BAB 29

1436 Words
Selama menunggu pesta selesai, Saga menghabiskan waktunya di perpustakaan Istana Hampstead. Perpustakaan yang juga dapat disebut sebagai perpustakaan pribadi Arne. Tentu saja, tempat itu tidak dibuka untuk umum sehingga selalu ada kesatria yang berjaga di pintu. Sayangnya, mereka bukanlah tandingan Saga. Jadi, memasuki perpustakaan Arne tidak sulit sama sekali. Tidak ada alasan, Saga hanya butuh tempat untuk menghabiskan waktu menunggu pesta berakhir. Dia tidak mungkin terus-terusan berdiri di depan pintu ruang lokasi pesta, bukan? Sewajarnya perpustakaan, perpustakaan Arne tidak memiliki kesan istimewa. Rak-rak tinggi berjajar, sofa dan meja di depan perapian, dan sekian lemari. Terdapat beberapa jendela didesain dapat dijadikan tempat bercengkrama apabila ingin mengganti suasana saat membaca buku. Kurang lebih, perpustakaan Arne tidak ada bedanya dari perpustakaan Aelin di Istana Clementine. Perbedaannya hanya terletak pada interior yang lebih mewah dan lengkap. Selain itu, jumlah buku yang tersimpan jauh lebih lengkap dan selalu diperbarui. Saga tidak begitu ingin mengenal silsilah keluarga Sinclair. Yang dia pedulikan hanyalah siapa pemimpin Neuchwachstein dan tahun berapa saat ini. Informasi dasar yang hanya perlu diketahui serta diingat baik-baik. Saga tidak ingin mengetahui apa pun yang terjadi di generasi Sinclair sekarang. Rasa-rasanya sudah cukup dia mengamati konflik di dalam keluarga kekaisaran yang seolah telah menjadi siklus tak berujung. Terakhir kali dia mencoba peduli, dia lelah batin. Maka, untuk kali ini, Saga tidak ingin tahu. Berbeda kasus jika menyangkut Aelin. Saga memang tidak pernah mengumbarnya tetapi dia yakin Aelin menyadari sesuatu terkait keputusan anehnya memilih menetap di Istana Kekaisaran. Gadis itu memiliki pemikiran yang tidak lazim dimiliki oleh anak berusia 9 tahun. Terlebih lagi, alih-alih anak kecil, Saga merasa sedang berhadapan dengan orang dewasa walau Aelin berusaha menutup-nutupinya. Pun dia tidak akan mempertanyakannya, gadis itu memiliki hak atas privasi seperti yang Saga lakukan. “Sinclair, keluarga aneh yang selalu dilemahkan oleh cinta. Tidak pernah berubah, huh,” gumam Saga seraya membalik halaman sebuah buku tentang biografi para anggota Sinclair. “Alistair, Archibald, Ernest, Percy, Savvina. Lalu, kini Aristaios? Mau sampai kapan kekaisaran b****k ini dipimpin oleh orang b****k juga?”  Jika Aelin berada di dekatnya, gadis itu pasti akan memukulnya karena mengolok para leluhurnya, terutama Savvina yang diidolakan. Saga masih tidak mengerti mengapa gadis itu sangat menjunjung Savvina. Dilihat dalam sekali tatap pun terlihat jelas bahwa Aelin tidak mempedulikan keluarganya sama sekali, terutama Ares dan Arne. Pencitraan? Sikap membelanya terlalu murni untuk disebut pencitraan. Pada halaman terakhir, tercantum biografi Arne secara mendetail. Latar belakang garis keturunannya, tanggal berapa dilahirkan dan bagaimana hidupnya berjalan sejauh ini. Tidak jauh berbeda dari struktur biografi para leluhurnya. Hanya saja, Aelin tidak tercantum di antara mereka seolah tidak pernah ada. Fakta miris itu membuat Saga menyeringai, merasa tidak habis pikir namun tidak terkejut sama sekali. Mengetahui gadis itu ditempatkan di Istana Clementine membuat Saga paham bahwa ia diperlakukan berbeda. Maka, melihat biografinya tidak dicantumkan di buku biografi keluarga bukanlah hal aneh lagi. Selama ini, Aelin pun tidak pernah menaruh peduli pada keluarganya. Isi kepalanya hanya kudapan manis buatan Sierra dan dunia di balik dinding Istana Kekaisaran. Jika kebetulan ada waktu untuk memikirkan hal lain, maka kekhawatirannya terkait ketidakmampuan menggunakan sihir. Sekian bulan bersama Aelin membuat Saga memahami dengan pasti bahwa gadis itu tidak biasa. “Sungguh, mau sampai kapan keluarga b****k ini berulah pada dirinya sendiri.” cibir Saga seraya membaca biografi Arne. “Morrison, huh? Akhirnya kali ini mereka dapat berhasil memasuki Sinclair. Selanjutnya, Zacharias.” Sejauh Saga memandang, keluarga Zacharias tidak begitu problematik. Setiap keturunannya konsisten dengan watak berwibawa dan bijaksana, tidak peduli bagaimana prinsip yang mereka tanamkan. Watak mendarah daging itulah yang menyebabkan Deltora selalu makmur sebagai kerajaan pesisir. Bila perlu dibandingkan, Deltora unggul di antara lima kerajaan penaungan kekaisaran. Jika kemudian Arne menikah dengan Pangeran Deltora, kemakmuran Neuchwachstein dapat sedikit lebih terjamin. Saga melengos, menutup buku, tidak begitu ingin mempelajari hal-hal tentang Arne. “Anak itu masih terasa aneh.” Sejak Saga menetap di Istana Kekaisaran, dia tidak pernah melangkah melebihi area Istana Clementine, Istana Kaisar dan Menara Sihir Kekaisaran. Ketiganya berada dalam satu wilayah yang sama sehingga berjarak cukup dekat antar satu sama lain. Bagi Saga, dia tidak pernah merasa tertarik untuk pergi keluar dari wilayah tersebut. Sebab, tidak ada yang menarik perhatiannya. Situasinya pun tertebak tanpa perlu mencari tahu, hanya dipenuhi oleh para pekerja istana tidak tahu diri yang gemar mengolok Aelin dan memuja Arne. Terpecahnya situasi menjadi dua belah pihak bukanlah hal aneh. Terlebih, dalam kondisi kekaisaran hanya memiliki dua putri dengan latar saling berkebalikan. Maka, melihat kemirisan para pekerja yang berada di pihak Arne tidaklah aneh. Saga hanya tidak ingin melihatnya. Sudah cukup emosinya dibuat berantakan oleh para Penyihir Kekaisaran tak becus, tidak perlu diperparah lagi. Akan tetapi, mungkin sesekali Saga harus mencoba untuk keluar dari zona nyamannya demi memastikan prasangkanya mengenai Arne. Selama ini dia hanya berkutat di wilayah Ares, Aelin dan Penyihir Kekaisaran, kini dia menginjakkan kaki di Istana Hampstead firasatnya berkata buruk. Hawa pekat yang tidak menyenangkan tersebar memenuhi istana. Itu terasa seperti aura yang dia tangkap dari Arne di pertemuan pertamanya. Hanya saja kepekatannya lebih parah. Saga meletakkan buku biografi kembali ke rak. Mata emasnya mengamati seisi perpustakaan seiring inderanya merasakan hawa yang menyesakkan. Segala sisi di Istana Hampstead seolah menyembunyikan sesuatu. Dia tidak tahu apakah hawa tak baik itu sebuah pertanda atau pengecoh, yang jelas dia tahu itu bersangkut paut dengan hal buruk. Sangat buruk. Aelin tidak boleh terkena dampaknya. “Sudah susah payah aku menyelamatkan nyawanya,” cibir Saga seraya melangkah ke salah satu jendela biasa tanpa tempat duduk. Langit biru di luar tampak begitu berbanding terbalik dengan hawa buruk yang menyelimuti Istana Hampstead, ironis. “Kuharap kekuatanku segera pulih.” Berikutnya, Saga berteleportasi ke depan pintu ruang pesta ulang tahun Arne karena merasakan langkah Aelin menuju pintu. Kehadirannya