bc

Istri Badung

book_age16+
2.9K
FOLLOW
24.2K
READ
love after marriage
arranged marriage
badgirl
heir/heiress
drama
bxg
humorous
female lead
city
reckless
like
intro-logo
Blurb

Alexa Rainey Danadyaksa (22 tahun), sejak bayi, diasuh tiga preman paling berkuasa dan ditakuti. Terbiasa dengan kerasnya kehidupan jalanan. Membuat gadis itu tumbuh menjadi sosok yang tangguh dan tak mengenal takut.

Kehidupannya berubah, saat seorang pria tua dengan semua kemewahan yang menyilaukan mata, tiba-tiba datang dan mengatakan, jika Alexa adalah cucu tersayangnya yang telah lama hilang karena sebuah tragedi mengerikan di tengah malam.

Alexa lihai dalam mencopet, piawai soal baku hantam, dan pantang meloloskan air matanya untuk hal remeh. Sialnya, kehadiran pria yang dipaksa menjadi suaminya membuat gadis itu ketakutan, ketika hatinya perlahan melunak.

Elang Najandra Yasawirya (27 tahun), tak habis pikir, bagaimana bisa dia harus merelakan wanita yang dicintainya dan digadang-gadang menjadi istri masa depannya, hanya karena wasiat konyol sang kakek? Menikah dengan cucu pertama dari sahabat kakeknya.

Sialnya, Elang tak memiliki banyak pilihan, atau dia didepak sebagai putra mahkota kerajaan bisnis keluarganya.

Seolah belum cukup, wanita yang harus dinikahinya adalah sepupu dari mantan kekasihnya sendiri. Wanita yang tingkahnya selalu membuat kepalanya serasa nyaris pecah!

chap-preview
Free preview
Prolog
Gelak tawa itu saling bersahutan. Sesekali lelucon yang mengudara membuat kian riuh suasana. Denting gelas yang beradu dan beberapa botol minuman, baik yang sudah tandas, atau masih terisi penuh. Menyesaki meja yang juga terdapat kulit kacang berserakan dengan sembarang. Di luar sana, hujan masih mengguyur. Cukup deras, hingga suaranya terdengar jelas, menampar atap bangunan sebuah gedung yang tak sepenuhnya terselesaikan hingga terbengkalai. Tapi sejak sepuluh tahun lalu, gadung berlantai dua itu sudah berubah menjadi markas milik para preman yang paling ditakuti. "Si Tio mana?" Tanya Juned, seorang pria bertubuh kekar dengan rambut gondrong yang dikuncir tinggi. Melempar tanya pada Bimo, pria botak yang baru saja mendudukkan diri pada sofa usang berukuran panjang di sampingnya. Setelah puas bermain biliard bersama beberapa anak buahnya. Meneguk minuman, Bimo tak lekas menjawab. Pria itu sibuk menikmati suasana di sekitarnya. Suara tawa beradu keriuhan hujan di luar sana. Mengedikkan bahu tak acuh, pria botak itu bersilang kaki. "Nggak tau gue. Lagi patroli kali, mastiin nggak ada yang bikin ulah lagi kaya dua hari lalu. Macam-macam sama daerah kekuasaan kita." Ucapnya kemudian setelah bungkam. "Kalau patroli masa nggak ngajak-ngajak kita?" Juned masih kepikiran. Meragukan ucapan Bimo. "Telepon aja, ribet lo. Kaya bini nyariin lakinya." "Ck! Bukan gitu, botak!" Menendang kaki Bimo karena kesal. Juned akhirnya mencoba menghubungi sahabatnya yang tak juga pulang ke markas mereka. Mengabaikan gelak tawa menyebalkan dari Bimo, yang kemudian terbatuk-batuk akibat tersedak minumannya. "Rasain! kena batunya kan lo!" Juned tampak puas melihat Bimo yang menggerutu kesal. Sebelum kemudian mencoba fokus pada ponselnya yang sudah menempel di telinga kanan. Menunggu sosok yang dihubunginya mengangkat panggilan darinya. Sayangnya, hingga nada sambung berakhir, Tio tak juga mengangkat. "Ck! Kemana si brewok?" Juned baru saja ingin mencoba melakukan panggilan yang kedua, tapi terinterupsi suara tangis seorang bayi yang begitu kencang. Bayi? Tunggu! Makhluk kecil tak berdaya itu, kenapa bisa ada di markas mereka? Tak hanya Juned, semua orang kompak mengerjap tak percaya, dengan apa yang kini tersuguh di depan mata mereka. Tio, pria bertubuh tinggi besar dengan brewok yang memenuhi sekitar rahangnya. Tengah menimang sesuatu yang dibungkus selimut kecil berwarna pink. Juned dan Bimo saling melempar lirikan dengan wajah ngeri. Sebelum kemudian berderap menuju sahabatnya yang sedari tadi di khawatirkan, ternyata pulang membawa kejutan. "Heh, lo nyulik anak siapa?" Bimo mengintip sosok mungil yang masih menangis keras hingga wajahnya basah dan memerah. Juned meringis sembari menggaruk rambut, sebuah kebiasaan di saat bingung atau resah. Dia juga menjatuhkan pandangan pada bayi cantik yang masih berada digendongan sahabatnya. "Lo biasanya balik bawa martabak, ini kenapa balik-balik bawa bayi?" "Gue nemu." Tak mengindahkan keterkejutan semua orang yang berada di markas. Terutama dua sahabatnya. Tio memilih menjauh pergi, berniat menuju lantai atas. "Kita obrolin di atas, di sini kurang baik buat dia." Menelan rasa penasaran yang masih menjejali kepala. Juned dan Bimo mengangguk kompak, sebelum kemudian mengekori Tio. Sesampainya di lantai atas, mereka masuk ke sebuah ruangan yang merupakan kamar milik mereka bertiga. Kamar itu cukup luas. Dengan kasur berukuran king size. Ada juga sofa bed yang dijadikan tempat tidur Bimo. Mereka tak mungkin berjejalan tidur bertiga dalam satu ranjang. Tio mengela napas gusar, sebelum kemudian meletakkan bayi mungil yang kian keras tangisannya saat direbahkan di atas kasur. "Lo nggak capek mewek terus?" Plak! "Aduh!" Mengelus belakang kepalanya yang ditabok Juned, Tio memelotot kesal. "Lo ngapain pukul gue?" "Lo yang ngapain? Bayi ya bisanya cuma nangis. Laper, kencing, b***k, pengen tidur, bangun tidur. Hidupnya cuma tau soal nangis. Lagian ngapain bawa dia ke sini?" Mendengkus sebal, Tio mendudukkan diri di atas tempat tidur samping bayi yang masih menangis dan membuatnya pusing. "Tio, lo belum jawab pertanyaan kita." Bimo menagih janji sahabatnya saat di lantai bawah. "Pertanyaan apaan?" "Ck! Astaga, soal bayi ini," mengedikkan dagu pada bayi yang entah di dapatkan dari mana. Bimo memicingkan mata dengan raut curiga. "Kan udah gue bilang. Gue nemu." Juned mengusap wajahnya frustrasi. Sebelum kemudian berkacak pinggang, "ini bayi loh, bukan duit gopean yang lo temuin." "Lo berdua nanya, gue jawab sejujurnya, masih aja nggak percaya. Terus sekarang maunya apa?" "Oke, gini, sekarang ganti pertanyaan. Gimana lo bisa nemu itu bayi? Dan kenapa bawa ke markas?" Terdiam sejenak, Tio menatap bayi yang kini tengah di colek-colek dengan ragu oleh Bimo. "Tadi, pas gue balik, tiba-tiba dengar suara anak kecil nangis. Kirain cuma halusinasi aja karena sekarang kan lagi hujan gede. Jadi mungkin gue salah dengar. Cuma, karena penasaran, akhirnya cari tau dan jujur, awalnya buat iseng doang. Suaranya dari pos ronda yang nggak lagi kepake dan biasanya jadi tempat tongkrongan. Dan, ya, pas gue liat, dia lagi nangis kencang." Ucapnya sembari mengedikkan dagu pada bayi yang masih diperhatikan dengan serius oleh Bimo. "Terus kenapa lo bawa ke sini? Kalo orangtua itu bayi nyari gimana? Bisa-bisa lo dituduh penculik." "Nggak akan," ucap Tio santai sembari menguap karena mulai mengantuk. Tapi sebelumnya harus mandi dan berganti baju lebih dulu jika tak mau masuk angin, karena tubuhnya setengah kuyup. Demi melindungi si bayi dari amukan hujan. Dia rela memberi payungnya lebih condong kepada si bayi. "Kenapa lo seyakin itu?" Juned masih mencecar Tio. Dia harus tau masalah yang sebenarnya. Jangan sampai, karena bayi asing yang sahabatnya temukan, mereka dituduh sebagai penculik. Alih-alih menjawab, Tio merogoh saku celananya. Dan menyerahkan sebuah kertas yang sedikit basah. Sebagian tulisan tampak memudar tapi masih bisa dibaca. [Namanya Alexa, tolong jaga dia. Saya yakin anda orang baik. Suatu hari, akan ada yang mencarinya.] Juned mendengkus usai membacanya. "Ada aja orang yang doyan bikinnya, tapi ogah merawatnya. Sampai dibuang-buang kaya barang nggak penting. Sebelum bikin harusnya mikir!" Omelnya karena kesal. Tio dan Bimo hanya melempar lirikan satu sama lain, lalu secara kompak menjatuhkan pandangan pada Juned yang masih sibuk menggerutu. "Titipin ke panti asuhan aja deh, kita-kita mana ada yang bisa rawat dia di sini?" "Jangan!" Bimo yang sebelumnya memasang muka aneh dan berhasil membuat bayi kecil itu tak lagi menangis kencang. Menolak usulan Juned. "Nanti yang rawat dia siapa?" "Kita yang rawat," ucap Tio santai dan mendapat sodoran telapak tangan dari Bimo yang mengajak tos. Tio membalasnya dengan senyuman miring. "Lo berdua nggak waras apa? Bisa-bisa ini bayi remuk pas digendong kita. Gimana mau diurusin?" "Gue dari tadi gendong dia dan baik-baik aja." "Gue juga mau belajar," Bimo berucap sumringah. Merengek pada Tio meminta diajari. Mengabaikan Juned yang misuh-misuh sendiri. "Kecil banget ya dia." Ucap Bimo dengan tatapan takjub, saat bayi kecil itu tampak diam dengan wajah bingung menatapnya yang tengah menggendong dengan gerakan kaku. Juned dongkol karena ucapannya diabaikan. Raut masam pria gondrong itu membuat Bimo mendekatkan bayi kecil tersebut pada sahabatnya. Awalnya, Juned masih tampak tak acuh. Meski sesekali, tatapannya jatuh pada sosok kecil yang menatap polos kearahnya. Dan, hal mengejutkan membuat perhatian Juned terarah sepenuhnya pada si bayi, saat kaus bagian depannya dipegang tangan mungil dan ditarik-tarik hingga bayi itu tertawa. Memperlihatkan deretan gusi yang belum ditumbuhi gigi. Sebuah pemandangan yang membuat ketiga pria kekar dengan wajah sangar dan ditakuti banyak orang, mengerjap takjub. Ada sebuah rasa asing yang menyerbu perasaan ketiganya. Bayi itu, bahkan belum satu jam bersama mereka. Tapi, entah kenapa, ada rasa sayang dan ingin melindungi yang begitu kuat, tiba-tiba tumbuh dihati mereka. Suasana haru tiba-tiba terkoyak oleh suara cukup keras, dibarengi aroma tak sedap yang mengusik penciuman. "Astaga, siapa yang kentut? Bikin mual baunya." Juned menutup hidung, melempar tatapan menuduh pada dua sahabatnya yang juga meringis menahan aroma tak sedap yang tiba-tiba menguar. "Nggak usah ribut nuduh orang. Yang kentutnya bau banget kan biasanya lo, Ned." Tio menaikan satu alis mata saat Juned memelototinya. "Dih, kan bener." "Gue nggak kentut. Dan enak aja lo bilang kentut gue bau banget. Emang kentut lo wangi apa?!" "Ya, bau juga. Tapi nggak separah kentut lo." Juned hampir kembali mendebat ucapan Tio, tapi kemudian urung karena sudah lebih dulu di interupsi Bimo. "Lo berdua nggak usah adu bacot. Gue tau siapa tersangkanya." "Siapa?" Tanya Juned dan Tio berbarengan. Keduanya kemudian mengerutkan kening dan menatap penasaran pada Bimo. Menundukkan pandangan, Bimo menatap bayi cantik dalam gendongannya yang kembali tergelak. "Nih, tersangkanya. Malah ngakak liat lo berdua sibuk debat." Tio dan Juned menggelengkan kepala, tapi kemudian terkekeh. Melihat bayi itu membuat mereka terlibat perdebatan sengit gara-gara tuduhan kentut. "Astaga, kayaknya ini bocah nggak cuma buang angin. Tangan gue anget-anget lengket gitu. Jangan-jangan dia keluarin isinya juga?" Ucap Bimo dengan wajah horor. Tapi justru membuat tawa kedua sahabatnya pecah. Sang bayi tak mau ketinggalan. Ia ikut tertawa melihat wajah nelangsa pria botak yang tengah menggendongnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Perfect You (Indonesia)

read
289.7K
bc

Wedding Organizer

read
46.7K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.1K
bc

TERSESAT RINDU

read
333.2K
bc

Mengikat Mutiara

read
142.2K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook