BAB 30

1265 Words
Setelah pesta Arne, Aelin dapat memastikan bahwa dirinya tidak menyukai Ares dan Arne sama sekali. Apakah itu dapat disamakan dengan kebencian? Mungkin saja. Dia tidak memiliki bukti tetapi dia merasa sesungguhnya Arne tidak sepolos yang terlihat. Pasti ada alasan mengapa gadis itu bertindak menyimpang dari alur novel. Dan, satu-satunya alasan masuk akal yang terpikirkan oleh Aelin adalah Arne merasa tidak terima perhatian Ares mulai terbagi. Sama seperti Aelin, Arne merasa terkejut oleh perubahan sikap Ares yang mendadak. Perhatiannya yang mulai terbagi membuat Arne kesal sekaligus penasaran dengan sosok seseorang yang tiba-tiba mengambil perhatian sang ayah. Arne adalah anak manja, Aelin yakin hanya itulah alasan paling masuk akal dari mengapa ia turut memperhatikan Aelin. Lantas, Aelin berpikir betapa ayah dan anak itu sangat menjengkelkan. Kini, dimensi kisah “Trash of The Imperial Family” terasa begitu nyata menyebalkannya karena terkuak bahwa inilah sisi gelap yang tidak pernah ditampilkan di Webtoon. Tidak berbeda dari kehidupan nyata Aelin di bumi, Arne sama seperti manusia biasa yang juga memiliki sisi negatif. Ia tidak benar-benar lemah lembut dan baik hati bak orang suci. Tentu saja itu adalah hal yang wajar, tetapi Aelin tidak bisa menerimanya. Dia semakin tidak menyukai sosok Arne. Sebab sepertinya Arne akan jauh lebih menyebalkan setelah merasa berhasil mendekati Aelin. “Hanya karena perhatian Ares terbagi, kau sampai-sampai perlu menandai teritorialmu.” gumam Aelin mencibir Arne, tatapannya kosong kepada bulan yang bersinar di langit malam tanpa awan. Kemudian, menghela napas. “Seandainya aku memiliki otoritas setinggi Arne, aku dapat menolak permintaannya dan fokus diam di Istana Clementine.” Haruskah Aelin juga bersikap licik sekarang dengan memanfaatkan Ares untuk mendapatkan otoritas sewajarnya Putri Neuchwachstein? Jika dia berhasil mendapatkan beberapa sokongan Ares, dia tidak perlu khawatir karena merasa tak memiliki pilihan untuk menolak Arne. Posisinya sekarang yang tidak begitu jelas membuatnya tak dapat berkutik bebas sehingga menolak Arne juga termasuk hal yang cukup mustahil dilakukan. Dia tidak ingin para pekerja Istana Clementine terkena imbas akibat dirinya berani menolak Putri Mahkota. Membicarakan Ares, pria itu juga memiliki alasan tersendiri dari perubahan sikapnya yang sangat mendadak terhadap Aelin. Di dalam Webtoon, tertera jelas bahwa Ares tidak menyukai Aelin hingga akhir kisah. Ialah yang menjatuhkan hukuman mati tanpa berpikir panjang tatkala Aelin menjadi kambing hitam Duke Morrison atas tuduhan meracuni Arne. Jangankan berpikir panjang menimbang-nimbang hukuman, Ares pun tidak mau repot-repot memerintah penyelidikan lengkap seolah begitu meyakini Aelin memang melakukannya. Mengapa orang keji semacam itu tiba-tiba saja perhatian padanya? Aelin masih tidak tahu. Di pesta, Ares benar-benar diam dan tidak menunjukkan gelagat aneh yang signifikan. Orang berkepribadian seperti dirinya adalah orang-orang yang tidak mudah dibaca jalan pikirannya sehingga masih menjadi tanda tanya bagi Aelin. Namun, satu hal yang mungkin dapat Aelin yakini adalah Ares tidak benar-benar menyayangi Arne, berkebalikan dari alur novel. Dan jika itu benar, maka ini menjadi pertanda marabahaya bagi Aelin yang tidak memiliki kejelasan otoritas di Istana Kekaisaran. Sebab, dilihat dari segala sisi, tidak ada posisi yang benar-benar cocok untuknya. “Argh! Semakin kupikirkan semakin membuatku sakit kepala!” rengek Aelin frustasi, menyandarkan kening di pagar balkon yang begitu dingin diterpa angin malam. “Mau obat sakit kepala?” Aelin tersentak, segera menegakkan kepala dan menoleh ke kiri, mata peraknya membulat kaget melihat Saga berdiri di atas pagar balkon dengan gaya kasual khasnya yang menyebalkan. Jubah seragam Penyihir Kekaisarannya terbang teratur diterpa angin malam, begitu pula rambut hitamnya yang sekelam langit malam. Mata emas Saga tampak bercahaya akibat diterpa sinar bulan, memperjelas kepekatan pigmennya bahwa itu juga seterang sinar bulan. Dilihat dari sisi mana pun, ketampanan Saga tidak dapat disangkal dan itu menyebalkan. “Apa yang kau lakukan malam-malam menyusup ke sini?” dumal Aelin mencibir usai membuang muka. “Tidak ada kue dan kukis Sierra di jam malam.” Saga mendengus geli dan menyeringai. “Aku hanya merasakan hawa keberadaan yang tidak seharusnya berada di luar pada jam segini. Jadi, untuk berjaga-jaga aku menengok untuk memastikan itu hawa dari penyusup atau putri bodoh yang sedang frustasi.” Aelin menoleh, mendelik. “Hei, tidak sopan! Kau mengganggu sesi privasiku!” Tanpa peduli, Saga mendudukkan diri di pagar balkon tepat di samping kiri Aelin, tubuhnya menghadap arah berlawanan dari gadis itu. “Anak kecil sepertimu tidak membutuhkan privasi. Hal-hal yang kau pikirkan hanyalah bermain dan makanan.” “Hmph, sok tahu sekali,” sangkal Aelin seraya menyandarkan rahangnya pada tangannya yang menyiku di pagar balkon, “aku tidak ingin mendengar itu dari Penyihir Kekaisaran yang suka membolos.” “Tidak ada yang berubah meski aku hanya luntang-lantung kaki di sana, julukan penyihir jenius tetap milikku.” Aelin mendengus. “Kepercayaan diri yang terlalu tinggi dapat membuatmu jatuh terperosok paling dalam.” “Aku sudah terlalu sering mendengar nasihat dunia. Tidak mempan untukku, Putri Bodoh.” “Kesombonganmu benar-benar menyebalkan.” Seringai Saga sedikit melebar, mata emasnya melirik Aelin yang berwajah sebal ke arah hamparan taman. “Apa pula yang kau gerutui malam-malam begini, huh? Bukankah kau seharusnya merasa senang dapat berkumpul selayaknya keluarga bersama Kaisar—” “Jangan membicarakan mereka!” Saga mengerjap sejenak, cukup terkejut oleh bentakan Aelin. “Sefrustasi itukah kau hanya karena mereka? Kau ingin dipindahkan dari Istana Clementine?” Aelin menghela napas berat. “Aku tidak ingin dipindahkan. Aku lebih ingin terus diabaikan oleh mereka, terutama Ayah.” “Tidak perlu dipikirkan lagi. Sudah berlalu, bukan? Berharap saja setelah ini mereka tidak akan mengusikmu lagi.” Aelin menoleh pada Saga, rautnya lesu. “Bagaimana jika mereka melakukannya lagi?” “Akan kubawa kau menjauh sejauh-jauhnya.” Alis Aelin naik sebelah. “Menjauh?” Tanpa aba-aba, tangan kiri Saga mendarat di puncak kepala Aelin bersamaan dengan angin malam berhembus cukup kencang. Wajah gadis itu spontan bersemu akibat campuran rasa malu dan kedinginan. Tak lama kemudian, ia bersin, membuat Saga tertawa. “Anak kecil tidak boleh tidur terlalu larut,” ujar Saga sebelum kemudian menarik tangannya dari kepala Aelin. Belum sempat Aelin membalas, gadis itu mendelik merasakan tubuhnya terangkat di udara. Dia menatap Saga untuk memprotes tetapi bibirnya pun ditutup oleh sihir lelaki itu. Dalam gerakan cukup cepat, tubuh Aelin dibawa kembali ke tempat tidur. Lagu pengantar tidur diputarkan memenuhi seisi kamar tidur. Aelin yang masih ingin memberontak pun dibungkam total oleh sihir Saga agar ia segera memejamkan mata dan pergi ke dunia mimpi. Semua itu dilakukan agar Saga tidak perlu melihat Aelin frustasi lagi. Ia tidak suka melihat gadis itu larut dalam kesedihan yang sia-sia, entah mengapa. Memasuki kamar, Saga duduk di kursi samping tempat tidur Aelin. Mata emasnya mengamati wajah sang Putri yang kini terlelap pulas tanpa pengaruh sihirnya. Sebagian dalam diri Saga merasa wajah Aelin mirip seperti Savvina. Beberapa kali dia merasakan déjà vu di saat sudut pandangnya terhadap Aelin menghasilkan potret wajah yang sungguh mirip dengan Savvina. Jika dipikirkan secara logika, bukan hal yang aneh melihat Aelin mirip dengan Savvina karena gadis itu adalah keturunannya. Tetapi, di sisi lain, Saga jadi teringat sebuah kisah yang telah turun-temurun di dalam keluarga Sinclair terkait sihir khusus yang hanya muncul sekali dalam sekian ratus tahun dimiliki oleh anggota terpilih. Orang terakhir yang berhasil membangkitkan sihir khusus itu adalah Savvina. Saga ingat betul sepak-terjang Savvina selama memerintah. Otoritasnya sebagai Kaisar tidak diragukan lagi, namun kekuatannya semakin tak terbantahkan sejak dirinya mewarisi sihir khusus Sinclair yang hanya muncul sekali dalam seratus tahun. Lantas, melihat kemiripan wajah Aelin dan mengingat gadis itu tidak bisa menggunakan sihir, Saga mulai menduga-duga apakah ia akan menjadi Savvina berikutnya. Jika berhasil, bukankah itu sangat bagus? “Aku akan membawamu menjauh dari mereka,” ujar Saga seraya meraih sejumput rambut merah Aelin, “tetapi, aku tidak suka memaksa burung yang berkepribadian bebas untuk mengikuti caraku.” Saga berharap waktu segera berlalu.       TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD