Keluarga Zacharias, pemimpin Kerajaan Deltora, memiliki dua pangeran yang sifatnya bertolak belakang. Pangeran Pertama, sang Putra Mahkota, Ralph Howlett Zacharias, berusia 15 tahun. Dikenal dengan kejeniusannya dalam berstrategi dan berpolitik, prinsip hidupnya lebih berani juga tidak pesimis. Diiringi pula oleh karakter bijaksana dan murah hati. Kepribadian yang cocok dimiliki oleh calon pemimpin. Meski ia cukup keras kepala karena berprinsip berani, itu tidak menjadi masalah.
Pangeran Kedua, Karl Nicholas Zacharias, berusia 11 tahun. Kejeniusannya tidak kalah dari Ralph tetapi dia lebih terfokus pada politik dan sihir. Berbanding terbalik dari sang kakak, Karl lebih tenang dan penuh perhitungan. Dia tidak akan melangkah secara sembrono tanpa pemikiran yang matang. Alhasil, dia telah cukup sering berselisih dengan Ralph akibat perbedaan prinsip. Meski begitu, mereka adalah saudara kandung yang saling berpegang erat tanpa diragukan lagi. Lagi pula, karakter Karl tidak berbeda terlalu jauh dari Ralph, murah hati.
Di Deltora, kedua pangeran dipuja sebagai teladan yang memuaskan. Tentu saja, para putri bangsawan menyukai mereka dan memiliki mimpi yang sama yaitu terpilih menjadi pasangannya. Akan tetapi, mimpi itu terpaksa ditelan mentah-mentah untuk dilupakan kala santer terdengar kabar burung bahwa Karl akan bertunangan dengan Putri Mahkota Neuchwachstein. Putri bangsawan Deltora tidak akan memiliki kesempatan untuk bersaing dengan Arnemesia yang berada di tingkat jauh dari jangkauan mereka. Meski belum ada konfirmasi, kabar itu dipercaya begitu saja karena bukan hal yang mustahil bagi Karl untuk menjadi tunangan Arne.
Siapa pun tahu bagaimana dinamika hubungan Karl dan Arne yang dapat berujung pada pertunangan. Ibu Arne, sang Permaisuri Annie, merupakan putri dari Duke Morrison—salah satu tiang penyokong Deltora—alhasil wajar bagi Duke untuk menjodohkan cucunya dengan Pangeran Deltora. Lantas, mimpi para putri bangsawan semakin mengerucut karena hanya tersisa Ralph untuk diharapkan. Itu semakin mustahil, memimpikan Ralph sama saja berani bermimpi menduduki takhta Ratu Deltora.
Segala skenario ini berjalan sangat jelas alurnya. Bahkan Karl telah menduganya beberapa bulan sebelum kabar burung beredar. Dia dapat menebak jalan pikiran sang ayah yang pasti akan menerima permintaan Duke Morrison. Mempertunangkan dirinya dengan calon Kaisar Neuchwachstein akan membuat reputasi Deltora semakin cemerlang di antara lima kerajaan naungan kekaisaran. Karl telah menduganya, namun tetap saja terasa sedikit tidak menyenangkan.
Gagasan pernikahan politik tidak pernah terdengar bagus di telinga Karl.
“Hei, Karl. Kau sudah dengar kabar burungnya, bukan?”
Ini adalah hari yang cerah di musim semi. Langit biru membentang dinaungi awan-awan putih tebal, sangat cocok digunakan untuk berlatih pedang. Karl memanfaatkannya sebaik mungkin guna menghalau pikirannya dari segala hal sepele yang pasti akan disinggung oleh Jesse, temannya. Sayangnya, itu tidak berguna karena sesaat setelah lelaki itu berbicara, konsentrasi Karl buyar.
Tidak berhenti mengayunkan pedang dan melatih postur gerakan, Karl menyahut, “Kabar burung apa?”
Jesse Josias Shevington, putra kedua Duke Shevington penguasa wilayah Antoville di Deltora, merupakan satu-satunya sahabat Karl sejak kecil. Sebagai putra Duke, hampir secara alami Jesse dapat dekat dengan Karl hingga menjadi sahabat terbaiknya. Dibandingkan Ralph dan Karl, perbedaan watak Jesse dan Karl lebih timpang lagi. Jika Karl berwatak tenang juga perhitungan, maka Jesse serampangan dan barbar.
Sampai detik ini, Karl masih bertanya-tanya mengapa dirinya bisa bersahabat dengan Jesse.
“Pertunanganmu!”
Karl segera melengos, sudah menduga itulah yang dimaksud oleh Jesse. Semua orang sedang membicarakannya, maka tidak mungkin lelaki bermulut blakblakan seperti Jesse tidak akan turut membicarakannya.
“Aku tidak ingin membicarakannya,” gerutu Karl seraya mengayunkan pedang ke samping, manik sehijau batu zamrud miliknya tersorot tajam mengamati pergerakannya.
Jesse mencebik. “Cih, membosankan. Cepat atau lambat kau harus memikirkannya dengan baik. Ingatlah bahwa kau dipasangkan dengan calon Kaisar.”
“Tidak perlu kau beri tahu aku sudah tahu.”
Jesse mendecih sebelum kemudian membaringkan diri di bangku yang ia duduki. Kedua lengannya ditekuk guna dijadikan penopang kepalanya. Mata hitamnya menatap hamparan awan yang bergumul di langit, menyembunyikan matahari. Ia tahu respon Karl akan sedatar itu tetapi sungguh rasanya tidak menyenangkan.
“Apakah kau sudah pernah bertemu dengan Putri Mahkota?” tanya Jesse tanpa mengalihkan pandangan dari langit. “Putri dideskripsikan sangat cantik, bukan? Berambut pirang emas berkilau dan bermata perak.”
“Begitulah, aku belum pernah bertemu dengannya,” sahut Karl.
“Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ketujuh, bukan? Jarak umur kalian cukup lumayan, huh. Kau memberikannya hadiah?”
“Tidak, hal-hal semacam itu akan kulakukan setelah segalanya resmi di atas kertas.”
“Membayangkannya saja terasa sangat luar biasa. Kau akan menjadi Raja Neuchwachstein.”
Karl tidak akan berkomentar dalam hal itu. Menjadi pendamping Arne artinya menduduki gelar sebagai Raja Neuchwachstein seperti suami Permaisuri Savvina pada empat generasi silam. Laki-laki berada di posisi lebih rendah dari perempuan bukanlah hal yang tabu di kekaisaran. Hanya saja itu masih tampak tidak lazim untuk dilihat karena hukum patriarki masih cukup kental. Tidak banyak laki-laki yang rela menikah untuk berujung menempati posisi lebih rendah dari istrinya.
Secara pribadi, Karl tidak mempermasalahkan hal-hal semacam itu. Justru dia merasa cukup terhormat untuk dipilih secara langsung oleh Duke Morrison sebagai calon pasangan Arne. Walau gagasan pernikahan politik tidak terdengar bagus baginya, Karl akan tetap mengikuti arus.
“Tinggal di Istana Kekaisaran terasa seperti berada di dunia yang berbeda, katanya. Kau harus membuat banyak kenangan di sini selagi masih bisa, Karl.”
Karl mendecih pelan, tak dapat berkonsentrasi lagi. “Kau berkata seolah-olah aku akan pergi jauh dalam waktu dekat.”
Jesse menoleh, benar-benar memasang raut merengek bak anak kecil. “Tapi, itu benar! Kau akan menjadi tunangan Putri Mahkota lalu menikah dan hidup bahagia sebagai Raja Neuchwachstein! Aku tetap sendirian di—”
“Berhenti merengek dan mendrama, itu masih lama,” sela Karl sebal.
Jesse mendecih, mengerucut sebal dan memutar tubuh ke kiri, memunggungi Karl. “Kau tidak akan mengerti.”
Karl menghela napas, kemudian menghampiri Jesse. “Daripada memikirkan pertunanganku, dengar-dengar kau akan bertunangan dengan putri Count Saunders.”
Bagai disambar petir, Jesse bangkit dari pembaringannya dan menatap Karl dengan raut syok luar biasa. “Apa katamu?!”
“Kau tidak tahu?” tanya Karl balik dengan raut terkejut penuh kepalsuan. “Astaga, mungkin tidak seharusnya aku membeberkan ini—”
Jesse bangkit berdiri, tergopoh-gopoh menghampiri Karl. Kedua tangannya mencengkeram bahu sahabatnya, lantas mengguncangkannya cukup keras akibat rasa bingung dan terkejut bercampur aduk dalam dirinya.
“Siapa yang memberitahumu itu?! Dari mana kau mendengarnya?! Ayah tidak mengatakan apa pun soal pertunangan padaku!” berondong Jesse panik. “Dan siapa katamu tadi? Putri Count Saunders? Maksudmu, Grace Willow Saunders?!”
“Tenanglah dulu—”
Jesse berhenti mengguncang pundak Karl. Sorot matanya yang panik pun mendadak serius. “Aku hanya mendengarnya dari kabar. Putri ketiga Count Saunders secantik bidadari tetapi aslinya berwatak seperti iblis. Jika aku benar-benar bertunangan dengannya, bukankah itu artinya riwayatku akan selalu terancam setiap hari?”
“Kenapa kau sangat mudah mempercayai kabar burung—”
“Argh! Tamat riwayatku, Karl! Tamat! Bagaimana ini?!” Jesse melepas pundak Karl. Beralih mengacak-acak rambutnya sendiri. “Mengapa tidak dengan perempuan lain? Mengapa harus Grace?!”
Karl cukup menyayangkan watak Jesse yang blakblakan dan serampangan. Jika saja ia tidak berwatak demikian, ia pasti nampak sangat berwibawa di mata para perempuan. Berhubung perempuan Deltora mengidolakan Ralph dan Karl, maka lelaki yang memiliki watak serupa memiliki nilai lebih di mata mereka. Yah, seandainya watak manusia dapat diubah semudah membalikan telapak tangan.
Karl menepuk pundak kiri Jesse. “Tidak perlu dipikirkan. Aku hanya mendengarnya dari kakakmu. Kau tahu dia seperti apa, bukan?”
“Kakakku?” beo Jesse melongo, sepersekon kemudian beraut emosi. “Kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi?! Aku sudah terlanjur memikirkan yang tidak-tidak!”
“Balasan atas rengekan berisikmu,” tukas Karl seraya mulai melangkah melewati Jesse, menyudahi sesi latihannya.
“Hei, tidak adil! Itu jahat sekali, Karl!”
Walau kabar itu belum dipastikan kebenarannya, Karl berpikir Jesse dan Grace cukup cocok sebagai pasangan. Jesse butuh seseorang yang dapat mengendalikan tingkah serampangannya, lebih bagus lagi jika mulut blakblakannya juga dapat dikendalikan. Berhubung Grace dikabarkan bersifat bak iblis, Karl menyimpulkan gadis itu tegas dan berpendirian. Itu sangat cocok disandingkan dengan Jesse.
Kendati demikian, apa yang dilontarkan Jesse sebelumnya tidak sepenuhnya salah. Setelah Karl menikah dengan Arne, dia tidak akan tinggal di Deltora lagi. Segala hal di Deltora akan ditinggalkan di belakang, menjadi kenangan yang hanya bisa direka ulang dalam ingatan. Oleh karena itu, selagi masih bisa, Karl harus membuat kenangan sebanyak mungkin di Deltora. Melakukan hal-hal yang nantinya tidak akan bisa dilakukan lagi setelah menikah. Secara tersirat, Jesse mengingatkan Karl bahwa waktu berjalan sangat cepat tanpa menunggu manusia untuk mengejarnya.
Jesse tak ingin Karl menyesal di akhir.
Karl tersenyum tipis. “Mungkin inilah alasan mengapa aku dapat bersahabat dengan orang serampangan sepertimu, Jesse.” gumamnya dalam bisikan.
“Huh? Kau mengatakan sesuatu?” tanya Jesse yang melangkah di sisi kiri Karl.
“Tidak,” sangkal Karl kasual, berbohong.
Jesse mendengus. “Kau harus memikirkan kelakuanmu sebelumnya, itu jahat sekali.”
“Baik, baik. Maafkan aku, Sir Jesse.”
“Kau tidak tulus!”
Karl tertawa, tanpa aba-aba memukul punggung Jesse. “Lebih baik kau bertunangan dengan Grace. Seseorang harus menjadi pawangmu!” ledeknya lalu berlari begitu saja, sukses membuat darah Jesse mendidih.
“Berhenti di situ, Karl Bodoh!!”
Ya, Karl harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya selagi masih bisa. Setelah menjadi Raja Neuchwachstein, kekonyolan kekanakan semacam ini tidak akan terulang kembali. Dia akan terpisahkan dari Jesse oleh jarak hingga persahabatan mereka menjadi semu akibat kehidupan masing-masing. Selagi masih bisa, Karl harus hidup dalam momen itu sampai puas.
***
“Apa yang Kakak sukai? Makanan favorit? Teh? Kue? Bunga?”
“Bermain di taman Istana Clementine. Saya menyukai—”
Arne mencebik cemberut. “Duh, Kakak tidak perlu formal padaku, aku sudah mengatakannya, bukan? Formal begitu seperti sedang berbicara dengan orang lain saja.”
Tapi, kau memang orang lain dalam sudut pandangku, tukas Aelin dalam batin, lagi-lagi tak bisa mengutarakannya demi keamanan nyawanya tetap terjaga.
“Baiklah, maafkan aku,” tanggap Aelin seriang mungkin, “aku menyukai pasta, teh darjeeling, kue cokelat buatan Sierra dan bunga peony juga hydrangea.”
Arne mengerjap polos. “Sierra?”
“Sierra Anderson, ibu asuh sekaligus dayangku.”
“Whoa, apakah kue cokelat buatannya seenak itu sampai-sampai Kakak sangat menyukainya?”
Aelin mengangguk tegas. “Tentu saja. Tidak ada yang dapat menandingi kue dan kukis buatan Sierra.”
“Aku ingin mencobanya, jika boleh.”
Tidak! Kue dan kukis Sierra hanya untukku! Tidak boleh ada yang memonopolinya lagi selain Saga!! teriak batin Aelin, untuk kesekian kalinya hanya dapat memendamnya.
“Tentu saja.”
Aelin ingin menangis melontarkan persetujuan tersebut. Berbagi kudapan manis hasil tangan dingin Sierra dengan Saga sudah terasa sangat memuakkan, apalagi jika ditambah oleh Arne. Aelin masih tidak tahu apa niat gadis itu tiba-tiba mendekatinya, tetapi ini berjalan semakin memuakkan akibat dorongan kebencian. Pura-pura ramah dan selalu memasang senyum palsu itu terasa sangat melelahkan!
Jika memungkinkan, Aelin ingin sekali menanyakan apa alasan Arne lalu kembali ke Istana Clementine tanpa memperpanjang pembicaraan lagi. Dia benar-benar tidak tahan berada di ruangan bersama Ares dan Arne. Selain karena tekanan atmosfer yang tidak menyenangkan, dia lelah berusaha menjaga sikap. Selain itu, dia tidak ingin terpaksa semakin membuka diri kepada Arne. Obrolan basa-basi ini terasa sangat sia-sia bagi Aelin.
Di atas segalanya, kehadiran Ares di antara mereka menjadi alasan paling utama mengapa Aelin ingin segera angkat kaki. Pria itu tidak mengatakan apa pun sejak selesai menyanyikan lagu ulang tahun dan pemotongan kue. Setelah sepuluh menit berlalu pun ia tertidur dalam posisi duduk di sofa dengan tangan dan kaki terlipat. Ia jadi terkesan sangat tidak berminat menghadiri pesta kecil-kecilan ini. Arne pun tidak menegur sama sekali seolah hanya membutuhkan kehadiran Ares.
“Omong-omong, Kakak.”
Aelin melebarkan senyum. “Ya?”
“Kakak pergi ke luar di hari ulang tahun Kakak, bukan? Uh… bagaimana rasanya? Kondisinya?”
Aelin cukup tersentak, tidak menduga pertanyaan itu akan muncul. Dia tidak menyangka fakta bahwa dirinya diperbolehkan berjalan-jalan di Narfort akan menyebar di Istana Kekaisaran hingga terdengar oleh telinga Arne. Dia pikir, perizinan Ares disembunyikan oleh Sierra sebagai privasi sehingga tidak akan menyebar menjadi buah bibir. Kepergian Aelin pun dilakukan dengan cara berpindah tempat menggunakan sihir teleportasi bersama Saga agar tidak diketahui oleh semua orang.
Banyak sekali yang tidak dapat dipercaya di Istana Kekaisaran.
“Menyenangkan, tentu saja,” jawab Aelin kemudian, memilih tidak menyembunyikan apa pun karena itu sia-sia, “Narfort sangat ramai dan meriah seperti sedang festival. Banyak jajanan nikmat dan pernak-pernik bagus. Kau pasti akan menyukainya.”
Mata Arne berbinar, dia mengangguk setuju. “Bahkan sebelum mendengar kesaksian Kakak, aku telah merasa menyukainya. Aku sempat meminta izin Ayah untuk pergi ke Narfort, tetapi tidak diizinkan, hahaha.”
Kening Aelin segera mengernyit mendengar penuturan Arne yang janggal. Tidak diizinkan? Bagaimana mungkin? Arne adalah Putri Mahkota, ia adalah salah satu dari segelintir pihak yang dapat memperoleh apa pun hanya dengan menunjuk dan membicarakan sesuatu. Bagaimana bisa seseorang yang termasuk ke dalam golongan elit semacam itu tidak mendapatkan keinginannya terpenuhi? Apakah karena dirinya seorang Putri Mahkota sehingga dijaga lebih ketat? Tetapi, ada sekian ratus penyihir mumpuni yang pasti dapat menjaga Arne seperti Saga menjaga Aelin.
Mengapa tidak diizinkan sementara Aelin diizinkan begitu saja?
“Jika sudah saatnya, Ayah pasti akan mengizinkanmu bermain ke luar. Jangan khawatir,” tutur Aelin, tanpa sadar memberikan semangat yang tulus.
Arne mengangguk, tersenyum. “Ya, pasti! Aku tidak sabar menengok keramaian Ibu Kota yang selalu terdengar seperti kota ajaib di buku dongeng. Transportasi, makanan, pernak-pernik dan hubungan sosial para masyarakat. Pasti menyenangkan.”
Ya, lebih menyenangkan daripada terjebak di ruangan ini.
TO BE CONTINUED