Saga akan mencoba menuntaskannya dalam sekaligus. Hatinya tidak bisa tenang memikirkan adanya kemungkinan Ares terdampak sihir hitam akibat belum dalam kondisi primanya. Jadi, dia menciptakan kloningan dirinya untuk mengawasi keluarga kekaisaran selagi dirinya pergi membasmi sisa tanaman sihir hitam. Dia tidak akan bisa pergi dengan tenang jika tidak meletakkan kloning untuk mengawasi mereka.
Masih dalam mantra penyamaran diri, Saga pergi ke titik tanaman selanjutnya. Dan seperti yang diduga, dia masih saja cemas untuk pergi. Alhasil, dia berusaha menekan kecemasannya agar angan-angan mengenai Aelin sirna dari dalam kepala. Lagi pula, semakin cepat dia membasmi tanaman-tanaman ini, semakin cepat rasa cemasnya tuntas.
“Deflecteo.”
Tidak menunggu sampai tanaman hancur, Saga bergegas ke tanaman berikutnya. Pada tanaman ketiga, Kuro tiba-tiba hadir melalui teleportasi. Kucing hitam yang seharusnya sedang merajuk padanya akibat perdebatan tempo lalu itu berkata memiliki firasat tidak baik sehingga memilih untuk datang.
“Jadi, tiba-tiba semua orang merasakan firasat buruk, huh?” cetus Saga datar seraya merapalkan Deflecteo. “Lucu sekali.”
Kuro mendecih. “Kau tidak bisa meremehkannya, Penyihir Bodoh. Kau tahu firasat buruk Nekomata selalu tepat sasaran.”
Benar, Nekomata berkaitan erat dengan kegelapan, keburukan dan kematian. Sebelumnya, Saga berharap firasat buruknya hanya sekedar perasaan sesaat yang tidak akan berlarut-larut. Tetapi, kini Kuro hadir membuat segalanya terkonfirmasi bahwa cepat atau lambat sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Kenapa kau tidak memanggil para Penjaga? Kau tahu kau tidak akan cukup mampu menyingkirkan sihir-sihir hitam ini sendirian, bukan?” tanya Kuro, matanya memiliki tajam pada tanaman sihir yang hendak meledak akibat Deflecteo.
“Aku tidak bisa membiarkan mereka keluar dari Menara. Keseimbangan mana dunia akan kacau dan hanya butuh waktu sebelum kehadiran mereka disadari oleh para penyihir lainnya,” jawab Saga, melangkah menuju tanaman selanjutnya.
“Hmm, kau masih saja menganggap mereka seperti anak kecil, huh? Tahukah kau di pertemuan sebelumnya, mereka membahas sesuatu yang terdengar seperti rencana untuk membawamu kembali ke Menara? Itu gila sekali!”
Saga mendengus geli. “Pasti ide Demiurge. Dia tidak pernah tenang melihatku pergi dari Menara.”
“Tentu saja, lagi pula kau telah pergi selama sepuluh tahun. Itu jangka waktu terlama dari sebelum-sebelumnya.”
“Mau bagaimana lagi? Dunia luar lebih masuk akal daripada mendekam di Menara.”
Mata Kuro memicing. “Aneh sekali melihatmu menyukai dunia luar.”
“Manusia tidak bisa selamanya menetap di titik yang sama, Kucing Gemuk.”
“Hei!!”
Selagi berbincang dengan Kuro, Saga menahan diri sekuat tenaga dari rasa sakit dan lelah akibat menghancurkan tanaman secara beruntun tanpa jeda. Ada reputasi yang harus dipertahankan sehingga dia tidak ingin jatuh begitu saja di hadapan Kuro, setidaknya tidak di hadapan orang-orang Menara. Dia harus berusaha lebih keras lagi demi keselamatan Aelin.
“Aku berharap tidak akan terjadi apa pun pada hari ini,” celetuk Saga pelan.
Kuro melirik. “Kau tahu itu tidak mungkin.”
“Ya, sialan.”
Saga belum siap jika harus menghadapi masalah besar dalam kondisi tubuh yang tidak optimal seperti ini. Setidaknya, dia yakin ini tidak akan berkaitan dengan sihir hitam Istana Hampstead. Tidak, apakah benar demikian?
Mata Kuro membulat selagi Saga tenggelam dalam pemikirannya. “Putri Aelinna!” serunya sebelum kemudian berteleportasi.
Teguran keras itu menyadarkan Saga, buru-buru kembali ke rumah kaca. Sesampainya di sana, situasi telah jatuh dalam kekacauan. Ares bersimpuh di lantai, tepat di bawah salah satu kursi meja teh, terbatuk-batuk memuntahkan darah. Aelin berada di sampingnya, panik. Sementara, Arne tidak ada, mungkin berlari mencari bantuan.
Saga segera bersatu dengan kloningan dirinya yang berdiri tidak jauh dari Ares dan Aelin. Kemudian, berlari mendekati mereka dengan napas mulai terengah-engah akibat dampak dari memaksakan diri menghancurkan sisa tanaman sekaligus.
“Yang Mulia!” panggil Saga, bersimpuh di sisi kiri Ares. Dia menoleh ke Aelin. “Apa yang terjadi?”
Aelin menggeleng kaku, begitu panik. “Kami sedang menikmati teh sebelum tiba-tiba saja Papa jatuh dan mulai batuk-batuk darah seperti ini. Arne... Arne pergi mencari bantuan....”
Dalam sepersekian detik, mata emas Saga memindai aliran mana di tubuh Ares. Dia terbelalak melihat aliran itu telah kacau tidak beraturan seolah-olah dirusak. Ada beberapa yang terkontaminasi oleh sihir hitam Istana Hampstead yang membuat Saga makin tidak bisa percaya. Bagaimana mungkin? Beberapa saat yang lalu mantra pelindung Ares kuat menghalau sihir-sihir yang ingin hinggap. Dan seburuk-buruk skenario, sihir-sihir itu tidak mungkin sampai mampu merusak aliran mana Ares.
Ini gawat, sangat gawat.
“Permisi, Yang Mulia,” ujar Saga seraya mengangkat kedua tangannya, pancaran cahaya keemasan mulai menyelimuti Ares, mencoba menetralisir sihir hitam sekaligus memperbaiki aliran mana. Akan tetapi, lima detik kemudian, Saga muntah darah seperti Ares.
“Saga!!” panggil Aelin, syok bukan main.
Kuro yang sedari tadi berdiri di sisi Saga pun tidak luput dari kepanikan. Kucing itu menatap Ares dengan tatapan sendu. “Saga, Kaisar tidak akan bisa kau selamatkan dalam kondisimu yang sekarang.”
Aelin kian terpaku melihat kucing hitam yang selama ini dia sayangi tiba-tiba dapat berbicara seperti manusia.
Terengah-engah, Saga kembali ke posisinya. “Jangan bicara omong kosong, ini belum terlambat.”
“Aliran mana yang telah dirusak membutuhkan kekuatan tiga kali lipat lebih besar dari si pemilik mana agar dapat disembuhkan. Dengan kapasitas kekuatanmu sekarang, kau tidak akan mampu melakukannya.”
Saga tahu, tetapi dia tidak menggubrisnya dengan kembali berusaha memulihkan Ares. Alhasil, darah kembali termuntahkan keluar dari mulutnya. Kian menambah ketegangan situasi.
“Saga, sudah cukup! Kuro bilang kau tidak akan sanggup melakukannya, tidak perlu kau paksakan lagi!” tegur Aelin keras, campuran kemarahan dan kesedihan berpadu dalam dirinya.
Saga melirik tajam dalam tundukan kepalanya. “Lalu, membiarkan Kaisar tewas begitu saja di depan matamu? Begitu?!”
“Bantuan akan segera datang! Arne sedang mencarinya!”
Saga menegakkan leher, menoleh sepenuhnya pada Aelin. Mata emasnya melotot tajam. “Tapi, dia tidak kunjung datang dan itulah masalahnya! Logikanya, tidak butuh waktu selama ini untuk para kesatria atau pelayan datang ke sini! Mereka tidak jauh dari area taman, tapi mengapa justru sebaliknya, huh? Kau sedang dikambinghitamkan!”
Aelin mengerjap pelan. “A—Apa katamu....”
Saga mendecak, kembali ke posisinya untuk menetralisir Ares. “Sialan, sialan!”
“Arne tidak mungkin seperti itu!”
“Terserah. Percayai apa yang ingin kau percaya.”
“Saga—“
“Pergilah.”
Saga, Aelin dan Kuro tersentak mendengar suara Ares. Serempak mereka mendekat pada pria itu.
“P—Papa?” panggil Aelin seraya mengusap punggung Ares.
Dengan tubuh gemetar hebat dan napas tersengal, Ares berusaha tetap duduk dengan bertumpu pada kedua tangannya di lantai. “Pergi, Aelin. Pergi dari sini....”
Aelin terbelalak. “Apa yang Papa bicarakan?! Aku tidak akan meninggalkan Papa sendirian di sini! Tenang saja, sebentar lagi Arne akan datang—“
“Justru itu...,” sela Ares, dia terbatuk memuntahkan darah, “pergi sebelum dia datang. Pergi dari Istana Kekaisaran ini.”
Aelin mulai jengkel. “Apa yang Papa bicarakan dari tadi?! Aku tidak mengerti!”
Memaksakan diri, Ares menoleh pada Aelin dengan kekesalan yang sama. “Kubilang, pergi dari sini! Pergi sebelum kau ikut terjerat Duke sialan itu! Pergi dan tidak perlu kembali! Hidup dengan tenang di luar kekaisaran!”
“Aku tidak—“
“Mereka akan segera datang!” sela Kuro menginterupsi sebelum kemudian terdengar derap puluhan langkah mendekat ke rumah kaca.
Ares kembali menunduk. Tangan kanannya yang bersimbah darah mendorong tubuh Aelin menjauh darinya, sekaligus mengotori gaun gadis itu.
“Penyihir Bodoh,” panggil Ares, membuat Saga menatapnya, “bawa putriku pergi sejauhnya dari sini. Jaga dia.”
Air mata spontan turun membasahi pipi Aelin. Gadis itu menggeleng berkali-kali, masih menyangkal apa yang sedang terjadi di hadapannya. Sementara, Saga bangkit berdiri, bersiap menjalankan perintah Ares dengan sisa-sisa kekuatannya.
“Ayo, Aelin.” tukas Saga.
“Tidak, tidak mau! Aku tidak akan pergi!” Aelin beringsut memeluk tubuh Ares erat-erat. “Aku tidak akan meninggalkan Papa. Walau selama ini kita tidak begitu dekat, aku tidak mungkin meninggalkan Papa dalam kondisi seperti ini! Tidak! Tidak mau!”
Ares menghela napas. “Jangan keras kepala—“
“Aku sudah bisa menggunakan sihir! Aku pasti bisa menyembuhkan Papa! Jangan buang aku!”
“Begitu?”
Tanpa aba-aba, tubuh Aelin dihempaskan dari Ares menggunakan sisa-sisa kekuatan Kaisar tersebut. Aelin yang terpental pun terbelalak ke arah Ares yang kian sekarat di hadapannya. Sebelum gadis itu hendak merangkak kembali mendekat, Ares menoleh padanya.
Dan, itulah momen yang tidak akan pernah Aelin lupakan.
Senyuman tulus Ares.
“Papa bangga padamu. Pergilah, hiduplah dengan bahagia di luar Istana, Aelinna....”
Usai mengucapkan kalimat itu, Ares jatuh tersungkur di lantai bertepatan dengan Arne tiba bersama para kesatria dan pelayan.
“Putri Aelinna! Anda ditangkap atas tuduhan mencelakai Yang Mulia!”
Lalu, itu terjadi lebih cepat dari kedipan mata. Tangan kiri Aelin ditarik oleh Saga sebelum kemudian pandangan Aelin dibutakan oleh cahaya terang. Namun, Aelin tahu bahwa dirinya dibawa masuk ke portal teleportasi oleh Saga. Benar-benar meninggalkan sang ayah, pergi dari Istana Kekaisaran lebih awal dari rencananya.
Pada hari itu, dalam sekejap tersebar brosur buronan berisi sketsa wajah beserta nama Aelin ke seluruh penjuru kekaisaran. Secepat kilat, nama Aelin dicaci maki dan Arne mendapatkan segala simpati publik.
Padahal Aelin tidak pernah mempercayai Arne dari awal. Namun, kini setelah merasakannya secara langsung, rasa sakit tetap menggerogoti hatinya tanpa ampun akibat setitik kepercayaan dihancurkan mentah-mentah oleh Arne.
Aelin tidak akan membiarkan ini begitu saja.
TO BE CONTINUED