Kerajaan Deltora adalah kerajaan yang menguasai area pesisir. Oleh karena itu, sektor distribusi terbesar berpusat di kerajaan itu beriringan dengan hasil laut melimpah. Selama sekian generasi, reputasinya sebagai kerajaan penghasil komoditas laut dan pusat distribusi tidak pernah tercoreng. Tahun ini pun, Kerajaan Deltora membuktikan bahwa julukan tersebut tidaklah berlebihan.
Sebagai salah satu Duke di Kerajaan Deltora yang juga digadang-gadang tiang penyokong kerajaan, Sighard Morrison memiliki hubungan kental dengan sang Raja—Hilderic Zacharias IX. Maka, tidak heran untuk menemukan pria itu sering bercengkrama dengan Raja seperti saat ini.
“Bagaimana kabar Putri Mahkota? Ulang tahunnya sudah dekat, bukan?” tanya Hilderic usai teh disajikan oleh pelayan lalu menyingkir memberikan privasi untuk dua sosok penting Deltora tersebut.
“Baik-baik saja meski ada sedikit masalah,” jawab Sighard usai menyesap teh.
Hilderic tersenyum tipis. “Tumben sekali. Apa yang terjadi?”
“Seharusnya kau sudah mendengar kabar burungnya meski Deltora terletak paling terpelosok di kekaisaran,” Sighard mendengus pelan seraya meletakkan cangkirnya, “darahku mendidih hanya dengan mengingatnya.”
“Cukup banyak informasi yang beredar, jadi aku tidak yakin mana yang tepat.”
Sighard mendengus lagi. “Kau tidak sebodoh itu, Hilderic.”
“Orang-orang sering berkata kau mungkin memiliki satu hal yang kau sukai tetapi akan selalu ada hal lain yang lebih diprioritaskan dan tidak tergantikan. Tentu saja, aku tidak bisa benar-benar tahu dengan apa yang sebenarnya Yang Mulia pikirkan.”
Mata Sighard menyipit, mendelik tajam. “Jangan bodoh. Tidak mungkin Yang Mulia menyukai putri selir itu. Beliau selalu memperhatikan Arne lebih dari siapa pun.”
Bahu Hilderic mengedik kasual, senyuman khasnya yang mengesankan kepolosan pun melebar. “Aku hanya menebak secara kasar, Sighard. Tidak perlu tersinggung, aku pun tahu bagaimana Yang Mulia menyayangi Putri Mahkota. Hanya saja, sudah menjadi hukum alam bahwa segala sesuatunya tidak selamanya berjalan sama, bukan? Aku ingin kau mengingat itu juga.”
Sighard tahu, dia hanya berusaha menyangkal meski fakta telah terjadi di depan mata. Aelin yang dahulu diabaikan sedemikian rupa kini diperhatikan hingga seorang anak kecil diangkat menjadi Penyihir Kekaisaran. Para pelayan pun diganti seluruhnya demi menjaga martabat anggota kekaisaran. Dan, putri selir itu diizinkan pergi keluar istana sebagai hadiah ulang tahunnya. Seluruh perlakuan istimewa yang tidak didapatkan oleh Arne itu membuat darah Sighard mendidih bukan main.
Lebih menjengkelkan lagi, Sighard tidak bisa mempertanyakannya karena Kaisar Neuchwachstein tidak dapat dipertanyakan. Mempertanyakan sama saja dengan meragukan keputusannya dan itu sama dengan tidak hormat. Alhasil, Sighard hanya bisa terombang-ambing dalam gejolak emosi selagi situasi mulai berubah ke arah negatif bagi cucu tersayangnya.
“Kau tidak perlu memikirkannya berlarut-larut, Sighard,” tutur Hilderic tenang, “walau Yang Mulia mulai mempedulikan Putri Pertama, aku tidak berpikir itu akan berpengaruh pada garis suksesi takhta. Gelar Putri Mahkota akan tetap dipegang oleh cucumu. Kau tahu, perbedaan kemampuan tetaplah menjadi poin penentu.”
Sighard menghela napas panjang. “Kau benar. Putri selir itu tidak mendapatkan pendidikan formal selain dasar dari dayangnya. Sepertinya, Yang Mulia juga tidak berniat memberikannya guru.”
“Selama Yang Mulia tidak memberikannya fasilitas menyamai Putri Mahkota, kurasa tidak ada gunanya memperhitungkannya sebagai ancaman. Putri Mahkota telah berada jauh di atas levelnya, lantas jika memang Putri Pertama diberikan fasilitas yang sama untuk mengejar ketertinggalan, belum tentu juga ia dapat melakukannya. Tenangkan pikiranmu, Sighard.”
Mungkin memang benar, Sighard terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak pasti. Hilderic pun benar, kemampuan selalu menjadi poin utama. Sighard tidak tahu bagaimana tingkat kepintaran Aelin, namun dia rasa lebih baik untuk tidak memikirkannya berlarut-larut dengan meyakini putri selir itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Arne. Selama Ares tidak memberikan fasilitas pendidikan yang memadai, Aelin akan tetap selalu tertinggal dari Arne, jadi Sighard tidak perlu berpikir macam-macam.
Namun kemudian, tidak ada jaminan Ares akan selalu bersikap seperti itu. Perubahan perilakunya kepada Aelin terjadi secara mendadak. Lantas, tidak ada jaminan pria itu tidak akan terus melakukannya dengan tiba-tiba mulai memperlakukan Aelin setara Arne.
Sighard menghela napas, lelah. “Aku tidak akan memikirkannya lagi.”
Hilderic mengangguk. Dia melipat tangan seraya bersandar pada sofa. “Ada hal lain yang lebih penting untuk dibicarakan. Kau tidak lupa, bukan?”
“Haruskah kita membicarakannya sekarang? Putramu dan cucuku masih kecil.”
Hilderic tertawa. “Tentu saja. Aku harus memastikan kedua putraku mendapatkan pasangan yang baik sesegera mungkin.”
Sighard mengangguk usai menyesap teh. Benaknya memutar kilas ulang mengenai putra kedua Hilderic, Karl, yang akan menjadi tunangan Arne. Dia pernah bertemu dengannya beberapa kali ketika anak laki-laki itu masih sangat belia. Kualitasnya sebagai seorang pangeran tidak diragukan lagi. Otaknya pintar dan fisiknya bagus, cocok sebagai pendamping Arne di masa depan. Sighard tidak akan mengambil risiko dengan menerima laki-laki lain yang tidak dikenal secara langsung latar belakangnya meski datang dari kalangan bangsawan. Karl telah memenuhi ekspektasi dan harapannya, tidak perlu mencari kandidat lain.
“Yang Mulia belum membicarakan topik semacam itu, tapi aku yakin beliau telah mengetahui kabar ini,” ujar Sighard, kembali bersandar pada sofa. “Secara pribadi, aku tidak menginginkan kandidat lain. Putramu telah memenuhi ekspektasiku, aku yakin dia akan cocok dengan Arne.”
Hilderic menyeringai tipis. “Sebaiknya, kau tidak melewatkan Karl. Lelaki sepertinya tidak ada lagi di belahan mana pun. Sekarang dia memang masih kecil tetapi potensinya telah menonjol sangat kuat.”
“Tentu saja. Menjadi pendamping Permaisuri bukanlah posisi sembarangan, aku hanya ingin yang terbaik. Arne butuh seseorang yang berprinsip dan berpandangan jauh ke depan.”
“Maka, kau mendapatkannya dari Karl. Yah, aku tidak sabar menantikan hari pertunangan mereka. Kau pasti sudah dengar Blake dan Douglas dikabarkan juga mengincar posisi pendamping Putra Mahkota.”
Sighard menyeringai kecil, tergelitik. “Tidak perlu khawatir, kupastikan posisi itu diberikan kepada Karl. Aku tidak menyukai putra mereka. Putra Blake tidak piawai dalam berpikir dan putra Douglas terlalu temperamental.”
“Kau memilih keputusan yang tepat, Duke Morrison.”
Selain karena kualifikasi Karl yang memuaskan, Sighard juga ingin memperkuat Deltora sebagai pendukung terbesar Neuchwachstein. Dengan Karl menjadi pasangan Arne, maka reputasi Deltora semakin harum dan unggul dibandingkan empat kerajaan lainnya. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu demi harga dirinya yang tinggi.
Usai menghabiskan teh, Sighard bangkit berdiri dari sofa lalu menuju salah satu jendela di kantor Hilderic. Kebetulan, jendela pilihannya mengarah pada taman Istana Raja. Matanya segera menemukan sosok Karl sedang menjalani pelatihan pedangnya bersama salah satu petinggi kesatria Deltora. Dan itu membuat senyuman Sighard melebar karena semakin meyakini keputusannya memilih Karl menjadi pasangan Arne adalah keputusan paling tepat.
“Setidaknya, tidak akan kubiarkan putri selir itu memiliki pasangan yang lebih sempurna dibandingkan Arne,” gumam Sighard tanpa mengalihkan tatapannya dari Karl.
TO BE CONTINUED