BAB 25

1146 Words
“Kau diundang oleh adikmu?” Aelin mengangguk, hela napas panjang keluar dari sela bibirnya. “Begitulah.” “Lalu? Bukankah bagus? Kau dapat lebih akrab dengan adikmu.” Hela kedua keluar. “Aku tidak ingin lebih akrab dengannya.” “Woah, jahatnya.” “Hei!” Tentu saja, mana mungkin Saga bisa mengerti tanpa mendapatkan penjelasan Aelin. Penyihir itu tidak pernah mempertanyakan seluk-beluk keluarga kekaisaran selain hal-hal dasar yang perlu diketahui. Ia tidak bertanya mengapa Aelin ditempatkan di Istana Clementine, alih-alih Istana Hampstead. Ia juga tidak bertanya mengapa Aelin dan Arne tidak dekat satu sama lain. Aelin pikir, Saga tidak bertanya karena sudah mengetahuinya dengan cara membaca situasi. Lelaki itu selalu tampak seperti dapat mengetahui segalanya dengan mata ketiga, jadi Aelin tidak pernah berpikir menceritakan apa pun tentang situasi keluarganya. Lagi pula, Aelin tidak tahu apakah dirinya dapat mempercayai Saga sepenuhnya untuk sampai membeberkan kondisi aslinya sebagai pendatang dari dunia lain. Bukan berarti Aelin tidak melihat kemungkinan itu dapat terjadi. Justru, dia berharap Saga dapat diandalkan sampai pada tingkat dipercaya sebagai teman terbaik. Saat ini belum dapat dilakukan, tetapi Aelin dapat melihat kemungkinannya. “Apa salahnya? Datanglah penuhi undangan itu,” cetus Saga kasual, duduk di bingkai jendela perpustakaan, sibuk membaca salah satu buku sihir. “Mungkin akhirnya Kaisar tidak ingin keluarganya memencar lagi dengan membiarkan kedua anaknya berkumpul.” Hal semacam itu cukup tidak mungkin untuk terjadi. Ares dinyatakan tidak menyayangi Aelin sampai akhir. Aelin tidak tahu bagaimana kelanjutan kisah setelah dirinya mati dipenggal tetapi dia rasa segalanya berjalan normal-normal saja. Arne naik takhta lalu menikah dengan Karl setelah Ares turun takhta lebih awal guna menghabiskan sisa hidupnya dalam damai. Tidak ada satu pun dari mereka yang merasa kehilangan Aelin. Lantas, undangan ulang tahun Arne saat ini tidak bisa dipandang tidak mencurigakan. “Aku tidak ingin…,” sahut Aelin, duduk berhadapan dengan Saga di bingkai jendela perpustakaan. Tatapannya tertunduk pada buku di pangkuannya yang tidak sungguh-sungguh dibaca. “Lebih baik aku tetap membusuk karena bosan di Istana Clementine daripada harus pergi memenuhi undangan Arne.” Saga menggumam acuh. “Aku tidak memiliki saudara, jadi aku tidak benar-benar tahu bagaimana solusi yang tepat untuk kondisimu.” Aelin sedikit mendongak, tatapannya beralih ke Saga dengan sorot sedikit terkejut. “Kondisiku? Kau tahu?” “Tidak terlalu, aku hanya menebak,” Saga membalik halaman berikutnya, “aku sudah sering melihat kasus yang mirip-mirip sepertimu di dalam keluarga kerajaan, masalah yang sangat lumrah. Jadi, aku tidak heran lagi.” Terkadang, Saga berbicara seolah-olah dirinya telah hidup sangat lama sehingga memiliki banyak sekali pengalaman hidup. Awalnya, Aelin tidak begitu peduli karena berpikir bisa saja Saga hanya berceloteh berhubung sifat arogannya yang selalu mendorongnya untuk terkesan sombong. Akan tetapi, kini Aelin memikirkannya ulang, bisa jadi apa yang dia anggap celotehan belaka ternyata sebuah fakta. Dia belum sepenuhnya mengenal bagaimana dunia ini bekerja, namun bisa jadi ada fakta bahwa penyihir hidup lebih lama dari manusia biasa seperti yang didongengkan di bumi. “Hei, Saga.” “Hmm?” “Sebenarnya, kau berumur berapa?” Saga melengos pelan. “Mirip-mirip sepertimu. Lagi pula, sekarang kita akan menua bersama.” “Itu tidak menjawab pertanyaan sama sekali.” “Umurku tidak penting,” Saga mendongak, melempar seringai khasnya, “yang penting adalah aku memiliki banyak pengalaman hidup sehingga aku lebih unggul dari orang lain, setidaknya begitulah yang kuyakini.” Aelin menghela napas seraya menyandarkan diri pada bingkai jendela. Mata peraknya melirik ke luar jendela, memandang hamparan taman Istana Clementine beratapkan langit biru cerah. “Kau percaya diri sekali.” “Salah?” “Tidak. Hanya merasa sedikit iri karena kau dapat menjalani hidupmu tanpa beban berlebih di kepala.” Saga mendengus dan menyeringai geli. “Siapa bilang? Begini-begini aku juga memiliki masalahku sendiri. Berhentilah pesimis.” Entahlah, jika Aelin menjalani hidup tanpa mengetahui dirinya akan mati di usia belasan tahun dia tidak akan merasa terbebani setiap hari, mungkin. Dia dapat melalui hari-hari tanpa merasa lelah batin akibat terbebani oleh ancaman yang dapat terjadi padanya dalam waktu cepat atau lambat. Saat ini, bagi Aelin menjalani hari tanpa mengetahui bagaimana dia akan mati adalah sebuah anugerah. “Memangnya menghadiri undangan adikmu semenakutkan itu?” tanya Saga, menginterupsi gejolak pikiran Aelin. Aelin mengembuskan napas lelah. “Begitulah. Aku tidak ingin menemui Kaisar lagi. Kau tahu apa yang terjadi setelah aku tidak sengaja tersasar ke Istana Kaisar dan dijamu olehnya. Itu benar-benar seperti neraka.” “Dalam sudut pandangku, Kaisar itu menyayangimu. Mukanya saja yang terlahir menyebalkan dan kau tidak pernah menghabiskan masa balitamu dengannya, jadi kau tidak terbiasa.” Aelin menoleh, mengerucut sebal. “Aku tidak akan pernah terbiasa dengannya meski masa balitaku bersamanya. Dengar, dia hanya menyayangi Arne. Bukankah kau sudah dapat menduga dari fakta bahwa aku ditempatkan di istana ini, alih-alih Hampstead?” “Aku sudah dapat menduganya. Kau sama seperti Savvina,” Saga bersedekap, kini ikut menelantarkan buku bacaan di pangkuannya, “aku tahu rasanya menyebalkan mendapatkan simpati dari orang yang telah bersikap jahat padamu, tapi bukan berarti kau juga tidak bisa membalas perbuatan mereka. Itu pun jika kau memiliki kesanggupan untuk melakukannya.” Aelin mengernyit. “Membalas perbuatan mereka?” “Contoh saja, kau menerima simpati mereka lalu menunjukkan bahwa kau tidak dapat diremehkan. Lebih bagus lagi jika terjadi sesuatu di tengah acara hingga kau dapat menunjukkan bahwa kau berbahaya,” Saga menghela napas panjang seraya bersandar, “yah, itulah yang Savvina lakukan selama menghadapi saudara-saudarinya dalam memperebutkan hak takhta.” Aelin pernah mempertimbangkan rencana itu. Di dalam novel, Aelinna sangat rapuh akibat mentalnya dirusak sedemikian rupa oleh Darcie sehingga ia tidak memiliki kesanggupan untuk melawan dan membela diri. Kini skenario itu tidak dapat terjadi, dia bisa membuktikan diri dengan lebih baik. Namun, di sisi lain, dia ragu apakah itu benar-benar dapat dilakukan sebab dia masih menakuti Ares. “Jika kau memikirkan Kaisar, tidak perlu khawatir.” Aelin mengerjap. “Eh?” “Percayalah sedikit pada ucapanku. Terlepas dari segala ketakutanmu padanya, kau selamat setelah dijamu olehnya dan tersasar ke istananya, bukan? Itu saja sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa dia cukup menyayangimu hingga membiarkanmu bebas.” Bibir Aelin menipis, mulai dilema. “Yah, kau benar. Mungkin aku terlalu paranoid. Tapi, ini benar-benar menakutkan. Kau pasti sudah mendengar ada aturan bahwa Arne tidak boleh menemuiku dan menginjakkan kaki di Istana Clementine, bukan?” Saga tahu itu lebih baik dari siapa pun. Aturan teraneh yang pernah ada di Neuchwachstein namun bukan pertama kali aturan semacam itu terjadi. Konflik keluarga kekaisaran memang selalu pelik, jadi situasi Aelin dan Arne tidak mengejutkan lagi. Hanya saja Saga tidak menyukai Aelin kesulitan seperti ini, entah mengapa. Padahal biasanya dia tidak begitu peduli dengan masalah manusia, termasuk anggota kekaisaran. Betapa seramnya memiliki hubungan dengan manusia. “Intinya, cobalah dulu.” Bibir Aelin mencebik, membuat Saga menyeringai geli. Lelaki itu menegakkan punggung seraya mengulurkan tangan lalu mendaratkannya di puncak kepala gadis itu. Sukses membuatnya terkejut. “Jangan khawatir, kau pasti bisa. Aku ada di belakangmu.”   TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD