Di sepanjang sejarah Neuchwachstein, tidak pernah diketahui adanya seorang pengkhianat. Segalanya berjalan lancar tanpa kendala selama era kepemimpinan para Kaisar. Satu-satunya masa yang sedikit heboh adalah masa generasi Permaisuri Savvina. Setidaknya, permaisuri itu berkompetisi dengan adil dalam memperebutkan hak tahta. Selebihnya, tidak ada masalah besar.
Kini, di era kepemimpinan Kaisar Ares, tak disangka akan terjadi pengkhianatan yang dilakukan oleh putrinya sendiri. Bahkan, itu adalah putri tidak sah yang lahir dari rahim seorang selir. Seseorang yang selama ini eksistensinya setipis hantu, tak diperkenalkan ke publik, dan disebut tidak setara dengan Arne.
Aelinna Eunice von Sinclair.
Nama yang telah menjadi sebuah aib di Neuchwachstein.
“Bahkan aku tidak pernah mendengar atau mengetahui tentang sosok Putri itu.”
“Dia hanya anak tidak sah dari seorang selir! Bisa-bisanya seberani itu mengkhianati Putri Mahkota, dasar tidak tahu diri!”
“Kasihan sekali, Putri Mahkota pasti sedang syok sekarang. Semoga keberkahan dan keselamatan selalu menyertai Yang Mulia dan Putri Mahkota.”
“Kuharap Putri Selir itu segera ditangkap dan diadili habis-habisan!”
Eksistensi tipis Aelin yang tidak pernah diperkenalkan ke publik menjadi semakin buruk akibat dari insiden ini. Aelin telah dikenal di kalangan bangsawan sebagai sosok Putri Terlantar yang tiba-tiba saja mendapatkan perhatian Kaisar. Fakta itu saja telah membuat geger hingga Arne merasa waspada padanya. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang berani mengusik Aelin karena takut terhadap Ares. Toh, Aelin hanya sekejap mendapatkan perhatian Ares, jadi mereka tidak memikirkannya berlarut-larut.
Akan tetapi, sepertinya situasi berubah total karena seseorang yang tidak ingin Ares berpaling darinya.
“Bagaimana kondisi Ayah?” tanya Arne usai tim dokter dan penyihir memeriksa keadaan Ares yang terbaring kaku dengan mata terpejam dan wajah pucat di ranjang.
Orang-orang yang menerima pertanyaan pun serempak tidak sanggup menoleh kepada Putri Mahkota. Wajah-wajah suram mereka telah menjelaskan betapa buruk situasi Ares saat ini. Begitu buruk hingga mereka merasa tak sanggup menjelaskannya secara langsung. Namun kemudian, mereka juga tahu bahwa tidak bisa selamanya bungkam.
Pertama-tama, Kepala Tim Dokter Kekaisaran, Ernest Gallileo, menoleh. Lalu, diikuti oleh rekan-rekannya. Mereka berusaha tidak bertampang suram lagi meski berujung gagal.
“Yang Mulia, dengan berat hati harus saya katakan. Kondisi Yang Mulia Kaisar sangat tidak baik. Aliran mana di tubuh beliau telah kacau sehingga berdampak fatal bagi tubuhnya. Ditambah lagi, kondisi fisik beliau belum sepenuhnya pulih sebelum terdampak kekacauan aliran mana. Kami akan mengusahakan yang terbaik untuk kesehatannya,” tutur Ernest diiringi kesedihan yang tidak dibuat-buat, merasa sedih kepada Arne yang seorang diri menghadapi ini semua.
Arne duduk di sisi ranjang Ares. Dia menyentuh pipi sang ayah selembut mungkin diiringi senyuman tipis seolah-olah Ares hanya sedang tertidur. Pemandangan yang berhasil menusuk hati semua orang.
“Ayah, tidak apa-apa, Ayah akan baik-baik saja. Pelan-pelan pasti akan kembali sehat seperti sedia kala,” ujar Arne lembut.
Tidak ada satu pun yang mengira sesuatu seperti ini akan terjadi. Aelin tidak pernah berperilaku berlebihan namun tak disangka ia akan menjadi pengkhianat Ares. Tidak ada yang tahu alasan spesifiknya tetapi semua orang menduga itu karena rasa dendam akibat ditelantarkan di Istana Clementine. Sierra yang dipertanyakan pun tidak ingin buka suara, bersikeras membela Aelin dengan berpikir gadis itu tidak mungkin berkhianat.
“Tidak apa-apa, Ayah. Aku baik-baik saja, segeralah kembali.”
Betapa besar kebencian semua orang kepada Aelin.
***
Aelin tidak pernah keluar lebih jauh dari wilayah Ibu Kota. Sehingga, saat dia berdiri di tengah hamparan hutan dan pepohonan luas, dia gemetar ketakutan. Jangankan di dimensi dunia ini, di bumi pun dia tidak pernah memasuki area hutan karena takut kepada segala ancaman yang ada di hutan.
“Saga, masih jauhkah dari kota atau pemukiman terdekat? Aku takut berada di sini,” rengek Aelin untuk ke sekian kalinya.
Saga tidak akan heran melihat gadis seperti Aelin sering merengek. Lagi pula, lingkungan liar bukanlah sesuatu yang biasa disinggahi oleh gadis maupun seorang putri seperti Aelin. Namun, mendengar keluhan dan rengekan berkali-kali pun membuat telinga Saga panas. Jika saja dia memiliki kekuatan lebih, dia tidak akan berpindah ke hutan perbatasan Neuchwachstein seperti ini.
“Kau harus terbiasa, kekuatanku semakin lemah jadi hanya bisa sejauh ini dari Istana Kekaisaran,” sahut Saga berusaha sabar.
Aelin melangkah lesu di belakang Saga. Tangan kanannya meremas jubah merah Saga agar tidak terpisah dari lelaki itu akibat tidak fokus berjalan. Kondisi tanah yang basah penuh bebatuan dan ranting membuat kaki Aelin yang terbalut sepatu hak pun sulit melangkah tetapi tetap dipaksakan oleh sang empunya. Dia bahkan tidak menyadari kakinya terluka akibat gesekan sepatu dengan kulitnya.
Dalam kepala Aelin sekarang hanya terisi oleh senyuman tulus Ares dan apa yang pria itu ucapkan. Ia bangga pada Aelin, ia bangga dan ingin Aelin hidup bahagia di luar Istana. Hal yang masih tidak bisa dimengerti. Aelin yakin selama ini Ares tidak pernah begitu peduli padanya. Di novel pun diatur demikian. Namun, mengapa pria itu berubah sampai sedrastis itu? Apa pemicunya?
Lebih aneh lagi, Ares tidak pernah disebutkan jatuh sakit separah ini di dalam novel. Pria itu sangat kuat, jadi sangat jarang terjangkit penyakit maupun jatuh sakit.
Dari sekian peristiwa yang terjadi, Aelin tidak menyangka Arne akan mengkhianatinya sekeji ini. Gadis itu tidak pernah mengusik Aelinna di dalam novel, lantas mengapa kini ia menusuk dari belakang seperti ini? Bahkan lebih parah karena menyangkutkan Ares. Pelanggaran terbesar di kekaisaran adalah mencelakai Kaisar. Jika Aelin tertangkap, dia pasti akan dihukum penggal publik begitu saja.
Tunggu, itukah alasan mengapa Ares menyuruhnya pergi? Ares tahu Arne berniat menjebaknya?
“Memikirkannya berlarut-larut sekarang tidak ada gunanya.”
Aelin mengerjap, tersentak oleh suara Saga. Saat dia hendak mendongak, keningnya terdorong oleh sentilan jemari Saga, membuatnya meringis.
“Apa yang kau lakukan?” semburan Aelin sebal sembari mengusap bekas sentilan Saga, bibirnya mencebik dan matanya mendelik.
Saga menatap mata perak Aelin datar penuh kesan arogan yang khas. “Dengar, situasi sudah berbeda. Kau bukan seorang Putri lagi dan kau bergantung berat padaku di dunia luar. Karena Kaisar memintaku untuk menjagamu, aku tidak akan meninggalkanmu tetapi itu bergantung kembali padamu. Ingin menurut padaku atau tidak. Paham?”
Ya, situasi sudah berbeda. Aelin tidak bisa semena-mena lagi. Tidak ada dayang yang akan melayaninya. Tidak ada jaminan dia bisa makan sehari tiga kali. Tidak ada pakaian dan sepatu bagus lagi. Benar-benar berbeda. Kehidupan dunia luar yang dahulu dia dambakan telah datang, namun ini terlalu cepat.
Terlalu cepat.
TO BE CONTINUED