BAB 40

1085 Words
Untuk pertama kali sejak terdampar di dimensi novel “Trash of The Imperial Family”, Aelin merasa ketakutan terhadap Saga. Mungkin memang terdengar aneh karena selama ini Aelin selalu berani memarahi Saga hingga terkesan lebih berkuasa dibandingkan lelaki itu. Akan tetapi, sesungguhnya dia belum pernah melihat bagaimana sikap Saga saat sedang marah. Lelaki itu tidak pernah marah hingga Aelin lupa bahwa Saga juga seorang manusia yang bisa marah. Dia terlalu terlena. “Aelinna.” Aelin tersentak di sofa, sungguh tidak berani mendongak untuk menatap Saga yang duduk di hadapannya. Kuro di pangkuan gadis itu pun tidak membantu meringankan ketakutannya sama sekali. Nada yang digunakan Saga tidaklah berubah, datar dan terkesan tidak peduli. Namun, Aelin tahu dengan jelas bahwa lelaki itu sedang menahan diri agar kemarahannya tidak tersembur berlebihan. Dan, entah sebesar apa tekad kesabarannya dalam menahan segala emosi tersebut. “Aku memang mulai tua, tapi ingatanku masih bagus, kau tahu?” sambung Saga lagi karena Aelin tidak mau menoleh padanya. “Dan kau seharusnya demikian. Kau belum setua itu untuk mulai mudah melupakan sesuatu. Terutama, janji dan kesepakatan.” Untuk pertama kali, kamar tidur Aelin terasa lebih mengerikan daripada Istana Kaisar. Tubuhnya gemetar ketakutan diiringi bulu kuduk merinding akibat Saga. Lelaki itu tidak melakukan apa pun selain berbicara tetapi otak Aelin terus-menerus melahirkan asumsi-asumsi negatif yang sangat menakutkan untuk diucapkan. Saga tidak pernah marah, namun justru itulah titik mengerikannya. Entah apa yang dapat lelaki itu lakukan saat sedang marah! “Jawab.” Tenggorokan Aelin tercekat akibat sulit menelan saliva. Rasa-rasanya pada detik itu, bergerak dapat membuat nyawanya melayang dalam sekejap. Bagaimanapun, Aelin sadar bahwa dia tidak bisa selamanya diam mengabaikan Saga. Justru jika dia nekat melakukannya, itu akan menjadi pemicu nyawanya melayang! “Y—Ya, seharusnya begitu. Masih muda, masih segar!” sahut Aelin akhirnya, berusaha semaksimal mungkin untuk terlihat normal tapi sia-sia, dia malah semakin takut setelah bertemu pandang dengan iris emas Saga. “Lalu, apa yang kau lakukan?” Saga menyandarkan kaki kanannya ke kaki kiri seraya bersedekap. “Sebaiknya, kau berikan penjelasan yang masuk akal.” Semua berawal dari enam tahun lalu. Aelin yang sangat tidak percaya diri akan ketidakmampuannya menggunakan sihir selalu mengusik Saga agar diajari. Awalnya, Saga mengabaikannya, berkata itu semua butuh waktu tergantung kesiapan diri Aelin. Aelin pun menerima alasan itu, menunggu waktu yang tepat sesuai Saga. Akan tetapi, kesabarannya terkikis seiring rasa tidak percaya dirinya membesar. Pada akhirnya, Saga hanya mau mengajarkan teori dengan syarat tidak boleh dipraktikan. Aelin menerimanya tanpa pikir panjang, berasumsi dirinya dapat mampu menggunakan sihir seiring memahami dinamika sihir. Kini, kesekapakatan itu terlanggar. Saga memiliki sekian alasan untuk memarahi Aelin dan Aelin tidak dapat membela diri. “M—Maafkan aku, aku hanya iseng mencoba-coba. Aku tidak mengira bahwa itu akan berhasil,” ujar Aelin, matanya mengerjap cepat. “A—Aku tahu aku salah, aku tidak akan berusaha membela diri….” “Dari sekian mantra, harus Flareos yang kau pilih. Apa yang akan terjadi jika aku tidak berada di sana? Apa yang harus kujelaskan kepada semua orang? Sierra dan Kaisar, terutama.” Aelin menunduk, mengangguk lemas. “Aku tahu, maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” “Tidak.” Aelin mendongak, mengerjap bingung. “Huh?” “Kau akan melatihnya mulai sekarang.” Spontan, mata Aelin melotot lebar. “Huh?! Kenapa? Bagaimana—tunggu, aku tidak mengerti!” Saga melengos. “Kau tahu bahwa Flareos adalah mantra paling sederhana dari penciptaan api. Mantra itu tidak akan menciptakan api lebih besar dari kapasitasnya meski penggunanya merapalkan dengan ledakan mana. Tetapi, api yang tercipta barusan jelas-jelas lebih dari kapasitas Flareos. Berbanding terbalik dari aturan yang telah ada.” Sesaat, Aelin tidak tahu harus berkata apa. Saga benar, api ciptaannya terlalu besar dari kapasitas Flareos. Seharusnya, api yang tercipta tidak sebesar itu. Fakta yang berbanding terbalik dari hukum sihir itu telah menjadi sebuah masalah yang tidak bisa diabaikan, terutama oleh Saga. Hari ini mereka beruntung karena tiada satu pun yang memergoki kejadian. Namun, esok-esok adalah misteri sehingga lebih baik sedia payung sebelum hujan. Kendati demikian, apakah ini adalah pertanda bahwa Aelin telah dapat menggunakan sihir? Saga memarahinya, berarti api tersebut bukan berasal darinya melainkan Aelin. Aelin masih tidak dapat percaya. “Saga, apakah ini artinya aku dapat menggunakan sihir?” tanya Aelin usai jeda, tatapannya terpancang pada kedua telapak tangannya yang terbuka padanya. Saga menghela napas panjang seraya menyandarkan lehernya di puncak sandaran sofa. “Sepertinya begitu. Siapa lagi yang menciptakan api itu selain kau, huh?” “Aku… sungguh menggunakan sihir….” Apakah ini pertanda bagus atau buruk, Aelin tidak tahu. Aelinna diatur tidak dapat menggunakan sihir sampai akhir hayat mengenaskannya. Tidak ada penjelasan detail mengapa gadis itu tidak dapat menggunakan sihir. Akan tetapi, segalanya telah berubah lagi secara tiba-tiba. Dirinya dapat menggunakan sihir, terlebih lagi itu melawan hukum sihir. Apakah ini bagus atau buruk? “Ingat, kita tidak akan membicarakan ini pada siapa pun. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana gaduhnya seisi istana saat mengetahui kau dapat menggunakan sihir, terutama para orang tua kolot di Menara Penyihir Kekaisaran,” cetus Saga tegas. Aelin mendongak pada Saga lalu mengangguk. “Aku mengerti. Lagi pula, aku tidak berniat membeberkannya pada siapa pun. Aku tidak ingin semakin mencolok hingga harus sering berurusan dengan Kaisar dan Arne.” Saga menegakkan leher, matanya memicing sebelah. “Dibandingkan mereka, aku lebih tidak ingin kau berurusan dengan Penyihir Kekaisaran, terutama Eros. Kakek kolot itu pasti akan mengusikmu jika mengetahui kau menciptakan api besar menggunakan Flareos.” “Eros?” “Kepala Penyihir Kekaisaran. Kakek tua kolot yang sangat ambisius. Kau pasti akan dijadikan objek eksperimen jika kabarnya sampai ke telinga kakek itu.” Aelin bergidik ngeri. “Aku tidak ingin membayangkannya.” “Kau tidak akan berlatih sendirian seperti tadi. Lebih baik kita lakukan setiap sore demi menghindari gangguan para pelayan. Akan kuurus tempatnya, mengerti?” Aelin mengangguk, kali ini bertekad untuk tidak melanggar perintah Saga lagi demi kebaikan dirinya. Dia hampir tewas terbakar akibat melanggar kesepakatan Saga, jadi dia tidak ingin terulang lagi. Selain itu, demi menjaga eksistensinya agar tidak semakin mencolok di Istana Kekaisaran. Tiada satu pun yang dapat dipercaya di istana selain Saga. Sierra bisa dipercaya tetapi Aelin bersangsi wanita itu akan memilih diam, ia pasti akan melaporkannya kepada Ares akibat khawatir berlebih. Ini seperti taruhan. Dua tahun sebelum Aelin angkat kaki dari istana, hanya dua tahun. Jangan sampai usahanya selama ini sia-sia hanya karena tiba-tiba mampu menggunakan sihir walau itu termasuk keinginannya untuk dapat menggunakan sihir. Tidak masalah, Aelin yakin segalanya pasti baik-baik saja. Sebab, ada Saga bersamanya.            TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD