3 – Jebakan Tak Terduga

2238 Words
3 – Jebakan Tak Terduga Jangan sembarangan meremehkan sesuatu Itu bisa membunuhmu   “Aku tidak percaya pada gadis sombong itu,” dengus Brian seraya menendang lepas sepatunya. Joe melirik rekannya itu sekilas, tak berkomentar dan melanjutkan langkah ke ruang tamu, membuka dua kancing teratas kemejanya sebelum berbaring di atas sofa. “Tidakkah misi ini terlalu berat?” Brian kembali mengeluh. “Tidak hanya mengawasi sang Mata Kegelapan, tapi kita juga harus menjaga gadis angkuh itu.” “Dia punya informasi, Brian,” sahut Joe seraya memejamkan matanya. “Tanpa dia, kita harus memulai penyelidikan dari awal, dan itu akan membuang waktu. Apalagi jika kita harus melidungi Brianna dari penjahat itu. Kita tidak punya banyak waktu. Aku yakin, saat ini Brianna adalah target utama penjahat itu.” Brian menghela napas berat saat menjatuhkan tubuhnya di sofa seberang Joe. “Tak adakah cara untuk menyingkirkan gadis itu tanpa kehilangan informasinya?” ucapnya putus asa. Joe mendengus geli. “Jika kau bisa mendapatkan kepercayaannya, kurasa kau punya harapan untuk memohon padanya agar mempercayakan misi ini pada kita sepenuhnya.” Brian mendecakkan lidah kesal. “Kau tahu dia tidak percaya pada siapa pun,” gerutunya. “Dia bahkan meragukan ayahnya sendiri hingga menjebaknya seperti itu.” Seketika Joe membuka matanya dan beranjak duduk. “Gadis itu punya banyak informasi, Brian,” ucapnya serius. “Kita harus berhati-hati juga karena aku yakin, dia bukannya tidak menyelidiki kita lebih jauh. Kurasa, dia sudah mendapat peringatan tentang pengkhianat di NDA. Dia pasti punya petunjuk.” “Nah, tak bisakah kita mendapatkan petunjuk tanpa melibatkan gadis keras kepala itu?” Brian menatap Joe penuh harap. Joe mengerutkan kening, lalu menggeleng. “Kurasa sekarang aku tahu apa yang harus kita lakukan,” ujarnya. “Mencuri informasi dari gadis sombong itu?” Brian tampak bersemangat. Joe menggeleng, tatapannya tertuju pada Brian. “Biarkan dia bekerja dan mencari informasi, sementara kita mengawasi keadaan dan memastikan dia aman di sekitar kita,” urai Joe. Brian mengerang. “Joe, itu sama saja ...” “Kau sendiri yang bilang, jika kau adalah sang Mata Kegelapan, Brianna akan menjadi korban selanjutnya. Aku yakin, jika kita berhasil mengeluarkannya dari tim, itu tidak akan menghentikannya. Jika dia bergerak sendiri, kita akan lebih kesulitan mengawasi dan menjaganya. Tapi jika dia berada di tim yang sama dengan kita, dia bisa memberi kita informasi, sekaligus aman dalam perlindungan kita. Kita hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan dia dari misi.” Joe terdengar begitu yakin, mau tak mau membuat Brian tergiur juga. Dia memang tidak menyukai gadis bernama Brianna itu, tapi bukan berarti dia tidak mau menyiakan kesempatan terjun dalam dua misi hanya dengan satu aksi. Tidak hanya mendapat informasi, dia juga bisa menjaga dan mengawasi gadis itu. “Haruskah kita memasang kamera pengawas untuk mengawasinya?” usul Brian bersemangat. Joe tersenyum seraya kembali berbaring. “Direktur juga tidak akan keberatan bahkan meskipun kita menyadap rumahnya untuk mengawasi putrinya.” Brian tersenyum lebar mendengarnya. “Jika dia bisa melakukan apa pun yang dia inginkan, maka aku juga akan bermain dengan cara yang sama,” putusnya. *** “Adakah yang sudah mengatakan padamu, dengan meremehkan lawanmu, itu berarti kau sedang menggali kuburanmu sendiri?” celetuk Brianna ketika lagi-lagi Brian dibuat tak percaya dengan kecanggihan teknologi yang menyambutnya di kantor NDA; sensor suara, mata dan sidik jari di pintu masuk utama, yang bahkan terjadi dengan cepat sebelum ia sendiri sempat menyadari apa yang terjadi padanya, begitu identitas diverifikasi, dinding kaca di sebelah pintu bergeser, membuka akses masuk ke dalam gedung. Bahkan ketika mereka masuk lewat dinding yang beralih fungsi sebagai pintu masuk itu, mereka mendapati diri mereka berada di ruangan yang berbeda dengan lobby. Dari luar, tempat itu tampak seperti bagian lobby, tapi setelah mereka berada di dalam, ruang itu memiliki dekorasi yang berbeda. Ruangan itu tampak lebih eksklusif dan tampaknya merupakan ruang tunggu. Brian berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja saat mengikuti langkah Brianna ke arah lift. Sementara di sebelah Brian, Joe sudah tak dapat menahan rasa penasarannya. “Gedung ini sepertinya memiliki lebih banyak ruang rahasia dibanding apartemen kami,” ucap Joe. “Apakah semua agen NDA tahu tentang seluruh ruang rahasia di gedung ini?” “Sebagian besar tahu,” sahut Brianna. “Salah satu tes masuk NDA adalah menemukan ruangan rahasia di gedung ini dan menghindari jebakannya. Sepanjang sejarah NDA, tidak lebih dari sepuluh agen yang berhasil lolos dengan nilai sempurna, termasuk aku dan Tiger. Tidak semua agen bisa menemukan ruang rahasia di gedung ini saat tes masuk, tapi seiring berjalannya waktu, kurasa mereka sudah menemukannya. Begitupun dengan sang Mata Kegelapan.” “Itu berarti, sekarang semua ruangan rahasia di gedung ini tidak dapat diandalkan?” Joe menarik kesimpulan. Brianna mengangguk. “Bersama Direktur dan Wakil Direktur NDA, aku biasanya bertemu di apartemen itu. Hanya tempat itu yang masih aman, dan aku tidak bisa percaya pada siapa pun untuk masuk ke ruangan itu. Meski aku tidak punya pilihan dengan kalian,” ungkapnya tanpa beban. Brian mendengus pelan. Ia tahu dengan baik betapa gadis itu tidak bisa mempercayai siapa pun, kecuali Erwin dan Johan. Oh, dan seorang pelayan pribadi di rumahnya bernama Dorothy, seorang wanita Skotlandia bertubuh tambun dan berwajah galak tapi sangat ramah. Dia bahkan sampai repot-repot membawa Dorothy untuk menyiapkan ruangan itu, dan juga makan malam mereka malam kemarin. Brian ingin sekali bertanya, adakah yang sudah memberitahu gadis itu tentang paranoid? Ketika mereka masuk ke dalam lift, sudah ada beberapa orang di dalam lift, mungkin dari tempat parkir basement. Brian berdiri di sisi lift, bersandar di sana seraya mengawasi setiap sudut lift. Ada lima kamera pengawas di sini. Di empat sudut dan di tengahnya. Brian sedang memikirkan adakah sudut mati di lift ini, dengan kamera pengawas sebanyak itu, ketika mendengar Brianna berkata, “Jangan bersandar.” Brian kontan menoleh ke arah gadis itu, hendak bertanya, ketika ia merasakan sisi lift tempatnya bersandar bergerak, membuatnya kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh ke jalan masuk yang muncul tiba-tiba itu. Keseimbangan Brian yang cukup baik menyelamatkannya kini. “Sudah kuperingatkan untuk tidak menggali kuburanmu sendiri di sini,” Brianna kembali berkata. “Kau harus lebih waspada jika tidak ingin terluka karena hal-hal seperti ini atau ...” Brian menggerutu pelan seraya maju, hendak bersandar di pojok lift, tapi ketika lengannya menyentuh sudut itu, ia tersentak karena sengatan listrik dari sana. “Jebakan,” lanjut Brianna dengan nada puas. Brian menatap gadis itu dengan geram. Tidakkah dia merasa perlu memberitahu Brian tentang semua ini? Setidaknya sebelum Brian membunuh dirinya sendiri karena jebakan-jebakan di seluruh gedung ini. Ia bisa berpikir gedung ini adalah hutan, dengan begitu banyak jebakan. Mendadak, semua orang di sini tampak seperti pemburu. “Jika ada tamu dari luar yang terkena jebakan ini, bukankah itu sangat keterlaluan?” sengit Brian. “Jika kau masih ingat, tadi ada pintu masuk ke lobby, dan di sanalah biasanya tempat para tamu itu. Tidak ada satu pun orang luar yang bisa masuk ke gedung sisi ini. Dan lagi, tak ada yang bisa kulakukan denganmu karena sekarang kau sudah menjadi bagian NDA. Hanya, kuperingatkan kau untuk lebih hati-hati jika kau berniat untuk tetap hidup selama bekerja di sini,” kata Brianna dingin. Brian mendengus kasar. “Memangnya separah apa jebakan di tempat ini? Apakah ada yang mati atau ...” Kalimat Brian berubah menjadi teriakan kesakitan ketika tiba-tiba sebuah benda jatuh tepat di atas kepalanya. Brianna dan beberapa orang yang berdiri cukup dekat dengan Brian segera menjaga jarak tatkala benda yang jatuh ke kepala Brian tadi, sebuah kaleng minuman yang masih penuh, jatuh ke lantai lift dengan suara keras. “Apa kalian berniat membunuh agen-agen yang bekerja di sini?!” amuk Brian seraya melotot pada Brianna. Brianna mengedikkan bahu. “Seharusnya kau punya reflek yang lebih bagus,” ucap gadis itu santai seraya menunduk dan mengambil kaleng yang membuat Brian mengamuk tadi. “Kurasa ini milikmu,” katanya seraya menyodorkan kaleng itu ke arah Brian. “Selamat menikmati.” Brian menatap kaleng itu, membaca merk minuman di sana, dan mendengus tak percaya. “Kau bahkan tak mau repot-repot untuk memperingatkan tentang ini, kan?” sengit Brian. Brianna mengedikkan bahu lagi. “Aku sudah memperingatkanmu, tapi tampaknya kau terus meremehkan dan mengabaikanku,” sahutnya santai. “Lagipula, di gedung ini, semua orang belajar sendiri untuk menghindari jebakan-jebakan yang ada. Itu juga adalah metode latihan rutin. Dan tidak satu pun dari mereka yang perlu diingatkan setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, seperti dirimu.” Brian mengepalkan tangan menahan kesal. Ini benar-benar tidak bisa dipercaya. Bagaimana bisa ada tempat seperti ini di negara ini? Itu berarti semua agen di sini bukan agen biasa. Menghadapi jebakan seperti ini setiap hari, di berbagai tempat di gedung ini, Brian bisa membayangkan tes seperti apa yang harus mereka jalani untuk bisa masuk ke gedung ini. Namun sepertinya, sesulit apa pun tes masuk ke gedung ini, mereka mungkin masih akan terkejut jika mengetahui tes masuk SIA dan pelatihan-pelatihan yang bisa saja membunuh pesertanya. Tapi bahkan agen SIA sekalipun harus tetap waspada jika memasuki gedung ini. Kali ini masih kaleng minuman. Mungkin jika ini adalah gedung penjahat, kepala Brian sudah meledak karena granat yang jatuh dari atap lift. *** “Ada apa?” Brian menatap Joe heran ketika rekannya itu tiba-tiba berhenti. Joe menatap ke lantai, ke arah kakinya. “Ranjau,” katanya pendek. Brian terbelalak. “Ranjau? Di sini? Di ruangan ini?” “Kurang lebih seperti itu,” jawab Joe. Brian kembali menatap ke depan dan dilihatnya Brianna sudah bersandar santai di dinding, dengan tangan terlipat di d**a, tampak tertarik. “Apakah masuk akal memasang ranjau di sini?! Di dalam gedung?!” Brian berkata marah pada Brianna, menarik perhatian para agen yang ada di lantai itu. “Mereka agen baru,” Brianna berbalik dan memberitahu agen lainnya, mengabaikan kemarahan Brian. “Lanjutkan saja pekerjaan kalian sementara mereka belajar.” Kompak, para agen itu kembali melanjutkan apa pun yang sedang mereka lakukan tadi. Brian menatap orang-orang itu tak percaya. Tidakkah mereka setidaknya peduli pada agen baru yang sedang menghadapi ranjau? Dan bagaimana bisa mereka memasang ranjau di gedung ini? Sepertinya ini peledak dengan sistem ledakan seperti ranjau. Tadi, hujan kaleng minuman. Sekarang ranjau. Ledakan macam apa yang ditanam di gedung ini? Tapi jika mengingat bahwa benda yang jatuh di kepala Brian tadi kaleng minuman dan bukannya besi berduri, sepertinya ledakan jebakan ranjau ini tidak akan parah. Tapi tetap saja. Jika ranjau itu meledak, kaki Joe setidaknya akan terluka. Lagipula, bukankah penggunaan ranjau sudah dilarang? Lalu apa ini? Ranjau di dalam gedung? Tidakkah orang-orang ini khawatir gedung ini akan runtuh karena ledakan ranjaunya? “Beberapa agen baru memang cukup sering terkena ranjau,” beritahu Brianna. “Tapi ...” “Cukup,” sela Brian ketus. “Kau saja sudah cukup membuatku muak. Ditambah tempat ini. Jika kau bicara lagi, kurasa aku tidak akan bisa menahan diri lagi. Mulai saat ini, berhentilah bicara, kecuali tentang misi. Dan jangan bicara padaku selain tentang itu.” Brianna tampak terganggu dengan kata-kata ketus Brian, tapi gadis itu hanya mengedikkan bahu cuek. “Brian, kurasa kita masih butuh bantuannya untuk informasi tentang gedung ini juga,” kata Joe hati-hati pada Brian yang sudah berjongkok di sebelahnya. “Jika semua agen lainnya mencari tahu sendiri, maka kita juga akan mencari tahu sendiri,” putus Brian seraya memeriksa lantai yang diinjak Joe. “Baiklah. Itu terdengar lebih melegakan,” sahut Joe santai. Brian tak menyahut. Sepertinya ledakan ini dipicu dengan lepasnya tekanan. Ia membutuhkan sesuatu untuk menahan tekanan di titik ranjaunya. Brian lantas mengeluarkan pisau lipatnya dari saku. Dengan sangat hati-hati, Brian menyelipkan pisaunya di bawah sepatu Joe dengan kedua tangannya. “Katakan saat aku sudah menemukan ranjaunya,” kata Brian seraya menekan ujung pisau dan dengan sangat hati-hati menyelipkannya ke tengah, mencari titik ranjau. “Itu,” kata Joe cepat. Brian menghentikan pisaunya. Ia memastikan pisaunya menekan cukup keras sebelum berkata, “Angkat kakimu.” Joe mengangkat kakinya perlahan. Tapi kemudian Brian mendengar suara klik yang membuatnya mengumpat. Detik berikutnya, Brian melompat mendorong Joe hingga ia terdorong jatuh ke belakang, sementara di titik ranjau tadi muncul semburan air yang cukup keras hingga melemparkan pisau Brian ke udara. Ketika pisau itu mengarah padanya, Brian tanpa kesulitan menangkap pisau tepat di gagangnya. “Itu hanya jebakan dengan sistem kerja seperti ranjau, tapi jika ini ranjau sungguhan, kau sudah kehilangan tanganmu,” kata Brianna, masih sesantai sebelumnya. “Setidaknya aku masih akan bisa berlari dan membunuh orang yang memasang ranjau ini dengan kakiku,” cetus Brian sungguh-sungguh seraya melipat dan menyimpan pisau lipatnya. Jas hitamnya basah karena semburan air itu, tapi ia bahkan tak lagi peduli ketika berdiri dan menjauh dari semburan air, lalu melepaskan jasnya, menampakkan kemeja putihnya yang juga basah. “Apakah aku perlu mengambilkan pakaian ganti untukmu?” tawar Brianna, tak terdengar serius. Brian mendengus dan melirik gadis itu sekilas. “Tidak perlu,” ucapnya ketus. Yah, Brian seharusnya bersyukur karena ranjau itu bukan ranjau sungguhan. Tapi mendapati bahwa ranjau ini hanya jebakan permainan seperti ini, yang bahkan bukan ledakan kembang api, Brian merasa lebih kesal. “Kau tidak berpikir itu ranjau sungguhan, kan?” tanya Brianna kemudian. “Mengingat obsesi kalian untuk menyiksa para agen, baik dengan jebakan sungguhan maupun permainan konyol seperti ini, aku tak punya pilihan lain,” sahut Brian dingin. “Sekarang, berhentilah bicara dan bawa kami ke ruangan kami,” lanjutnya seraya menatap Brianna tajam. Brianna menghindari tatapan Brian dan berdiri tegak. Ia berbalik dan tanpa mengatakan apa pun melangkah meninggalkan tempat itu, meninggalkan semburan air yang kini hanya setinggi lutut Brian. Di belakang Brianna, Brian dan Joe mengikuti. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD