bc

PAIN

book_age16+
604
FOLLOW
2.5K
READ
love-triangle
badboy
goodgirl
student
drama
bxg
multi-character
campus
highschool
school
like
intro-logo
Blurb

Ketika luka karena dusta menjelma air mata, apa yang bisa kita andalkan lagi?

Ketika segala tempat berkeluh kesah diambil paksa, apa yang bisa menguatkan lagi?

Ketika 'hadir' menjelma 'tiada', apa yang perlu kita tabahkan?

Ketika ia bahkan tidak lagi sama, bagaimana cara semestaku bertemu bahagia?

chap-preview
Free preview
SATU
Rambut panjang dikuncir kuda, tubuh kurus semampai, juga seragam sekolah yang rapih dengan dasi yang dipakai didalam kerah baju, adalah gambaran seorang siswi yang ketika orang melihat sudah tau dia pasti siswi yang teladan. Siswi teladan itu tampak membawa dua kotak minuman teh yang baru saja ia bayar di kantin sekolahnya, lalu menuju meja temannya yang sudah menunggu dengan mangkok bakso dihadapannya. "Nih minumnya" Rinjani menaruh dua kotak teh yang tadi ia beli dimeja tempatnya akan mengeksekusi bakso yang tadi temannya pesan. "Thank's" setelah mengucapkan itu, teman gadis itu memakan baksonya. "Eh Ran lo kenapa gak ikutan aja sih lomba yang bakal dibikin sama anak-anak ekskul sastra? Kan lumayan hadiahnya lima ratus ribu" Rinjani mulai mengaduk mangkok berisi bakso itu. "Gak minat" Kirana menjawab singkat. Ya, teman gadis bernama Rinjani itu adalah Kirana. Gadis yang sudah sekitar tiga bulan atau lebih mungkin pindah ke sekolah barunya itu dan baru kira-kira satu bulan terakhir Rinjani berteman dengannya. Kirana, meski gadis itu mungkin selama satu bulan terakhir ini tidak pernah menganggap Rinjani sebagai temannya, tapi percayalah Rinjani sangat menyukai berdekatan dengan gadis itu. Kirana itu sebenarnya orang baik, Rinjani percaya itu. "Tapi puisi lo bagus tauuuk!" Rinjani menyuapkan sendok berisi bakso itu kemulutnya. Tidak menjawab Kirana memilih mengendikkan kedua bahunya cuek, lalu memakan baksonya. Menurut Kirana bakso dihadapannya lebih menarik dibanding lomba puisi yang Rinjani katakan itu, Kirana tidak berminat, sungguh. Sejak kepindahannya ke sekolah barunya itu Kirana benar-benar tidak ingin kembali menjadi seperti Kirana yang dulu, meski sulit namun Kirana mencoba melewati semuanya, meski tidak bisa dibilang berhasil usahanya selama tiga bulan terakhir itu setidaknya sedikit berhasil. Kirana bukan lagi gadis yang suka mengumbar keramahannya seperti dulu, bahkan tersenyum pun sekarang rasanya hal tabu bagi Kirana. Ya, Kirana lama kini telah tumbuh berganti. Ia bukan lagi Kirana yang bisa berbaur dengan orang baru yang dia kenal, dia tidak pernah lagi bersandar pada siapapun karena sadar sandarannya tidak lagi ada disampingnya. "Ran liat deh, pasti seneng banget ya jadi Alena" Rinjani berkata sembari matanya memperhatikan sepasang siswa yang sedang duduk berdua dibarisan sebelah mereka dan berada dua kursi dari kursi mereka. "Kenapa?" Kirana bertanya setelah melihat pasangan itu sekilas. "Itu si Alena punya Abang udah cakep, sayang dan protektif banget lagi sama dia... bener-bener tipe Abang idaman" Rinjani berkata dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. Rinjani, sebenarnya Kirana tidak berniat memiliki teman. Apalagi yang tipe berisik seperti gadis bernama Rinjani ini, sungguh menurut Kirana untuk saat ini Rinjani sangat merepotkan. Gadis yang beberapa minggu lalu terus mengatakan pada Kirana bahwa ia sangat ingin menjadi temannya, dan terus mencoba bersama saat makan di kantin dengan Kirana. Rinjani selalu bilang pada Kirana tidak punya teman, padahal hampir satu sekolah mengenalnya. Dasar aneh. "Biasa aja" timpal Kirana akhirnya setelah ia menyedot teh dingin dari kotaknya itu, lalu memainkan ponselnya. Ponsel yang baru sekitar tiga bulan terakhir ia miliki. "Isssh liat dong Aska tu emang ganteng banget tauuuk!" Rinjani memaksa Kirana untuk kembali menoleh. Dengan terpaksa Kirana mengikuti keinginan teman hiperaktif nya itu, kembali Kirana melihat pasangan itu. Awalnya Kirana pikir mereka sepasang kekasih, ternyata bukan. Mereka kakak beradik yang selama ini dipergunjingkan oleh banyak warga sekolahnya. Tiba-tiba Kirana tersadar sedang memperhatikan keduanya karena tatapan tajam dari mata elang itu menangkap basah dua mata cokelat terangnya, dengan cepat Kirana langsung memalingkan wajahnya kembali menatap layar ponselnya. Sialan Rinjani! "Udah ah gue mau ke kelas" Kirana beranjak dari tempatnya duduk. "Eh iya tungguin Ran!" *** Ruang makan rumah kediaman Devan tampak tidak seperti biasanya, ada dua orang asing tambahan di ruangan itu. "Jadi gimana sekolahnya Dirga? Mau lanjut kemana nanti kuliahnya?" Suara Tio terdengar dikehangatan makan malam mereka malam ini. "Masih di Bogor aja dia mah maunya Yo" Itu adalah suara Rinto, adik laki-laki Tio yang baru saja tiba tadi siang dari Bogor di Bandung karena ada urusan dengan kakaknya, Tio. Ayah Devan. "Sayang banget Dirga gak ikut kesini" Devan kali ini ikut bicara. Dirga adalah anak dari Rinto, keponakan dari ayahnya Devan, yang berarti sepupu Devan. Mereka sangat dekat untuk ukuran sepupu, meski jarang bertemu tapi tiap kali bertemu keduanya sangat akrab dan tidak terlihat canggung. "Kamu rencananya mau kemana kuliahnya Dev?" Kini Lia istri dari Rinto yang bertanya. "Belum tau tante... Mom nyuruh Devan ke Jerman" "Marisa masih suka nemuin Devan Yo?" Pertanyaan bernada tidak percaya itu terlontar dari mulut Tio. "Masih lah, aku gak pernah ngelarang dia buat nemuin Devan" Tio menjawab sembari menelan makanannya. Kinanti yang sedari tadi hanya diam kini menatap Tio, sejak hari dimana ia mengetahui tentang Kirana yang ternyata sudah pindah ia sedikit marah pada Tio dan Devan karena merahasiakan hal itu. Hingga saat ini mereka sedikit canggung untuk menyapa atau bicara satu sama lainnya, Devan terus meminta maaf pada saat itu tapi Kinanti sepertinya sangat kecewa. Ia baru tau Kirana pindah setelah satu minggu lebih kepulangan Devan dari rumah sakit. "Sebaiknya kamu nentuin pilihannya dari sekarang Dev, kan sebentar lagi juga udah ujian nasional... ya kan Kak?" Lia menatap Kinanti yang sedari tadi diam. "Ah iya, nanti kalau mendadak malah susah" Kinanti lalu tersenyum diakhir kalimatnya. "Ma kalau Devan kuliahnya sama Dirga aja gimana? Boleh?" Devan sepertinya sengaja memancing Kinanti agar mau bicara padanya. "Tanya papa kamu" Kinanti menjawab pelan. "Pa aku mau kuliah di Bogor" Devan berkata mantap. "Ide bagus itu Van biar nanti tinggalnya dirumah Om aja!" Rinto semangat memberi saran. "Boleh, asal izin juga sama Mom kamu" Mendengar kalimat Ayahnya membuat Devan mengunyah malas makanannya, sejak Kirana pergi entah kenapa perasaan tidak suka pada Ibu kandungnya itu semakin berkembang dihati Devan. Bukan bermaksud menjadi anak yang durhaka, tapi sungguh Devan masih sulit mengkondisikan emosinya tiap kali bertemu dengan ibu kandungnya. *** Berbeda dengan suasana diruang makan milik Devan, ruangan makan dirumah Kirana hanya berisi tiga orang dan semuanya diam, asik dengan pikiran mereka masing-masing. Kirana tampak yang paling cuek diantara tiga orang yang berada disana, Kirana melahap santai makanan dipiringnya sampai habis. Ia sekarang sudah bisa mengabaikan Ayahnya. "Ki" "Kirana" gadis itu menekan kalimatnya seolah menjelaskan bahwa dia tidak suka dipanggil dengan sebutan 'Ki' . "Iya, jadi kamu mau ngelanjutin kuliah kamu dimana?" "UNB" jawaban singkat itu Kirana berikan agar ayahnya tidak lagi kembali bertanya. "Jurusan ekonominya bagus juga disitu" "Kirana ambil jurusan biologi" "Kenapa gak ilmu ekonomi? Itu kan baik biar kamu bisa belajar ilmu ekonomi" "Ayah gak lupa kan, pindah kesini adalah permintaan terakhir Ayah yang akan Kirana turutin, setelah itu gak akan ada lagi" Kirana berkata dengan tegasnya. Mendengar kalimat putrinya perasaan bersalah kembali menyergap pikiran Haris, laki-laki itu terdiam tidak tau lagi harus berkata apa, Dania yang ada disana pun hanya bisa diam sedari tadi. Kirana menggeser kursi tempatnya duduk lalu berdiri dari duduknya dan meninggalkan pasangan suami istri yang masih sama-sama terdiam itu. Tidak peduli. Kirana lebih memilih memasukki kamarnya. Dan disini lah Kirana saat ini, di kamarnya menyetel musik Kpop kesukaannya lalu membaringkan diri dan mencoba memejamkan kedua matanya. "Dev kamu tau apa hal paling menyebalkan yang terjadi ke aku setiap hari? Aku bisa merindu tanpa bisa ngasih tau kamu" Kalimat itu terucap didalam hati Kirana, masih dengan mata terpejamnya air mata mengalir dari sudut mata Kirana, meski ia sekuat tenaga menjadi gadis yang ketus, cuek, dan tidak ingin tersentuh tapi tetap saja merindukan Devan adalah hal paling menyakitkan yang harus Kirana tanggung sendiri. *** Pagi hari seperti biasa, Kirana menapaki koridor sekolahnya menuju kelas. Langkah kaki pelan namun penuh tujuan itu melewati ruang demi ruang kelas yang ada di sepanjang koridor yang Kirana lewati. Namun langkahnya terhenti ketika melihat sepasang manusia yang sedang melakukan hal yang menurut Kirana tidak pantas dilakukan dilingkungan sekolah, ia melihat siswa yang kemarin dibahas oleh Rinjani ketika mereka di kantin, Kirana lupa namanya. Siswa itu tampak memojokkan seorang gadis di dinding koridor yang sedikit sepi, bukan hanya memojokkan, ia juga melumat bibir gadis yang ia pojokkan dihadapannya. Tanpa pikir panjang lagi Kirana melewati dua orang itu, seolah tidak melihat apa yang mereka lakukan dan berhasil membuat dua orang tersebut melepas tautan bibir mereka, dalam jarak dekat Kirana bisa melihat siapa gadis yang baru saja dicium oleh cowok itu. Dia gadis yang sama yang ada di kantin kemarin yang dibahas juga oleh Rinjani. Adik cowok itu. Kirana hanya melewati mereka begitu saja dengan langkah kaki santainya menuju tangga yang akan membawanya ke kelasnya, tanpa ingin tau bagaimana reaksi sepasang remaja yang tadi baru saja ia tangkap basah. Sampai pada kelasnya Kirana segera mendudukkan diri dikursinya, sekolah memang masih sepi hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang didepan kelasnya, lalu pikiran Kirana menerawang pada sosok Devan, ia sangat merindukan cowok itu. Dijam seperti ini sudah bisa dipastikan biasanya Devan belum bangun, cowok itu lebih senang berangkat ke sekolah saat waktunya mepet dengan jam masuk kelasnya. Dasar bandel. Tanpa terasa senyum kecil itu terbit dari kedua sudut bibir Kirana, tapi segera menghilang ketika seorang cowok yang Kirana ketahui adalah ketua kelasnya. "Astaga kaget gue" Kirana yang melihat ekspresi kaget dari ketua kelasnya itu menatap aneh padanya, kenapa kaget? Memangnya dia hantu? "Gue kira tadi belum ada yang datang, ternyata lo udah datang" kalimat itu seolah memberi penjelasan pada Kirana kenapa dia kaget. Gadis itu masih setia pada diamnya dan mengabaikan ketua kelasnya itu, cowok itu melewati kursi Kirana menuju mejanya yang berada dua meja dibelakang Kirana. "Good morning everybody!" Kalimat penuh semangat itu terucap dari gadis yang saat ini memasukki pintu kelas mereka, Rinjani. Saat ini kelas sudah mulai ramai, yang baru saja datang bukan hanya Rinjani tapi juga beberapa orang temannya yang lain juga datang, Kirana tidak tau nama mereka. Bahkan sejujurnya Kirana juga lupa siapa nama ketua kelasnya itu. "Ran bengong aja lo kek ayam sakit" Senggolan di sikunya membuat Kirana tersadar. "Paan sih" Kirana mengabaikan Rinjani, lalu memilih keluar dari kelasnya menuju toilet. "Eh mau kemana? Woy!" Kirana mengabaikan teriakkan Rinjani, gadis itu berjalan menjauh dari kelasnya. Kirana membasuh wajahnya, entah kenapa pagi ini ia sangat lesu, konsentrasinya hanya tertuju pada sosok manusia yang saat ini berada di Bandung. Ini merepotkan, sebenarnya setiap hari ia merasakan hal ini, tapi kenapa hari ini rasanya berbeda. Sedih. Setelah mengeringkan wajahnya lalu memakai sedikit lipbalm pada bibirnya Kirana bercermin dan merapikan poninya juga rambut pendeknya, lalu setelahnya gadis itu keluar dan ketika ia membuka pintu toilet betapa terkejutnya ia mendapati seorang cowok telah berdiri dihadapannya. Kirana menatap heran pada cowok itu, dia cowok yang tadi berciuman dikoridor, Kirana yakin cowok ini akan mengancamnya supaya tutup mulut atas apa yang tadi ia lihat. Tanpa berkata apapun cowok itu menarik lengan Kirana dan membawanya kedalam toilet laki-laki, Kirana tersentak, apa-apaan? Setelah menutup pintu toilet itu cowok itu masih diam, juga Kirana ia masih menatap tidak suka pada cowok yang lebih tinggi dihadapannya ini. Hingga suara cowok itu mengejutkan Kirana: "Mau ciuman?" Kedua mata bulat Kirana semakin melotot tidak percaya pada cowok itu, apa-apaan sebenarnya anak ini? "Lo gila atau gimana?" Hanya itu kalimat yang bisa Kirana ucapkan. "Bibir lo bagus" Dasar m***m! b******n! b******k! u*****n itu terus Kirana lontarkan dalam hatinya, ia tidak takut pada cowok itu tapi entah rasanya berada dalam jarak sedekat ini membuatnya gugup. "Boleh gue cium?" Pertanyaan itu benar-benar seperti kalimat meminta izin, diucapkan seolah dari hati yang terdalam. "Gue punya pacar" Kirana menjawab. "Gue gak peduli" cowok itu memajukan wajahnya sedikit lebih dekat. "Pacar gue jago berantem, dia pasti bakal mukul lo kalo dia tau" Kirana kembali menjawab. "Gue rela" 'Cup!' Setelah mengatakan kalimat itu, cowok yang Kirana tidak tau siapa namanya itu benar-benar mencium bibirnya, ciuman lembut namun membuat kedua mata Kirana melebar tidak percaya. Berbeda dengan Kirana yang terkejut, cowok itu justru menutup matanya menikmati kelembutan bibir Kirana, ia terus melumat bibir gadis itu atas bawah, sesekali menggigit lembut bibir ranum itu. Kirana mengumpulkan seluruh kemampuannya, lalu bersamaan dengan suara bel tanda masuk kelas berbunyi Kirana mendorong cowok tidak dikenal didepannya itu. b******k! Cowok itu terdorong dan tautan bibir mereka terlepas, cowok itu masih memejamkan matanya lalu bersandar pada tembok toilet. Kirana memilih pergi, namun tangannya dicekal oleh cowok itu. "Lo mau dikira macem-macem? Ini toilet cowok... gue cek keadaan diluar dulu" "Gue gak peduli!" Sergah Kirana cepat, ia langsung menepis tangan cowok itu dan meninggalkan cowok itu begitu saja dan cepat-cepat menuju kelasnya. Dasar m***m! Ini namanya pelecehan! Sialan! *** Siang hari terasa terik, Devan sedang duduk dipinggir lapangan basket sekolah. Cowok itu baru saja selesai pelajaran olahraga. Sejak tadi sebenarnya Devan tidak fokus pada permainan basketnya, pertama karena memikirkan gadisnya, dan kedua karena dia lebih suka futsal dibanding basket. Devan sangat ingin menemui Kirana saat ini, memeluknya, menciumnya, membuat gadis itu mendesahkan namanya. Sial. Devan rindu gadisnya. Cowok itu mendongak menatap langit membiarkan sinar matahari menyilaukan kedua matanya, ia gila. Selalu kalimat itu yang ada di otaknya ketika ia memikirkan Kirana. "Kak Devan?" Suara pelan itu mengejutkan Devan, ia menolehkan wajahnya dan ternyata mendapati Erika berdiri disebelahnya. "Ngapain lo kesini?" Devan bertanya ketus. "Ini buat kakak, pasti aus kan?" Erika menyodorkan sebotol air mineral dari tangan lentiknya. "Gak usah, Dio lagi beli minum kok... mending buat lo aja" Devan berdiri dari duduknya. Ketika ia berdiri tampak jelas perbedaan tinggi Erika dengannya, tinggi Erika setinggi telinga Devan. Tapi Erika masih bisa dibilang tinggi dibanding Kirana, ya tinggi Kirana berada dibawah pundak Devan. Lagi-lagi Devan memikirkan gadisnya. "Gue duluan" setelah mengucapkan kalimat itu Devan meninggalkan Erika sendirian dipinggir lapangan. Gadis itu tidak bergeming, ia hanya menatap punggung Devan yang semakin menjauh dari dirinya. "Bahkan ketika cewek itu udah gak ada disini pun aku tetep gak bisa nyebutin Kakak" Erika bergumam menyadari bahwa usahanya mungkin hanya akan sia-sia jika tetap diteruskan. Namun, gadis itu tidak punya niatan untuk mundur dari usahanya. Karena memperjuangkan Devan baginya adalah sebuah kegiatan kesukaannya yang baru. Jadi dia tidak akan menyerah secepat itu, ya dia yakin suatu hari nanti Devan akan membuka hati untuknya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
192.9K
bc

DENTA

read
17.3K
bc

Head Over Heels

read
16.1K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
285.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
209.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook