa sih? " tanya Althaf bertubi-tubi ikut melihat ke arah yang juga dilihat oleh Nizar. "engga, gue gak lihat apa-apa kok. Perasaan lo aja kali. " elak Nizar lalu melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Althaf dengan langkah kikuk. Sementara Althaf hanya senyum-senyum sendiri melihat tingkah laku sahabatnya itu yang terlihat sekali bahwa ia sedang salah tingkah. Ia tahu kalau sahabatnya itu tidak bisa terlalu lama berhadapan dengan seorang wanita. Entahlah, Althaf sendiri juga heran. Lalu bagaimana caranya Nizar bisa secepatnya menikah kalau berbicara dengan seorang gadis saja dia tidak sanggup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD