bc

60 Days

book_age0+
183
FOLLOW
1.2K
READ
forbidden
brave
like
intro-logo
Blurb

Luna tak ingat, kapan ia mengalami kecelakaan yang membuatnya terbaring tak sadarkan diri selama dua bulan di rumah sakit. Hal terakhir yang Luna ingat, ia menikmati makan siang dengan kekasihnya, Ruri.

Sadar dari komanya, Luna dapati ada yang aneh dari dirinya. Mendadak Luna memiliki kemampuan supranatural, dapat melihat dan berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata yang pertama kali ia jumpai tengah berdiri di depan kamar inapnya.

Namun anehnya, hanya laki-laki itu yang bisa Luna lihat. Luna tak bisa melihat arwah-arwah lain selain laki-laki itu.

Siapa sebenarnya laki-laki itu? Kenapa dia berdiri di depan kamar Luna? Dan apakah laki-laki itu ada kaitannya dengan kecelakaan yang dialami Luna?

chap-preview
Free preview
ONE
“Uang yang kemarin Mami kasih, kamu ke manain, sih, Lun? Papi kamu bisa marah, kalau tahu kamu seboros itu.” “Uangnya kupakai untuk pesan tiket liburan, Mi. Aku udah janjian sama Kak Ruri, mau liburan ke Sumba akhir pekan ini. Nindy juga ikut, Mi. Tapi dia pake duitku dulu, makanya duitku habis.” “Mami tahu niat kamu baik, bayarin teman. Tapi nggak gitu juga caranya, Lun.” Ini bukan kali pertama Mami menasehati Luna perihal Luna dan sifat borosnya. Jatah uang bulanan milik Luna yang diberikan papinya, seringkali sudah habis dalam satu atau dua minggu pertama. Jika sampai bertahan dalam tiga minggu, itu sudah seperti keajaiban bagi gadis 23 tahun tersebut. Seringnya, Luna mengadu dan meminta uang saku tambahan dengan jumlah yang sama besar pada maminya. Walau selalu meminta agar ibunya tak membocorkan perihal tersebut pada sang ayah, tetapi papi Luna selalu tahu pada akhirnya.  “Nanti juga diganti Nindy, Mi. Dia cuma minjem, bukan minta uangku.” “Mami bukan mempermasalahkan Nindy minjam atau minta uang kamu. Maksud Mami, kamu seharusnya mulai belajar mengelola uangmu dari sekarang. “ Meski terus mengomel seperti itu, Luna tahu Mami tetap akan memenuhi apa yang Luna minta. Notifikasi yang baru saja masuk ke ponselnya menjadi bukti. Mami sudah mengirimkan sejumlah uang ke rekeningnya. “Thanks, Mom. You are the best mom  I’ve ever had.” Tanpa menunggu jawaban Mami, Luna berlalu dari dapur. Setengah berlari menuju carport, tempat di mana Si Merah kesayangannya sudah menanti. “Mobilnya sudah siap, Non,” ujar Pak Adi seraya menyerahkan kunci mobil pada Luna. “Makasih, Pak.” Luna menyambar cepat kunci tersebut. Segera masuk ke mobil, tak sabar ingin segera bertemu kekasihnya, Ruri. *** Deolinda Aluna Fidella, bungsu dari dua bersaudara yang lahir 23 tahun silam. Luna, begitu ia biasa dipanggil, memiliki seorang kakak laki-laki yang merupakan salah satu jaksa yang cukup popular di Indonesia. Ansell Hangga Radian namanya. Orang tua Luna dan Ansell sendiri juga bukan orang sembarangan. Bersama mendirikan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri kosmetik. Salah satu produk kebanggaan perusahaan milik orang tua Luna, mengambil nama belakang Luna, Fidella. Brand tersebut bukan hanya dikenal di Indonesia saja, melainkan sudah merambah kancah internasional. Kekasih Luna sendiri merupakan salah seorang  manajer yang bekerja di perusahaan orang tua Luna. Awal pertemuan Luna dengan Ruri pun terjadi di kantor, saat Luna dengan sesuka hatinya masuk ke ruang kerja papinya, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Luna masih ingat dengan jelas momen tersebut, meski sudah hampir delapan tahun berlalu. Luna baru pulang sekolah waktu itu. Malas pulang ke rumah karena yakin, tak ada orang di rumah. Ansell sibuk dengan tugas kampusnya, Mami dan Papi sudah pasti ada di kantor. Dengan diantar Pak Adi, Luna berjalan santai memasuki gedung kantor. Kebanyakan karyawan mengenal Luna sebagai putri bungsu bos mereka. Luna hanya menyapa beberapa yang ia kenal saja. Selebihnya, Luna hanya menyunggingkan senyum kecil pada mereka yang tersenyum saat berpapasan dengan Luna. “Papi.. Luna datang,” seru Luna sambil membuka pintu ruangan papinya. Awalnya Luna pikir akan menemukan papinya duduk di kursi kebesaran dengan laptop menyala di depannya. Akan tetapi, yang justru Luna temui adalah seorang lelaki bertelanjang d**a dengan kemeja di tangannya. Luna berteriak, lalu cepat-cepat membalikkan badan. “Siapa kamu? Ngapain di ruangan papi aku?” tanya Luna dengan posisi membelakangi lelaki tersebut. “Saya karyawan baru di sini. Pakaian saya kotor dan Pak Indra mengizinkan saya mengganti kemeja saya di ruangannya. Ruang ganti pria sedang diperbaiki, sementara toilet pria penuh.” “Kamu kan laki-laki, nggak masalah kalau ganti baju di toilet yang penuh.” “Maaf, tapi saya merasa tidak nyaman membuka pakaian di hadapan banyak orang,” jawab lelaki tersebut. “Saya sudah selesai.” Dengan canggung, Luna berbalik kembali menghadap lelaki itu. Bisa Luna lihat lelaki itu sibuk memasukkan pakaian kotornya ke dalam tas. Luna baru menyadari jika lelaki itu memiliki paras rupawan, dengan tubuh proporsional yang merupakan tipe laki-laki idaman Luna. “Permisi..” Satu kata tersebut menarik kembali Luna ke alam sadarnya. Luna mengutuk dirinya sendiri, sempat-sempatnya Luna melamun dan membayangkan seperti apa rasanya bergandengan tangan dan bergelayut manja di lengan lelaki tampan itu. “Tunggu,” tahan Luna. Lelaki itu menghentikan langkah. “Papi aku di mana?” “Pak Indra?” tanya lelaki itu. Setelah Luna mengangguk, lelaki itu menjawab. “Seharusnya beliau dan istrinya sedang bersiap menuju lokasi pembangunan pabrik baru.” “Kalau gitu bisa antar aku ke tempat Papi?” Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia diam sejenak, seperti tengah menimbang permintaan Luna. “Tetapi saya harus kembali bekerja.” “Ini juga bagian dari pekerjaan,” jawab Luna asal. “Kalau kamu dimarahi, nanti aku bilang ke Papi kalau aku minta diantar sama…?” “Nama saya Ruri.” “Ah, iya. Sama Kak Ruri.” Laki-laki itu menyetujui permintaan Luna. Mengantarkan Luna ke lokasi pembangunan pabrik baru yang letaknya tak terlalu jauh dari kantor. Kurang lebih hanya satu kilometer. Dan sekarang, laki-laki itu menjadi kekasih Luna sejak lima tahun terakhir. Luna tersenyum kecil seraya mengintip dari pintu ruang kerja Ruri. Lelaki kesayangannya setelah Papi dan Ansell itu, sekarang tengah sibuk di depan laptop. Terlalu sibuk hingga tak menyadari Luna berjalan mengendap masuk ke ruangannya. “Biasakan mengetuk pintu dulu sebelum masuk, Lun.” Setidaknya itu yang dipikirkan Luna karena melihat Ruri tak menoleh ke arahnya. Namun rupanya Ruri menyadari kehadirannya entah sejak kapan. Rencananya untuk mengejutkan Ruri, tak jadi ia lakukan. Tapi tak apa, pikir Luna. Lagipula Luna tahu, kekasihnya itu tak menyukai aksi kejut mengejutkan yang menurut Ruri kekanakan itu. Maklumlah, usia kekasih Luna itu akan menginjak angka 31 akhir tahun ini. “Lagi ngerjain apa sih, Kak? Aku sampe dicuekin gini.” “Ini masih jam kerja, Lun.” Luna juga tahu ini masih jam kerja. “Emang sibuk banget ya, Kak? Nggak bisa di-cancel dulu gitu kerjaannya.” “Kamu mau apa?” Ruri meninggalkan sejenak pekerjaannya. Menghadap ke arah Luna yang sudah berdiri di belakangnya. “Mau ke mall,” jawab Luna santai. “Aku mau cari baju baru untuk liburan kita nanti, Kak.” “Memangnya kamu udah nggak punya baju lagi?” “Ya ada sih, tapi...” “Kalau gitu, nggak usah belanja sekarang, Lun. Pakai apa yang ada. Di sana nanti kamu pasti shooping juga kan?” “Beda konteks dong itu, Kak. Di sana nanti aku belanja kan buat oleh-oleh. Untuk Mami, untuk Papi, untuk Kak Ansell, untuk Bibik, untuk Pak Adi dan lainnya. Kalau sekarang kan aku mau beli baju untuk aku pake buat perginya, Kak.” “Tapi di Sumba nanti, kamu juga pasti beli pakaian untuk kamu kan?” “Tentu dong, Kak. Masa aku beliin orang, tapi nggak beli untuk diriku sendiri. Aku nggak sebaik itu.” “Ya sudah, berarti belanjanya di Sumba aja,” putus Ruri. “Pakai yang ada aja.” “Ya nggak bisa gitu dong, Kak.” “Iya, atau tidak sama sekali.” Luna tahu keputusan Ruri sudah final. Seperti apa pun Luna membujuk, tak akan mempan. Bisa saja sebenarnya Luna meminta Nindy menemaninya belanja tanpa sepengetahuan Ruri, tetapi Ruri pasti akan sangat marah jika Luna melanggar apa yang sudah Ruri larang. Menilik dari sudah cukup lama waktu yang dihabiskan Luna dengan Ruri, lelaki 30 tahun itu sudah hapal seberapa banyak koleksi pakaian yang dimiliki Luna. Maksudnya di sini, mudah bagi Ruri menebak apakah pakaian yang dikenakan Luna masih baru, atau sudah dipakai beberapa kali. “Oke deh,” ujar Luna pada akhirnya. “Oh ya, Kak. Tiket pesawat sama hotel udah aku booking. Nindy juga ikut, Kak.” “Nindy? Dia sendiri?” “Iya lah, sendiri. Emangnya mau bawa siapa dia? Ngakunya aja punya pacar, tapi nggak pernah go public. Dasar jones.” “Nindy pasti punya alasan, Lun. Hargai aja keputusannya yang nggak mau menunjukkan pasangannya ke kamu.” “Aku cuma heran aja, Kak. Aku sama Nindy udah berteman dari kecil. Aku selalu terbuka dalam segala hal ke dia. Dia juga sama sih, kecuali soal pacarnya yang dia tutupi. Awalnya aku pikir Nindy bohong soal dia punya pacar. Tapi waktu itu pas aku sama Nindy lagi duduk-duduk cantik di kafe, hapenya bunyi, ada yang nelepon. Namanya Naren, terus dikasih emot love gitu sama Nindy, Kak. Baru deh aku percaya dia beneran punya pacar. Tapi kenapa harus ditutupi gitu? Toh aku juga nggak punya niatan ngerebut pacarnya.” Ruri tak langsung menanggapi cerita Luna. Ia diam memandangi Luna, lalu mengehal napas agak panjang. “Udah selesai ceritanya kan? Boleh aku lanjut kerja lagi.” Luna mencebik kesal, tak rela posisinya dinomorduakan dengan pekerjaan oleh sang pacar. “Kak Ruri tuh kadang nyebelin tau nggak sih? Pacarnya datang kok malah dicuekin.” “Aku nggak nyuekin kamu, Lun.” Jawab Ruri tanpa memandang Luna. “Aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebelum ambil cuti weekend ini. Kamu mau liburannya dibatalin?” “Eh, ya jangan dong, Kak. Oke deh, Kak Ruri boleh kerja. Aku tungguin ya.” Luna melirik jam tangannya, kurang dari satu jam  lagi, waktu istirahat tiba. “Bentar lagi istirahat ini.” Tak mendapat tanggapan dari Ruri, Luna mencebik kesal, kemudian memilih duduk di sofa sambil meminkan ponselnya. *** “Will you marry me?” Berlutut di depan sang kekasih, dengan tangan kanan menyodorkan kotak beludru merah terbuka, diiringi beberapa orang pemain biola yang memainkan lagu romantis, pria berkemeja hitam itu bermaksud melamar kekasihnya. Cara melamar yang terlalu biasa memang, sudah banyak dipraktikkan banyak orang, tetapi tetap saja si kekasih menatap haru sampai meneteskan air mata, tak menyangka akan dilamar secara tiba-tiba seperti itu. Orang-orang di sekeliling ikut merasakan keharuan dari pasangan kekasih tersebut, kala si wanita mengatakan yes,lalu mereka berpelukan. Tepuk dan sorai gembira memenuhi kafe siang itu. Dua di antara pengunjung kafe adalah Luna dan Ruri. Mungkin hanya Luna yang memperhatikan pasangan tersebut dengan haru. Sejujurnya ada terserbit rasa iri. Terlebih setelah melirik kekasihnya yang sesekali sibuk dengan gawainya. “Ikut senang deh lihat mereka berdua, Kak,” komentar Luna memancing reaksi Ruri. Lawan bicara Luna melepas pandangannya dari ponsel dan menatap sebentar ke arah mereka yang dimaksud Luna. Menggumam menyetujui apa yang dikatakan Luna, lalu kembali pada ponselnya. “Ngerjain apa sih?” Ruri menunjukkan layar ponselnya pada Luna. Ponsel  berukuran 5,5 inci itu menunjukka sederet huruf dan angka yang sama sekali tidak Luna mengerti.  “Disimpan dulu, Kak. Ini kan jam istirahat makan siang. Waktunya sama aku, bukan sama kerjaan. Masa aku diduain mulu sih. Masih mending kalau saingan aku itu perempuan lain, lah ini malah pekerjaan. Nggak bisa diajak jambak-jambakan rambut.” Mendengar gerutuan panjang Luna, mau tak mau Ruri tertawa kecil. Menaruh ponselnya ke atas meja dan mengacak rambut kekasihnya gemas. “Ih, Kak Ruri. Rambut aku jadi rusak ini. Udah ditata bagus-bagus aja dianggurin pacar, apa kabar kalau berantakan kayak gini?” Luna mengeluarkan cermin kecil dari tas tangannya. Mencebik kesal karena Ruri cukup menghancurkan tatanan rambutnya. “Masih tetap cantik kok,” komentar Ruri. Seorang pramusaji menghampiri meja mereka. Mengantarkan makanan serta minuman yang sudah dipesan keduanya. Setelah mendapat ucapan terima  kasih dari Luna dan Ruri, pramusaji tersebut mengangguk singkat lalu kembali melanjutkan pekerjaan, melayani tamu lainnya. Ruri menikmati makan siangnya demgan tenang. Mendengarkan kekasihnya yang terus mengoceh mengomentari pasangan kekasih yang beberapa saat lalu melakukan adegan lamaran yang berhasil mencuri perhatian nyaris seluruh pengunjung kafe. Sudah berulang kali Ruri menasehati untuk tidak bercerita saat makan, tetapi masih saja dilakukan Luna. “Tapi kayaknya si perempuan udah hamil deh, Kak. Perutnya agak buncit gitu. Coba deh Kak Ruri lihat. Kalau aku sih ogah ya, dibikin hamil dulu baru dilamar. Bukan cuma karena dilarang agama ya, Kak. Tapi kan jadinya nggak cakep pas pake gaun pengantin. Kalau hamil, otomatis dia kan harus pake yang longgar-longgar, nggak boleh yang ngepas di badan. Setahuku gitu sih.” “Biarin aja, Lun. Itu urusan mereka.” “Ya sih. Itu memang urusan mereka. Tapi, Kak-“ “Bisa kamu habiskan dulu makananmu?” Luna menatap piringnya yang masih berisi makanan, lebih dari separuh bagian. Sementara piring Ruri sudah bersih. Sendok dan garpu pun sudah ia silangkan. “Oke, aku makan.” Sambil menanti Luna menghabiskan makan siangnya, Ruri kembali memegang ponselnya, meneruskan pekerjaannya yang sebelumnya ia tunda karena protes Luna. Sekali lagi Luna berniat mengajukan protes melihat  Ruri memainkan ponsel. “Habiskan dulu makan siangmu, baru protes.” Begitu yang dikatakan Ruri padanya. Kurang dari sepuluh menit, Luna menyelesaikan makan siangnya. Meneguk air mineral kemasan beberapa kali, kemudian membersihkan sisa makanan yang menempel di bibirnya dengan tisu. “Sudah selesai kan? Aku harus balik kerja.” “Kak Ruri kapan lamar aku?” Ruri yang sudah bersiap bangkit dari kursinya, menjadi kaku seketika. Melirik Luna yang masih sibuk memperbaiki polesan lipstick, lalu memasukkan cermin dan pewarna bibir tersebut ke dalam tas. “Kenapa kamu nanya kayak gitu.” Kali ini Luna menatap Ruri dengan pandangan serius. “Karena Kak Ruri pacar aku. Kita udah kenal lama, udah delapan tahun. Kita juga udah pacaran lima tahun kan? Kupikir, usiaku juga udah cukup untuk menikah. Dua puluh tiga bukan lagi usia yang terlalu muda. Kak Ruri juga udah tiga puluh, udah pantas menikah.” “Menikah bukan hanya perkara usia, Lun.” “Iya, aku tahu,” jawab Luna. “Menikah memang bukan karena dikejar umur, tapi soal kesiapan mental. Kalau cuma bicara soal umur, kakakku umurnya malah lebih tua dari Kak Ruri, tapi Kak Ansell juga belum ada nunjukin tanda-tanda akan menikah dalam waktu dekat.” Ruri menghela napas lega mendengar semua yang baru saja Luna katakan. “Oke, kalau memang Kak Ruri belum kepikiran melamar aku. Tapi setidaknya Kak Ruri bisa kan, kenalin aku ke keluarga Kakak? Kita udah pacaran cukup lama, Kak. Tapi nggak pernah sekali pun Kakak biarin aku untuk mengenal keluarga Kakak. Sementara Kak Ruri kenal keluarga aku. Orang tua aku, Kak Ansell, Bibik, Pak Adi, saudara aku, Kak Ruri kenal semuanya.” “Orang tua aku nggak tinggal di Jakarta, Lun.” “Iya, aku tahu keluarga Kakak di Semarang. Aku tahu minimal tiga kali dalam setahun, Kak Ruri pasti pulang ke Semarang. Tapi Kak Ruri kan bisa ajak aku sesekali. Aku yakin Papi pasti kasih izin. Papi kan sayang banget sama Kak Ruri. Atau… Kak Ruri sebenarnya nggak percaya sama aku? Kak Ruri nggak percaya aku bisa jadi istri yang baik buat Kakak? Bisa jadi ibu yang terbaik untuk anak-anak Kakak? Kak Ruri takut aku nggak bisa menyesuaikan diri dengan keluarga Kakak?” “Bukan begitu, Lun,” sanggah Ruri. “Ini bukan tentang kamu, tapi aku. Aku tahu kamu perempuan baik, aku yakin kamu bisa jadi istri dan ibu yang baik juga nanti. Tapi aku yang nggak yakin dengan diriku sendiri, Lun. Aku nggak yakin bisa jadi suami yang baik untuk kamu nanti.” “Tapi-“ “Aku belum selesai, Lun. Tolong dengarkan aku dulu,” pinta Ruri. ”Alasan aku nggak mempertemukan kamu dengan keluargaku, nggak seperti apa yang kamu pikirkan. Aku tahu kemampuan adaptasimu sangat baik, aku yakin kamu bisa diterima dengan sangat baik oleh keluargaku. Tapi kalau aku bawa kamu menemui keluargaku sekarang, berarti aku udah ngasi harapan besar bukan cuma ke kamu, tapi juga keluargaku. Sementara aku sendiri belum yakin dengan diriku sendiri. Kamu bisa ngerti maksudku kan?” Luna tak menjawab. Ia hanya memandang Ruri datar, merasa kecewa karena Ruri tak mengamini pintanya. “Beri aku waktu sedikit lagi, Lun. Beri aku waktu untuk meyakinkan diri aku. Suatu saat nanti, aku pasti bawa kamu bertemu keluarga aku, Lun. Tapi bukan sekarang waktunya. Kamu… bisa menunggu sedikit lagi kan, Lun?” Luna menghela napas cukup panjang. Meski sebenarnya hatinya masih tak menyukai keputusan Ruri, tetapi Luna tahu, ia tak bisa memaksa. *** “Kamu udah sadar, Lun?” Luna mengerjabkan matanya pelan. Kepalanya terasa berat, begitu pula dengan anggota tubuhnya yang lain. Bahkan Luna menyadari ada sesuatu yang mengganjal di hidungnya. Sepertinya Luna tahu dia ada di mana sekarang. Rumah sakit. Dengan penglihatan yang masih kabur, Luna melihat Ansell membuka pintu, diikuti seorang dokter dan beberapa perawat di belakangnya. Beberapa jam usai menjalani serangkaian pemeriksaan yang tidak Luna mengerti, Luna merasa tubuhnya sudah lebih baik, meski masih terasa kaku di beberapa tempat, Luna bisa menggerakkan tangan dan mulutnya lebih leluasa dari sebelumnya. “Masih ada yang sakit, Sayang?” Mami bertanya cemas. Luna menggeleng. “Kenapa aku bisa ada di sini, Mi?” “Kamu mengalami kecelakaan, Lun.” Kecelakaan? Benarkah? Luna tidak ingat pernah mengalami kecelakaan sebelumnya. Hal yang terakhir Luna ingat, ia dan Ruri makan siang bersama. Luna kembali ke kantor Ruri setelahnya, lalu… Luna tidak ingat apa lagi yang terjadi setelah itu. Omong-omong soal Ruri, sejak ia sadarkan diri beberapa jam lalu, Luna belum melihat keberadaan Ruri. Di mana kekasihnya itu sekarang. “Kak Ruri?” “Ruri masih di kantor, Lun. Mami udah kasih kabar ke Ruri kalau kamu udah siuman. Mungkin bentar lagi Ruri kemari.” “Aku nggak ingat soal kecelakaan, Mi,” ujar Luna pelan. “Yang aku ingat, aku baru aja makan siang sama Kak Ruri.” Mami hanya mengangguk. “Nggak papa, jangan dipaksakan kalau memang kamu nggak ingat.” “Kecelakaannya parah, Mi?” “Enggak kok, bukan kecelakaan parah. Itu kecelakaan tunggal, dan kamu satu-satunya korban dalam kecelakaan itu. Mobilmu menabrak pembatas jalan.” “Udah berapa lama aku di sini, Mi?” tanya Luna penasaran. Luna sempat melihat baik Mami maupun Ansell sudah akrab dengan perawat. Sepertinya Luna sudah dirawat lebih dari satu hari di rumah sakit ini. Atau mungkin sudah satu minggu? “Yang penting bagi Mami sekarang, kamu udah sadar, Lun.” “Berapa lama, Mi?” Luna tak merasa puas karena Mami tak menjawab pertanyaannya. Mami menghela napasnya sebelum menjawab pertanyaan Luna. “Sudah dua bulan, Lun.” “Du..dua bulan, Mi?” Sungguh? Sudah selama itu Luna tertidur? Benarkah kecelakaan yang dialamai Luna bukan kecelakaan parah? Kalau memang iya, mengapa Luna butuh waktu lama untuk sadarkan diri? ***    Kesehatan Luna mulai berangsur membaik. Tujuh hari sadar dari tidur panjangnya, Luna sudah bisa menggerakkan anggota tubuhnya kembali dengan leluasa. Kecuali kaki kirinya. Ada retakan pada tulang kaki yang membuat kaki kiri Luna belum bisa kembali berfungsi seperti sedia kala. Luna sudah bertemu kembali dengan Ruri yang tampak sangat merasa bersalah karena tak bisa menemani Luna saat Luna bangun dari tidurnya. Menanyakan kondisi Luna dengan penuh kekhawatiran. Setiap hari sebelum dan sepulang bekerja, Ruri pasti menyempatkan diri untuk menjenguk Luna. Seharusnya pagi ini giliran Mami yang menemaninya di rumah sakit. Namun beberapa saat lalu, ibu Luna mendapat telepon penting, berkaitan dengan pekerjaan dan mengharuskan ibunya pergi. Mami berjanji hanya pergi sebentar dan akan segera kembali begitu urusannya selesai. Luna mendesah panjang, merasa sepi karena tak ada seorang pun yang sekarang menemaninya. Sedih karena tak ada yang bisa ia ajak mengobrol. Luna ingin segera pulang, tetapi ia belum mendapat izin dokter untuk menjalani rawat jalan di rumahnya saja. Padahal Luna sudah sangat merindukan kamarnya. “Selamat siang, Mbak Luna.” Seorang perawat wanita masuk ke kamarnya, melakukan pemeriksaan rutin seperti yang biasa dilakukan perawat-perawat lain padanya. Kebetulan memang infusnya juga sudah hampir habis, sudah harus diganti. Pandangan Luna menoleh ke arah pintu masuk kamar inapnya yang sepertinya lupa ditutup rapat oleh perawat yang sedang mengganti infusnya ini. Seorang pria berdiri di depan pintu kamarnya. Luna mengernyit heran, merasa tak mengenal pria itu. Luna memilih abai, mengalihkan atensinya pada ponselnya yang berdenting sekali. Chat dari Ruri yang menanyakan mau dibawakan apa Luna saat nanti malam pria itu berkunjung. Luna tak suka dengan menu yang disuguhkan pihak rumah sakit, maka ia hanya makan sedikit sebagai pengganjal untuk minum obat. Lalu kekasihnya akan membawakan makanan-makanan yang Luna minta untuk mengisi lambungnya yang keroncongan di malam hari. “Permisi, Mbak Luna.” Ah.., rupanya perawat yang tak Luna ketahui namanya itu sudah menyelesaikan tugasnya. “Makasih, Sus.” Laki-laki itu masih berdiri di tempatnya semula saat pandangan Luna mengikuti si perawat berjalan meninggalkan kamarnya. Tepat di depan pintu, ponsel perawat itu berbunyi. Si perawat mengangkat ponselnya ke telinga, menerima panggilan entah dari siapa. Mungkin karena terlalu fokus dengan telepon yang diterima, perawat wanita itu lagi-lagi lupa menutup pintu kamar Luna, membuat Luna kaget hingga menjatuhkan ponselnya ke lantai. Tentu bukan hanya karena aksi ceroboh perawat itu, melainkan karena Luna mendapati perawat wanita itu berjalan santai melewati laki-laki yang berdiri di depan kamarnya. Dan melewati yang dimaksud Luna adalah benar-benar melewati tubuh laki-laki itu, menembus laki-laki itu seolah tak melihat ada seorang laki-laki di depannya, atau bahkan laki-laki itu memang tak ada? Bukan hanya Luna yang kaget mendapati hal magis terjadi tepat di depannya. Laki-laki yang tubuhnya baru saja dilewati perawat wanita tadi juga sama kagetnya dengan Luna. Lalu dalam satu kedipan mata, tubuh laki-laki itu berpindah dengan sangat cepat, dan kini sudah berdiri tepat di depan Luna. “Kamu… bisa melihat saya?” Satu-satunya yang bisa Luna lakukan adalah menjerit sekeras-kerasnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MOVE ON

read
95.2K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

CUTE PUMPKIN & THE BADBOY ( INDONESIA )

read
112.5K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
471.3K
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

PEPPERMINT

read
370.0K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook