Istri Badung - 1

1975 Words
Suasana ruangan itu dipenuhi lengkingan suara tangis yang seolah saling bersahutan dengan rentetan omelan seorang wanita. Sembari memeluk putranya yang tak henti menangis, memegangi keningnya yang benjol. Wanita itu melempar pelototan pada gadis kecil yang tak memperlihatkan raut bersalah, atau pun ketakutan. Dua wanita dewasa lainnya berusaha untuk menenangkan, terlebih, sosok yang duduk berseberangan dengannya terus mencecar gadis kecil yang menatap datar. Seolah tak terganggu dengan semua kekacauan yang terjadi. "Pokoknya saya tidak terima ini! Bagaimana bisa anak perempuan berbuat bar-bar seperti itu? Cih, jangan-jangan tidak dididik dengan benar ya kamu di rumah!" "Bu, mohon maaf sebelumnya," memperbaiki letak kacamatanya yang turun, wanita dengan rambut digelung rapi itu menyela, "tidak baik anda mengatakan hal seperti itu pada anak kecil." "Loh, kok jadi saya yang disalahkan?" Kian naik pitam, wanita dengan bibir berlipstik merah menyala dan bulu mata tebal itu kian mencecar. "Anda sebagai kepala sekolah harus bertanggung jawab!" Lalu tatapannya beralih pada wanita yang lebih muda dengan potongan rambut pendek yang sejak tadi mengelus pelan bahu gadis kecil yang duduk di sampingnya. "Begitu pun dengan anda sebagai guru dan wali kelas!" "Bu, maaf sebelumnya. Kami mengerti jika anda marah karena putra anda terluka. Tapi lebih baik, kita bicarakan dulu, dan mencari tau apa yang membuat Alexa dan Mario bertengkar." "Mau bicarakan apa lagi? Jelas-jelas anak saya menjadi korban di sini! Dan saya meminta keadilan! Anak itu harus diberi hukuman karena membahayakan. Bagaimana kalau nanti melakukan hal yang serupa pada anak saya lagi? Atau temannya yang lain?" Saling melempar lirikan, kepala sekolah dan guru yang tengah menjadi pendamping sekaligus penengah untuk permasalahan yang sedang terjadi hanya bisa meringis diam-diam. Mendengar salah satu wali murid mereka yang begitu menggebu-gebu memojokkan bocah perempuan yang baru berusia sepuluh tahun. "Iya Bu, mari kita bicarakan, tapi, tunggu wali murid dari Alexa dulu ya?" "Saya sudah dari tadi di sini. Kenapa orangtua anak itu belum juga datang?" Sinisnya, dengan tatapan yang terarah pada bocah perempuan yang memiliki wajah seperti campuran bule. Cantik sih, tapi bar-bar. Gerutunya dalam hati. Mengelap air mata beserta ingus dengan lengan seragam sekolahnya. Mario menatap Alexa yang masih tak berekspresi. Membuatnya kesal karena bocah perempuan itu tak menyiratkan rasa takut sama sekali, padahal sudah diomeli habis-habisan oleh Maminya. "Lexa nggak punya Ibu, Mi. Dia anak aneh," celetuk Mario tiba-tiba. Membuat ketiga wanita dewasa yang berada di ruangan tersebut, dengan serentak, menjatuhkan pandangan pada bocah laki-laki yang akhirnya berhenti menangis, meski sesekali masih tersisa isakan yang meluncur keluar dari bibirnya. "Apa maksud kamu, Mario?" Tanya wanita itu pada putranya yang menatap sengit teman sekelasnya. "Mario," Sela, yang merupakan guru sekaligus wali kelas dua bocah yang tengah berselisih itu, berusaha mempertanyakan ucapan salah satu anak didiknya. "Kenapa bilang Alexa anak aneh?" Mengulurkan tangan kanannya, ia menunjuk Alexa yang hanya bersedekap tangan dengan raut tak acuh, "tadi, Ibu suruh bikin gambar dan kata cinta untuk perayaan hari Ibu kan? Tapi dia nggak!" Mengelus belakang lehernya, Sela tersenyum tipis. Dia memang meminta anak-anak untuk membuat gambar dan menuliskan rasa sayang yang ditujukan sebagai memperingati hari Ibu. Nantinya, kertas berisi gambar dan ungkapan sayang anak-anak untuk Ibu mereka, akan dimasukan ke dalam sebuah bingkai sederhana yang juga hasil karya anak-anak yang terbuat dari kardus tak terpakai. Yang diberi hiasan sesuai keinginan mereka. Lalu, diberikan sebagai hadiah untuk Ibu masing-masing. "Lexa gambar monster, ada tiga." Adu Mario sembari mengacungkan jari kanannya yang membentuk angka tiga. Alexa yang sejak tadi diam, tiba-tiba berdiri dan melempar kotak tisu kearah Mario. Pergerakannya yang begitu cepat membuat tiga wanita dewasa yang berada di sana terkejut. Sementara Mario, kembali menangis keras. "Heh! Apa-apaan kamu?" Mami Mario geram, dia yang mencoba meredakan amarahnya, kini kembali berkobar. Saat Alexa berbuat kasar pada putranya di depan matanya sendiri. "Lihat? Anak ini benar-benar tidak beretika! Sangat berbahaya! Pasti tidak dididik dengan baik!" "Mereka bukan monster!" Dengan mata memerah, Alexa meremas roknya dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih. "Iya! Mereka monster!" Seru Mario di tengah-tengah tangisnya. "BUKAN! MEREKA BUKAN MONSTER!" Raung Alexa dengan tangis yang akhirnya pecah. Membuat ruangan kepala sekolah itu dipenuhi tangisan dari Mario dan Alexa yang saling bersahut-sahutan. Suasana kian kacau karena Mami Mario terus marah-marah sementara pihak kepala sekolah dan guru berusaha menenangkan. BRAK! Keriuhan itu lenyap dalam hitungan detik, saat suara pintu yang terbuka keras. Hanya menyisakan tangisan dua bocah yang sudah sesenggukan. Alexa, dengan pandangan sedikit memburam terhalangi air mata. Tiba-tiba berlari kearah tiga sosok yang menatap nyalang dan masih berdiri di depan pintu yang terbuka lebar. Sementara yang berada di ruangan, tampak menegang di tempat duduknya masing-masing. Tak terkecuali dengan Mario, yang mengekeret di pelukan Maminya. "Mi, itu tiga hantu yang Lexa gambar." Bisiknya sembari mencuri pandang dengan takut-takut. "Astaga, sayangnya Daddy kenapa, hm?" Bimo, pria berkepala botak itu mengangkat tubuh mungil Alexa dengan mudah dalam gendongannya. Menatap bengis pada semua orang yang berada di ruangan. "Maaf, kami datang terlambat." Menepuk bahu Bimo, untuk menenangkan sahabatnya itu. Tio mengelus lembut kepala Alexa yang sudah bersandar nyaman di bahu Bimo. Tio kemudian mengajak untuk masuk dan mendekati tiga wanita dewasa yang tampak gugup, dengan bocah laki-laki yang terus menyembunyikan wajahnya diketiak ibunya. Sela berjengit saat kepala sekolah menyenggol lengannya. Mengedikkan dagu sebagai isyarat untuk berbicara sesuatu. Meski dirong-rong rasa gugup, Sela berdeham dan mencoba tersenyum ramah. Sayangnya, yang tercipta diwajahnya justru ringisan seperti orang yang tengah sakit perut. "Oh, iya, tidak apa-apa," menggaruk kening, Sela mempersilakan tiga pria bertubuh kekar dan wajah sangar itu untuk duduk. Membicarakan persoalan yang seharusnya mereka bahas. "Silakan duduk, Bapak-bapak." Mengangguk, Tio dan Juned duduk di sofa yang masih kosong. Sementara Bimo memilih berdiri sembari menggendong Alexa yang sesekali masih sesenggukan. "Kenapa putri cantik kami menangis?" Tanya Bimo tanpa basa-basi. Dia memang paling sensitif jika sudah berkaitan dengan Alexa. Mendengkus kesal, Bimo mencebik karena mendapat tatapan peringatan dari Juned. "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kami dipanggil ke sekolah? Dan, kenapa putri kami menangis?" Tanya Tio, mewakili kedua sahabatnya. Kali ini, kepala sekolah yang angkat bicara. "Jadi, begini Bapak-bapak. Alexa, dan Mario, teman sekelasnya. Terlibat pertengkaran." "Astaga, namanya anak kecil, wajar jika bertengkar. Yang udah tua bangka aja masih suka baku hantam." Ungkap Juned sembari menggelengkan kepala. Mereka terpaksa menunda semua pekerjaan untuk datang ke sekolah Alexa setelah dihubungi dan diminta datang. Membuat khawatir sepanjang perjalanan, tapi ternyata, karena perkelahian antar bocah. "Lo ngomongin diri sendiri ya, Ned?" Celetuk Bimo yang kemudian meringis karena mendapat injakan pelan dikakinya. Posisinya yang berdiri di dekat Juned, membuat pria itu mudah menjangkaunya. Berdeham, Mami dari Mario berusaha menelan rasa takutnya. Menghadapi tiga pria kekar yang tiba-tiba datang. "Jadi, kalian wali murid dari bocah nakal itu?" "Heh? Ibu mulutnya jaga ya, sebelum saya jahit!" Seru Bimo kesal dengan mata memelotot. Membuat keberanian Mami Mario menyusut dengan drastis. "Bim, tenang. Kita dengarkan dulu apa yang sebenarnya terjadi?" Lerai Tio sembari berusaha menenangkan sahabatnya yang tak mudah mengendalikan emosi. "Iya, tapi nggak harus mengatai putri kita, kan? Lo tau, gue nggak pernah pandang bulu kalau ada yang macam-macam sama Alexa." Desisnya tajam, sembari melempar tatapan sengit pada Mami Mario yang hanya bisa meneguk ludah kelu. "Bu, mending omongannya disaring, kalau nggak mau ada tulang yang patah." Celetuk Juned dengan senyuman manis, sembari menyelipkan anak rambutnya yang cukup panjang ke belakang telinga. Membuat wajah wanita itu kian pucat. "Bukan begitu, maksud saya, anak saya terluka karena anak kalian!" Ucapnya ragu-ragu, "jadi saya hanya minta pertanggungjawaban." Berdiri dari duduknya, Tio menghampiri Bimo yang tengah menggendong Alexa sembari mengelus-elus lembut punggung gadis cilik itu. "Anak Ayah tadi apakan temannya, Sayang?" Tanyanya pelan pada Alexa yang memeluk erat leher Bimo. "Kok lo nyalahin Lexa sih?" "Heh, gue nanya, bukan nyalahin." Desis Tio dengan wajah yang berusaha tetap mempertahankan senyuman, agar putri kecil mereka tak mengetahui perdebatan tersembunyi yang tengah terjadi. "Lo diem aja, gue cuma mau semuanya jelas." Memberangut sebal, Bimo akhirnya menurut dan memilih diam. Membiarkan Tio mencari tau, apa yang membuat putri mereka terlibat pertengkaran dengan teman sekelasnya? "Lexa nggak usah takut, Ayah, Papa sama Daddy nggak akan marah." Juned yang sejak tadi memerhatikan, akhirnya ikut membujuk Alexa. Menegakkan kepalanya yang tadi bersandar dibahu tegap Bimo, Alexa melihat satu persatu para pria yang selama ini telah merawatnya dengan penuh kasih sayang. "Lexa," ucapnya pelan, tapi masih bisa tertangkap pendengaran semua orang. "Dorong Mario. Dia nakal!" "Kamu yang nakal! Dorong aku sampai jatuh!" Mario yang sebelumnya bersembunyi di pelukan Maminya karena takut melihat para pria besar yang datang membela Alexa, akhirnya angkat bicara karena tak terima disebut nakal. Tapi bocah itu kemudian kembali mengekeret di tempat duduknya saat tatapannya bersirobok dengan Bimo yang mendelik dengan wajah garang. "Memangnya, teman Lexa ngapain? Kok Lexa bilang dia nakal?" Tio kembali mengajukan tanya. Menatap Mario dengan bibir mencebik, Alexa menunjuk bocah itu, "dia bilang, Lexa anak monster. Lexa nggak punya Ibu tapi punya tiga Ayah. Kata Mario, itu aneh. Dan yang aneh itu monster. Jadi Lexa dibilang anak monster. Mario nakal, jadi Lexa dorong. Dia jatuh sendiri Ayah." Geraman dari Bimo membuat semua orang merinding ketakutan. Mario bahkan kembali menangis keras dan merengek ingin pulang. Membuat Maminya kewalahan menenangkan. "Lihat? Anak Ibu yang lebih dulu bersikap tidak pantas." Ucap Juned sembari bersedekap tangan. "Ya, tapi nggak harus pakai kekerasan. Anak anda sudah mencelakai anak saya sampai kepalanya terluka serius." Menjatuhkan pandangan pada wajah Mario yang sudah basah karena air mata, Juned memerhatikan kepala bocah itu. Tak ada luka yang sepertinya cukup serius seperti yang wanita itu katakan. Hanya terlihat benjolan samar. "Anak ibu cuma benjol sebesar cilok, nggak usah drama deh." Wanita itu tak terima dikatai berlebihan dan tengah mendramatisir keadaan. "Anda jangan bicara sembarangan! Saya akan tuntut nanti!" "Silakan, kalau mau memperpanjang masalah ini. Kita tunggu dengan senang hati." Menyeringai bengis, Juned meregangkan otot-otot tangannya hingga berbunyi dan terdengar horor dipendengaran Mami Mario. "Hm, Ibu, sebaiknya tenang dulu. Bukankah lebih baik jika permasalahan ini diselesaikan dengan dibicarakan bersama?" Kepala sekolah mencoba menengahi dan meredam suasana tegang yang menguar di ruangannya. Berdeham, Mami Mario mengangkat dagu tinggi. "Baik, saya tidak akan mempermasalahkan. Tapi tetap saja, sebagai seorang wali dari anak itu, kalian harus bertanggung jawab atas biaya pengobatan anak saya!" "Baik, masalah itu, anda bisa bicarakan dengan saya." Ucap Tio yang tak disetujui oleh kedua sahabatnya. Karena menurut mereka, itu sama saja dengan membenarkan jika semua kesalahan, sepenuhnya ada pada Alexa. "Udah, biar gue yang urus. Yang penting untuk sekarang adalah Alexa." Menelan kesal, Bimo dan Juned akhirnya tak lagi mencoba mendebat. Akhirnya, setelah perdebatan yang alot dan panjang. Permasalahan itu bisa di selesaikan dengan cara baik-baik. Memberikan biaya untuk pengobatan Mario. Meski menurut Bimo dan Juned, biaya yang dikeluarkan terlalu banyak. Tapi, Tio yang tak mau memperumit keadaan, memilih untuk menyanggupi. Yang penting, urusan selesai. *** Sembari bersandar di kepala ranjang, Alexa memeluk boneka tengkorak yang merupakan kesayangannya. Tadi, seperti biasa. Sebelum tidur, Tio, Juned, dan Bimo mendatangi kamarnya. Juned membawakan s**u, Tio mengelus-elus belakang punggungnya, sebuah kebiasaan yang bisa membuatnya cepat terlelap. Sementara Bimo, bertugas membacakan buku dongeng sampai kantuk menghampiri. Tapi, belum ada satu jam, Alexa kembali terbangun. Menyalakan lampu tidur dan turun dari kasur, gadis kecil itu meraih tas sekolahnya. Mengambil sesuatu dari sana, sebelum kemudian kembali merangkak naik ke atas tempat tidur. Tapi bukan untuk berbaring dan melanjutkan tidur. Melainkan menyandarkan punggung pada sandaran kepala tempat tidur sembari memeluk boneka tengkoraknya. Lalu, memandangi sebuah kertas bergambar tiga pria bertubuh tinggi dengan otot-otot besar. Alexa kecil memandangi gambar yang dibuatnya sendiri, dan ungkapan sayang untuk ketiga pria itu. Aku cinta Ayah, Papa, dan Daddy. Kalian yang terbaik, Lexa sayang banget. Tulisnya di bawah gambar dengan tanda hati cukup besar yang diberi warna merah. "Tapi, kenapa Lexa nggak punya Mama? Ibu? Bunda? Atau Mami seperti teman-teman?" Bisiknya sendu. Sebelum kemudian berbaring dengan posisi terlentang, menatap langit-langit kamarnya yang temaram, karena pencahayaan hanya berasal dari lampu tidur. Sembari memeluk kertas bergambar ketiga pria yang paling disayanginya, Alexa kembali memejamkan mata, melanjutkan tidurnya yang sempat terusik. Menelan pertanyaan yang bergentayangan di pikirannya. Kenapa tak ada perempuan dewasa yang merawatnya seperti teman-temannya yang lain?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD