Sembari didandani oleh para pelayan, benak Aelin tidak bisa tenang memikirkan apa yang bisa terjadi setelah bertemu dengan Arne. Dia dengar, pertemuan itu telah disetujui oleh Ares sehingga tidak akan terjadi masalah terkait aturan. Selain itu, ulang tahun Arne hanya dirayakan secara kecil-kecilan oleh anggota keluarga saja sehingga hanya ada Ares dan Arne bersama Aelin. Itu bisa dimengerti, tidak mungkin Ares mengambil risiko dengan mengadakan pesta besar saat Arne juga mengundang Aelin untuk datang. Harga diri keluarga Sinclair akan rusak oleh eksistensi Aelin di khalayak umum.
Terlepas dari itu semua, Aelin lebih memikirkan alasan Arne tiba-tiba mengundangnya. Arne memang baik hati dan tidak pernah menilai Aelin serendah penilaian orang-orang. Akan tetapi, gadis itu tidak pernah sampai berpikir untuk mendekati Aelin. Ia sangat pasif melihat segala hujatan buruk dilemparkan kepada Aelin. Tidak ada usaha maupun tindakan untuk membantu Aelin sama sekali. Lantas, kini apa yang ingin gadis itu lakukan dengan mengundang Aelin merayakan ulang tahunnya?
“Tidak perlu gugup, Putri.”
Aelin tertarik dari lamunannya akibat teguran lembut Sierra. Gadis itu menoleh ke kaca, menatap bayangan mereka tercermin di sana, Sierra masih sibuk menata rambutnya. “Aku tidak gugup,” balasnya mengelak.
“Jangan berbohong, saya tahu bagaimana gelagat Putri setiap kali merasa gugup,” kekeh Sierra. “Tidak perlu khawatir, Putri pasti akan akrab bersama Putri Mahkota. Kalian kakak-beradik.”
“Tapi, kita tidak pernah bertemu. Bagaimana jika dia tidak menyukaiku?”
Sierra menggeleng pelan sembari menyisir rambut merah Aelin. “Itu wajar, lebih tepatnya belum akrab. Pada awalnya, kalian akan merasa canggung sebelum akhirnya menjadi akrab. Semua butuh proses, Putri.”
Tidak ada yang salah dalam ucapan Sierra. Hanya saja, kata-kata itu tidak tepat untuk Aelin yang telah mengetahui bagaimana seluk-beluk karakter Arne terhadap dirinya. Dia tidak akan percaya gadis itu tiba-tiba tidak pasif padanya sebelum bukti terpampang jelas. Entahlah dalam bentuk seperti apa, Aelin tidak akan langsung percaya.
“Semangat, Putri. Kami mendoakan kabar baik untuk kalian,” ujar Sierra menyemangati, bertepatan dengan selesai menata rambut Aelin, tidak tahu-menahu bahwa jantung sang Putri berdebar sangat kencang karena pekerjaannya telah selesai.
Aelin menatap pantulan bayangan dirinya di cermin. Terpampang seorang gadis berambut merah mengenakan gaun merah muda dengan tatanan sanggul berjepit permata biru. Dia menawan, seperti biasa. Sierra berkata dirinya mewarisi fisik ibunya, Viola Primevere sang penari, dan tercantum di novel kecantikannya sangat memukau. Jadi, Aelin menyimpulkan dirinya juga cantik. Setidaknya, dia memiliki aura memikat yang membuatnya pantas disebut anggota Sinclair. Dia harus percaya diri agar auranya lebih terpancar.
“Baiklah, aku pergi dulu, Sierra. Sampai nanti,” pamit Aelin usai merasa dirinya siap untuk pergi walau hatinya terasa sangat berat meninggalkan kamarnya.
Sierra mengangguk dan melambaikan tangan. “Hati-hati, Putri. Semoga menyenangkan.”
Usai dibukakan pintu, Aelin segera bertemu tatap dengan sepasang manik emas Saga yang selalu menyorotkan kedataran. Lelaki itulah yang ditugaskan mengantarkannya ke Istana Hampstead, lokasi undangan pesta diadakan. Ia tampil seperti biasa dengan pakaian serba hitamnya disertai jubah seragam Penyihir Kekaisaran. Tentu saja, Saga tidak termasuk ke dalam tamu undangan, ia tidak perlu berdandan. Tugasnya hanya mengantarkan Aelin dan Aelin berharap Saga dapat bergabung agar dia tidak perlu terjebak sendirian di antara Ares dan Arne.
“Wajahmu kusut sekali, tambah jelek saja,” celetuk Saga di tengah perjalanan membuat Aelin spontan memukul punggungnya.
“Bisa-bisanya kau justru meledekku di saat seperti ini,” protes Aelin jengkel.
Saga melengos. “Kenapa, huh? Kau masih berpikir jelek tentang adikmu?”
“Ya.”
“Sudah kubilang aku akan selalu berada di belakangmu, bukan? Taruh sedikit kepercayaanmu padaku meski itu terpaksa.”
Aelin menoleh, mengembuskan napas. “Tapi—”
Suara Aelin terinterupsi oleh sentuhan tangan kasar Saga pada pergelangan kanannya. Terasa dingin hingga membuatnya tersentak kecil tetapi itu tidak berlangsung lama karena kehangatan segera menggantikannya. Aelin termenung sesaat menatap tangannya yang digandeng Saga lalu beralih pada lelaki itu yang menatapnya datar. Langkah mereka yang sempat terhenti pun kembali berlanjut tanpa suara. Seolah terkesan lelaki itu tak ingin mendengar argumen apa pun lagi dari Aelin.
Aelin tidak akan menyalahkannya. Sudah sewajarnya Saga bersikap optimis karena ia tidak mengetahui bagaimana dinamika Aelin dan Arne sesungguhnya. Ia tidak tahu bagaimana jalan hidup Aelin sampai akhir dan apa sangkut-pautnya dengan Arne hingga menimbulkan ketidakpercayaan sebesar ini pada diri Aelin. Tidak apa-apa, Saga tidak salah. Aelin merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menceritakan rahasia terbesarnya kepada Saga. Saga memang baik sebagai temannya, namun kepercayaannya belum sebesar itu untuk berbagi beban serta masalah bersamanya.
Aelin harap waktu yang tepat akan segera tiba.
“Aku sempat berkata bahwa kau disayangi oleh ayahmu dan kau meragukan itu, bukan? Sejujurnya, aku cukup paham mengapa kau merasa seperti itu, Kaisar memang aneh,” tutur Saga memecah lamunan Aelin.
“Aneh?” tanya Aelin.
“Dia membencimu, itu tidak diragukan lagi. Tetapi, gelagatnya berkebalikan dari apa yang dia rasakan. Seperti ketika kau tidak sengaja tersasar ke area istananya, dia memberi jamuan dan mengajakmu berbincang, bukan? Orang yang membencimu tidak akan melakukan hal semacam itu.”
Pandangan Aelin tertunduk pada lantai, mengangguk kecil. “Kau benar. Itu masih mengganggu pikiranku sampai sekarang. Apa yang sebenarnya terjadi? Dialah yang membuat aturan Arne tidak boleh mendekati Istana Clementine agar tidak dapat bertemu denganku, tetapi sekarang justru menyetujui undangan Arne padaku dan akan merayakan ulang tahun bersama-sama.”
Saga tidak langsung membalas. Dari sudut ekor mata Aelin, penyihir itu tampak memikirkan sesuatu seolah balasan yang ingin ia ucapkan perlu dipikirkan lamat-lamat agar tidak menimbulkan masalah. Selama setengah tahun berteman dengan Saga, Aelin menyadari bahwa lelaki itu menyimpan banyak rahasia di balik karakter usilnya yang sembarangan. Ia bukanlah manusia simpel yang bebas tanpa masalah, ia tampak demikian karena memilih untuk tidak mengumbarnya. Saga tidak ada bedanya dengan Aelin, mereka memiliki masalah masing-masing.
“Kaisar itu terasa aneh, entah di bagian mana,” ungkap Saga usai terdiam, “begitu juga adikmu. Justru, adikmu terasa seribu kali lebih aneh.”
Aelin mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Awalnya, aku merasa itu hanya perasaanku saja perihal keanehan dalam diri Kaisar dan Putri Mahkota. Tetapi, seiring berjalannya waktu aku menetap di sini dan beberapa kali bertemu dengan mereka, itu membuktikan bahwa firasatku tidak meleset. Mereka terasa aneh, seperti ada hawa tersendiri yang tidak bisa kudeskripsikan.”
Mata Aelin menyipit, semakin tidak mengerti. “Hawa tersendiri?”
Saga menoleh. “Apa yang kau rasakan saat pertama kali bertemu dengan mereka?”
Memori yang tidak ingin Aelin ingat. Namun, khusus hari ini harus dikecualikan.
“Bingung dan terkejut,” jawab Aelin pelan, hampir seperti sedang berbisik, “itu saja.”
“Begitu, huh.”
Topik mengenai Ares dan Arne tidak pernah terasa menyenangkan. Alhasil, Aelin tidak pernah membicarakannya dengan berusaha menghindari topik yang berkaitan dengan mereka. Dia lebih suka membicarakan Viola meski akhirnya mendapatkan tatapan simpati dari Sierra dan itu juga tidak menyenangkan karena dikasihani. Kali ini pun tidak berbeda. Meski perjalanan mereka menyusuri koridor demi koridor berdampingan dengan pemandangan luar, suasananya tetap terasa memuakkan.
Aelin tidak pernah tahu bahwa membicarakan Ares dan Arne akan terasa seberat ini. Jika saja keduanya tidak bersikap aneh padanya mungkin tidak akan terasa demikian. Sikap mereka yang melenceng dari alur novel membuat Aelin kebingungan hingga merasa seperti orang bodoh. Itu membuat alasan dia untuk angkat kaki dari istana semakin bertambah.
“Yang jelas, aku tidak akan membiarkanmu mati.”
Aelin spontan menoleh, mata peraknya sedikit membulat. “Eh?”
Langkah mereka terhenti di tengah koridor. Saga menoleh pada Aelin tanpa melepaskan tautan tangan mereka. Ekspresinya begitu serius membingkai kedataran yang tak akan pernah lepas dari wajahnya.
“Aku telah bersusah payah menyelamatkanmu dari aliran mana yang berjalan aneh dalam dirimu. Itu bukan tindakan yang mudah. Jadi, aku tidak akan membiarkanmu mati sia-sia,” ungkap Saga tegas, kian mengejutkan Aelin.
Aelin mengerjap cepat. “Itu yang selalu mengganjal dalam pikiranku. Kenapa kau sepeduli itu padaku? Kau sampai menetap di sini sebagai Penyihir Kekaisaran. Apa yang—hmph.”
“Sshh,” desis Saga seraya membungkam bibir Aelin dengan jemarinya, “sekarang bukan waktu yang tepat.”
Aelin tidak akan bisa menebak kapan waktu yang tepat menurut Saga. Lelaki itu selalu penuh dengan misteri sejak pertemuan pertama mereka. Sorot mata emas dan raut datarnya selalu tampak sedang menyembunyikan sejuta rahasia. Ia bersikap dan bertindak sesuka hatinya tanpa mempedulikan orang lain. Ia sangatlah bebas. Aelin pun yakin, jika Saga mau ia dapat membangkang pada Ares tanpa perlu mengkhawatirkan balasannya. Toh, lelaki itu bukan penyihir biasa.
“Yah, ayo jalan lagi. Istana Hampstead sudah dekat,” seloroh Saga sambil menarik Aelin untuk kembali melangkah tanpa menunggu respon gadis itu.
Saga memang penuh dengan misteri.
***
“Seluruh berkah dan kesejahteraan untuk Neuchwachstein beserta Yang Mulia Kaisar dan Putri Mahkota. Saya Aelinna Eunice von Sinclair, datang memenuhi undangan Putri Mahkota.”
Sesuai dugaan, atmosfernya terasa tidak menyenangkan sama sekali. Ruangan didekorasi di beberapa titik. Ares dan Arne telah duduk di kursi yang mengelilingi meja bundar di tengah ruangan. Mereka serempak menatap Aelin saat gadis itu menginjakkan kaki, menjadi orang terakhir yang datang. Aelin tidak memiliki waktu untuk mengagumi keindahan ruang tamu yang disulap menjadi ruang pesta tersebut.
“Kau datang, Putri Pertama. Berdiri dan duduklah,” sahut Ares datar.
Aelin menegakkan punggung lalu menyunggingkan senyum selebar mungkin. “Terima kasih, Yang Mulia.”
Dalam langkahnya menuju kursi kosong di samping Arne, Aelin berusaha menghindari tatapan mata sang Putri Mahkota yang terkesan sedang menghakiminya habis-habisan. Mungkin itu hanya sekedar perasaannya saja tetapi Aelin sungguh berharap pesta ‘mengerikan’ ini akan berjalan dengan baik. Jika memungkinkan, dia tidak ingin berakhir akrab dengan Arne, dia tak sudi melakukannya.
Tekanan udara semakin menyesakkan paru-paru Aelin setelah duduk di samping Arne. Putri Mahkota itu masih menatapnya dengan sorot polosnya yang berbinar kenaifan. Sungguh menimbulkan rasa tidak nyaman bagi Aelin. Untuk mengalihkan kerisihannya, dia melirik Ares yang ternyata juga memperhatikan dirinya persis saat pertemuan terakhir mereka di Istana Kaisar. Akibatnya, debaran jantung Aelin menggila.
“Um… Putri Aelinna,” panggil Arne, tampaknya tidak dapat menahan diri lagi.
Aelin menoleh, tersenyum simpul. “Ya, Putri Mahkota. Ada apa?”
“Kau sungguh cantik!” puji Arne begitu saja, benar-benar polos. “Rambutmu merah terang dan kulitmu seputih salju. Imut sekali, seperti apel.”
Senyuman simpul Aelin jadi canggung. “Apel?”
“Cantik sekali, aku iri!” Arne menoleh ke sang ayah. “Bukankah begitu, Ayah? Kakak sangat cantik, bukan?”
Kenapa kau melibatkan Ares?! batin Aelin memprotes, tentu saja itu hanya dapat tertahan di batin saja.
“Berhenti berceloteh, kuemu sudah siap,” sahut Ares tidak menjawab apa pun, membuat kecanggungan semakin lebar dan Arne sedikit murung.
Aelin tidak pernah melihat bagaimana interaksi Ares dan Arne secara langsung. Di Webtoon, mereka digambarkan begitu dekat meski mayoritas Ares bungkam. Setidaknya, pria itu tidak menatap Arne seolah hendak membunuhnya. Ia membiarkan Arne berbicara apa pun sekalipun itu hal-hal sepele seperti tekanan busa ranjang terasa berbeda akibat ditempati bertahun-tahun. Berbeda dengan saat bersama Aelin, Ares seperti ingin menebas lehernya dari detik ke detik berlalu.
“Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun!”
Kegembiraan semu yang menyedihkan. Nyanyian ulang tahun terasa sangat menyedihkan akibat tidak ada perasaan di dalamnya. Arne menyanyikannya dengan sepenuh hati, berbeda dengan Ares dan Aelin yang melakukan sebaliknya. Hanya saja Aelin sedikit berbeda dari Ares karena tak ingin menimbulkan kecurigaan bahwa dirinya membenci Arne meski itu adalah fakta. Aelin tidak ingin mati muda.
Semoga ini cepat berlalu.
TO BE CONTINUED