Neuchwachstein dikelilingi oleh hutan yang menjadi batas wilayah kekaisaran. Salah satu hutan hang terkenal adalah Hutan Leadale yang menengahi wilayah Deltora dan The Eternity Forest. Selain karena keindahannya, hutan itu juga terkenal oleh isinya yang menyeramkan. Lalu, hutan semacam itulah yang disinggahi oleh Saga dan Aelin sekarang.
Saga berhasil memindahkan dirinya beserta Aelin dengan sisa-sisa kekuatannya yang menipis. Saat itu, dia hanya memikirkan sembarang tempat yang jauh dari Istana Kekaisaran. Lantas, berakhir tiba di Hutan Leadale yang terkenal menyeramkan karena berisi satwa liar dan hutan yang selalu menyesatkan orang. Mereka telah singgah selama dua hari sekarang, cukup tenang karena meyakini sulit sekali untuk ditemukan oleh para kesatria berkat kondisi hutan yang membingungkan penjelajah.
Akan tetapi, Saga dan Aelin juga tahu bahwa mereka tidak bisa selamanya singgah di Hutan Leadale. Walau belum memiliki rencana dan tujuan, Aelin sadar dirinya harus segera berpindah lagi. Situasi sedang menyudutkannya, jadi dia harus segera pergi. Tetapi, kondisi mentalnya masih belum siap memikirkan langkah selanjutnya. Dampak syok akibat insiden di Istana masih mengguncang Aelin sedemikian rupa.
Alhasil, mereka masih terdampar tidak tentu arah di dalam hutan. Saga menunggu keputusan Aelin sembari memulihkan kekuatannya dan Aelin senang lelaki itu tidak memaksanya untuk segera berpikir. Lagipula, keadaan menjadi begitu rumit hingga tidak ada dari mereka yang ingin membicarakannya. Begitu memusingkan.
“Kau harus ganti sepatu,” cetus Saga saat dirinya datang usai pergi berburu kelinci dan memetik buah.
Aelin yang duduk di depan api unggun pun menoleh, alih-alih menyahut ucapan lelaki itu, dia lebih terfokus pada hasil buruan Saga yang menggiurkan. Mata peraknya berbinar untuk pertama kalinya sejak meninggalkan Istana.
“Whoa, tangkapanmu selalu banyak, Saga,” puji Aelin takjub.
Saga melengos pelan, memilih tidak melanjutkan argumen mengenai sepatu Aelin yang masih saja dipakai meski telah melukai kakinya sedemikian rupa. Dia meletakkan buah-buahan di samping Aelin lalu pergi ke sungai yang tidak jauh dari mereka untuk menyembelih kelinci tangkapannya.
“Jaga apinya, makan buahnya jika kau lapar,” ujar Saga sebelum kemudian pergi tanpa menunggu respon Aelin.
Aelin menatap punggung Saga menjauh darinya. Sorot berbinarnya telah berganti menjadi datar. Sejuta angan dan pertanyaan kembali membumbung dalam kepalanya. Berpikir, berasumsi, apa pun itu. Sekarang dia hanya bisa bergantung pada Saga di dunia luar Istana. Dia tidak memiliki rumah lagi karena itu telah dirampas oleh Arne. Dia tidak memiliki persiapan untuk memulai hidup baru akibat segalanya terjadi terlalu cepat.
Saga juga berkata hanya dirinya yang dapat diandalkan oleh Aelin. Lelaki itu masih di sampingnya karena titah terakhir Ares. Mungkin juga karena bersimpati pada Aelin sebagai seorang teman sehingga melakukan segala hal yang ia bisa untuk menjaga Aelin. Selalu seperti itu, bukan? Saga berada di garda terdepan sebagai pelindung Aelin dari dulu hingga sekarang tanpa diminta. Ia melakukan apa pun untuk melindungi Aelin di balik sikapnya yang semena-mena.
Lantas, apakah itu akan terus berlanjut?
“Banyak sekali yang kau pikirkan, bukan?”
“Astaga!”
Aelin hampir terjatuh dari batang kayu yang dia duduki akibat suara Kuro tiba-tiba muncul. Dia menoleh ke kiri untuk kemudian menemukan sosok Nekomata yang ternyata bisa berbicara dan itu masih mengganggu pemikiran Aelin hingga saat ini. Dia masih tidak percaya bahwa ternyata Kuro bisa berbicara walau sudah dua hari berkelana bersama di Hutan Leadale.
“Kau tidak ada bedanya dengan majikanmu,” cibir Aelin ketus seraya memperbaiki posisi duduknya.
Kuro menggeliat sejenak guna merenggangkan tubuh sebelum duduk di samping buah-buahan. “Kau sendiri gampang sekali terkejutnya.”
“Aku masih tidak terbiasa melihatmu tiba-tiba bisa berbicara. Selama ini, kau bertingkah selayaknya kucing normal.”
“Yah, tidak ada pilihan selain melakukannya. Saga akan melemparkanku ke neraka jika aku tidak bertingkah seperti kucing normal,” dengus Kuro. “Dia tahu kau sangat mudah terkejut.”
Mata Aelin memicing heran. “Dia tahu aku mudah terkejut tapi masih suka mengagetkanku.”
“Tentu saja, toh dia memang usil, bukan?”
Aelin menyandarkan kepalanya di lututnya yang ditekuk ke atas. Mata peraknya mengamati api yang melahap kayu bakar di hadapannya. “Terlalu banyak hal yang terjadi.”
“Saga tidak akan pernah meninggalkanmu, jangan khawatir.”
Aelin tersenyum kecil. “Karena diperintahkan oleh Papa. Tapi, kita tidak akan tahu bagaimana ke depannya. Cepat atau lambat Saga akan merasa muak denganku lalu kembali ke kehidupannya sebelum menjadi Penyihir Kekaisaran.”
Benar, pada dasarnya Saga adalah penyihir pengembara yang hidupnya sangat bebas. Ia datang ke Istana Kekaisaran sebagai penolongnya hingga rela harus terikat aturan demi Aelin. Akan tetapi, kini setelah akhirnya kembali ke dunia luar, lelaki itu mungkin akan kembali ke kehidupan aslinya sebagai pengembara bebas. Tidak perlu menjaga seorang buronan kekaisaran, hidup bebas secara lebih mudah melarikan diri dari kekaisaran tanpa perlu berpikir melindungi Aelin.
Aelin tidak bisa selamanya mengikat Saga di sisinya. Cepat atau lambat dia harus mandiri. Dia tahu itu. Namun, rasanya sangat sesak memikirkan Saga pergi darinya. Bagaimanapun juga, lelaki itu adalah satu-satunya teman yang dia miliki di dimensi ini.
“Kau terlalu meremehkan Saga.”
Aelin mengerjap, menoleh kepada Kuro yang menatapnya serius. “Apa?” tanyanya.
“Saga memang bukan tipikal manusia ramah yang gemar bersosialiasi. Dia sombong, tukang pamer, harga diri dan egonya tinggi. Tetapi, setelah bertahun-tahun, akhirnya dia bersosialisasi denganmu. Berteman selayaknya manusia biasa dan tidak meninggalkanmu juga menjagamu. Apakah 6 tahun belum cukup untuk membuktikan keseriusannya berteman denganmu?”
Kening Aelin sedikit mengernyit, ragu-ragu. “Aku... tidak pernah meragukannya. Aku hanya tidak ingin membuatnya ikut menderita bersamaku. Dia bisa pergi secara lebih leluasa melarikan diri dari kejaran kekaisaran karena tidak perlu harus melindungiku. Aku hanya akan menghalanginya saja.”
Kuro menggeleng tegas. “Tidak, kau meragukan kemampuan Saga. Meski sekarang dia sangat lemah, tetapi dia masih mampu memindahkan kalian sejauh ini dari Istana. Jangan mengkhawatirkan hal-hal sepele.”
Benarkah seperti itu? Aelin tidak menghalangi Saga? Tetapi, apa yang dikatakan oleh Kuro ada benarnya. Dia terlalu meremehkan Saga. Toh, selama ini Saga tidak pernah mengeluh padanya. Usai mereka tiba di Hutan Leadale pun penyihir itu mewanti-wanti Aelin bahwa sekarang hanya dirinya yang dapat dipercayai. Jika Saga memang ingin pergi, ia tidak akan berlama-lama di sini bersama Aelin.
Aelin menghela napas panjang, Sungguh, aku bersyukur memilikimu sebagai temanku.
TO BE CONTINUED