hanya berselisih dua detik sebelum daun pintu terbuka. Sang Putri melangkah keluar bersama Arne, Ares mengikuti dari belakang. Tidak ada yang berbeda dari mereka selain betapa riangnya Arne mengajak Aelin mengobrol tanpa memedulikan ketidaknyamanan gadis itu dan betapa dingin sorot mata Ares. Semakin dilihat, semakin Saga sadari bahwa terlalu banyak titik kerumitan di antara mereka bertiga. Terutama Ares. “Saga!” sapa Aelin bernada senormal mungkin, sayangnya Saga terlalu peka untuk menyadari gadis itu sangat lega bertemu dengannya. Saga menyunggingkan senyum palsu andalannya. “Tuan Putri, Anda sudah selesai?” Dalam sepersekian detik, Saga menangkap adegan Aelin menjauhi Arne di saat Arne hendak merangkul siku kirinya dan mengatakan sesuatu. Wajah pias gadis itu melihat Aelin tiba-tiba menjauhinya begitu memanjakan mata Saga. “Ya, sudah selesai. Menyenangkan sekali.” sahut Aelin lebih riang dari sebelumnya, pertanda ia merasa sungguh lega karena pesta telah berakhir. Ia menoleh ke Arne tanpa menunggu balasan Saga. “Terima kasih banyak, Putri Arne. Pestanya sangat menyenangkan. Semoga segala keinginanmu di tahun ini terwujud.” Arne mengangguk, tersenyum manis. “Terima kasih Kakak berkenan menghadiri undanganku. Aku senang karena akhirnya dapat bertemu dan berbicara dengan Kakak. Jika ada kesempatan lagi, bolehkah aku menemui Kakak?” Detik itu, Saga tahu tensi udara terasa semakin mencekik leher akibat sorot dingin Ares kian parah dan diamnya Aelin menimbulkan kecanggungan. Sementara, entah benar atau palsu, Arne tetap pada kepolosannya menantikan jawaban Aelin. Walau Saga telah mematikan hatinya, dia tetap terpancing emosi melihat kepolosan Arne yang memuakkan. Gadis itu benar-benar seperti orang bodoh yang tidak dapat membaca situasi akibat tidak memiliki kepekaan. Entah ia memang demikian atau berpura-pura naif entah atas dasar apa. Saga ingin segera angkat kaki dari hadapan Ares dan Arne. “Tentu… saja.” Saga melirik Aelin, menyadari itu bukanlah jawaban yang tulus. “Aku akan menyambutmu dengan senang hati, Putri Arne,” imbuh Aelin dengan nada tidak semeragukan sebelumnya. “Terima kasih, Kakak—eh?” Saga dan Aelin mengernyit melihat Ares menahan pundak Arne kala Putri Mahkota itu hendak menghampiri Aelin karena terbuai rasa senang. Pria yang sedari awal tidak banyak berbicara itu menatap Arne dengan sorot dingin nan tajam lalu berganti pada Saga dan Aelin. Untuk sesaat, Saga merasa nyaris menemukan benang merah atas keanehan Ares jika saja pria itu mudah dibaca seperti Aelin. Mengamati dan menebak gelagat Ares lebih sulit dari meramalkan cuaca. “Kau pasti lelah, segeralah beristirahat dan membuka kado.” ujar Ares akhirnya. Tanpa menunggu respon Arne, dia menoleh pada Saga dan Aelin. “Kembalilah.” Apa maksudmu, Kaisar Aristaios? batin Saga bertanya-tanya di sela membungkuk bersama Aelin untuk memberi salam hormat. Dalam pandangan terakhir sebelum angkat kaki, wajah datar Ares dengan mata hampa seolah tak bernyawa menjadi hal terakhir yang Saga tangkap. Benaknya masih berusaha mencerna gelagat Ares demi menemukan benang merah atas beberapa keanehan di keluarga Sinclair. Sayangnya, Kaisar itu terlalu sulit untuk ditebak. Jika dugaanku benar, Saga melirik Aelin di sisi kanannya, maka aku harus membawamu keluar dari istana ini secepatnya.     TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD