bc

Silver Bullet

book_age0+
952
FOLLOW
4.5K
READ
police
mafia
tragedy
like
intro-logo
Blurb

Brian, seorang agen rahasia internasional SIA, dikirim ke negaranya untuk membantu NDA, Agen Pertahanan Nasional negaranya. Bersama rekannya, Jonathan, Brian harus berhadapan dengan mata-mata di dalam NDA yang disebut sang Mata Kegelapan. Keberadaan sang Mata Kegelapan menyebabkan bocornya misi NDA, hingga terbunuhnya agen detektif NDA.

Seolah kasus itu belum cukup, Brian masih harus menghadapi Brianna, putri kepala NDA yang keras kepala dan tidak percaya pada siapa pun. Terlebih, ayah Brianna membuat Brian berjanji untuk melindungi gadis itu.

Namun sebenarnya, Brian juga mencurigai gadis itu sebagai sang Mata Kegelapan. Semua informasi yang dimiliki Brianna, kekeras kepalaan Brianna, hingga kenekatannya, membuat Brian curiga.

Benarkah Brianna adalah sang Mata Kegelapan? Jika memang gadis itu adalah musuh yang harus dilawannya, sanggupkah Brian menghadapinya? Ketika hatinya perlahan terarah pada gadis itu, ia harus siap untuk mengarahkan moncong pistolnya ke gadis yang sama.

Atau tidak.

chap-preview
Free preview
1 – I’m Back
1 – I’m Back Bagi beberapa orang Kenangan adalah senjata yang mematikan   “Gagal, lagi?” Pria berambut cepak itu mengangkat sebelah alis tak percaya. Mata elangnya tertuju pada sang rekan yang duduk di hadapannya. Desahan lelah adalah jawaban dari pria dengan rambut pendek dan berantakan itu. Matanya yang biasanya bersinar jail kini tampak muram. “Apakah itu berarti kita harus turun tangan?” Pria berambut cepak itu berusaha untuk tidak terdengar geli, tapi ketika rekannya menatapnya dengan tatapan kesal, ia tahu ia gagal. “Maaf, Brian,” ucapnya seraya mengangkat tangannya dengan menyesal. “Pasti tidak akan seburuk itu, kan?” Pria berambut berantakan itu mendengus kasar seraya berdiri dan mendorong kursinya ke belakang dengan berisik. “Aku benci menginjakkan kakiku di negara itu lagi,” suara Brian terdengar begitu sungguh-sungguh. “Kau yang paling tahu tentang itu, Joe.” Jonathan, atau yang biasa dipanggil Joe itu, mendesah pelan. Ya. Ia tahu. Karena itulah, ia tidak ingin Brian terus dihantui masa lalunya. Joe tahu bagaimana masa lalu Brian dan ia tidak ingin lagi melihat Brian melarikan diri dari masa lalunya. Ia hanya harus menghadapinya. Joe tidak bisa selamanya melindungi Brian. Bagaimanapun caranya, Brian harus bisa melindungi dirinya sendiri dari masa lalunya. Untuk itu, dia harus lebih dulu menghadapi masa lalunya. Atau dia akan terus terluka. “Tapi ini misi kita, Brian,” Joe berkata datar, tanpa tuduhan ataupun paksaan. “Jangan biarkan masalah pribadimu mengusik misi ini.” Brian mengalihkan tatapan. Joe mencelos melihat kepedihan di mata yang biasanya selalu bersinar dengan energi positif itu. “Mungkin kau tidak membutuhkan mereka, tapi mereka membutuhkanmu, Brian. Bagaimanapun, itu adalah negara kita. Kau tidak akan mengabaikan tanah airmu hanya karena masa lalumu mengabaikanmu, kan?” Joe berkata lembut, lagi-lagi tanpa penekanan. Brian mengembuskan napas frustrasi. Ia berbalik dan berjalan ke arah pintu. Ia menghentikan langkah tepat di depan pintu dan bertanya, “Untuk negara yang bahkan tidak pernah peduli pada hidupku, haruskah aku berjuang sekeras itu?” Joe meringis. “Jika bukan demi negara itu, setidaknya demi orang-orang yang memiliki nasib sama sepertimu,” balasnya. Brian mendengus kasar, sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu. “Bukan demi negara itu, Brian. Tapi demi orang-orang yang menderita karena ketidakadilan di negara itu,” suara Joe memenuhi ruangan itu. “Orang-orang yang tidak bersalah, orang-orang yang berhak bahagia dan hidup lebih baik.” Joe menunduk dan menatap kode yang tertulis di atas kertas putih itu. Deretan angka-angka yang tak mungkin bisa dimengerti oleh orang-orang biasa. Pesan yang membuat suasana hati Brian langsung murung saat mendapatkannya. “Maaf, karena aku tidak datang lebih cepat dan menemukanmu, Brian. Maafkan aku.” Kali ini, Joe tak berusaha menutupi kesedihannya sendiri. *** “Hanya beberapa tahun tidak kemari dan negara ini sudah sepanas ini?” keluh Brian, membuat Joe tersenyum di sebelahnya. “Beberapa tahun?” gumam Joe. “Biar kusebutkan berapa tahun yang kau maksud itu. Um ... tujuh tahun ... atau delapan ...” “Sepuluh,” sebut Brian ketus. “Terakhir kali aku kemari aku dikirim untuk menyamar di sekolah.” Joe tampak menahan tawa. “Ah, benar. Kau berbaur dengan baik dengan anak-anak sekolah.” Brian mendesis kesal ke arah rekannya itu. Ia menatap sekelilingnya, mengamati mobil-mobil di depannya, sudah akan mengomel karena tak satu pun mobil itu yang menjemput mereka, ketika seseorang menepuk bahunya. Brian menoleh ke kiri dan mengerutkan kening mendapati seorang gadis berambut merah yang mengenakan stelan kantor; rok hitam selutut, kemeja kerut ungu muda dan blazer kantor berwarna senada dengan roknya, berdiri di sana. Gadis itu mengulurkan sebuah kertas ke arah Brian. Brian Jonathan Dua nama itu tertulis di kertas itu. Tanpa nama belakang. Brian mengangkat tatapan dari kertas itu untuk kembali menatap gadis itu dengan kesal. Gadis itu sepertinya terlambat menjemput mereka dan ia tak sedikit pun tampak menyesal. Ia bahkan tak mengucapkan kata sambutan yang hangat, atau setidaknya permintaan maaf atas keterlambatannya. “Apa kau tahu sudah berapa lama kami menunggu di sini?” galak Brian. Gadis itu tak sedikit pun tampak gentar. Wajahnya yang nyaris tanpa make up tampak begitu angkuh. Tapi bahkan dengan make up tipis seperti itu, gadis itu sudah tampak cantik. “Dua menit sebelas detik,” ucap gadis itu. Brian mengerutkan kening. “Kalian baru menunggu selama dua menit sebelas detik di sini,” terang gadis itu, membuat Brian melotot kesal. Jadi, gadis itu sudah berada di sini sejak tadi dan ... “Aku harus memastikan bahwa kalian benar-benar orang yang kutunggu,” ucap gadis itu santai. “Tidakkah perusahaanmu memberikan foto atau ...” “Bisa saja kau menyamar menjadi salah satu dari mereka,” sela gadis itu. “Tapi kalian terlalu rapi untuk penyamaran. Dari informasi yang kudapat, kalian adalah dua pria tinggi berpenampilan maskulin. Salah satunya, adalah Brian yang tidak bisa tenang dan banyak bicara, dan menyebalkan, dan keras kepala, dan kekanakan. Kurasa itu kau. “Sementara pria yang lebih tenang, pria di sebelahmu itu, pasti itu Jonathan. Melihat bagaimana kau bertingkah sejak menginjakkan kaki di negara ini tadi, kurasa tidak akan ada orang yang mau repot-repot menyamar menjadi dirimu. Menjadi dirimu, tampaknya sangat merepotkan dan melelahkan.” Brian mengepalkan tangan menahan kesal. Gadis yang berdiri di depannya ini bahkan tidak cukup tinggi untuk menjajari bahunya, tapi dia masih berani mendongak dan menatap Brian dengan begitu angkuh. Brian mendengus tak percaya. “Aku akan memastikan kau dipecat begitu aku bertemu dengan atasanmu,” geram Brian. Gadis itu mengangkat alis. “Coba saja,” balasnya santai, lalu ia berjalan melewati Brian dan menghampiri Jonathan yang sedari tadi mengawasi kedua orang itu berdebat dengan tertarik. “Jika kau begitu menikmati perdebatan kekanakan tadi, kurasa kau tidak setenang yang mereka pikir,” gadis itu berkomentar. Brian mendengus tak percaya di belakangnya sementara Jonathan hanya tersenyum kecil. “Aku akan mengantar kalian ke apartemen kalian,” ucapnya seraya menunduk untuk menatap jam tangannya. “Kalian punya waktu lima jam dua puluh menit mulai dari saat ini sebelum pertemuan malam ini,” lanjutnya. Ia tak mengatakan apa pun dan berbalik, lalu berjalan meninggalkan Brian dan Joe begitu saja. Brian ternganga tak percaya dengan tingkah gadis itu, sementara Joe sudah meraih kopernya dan menyeret Brian untuk menyusul gadis itu. “Apa-apaan gadis itu? Berani sekali dia ...” “Brian, kita akan membicarakan itu nanti. Kau sendiri yang mengeluh tentang cuaca yang terlalu panas di sini, jadi simpan tenagamu,” sela Joe. Brian hanya bisa menggeram marah ketika terpaksa mengikuti gadis itu bersama Joe. *** “Sekarang kita hanya punya waktu dua jam untuk beristirahat!” seru Brian kesal seraya membanting kopernya dengan kesal. “Ada apa dengan negara ini? Ini sudah 2017 dan tak ada yang berubah bahkan setelah sepuluh tahun? Apakah selamanya negara ini tidak akan pernah bebas dari kemacetan seperti itu?” Joe melirik Brian sekilas sebelum menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu apartemen yang akan mereka tinggali selama di negara ini. Apa boleh buat. Ini adalah jam pulang dari sekolah dan kantor. Tak ada yang mengherankan dari kebiasaan orang-orang yang mengendarai kendaraan sesuka hati mereka sendiri. “Dan gadis itu ... siapa dia? Dia bahkan tidak turun dari mobil ketika kita tiba di apartemen dan hanya melemparkan kunci seperti itu. Gadis itu benar-benar ...” “Brian, kurasa kau butuh istirahat,” celetuk Joe. “Perbedaan cuaca dan waktu tampaknya membuatmu tidak stabil.” “Aku baik-baik saja!” seru Brian marah seraya membanting tubuhnya di sofa seberang Joe. “Astaga ... di sini panas sekali! Bukankah tadi kau sudah menyalakan AC-nya?!” Brian kembali berdiri untuk mencari remote AC. Joe melirik Brian dan mendengus pelan. “Sudah kubilang, kau butuh istirahat.” Brian mengabaikan Joe dan menghampiri interkom untuk memanggil petugas apartemen itu. Joe tak bisa melakukan apa pun ketika Brian sudah berteriak di interkom, “Lakukan sesuatu dengan panasnya cuaca di sini!” Joe hanya bisa mendesah pasrah. “Astaga, Brian, mereka hanya petugas apartemen.” *** Sekilas, kelima orang yang hadir malam itu hanya datang untuk acara makan malam bisnis biasa. Seorang pria yang tampaknya sudah mencapai usia setengah abadnya menyambut Brian dan Joe dengan ramah saat pertama kali bertemu mereka. Kerutan di sudut bibirnya menandakan bahwa dia bukan orang yang pelit senyum. Bahkan dari wajahnya, bisa disimpulkan orang ini cukup menyenangkan. Sementara seorang pria lain yang tampak sedikit lebih muda juga tersenyum hangat saat berjabat tangan dan memperkenalkan diri pada Brian dan Joe. Lalu orang terakhir, seorang gadis dengan gaun hitam tanpa lengan sepanjang lutut, tak sedikit pun tersenyum saat mengangguk pada Brian dan Joe. Hanya mengangguk, tidak ada jabatan tangan. Gadis itu lantas memberi isyarat agar mereka mengikutinya hanya dengan tatapan mata, sebelum berbalik dan memimpin keempat pria itu meninggalkan lobby apartemen. Ketika Brian berpikir mereka akan meninggalkan apartemen, gadis itu membawa mereka ke lift. Brian melongok ke depan tapi ia tak melihat satu pun tombol angka yang menyala saat lift mulai bergerak naik. Ia yakin, tadi gadis itu sempat menekan sesuatu seperti tombol lift-nya, tapi ... Suara denting lift kemudian menandakan bahwa mereka sudah sampai di lantai tujuan mereka. Brian melangkah maju, tapi gadis itu justru berbalik ke arah berlawanan, membuat kening Brian berkerut bingung. Kepalanya nyaris berputar 180 derajat saat menoleh untuk melihat gadis itu melangkah keluar lift. Brian mengangkat alis tak percaya ketika melihat bagian belakang lift itu terbuka, dan di depan sana, ia bisa melihat lorong yang panjang, dengan cahaya berwarna putih kebiruan meneranginya. Brian merasakan tubuhnya diputar, –terima kasih pada Joe yang menyelamatkannya dari leher patah. Ia melirik Joe yang menatapnya dengan tatapan, “Ada apa denganmu?” “Aku tidak tahu negara ini bisa juga mengembangkan teknologi seperti ini,” kata Brian santai, tak sedikit pun berusaha memelankan suaranya, membuat Joe menatapnya galak. Tapi tak satu pun dari ketiga orang lainnya yang berada di lift itu berkomentar. Kedua pria lainnya bahkan sudah melangkah mengikuti gadis yang membawa mereka kemari tadi. Brian merasakan Joe menariknya mengikuti mereka meninggalkan lift itu. Yah, bukan salah Brian. Ia tidak akan terlalu terkejut jika mereka tidak sedang berada di negara ini, tapi ini ... “Apa tidak apa-apa membawa kedua pria ini ke dalam?” Tiba-tiba gadis yang memimpin jalan mereka menghentikan langkah di tengah lorong panjang itu. Brian menyipitkan mata waspada ketika mendengar kata-kata gadis itu. “Apa maksud gadis itu?” tuntutnya. Kedua pria yang berdiri di depannya berbalik dan menatapnya dengan tatapan minta maaf. “Maaf, dia hanya terlalu curiga, mengingat masalah yang kami hadapi saat ini.” “Tapi sejak tadi dia ...” “Kami mengerti,” Joe menyela kata-kata Brian, diikuti pukulan keras di punggung Brian yang membuatnya nyaris tersungkur. Brian menoleh pada Joe dan terpaksa mengalah ketika Joe memberinya tatapan memperingatkan. Brian mendengus kasar seraya memalingkan wajah dengan marah. “Maaf, dia juga sedang beradaptasi dengan perbedaan cuaca dan waktu di sini,” Joe memberikan alasan untuk sikap kasar Brian. Kedua pria itu mengangguk dan tersenyum mengerti, lalu kembali berbalik ke depan dan pria yang lebih tua berkata pada gadis yang memimpin mereka itu, “Mereka harapan kita satu-satunya.” Gadis itu mendengus kemudian, terdengar begitu merendahkan, membuat Brian nyaris melompat ke arah gadis itu jika Joe tidak menahannya. Brian menatap penuh kebencian pada punggung gadis itu tatkala gadis itu berbalik dan melanjutkan langkahnya. “Siapa gadis itu sebenarnya?” geram Brian dalam bisikan yang hanya bisa didengar Joe. “Bukan gadis biasa, tebakanku,” sahut Joe tak kalah pelan. Brian mendengus meledek sebagai balasannya. Gadis itu sepertinya adalah sekretaris pribadi salah satu dari dua pria ini, mengingat aksesnya pada tempat seperti ini. Begitu Brian mendapatkan misinya, dia akan menendang gadis itu setelahnya. Segera. ***   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

His Secret : LTP S3

read
651.3K
bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

MY DOCTOR MY WIFE (Indonesia)

read
5.0M
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
115.4K
bc

Sekretarisku Canduku

read
6.6M
bc

Hello Wife

read
1.4M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook