Waktu selalu berjalan tanpa menunggu manusia bak pedang bermata dua. Bagi yang gundah, itu adalah fakta yang menyakitkan akibat mengkhawatirkan masa depan hingga ingin waktu tetap berhenti. Di sisi lain, ada pihak yang ingin waktu segera berjalan cepat dalam sekejap demi pergi dari masa lalu yang menyakitkan. Manusia dan waktu tidak pernah selaras.
Untuk Saga, dia tidak pernah mengenal waktu lagi sejak menjadi penyihir. Waktu telah menjadi sesuatu yang mati dalam hidupnya. Dia terjebak di dalam zona yang tak terikat dengan waktu hingga dia tidak perlu merasa khawatir perihal masa depan dan masa lalu. Namun, jika boleh memilih, Saga lebih suka waktu berjalan cepat. Dia tidak suka tertahan terlalu lama di satu momen hingga memilih berlari pada waktu untuk melupakan segala hal. Tidak, dia tidak sedang tersakiti, dia hanya terlalu bosan untuk bertahan di satu momen.
Enam tahun yang lalu, Saga berharap waktu segera berlalu di hari pesta ulang tahun Arne dirayakan. Sebuah titik balik dari sikap Aelin terhadap Arne. Kala itu, Arne mengundang Aelin untuk merayakan ulang tahunnya bersama-sama dengan Ares sebagai satu keluarga. Pertemuan itu terpaksa dihadiri oleh Aelin hingga ia frustasi memikirkan selama satu minggu sebelum hari acara berlangsung. Ribuan keluh kesah telah Saga dengarkan, dan dia cukup heran mengapa dirinya bisa tahan mendengarkannya.
Enam tahun telah berlalu sejak hari itu.
Saga tidak menganggap harapannya benar-benar terkabul karena waktu berjalan seperti biasa. Tetapi, mungkin Aelin menganggapnya berbeda, waktu berjalan cepat baginya. Dari seorang anak kecil yang hanya bisa merengek dan diremehkan, kini tumbuh menjadi remaja yang rupawan. Saga menangkap seluruh momen pertumbuhan itu dalam otaknya tanpa disadari. Lalu terperangah pada dirinya sendiri bahwa inilah momen pertama kali dia bisa bertahan sejauh ini di lingkungan manusia biasa.
Dari hal sepele berupa Aelin, Saga tak menyangka dirinya dapat sampai di titik ini bersama gadis itu.
“Saga! Itu kukis terakhir!”
Yah, hanya fisik yang berubah.
“Lalu?”
“Tega sekali! Aku sengaja menyimpannya!”
Ujung lidah Saga terjulur. “Siapa cepat dia yang dapat.”
Tangan Aelin spontan terayun hendak membidik pundak Saga, namun digagalkan oleh lelaki itu yang dapat menghindarinya. “Saga!”
“Apa? Tidak perlu teriak-teriak, kau bukan anak ingusan lagi.”
Pipi Aelin menggembung, jengkel. “Kukis terakhirku…!”
“Kau sudah cukup tua untuk meributkan satu kukis.”
“Dan kau sudah cukup tua untuk gemar mencuri makanan orang lain.”
Saga menyeringai. “Aku tidak mencurinya, itu terpampang jelas di piring dan tepat di depan matamu.”
“Itu mencuri! Kau langsung mengambilnya tanpa permisi, itu mencuri, Penyihir Bodoh!”
Inilah yang Saga herankan, bagaimana bisa dirinya dapat bertahan selama ini menghadapi mulut bawel Aelin. Itu patut dibanggakan. Dia yang tidak pernah tahan hidup di antara manusia ternyata dapat menjalaninya selama enam tahun tanpa masalah. Lebih membanggakan lagi, tinggal di antara para penyihir amatiran dengan beragam watak yang menjengkelkan di Menara Sihir Kekaisaran. Saga sungguh bangga atas pengendalian emosinya yang tak diduga dapat stabil.
“Bisa-bisanya kau menyebutku seperti itu di saat julukan Penyihir Jenius masih kumiliki,” cibir Saga membuat Aelin mendelik.
“Kau tidak jenius sama sekali bagi sudut pandangku. Tidak ada orang jenius yang gemar mencuri kukis.”
Lebih cepat dari kesadaran Aelin, jemari Saga menyentil kening gadis itu. “Begitukah caramu memperlakukan penyelamat nyawamu, huh?”
Aelin segera menyentuh bekas sentilan Saga seiring pipinya menggembung makin besar. “Saga!”
Enam tahun, hanya fisik yang mengalami perubahan. Watak Aelin tetaplah sama, gadis blakblakan yang gemar mengomel dan pemikir berlebihan. Suasana hatinya masih selabil dahulu hingga Saga lelah mendengarkan setiap ocehannya yang pasti berganti topik nyaris setiap lima detik. Setelah tumbuh remaja, keadaan itu semakin parah dan Saga tahu lebih dari siapa pun bahwa kelabilan seorang perempuan tidak akan bisa dihadapi dengan logika. Alhasil, Sierra menjadi pilihan terakhir Saga agar dapat kabur dari Aelin.
Aelin masih tinggal di Istana Clementine bersama Sierra dan para pelayan. Istana yang sebelumnya lusuh itu telah kembali ke keindahannya. Lima tahun yang lalu, secara tiba-tiba Ares ingin merombaknya kembali seperti semula. Tiada satu pun yang berani mempertanyakannya, termasuk Aelin meski gadis itu penasaran setengah mati. Alhasil, sampai detik ini tidak diketahui apa alasan dari tindakan tersebut. Lebih aneh lagi, Ares tidak pernah mengunjungi Istana Clementine walau dekorasinya telah usai. Keanehan itu menimbulkan sejuta pertanyaan, mengapa ia mendekor ulang jika tidak berniat mengunjunginya lagi? Itu sama saja menghamburkan uang, bukan?
Sudahlah, Saga tak ingin memikirkan Ares.
Lalu, Arne. Gadis itu tidak mengusik Aelin lagi tetapi tidak ada penghalang di antara mereka. Setidaknya, mereka diizinkan untuk bertemu satu sama lain, tidak seperti sebelumnya. Arne sangat sering meminta bertemu usai pesta ulang tahunnya. Aelin tidak pernah buka suara perihal perasaannya melihat Arne bersikap demikian, namun Saga yakin gadis itu risih dengan kelakuan adiknya. Perkembangan hubungan mereka terlalu cepat.
“Mengerikan sekali, bagaimana bisa penulis memikirkan cerita semacam ini?”
Saga menoleh pada Aelin, menangkap gadis itu masih terpaku pada novel romansa di tangannya. Untaian rambut merahnya yang dikepang disampirkan ke depan melalui pundak kirinya. Hari ini, tampilan Aelin masih alami seperti sebelum-sebelumnya meski telah memiliki uang yang terlalu banyak untuk dihabiskan sendirian. Dan itu aneh, sebab Saga tidak pernah berpikir Aelin adalah gadis cantik.
Akibat telah melalui sekian tahun sebagai teman, sudut pandang Saga mengenai Aelin belum berubah. Di dalam persperktif orang lain, Aelin sangat anggun dan rupawan selayaknya seorang putri yang menawan. Berbanding terbalik dengan Saga, Aelin hanyalah gadis kecil yang manja dan labil.
“Bagaimana bisa aku tahan berteman denganmu?” seloroh Saga membuat Aelin meliriknya, berhasil menarik perhatiannya dari novel. “Kau ini sudah labil, suka marah-marah, mengomel saja bisanya—”
“Kenapa pula aku tahan berteman denganmu? Kau menyebalkan, suka mencuri makanan kesukaanku, tidak tahu berterimakasih pula.”
Jika harus jujur, Saga akan mengakui mulut Aelin telah berkembang sangat jauh. Gadis itu menjadi lebih pintar bersilat lidah dengannya. Tidak peduli siapa yang salah dan benar, Aelin tidak akan pernah mau mengalah pada Saga. Sepertinya, sudut pandang dirinya mengenai Saga pun tiada berubah. Ia tetap menganggap Saga sebagai penyihir egois yang gemar pamer kemampuan. Alhasil, ia tidak pernah merasa rela untuk mengalah dari Saga.
Kendati demikian, pertemanan mereka dipandang menggemaskan oleh semua orang, terutama para pelayan di Istana Clementine. Mereka suka sekali melihat Saga dan Aelin bermain bersama meski hanya sekedar sapaan kecil. Jika ditelusuri lebih jauh, ada pula beberapa yang menginginkan hubungan Saga dan Aelin lebih dari sekedar teman maupun sahabat.
Dan untuk sekarang, Saga tidak akan memikirkannya.
“Mana mungkin kita lebih dari teman.”
“Huh?”
Untunglah, Aelin selalu telat paham.
TO BE CONTINUED