Ares memang berkata bahwa dirinya tidak suka kesehatannya ditangani oleh Saga. Akan tetapi, dia tidak memiliki pilihan selain mempercayai penyihir itu karena tidak ada penyihir yang lebih mumpuni darinya. Enam tahun lalu, Saga telah membuktikannya dengan berhasil menyembuhkan Aelin dari tidur panjangnya. Ia menemukan apa yang salah dalam diri Aelin dan menanganinya dengan cepat, sebuah hal yang tidak mampu dilakukan oleh seluruh Penyihir Kekaisaran maupun penyihir lainnya di seluruh penjuru negeri.
Oleh karena itu, Saga tetap dibawa oleh para petinggi Penyihir Kekaisaran di setiap kali pemeriksaan Ares dilakukan. Walau Saga sempat tidak ingin berpartisipasi lagi usai pemeriksaan pertama—kebetulan juga Ares merasakan hal yang sama—tetapi tugas tetaplah tugas. Ia sadar bahwa dirinya tetaplah salah satu anggota Penyihir Kekaisaran yang wajib melayani keluarga kekaisaran sepenuh hati.
Saga tidak pernah membicarakannya, tetapi sesungguhnya dirinya sama seperti Aelin. Dia tidak suka berinteraksi dengan Ares dan Arne. Sebisa mungkin dia mengupayakan presentase akan kemungkinan berinteraksi dengan mereka. Selain karena merepotkan, dia tidak menyukai suasana Istana Kaisar dan Istana Hampstead yang memuakkan akibat adanya sihir hitam tertanam di beberapa sudut. Masalah itu belum disadari oleh para Penyihir Kekaisaran dan Saga tidak berminat membeberkannya akibat yakin mereka tidak akan mampu menanganinya. Sihir itu berada jauh di atas level kekuatan mereka, terbukti dari ketidaksadaran mereka terhadap eksistensinya.
Saga juga tidak berminat memberi tahu Aelin. Walau gadis itu tidak terlalu menyukai Ares dan Arne, ia tetaplah Putri Kekaisaran yang tidak ingin sesuatu terjadi kepada keduanya. Apa pun yang terjadi, Ares harus tetap hidup, terlebih lagi Arne. Apabila keduanya bermasalah, Aelin akan terkena imbasnya dan itulah yang tidak Aelin inginkan. Selain itu, memberi tahu Aelin tidak akan menghasilkan apa-apa. Toh, gadis itu belum mampu menggunakan sihir.
Alhasil, Saga menanggung masalah itu sendirian sekarang.
“Tidak ada yang salah, semuanya baik-baik saja,” ujar Saga usai memeriksa aliran mana di tubuh Ares. “Untuk sekarang, saya akan memperkuat pelindung di Istana Kaisar agar terhindar dari mana dan mantra yang tidak diinginkan.”
“Lakukan sesukamu.” sahut Ares seadanya seraya kembali memejamkan mata, terbaring di ranjang.
Pekerjaan Saga selesai. Dia hanya perlu mengamati aliran mana Ares untuk mendeteksi kesehatan sihirnya. Diagnosisnya sangat dibutuhkan bagi Dokter Kekaisaran guna memastikan apakah Ares menderita sakit fisik atau sakit akibat sihir. Oleh karena itu, usai pemeriksaan oleh Saga dilanjutkan lagi oleh Dokter Kekaisaran. Saga bisa pergi.
Eros mempersilakan Saga pergi berhubung dia tahu betapa tidak sukanya Ares terhadap Saga dan sebaliknya. Di luar kamar, Saga merapalkan mantra pelindungnya dalam sekali jentikan. Sekat cahaya berbentuk kubah segera menangkup seisi Istana Kaisar lalu menghilang dari pandangan, melindungi dalam diam. Saga dapat merasakan beberapa sihir hitam lenyap akibat kubah pelindung tersebut. Beberapa terbang mundur menuju Istana Hampstead. Itu semakin menguatkan dugaan Saga bahwa Arne dimanfaatkan untuk membunuh Ares secara perlahan-lahan menggunakan sihir hitam kuno.
Mata emas Saga menyalang tajam ke koridor Istana Kaisar yang begitu dingin nan sepi. Sanubarinya merasakan sihir hitam itu menyalang semakin kuat dari arah Istana Hampstead. Mungkin karena dibiarkan tumbuh selama enam tahun, bahkan bisa jadi lebih dari itu sebelum Saga tiba di Istana Kekaisaran. Saga tidak suka ini.
“Erasmus, kau dengar aku?” panggil Saga melalui mantra telepati seraya mulai melangkah meninggalkan kamar Ares.
Beberapa detik kemudian, Saga mendapatkan balasan.
“Ya, saya di sini, Lord Saga.”
“Aku akan memeriksa titik tumbuh sihir memuakkan itu. Aku meminta sampel yang kau berikan kemarin.”
“Eh? Anda ingin memeriksanya sekarang? Mengapa tiba-tiba?”
Saga mendecak pelan. “Hawa kekuatannya semakin kuat akhir-akhir ini. Aku telah menangkalnya dari Istana Kaisar tetapi itu tidak cukup. Harus segera dihilangkan sebelum menimbulkan masalah. Kau pun tahu sihir itu juga yang menyebabkan Kaisar mendadak jatuh sakit.”
“Apakah Anda yakin? Setidaknya tunggu sampai kekuatan Anda pulih lima puluh persen. Sihir itu sangat kuat bahkan untuk saya sekalipun. Jika tidak berhati-hati—”
Saga melengos. “Aku tahu, aku tahu. Lagi pula ini bukan pertama kalinya aku berhadapan dengan sihir serupa. Necromancer Bodoh itu seharusnya kubunuh saat itu juga.”
“Lord Saga….”
“Pokoknya, kirimkan sampelnya sekarang. Aku akan menemuimu usai memeriksanya.”
“Baik. Mohon berhati-hati.”
Telepati terputus tepat saat Saga keluar dari Istana Kaisar. Dalam pandangannya, dia dapat melihat aliran-aliran sihir hitam berterbangan di Istana Hampstead secara tak kasat mata. Aliran-aliran itu mendobrak kubah pelindung Istana Kaisar secara brutal. Dan harus Saga akui, mereka cukup kuat karena mampu membuat kubah sedikit bergetar karena dorongan kasar mereka. Dengan kekuatan semacam itu, cepat atau lambat eksistensinya akan disadari oleh penyihir lain.
Tepat sebelum berteleportasi ke salah satu titik sihir hitam di Istana Hampstead, tangan kanan Saga menangkap sebuah botol kaca mini berisi sihir hitam tersebut. Sampel yang diambil oleh Erasmus beberapa hari sebelumnya. Menggenggamnya saja membuat Saga merasa jijik sehingga dia segera berteleportasi agar urusannya segera selesai.
Titik pertama yang dikunjungi oleh Saga bertempat di sudut koridor kamar Arne. Letaknya di ujung koridor, cukup jauh dari kamar Arne yang berposisi tepat di tengah. Akan tetapi, jarak bukan menjadi penghalang bagi sihir itu untuk menjangkau Arne. Yang paling utama adalah titik penempatannya tepat dan efisien bagi si pelaku. Menggunakan sihir hitam kuno yang tidak akan mudah terdeteksi oleh penyihir-penyihir biasa memberikan keuntungan dalam penempatannya. Lantas, meletakkannya di ujung koridor kamar Arne yang selalu dilalui banyak orang adalah keuntungan besar.
“Aromanya tetap menjijikkan seperti dulu.” decak Saga seraya menatap kobaran sihir hitam yang tertanam di lantai seperti tumbuhan.
Kekuatan Saga belum pulih usai menangani Aelin enam tahun lalu. Dia telah tertidur sangat lama hingga kekuatannya hilang sebanyak empat puluh persen. Kemudian, dilanjut dengan menangani masalah Aelin yang mengakibatkan tiga puluh persen kekuatannya termakan membuat Saga merasa sangat lemah. Hanya bertahan dengan kekuatan tiga puluh persen selama enam tahun, Saga tidak begitu yakin dapat mencabut satu sihir hitam tersebut tanpa masalah signifikan. Kendati demikian, siapa pun harus melakukannya.
“Aku tidak ingin Putri Bodoh itu merengek lagi.” gumam Saga sebelum kemudian melemparkan mantra ke tanaman sihir hitam. “Deflecteo.”
Melalui ujung telunjuk Saga, mantra penghancuran berskala kecil melesat menuju tanaman sihir hitam. Tanaman itu segera teracak-acak oleh mantra dari dalam. Selama sepersekian detik, mantra Saga bekerja merusak tanaman dan seharusnya tidak membutuhkan waktu selama itu. Jika saja kekuatan Saga dalam kondisi maksimal, kehancurannya terjadi bahkan sebelum mata siapa pun berkedip. Saga benar-benar tertampar melihat fakta di hadapannya.
Sebelum Saga hendak merapalkan mantra penghancur itu lagi, tanaman sihir hitam meledak dan hancur berkeping-keping menjadi debu lalu sirna. Dari kejadian itu, Saga menjadi sadar diri bahwa sekarang bukan saatnya untuk menangani sihir hitam sendirian. Dia terlalu lemah, menghancurkan satu tanaman saja butuh sekitar lima belas detik.
“Roxius,” gumam Saga seraya membuka kepalan tangan kanannya lalu menunduk untuk menatap botol kaca mini berisi sampel sihir hitam. Alisnya segera bertaut tajam. “Sampai melintasi generasi pun kau masih berani menantangku, huh.”
Waktu tidak akan bersahabat dengan siapa pun. Saga harus segera menemukan cara untuk mengatasi kekacauan ini sebelum berdampak fatal pada keluarga Sinclair, terutama Aelin. Tiada disangka bahwa ketertarikannya terhadap keunikan Aelin akan berujung pada menghadapi musuh lama. Dan sepertinya Saga bertanggungjawab atas kekacauan ini sebab memilih tidak menghabisi musuh lama itu di masa lalu.
Saga sempat naif. Betapa bodoh dirinya.
***
Seperti biasa, Aelin bermain bersama Kuro sembari menikmati suasana sore hari di balkon kamar tidurnya. Tidak banyak yang dapat dilakukan selain menggunakan mainan tongkat berujung tali bola berbulu dan bola-bola kecil. Walau Saga memberi tahu bahwa Kuro adalah seorang hantu berjenis Nekomata, Kuro tetaplah kucing yang butuh kasih sayang dan belaian lembut. Terlebih mendengar latar belakang perihal bagaimana bisa Kuro berubah menjadi Nekomata membuat Aelin semakin sayang padanya.
Aelin ingin mencurahkan kasih sayang yang sebelumnya tidak pernah Kuro rasakan semasa menjadi kucing biasa. Syukurlah, Kuro sangat menyukainya. Aelin akan menggunakan kesempatan ini untuk sekaligus membuatnya melupakan pertemuan terakhirnya dengan Arne. Apa pun yang gadis itu katakan pada saat itu secara aneh tertanam erat di otak Aelin hingga Aelin merasa cukup frustasi.
“Hei, Kuro,” panggil Aelin saat Kuro mengambil bola kecil yang sebelumnya dilemparkan oleh Aelin ke arah kamar. Usai Kuro menoleh padanya, Aelin menambahkan, “apakah menurutmu aku dapat menggunakan sihir?”
Seperti biasa, Kuro tidak akan memberikan tanggapan karena ia hanya seekor kucing. Alih-alih menjawab, ia berlari kecil kembali ke Aelin sembari menggigit bola kecil. Dan lagi-lagi, seperti biasa, Aelin tetap melanjutkan perbincangan seolah-olah itu dilakukan oleh dua manusia.
“Aku tidak terlalu memikirkannya, tetapi tetap saja terasa mengganjal dalam diriku. Aku seorang Sinclair, tapi kenapa aku tidak bisa menggunakan sihir seperti Ares dan Arne? Mataku perak, aku bukan anak pungut, aku jelas-jelas seorang Sinclair, tapi mengapa…?” urai Aelin merasa gelisah untuk pertama kalinya perihal kekurangan terbesar itu.
Kuro berhenti di hadapan Aelin. Ia duduk usai meletakkan bola kecil seakan memberi gestur meminta bola itu dilemparkan lagi. Aelin melakukannya sembari berpikir lamat-lamat mengenai keluhannya. Tatapannya jadi tidak fokus pada Kuro yang kembali berlari mengejar bola.
“Apakah jika aku mencoba mengucapkan mantra lagi sekarang akan memberikan hasil yang berbeda?” gumam Aelin, mengerjap pelan. Tatapannya kembali fokus bertepatan dengan Kuro kembali ke hadapannya bersama bola. Lalu, sebuah tekad mencuat dalam dirinya. “Baiklah, kucoba.”
Selama enam tahun, Aelin tidak pernah melatih sihirnya karena larangan Saga. Lelaki itu berkata belum saatnya Aelin berlatih karena aliran mana dalam dirinya belum pulih sepenuhnya. Alhasil, Aelin hanya mempelajari teori melalui buku. Setidaknya, dia telah cukup memahami bagaimana dinamika sihir berjalan.
Aelin menarik napas panjang, menahannya, dan mengembuskannya perlahan. Mencoba merasakan aliran mana dalam dirinya dengan konsentrasi penuh. Menurut teori, sensasi mana dalam diri setiap orang berbeda-beda tergantung jenis elemen yang dikuasai. Bagi pengguna api, terasa membara; angin, sejuk mendayu; air, ketenangan; tanah, penuh gemuruh. Keempatnya adalah elemen paling lazim yang dimiliki oleh manusia. Dua lainnya adalah yang sangat langka sekaligus paling kuat, yakni cahaya dan kegelapan.
Ares berelemen api, disebut-sebut pula sebagai pemilik sihir api terkuat di seluruh penjuru Neuchwachstein. Sementara, Arne menguasai cahaya sehingga tidak mengherankan ia semakin dipuja-puji karena sangat melambangkan sosok sang Dewi sesuai arti namanya. Aelin yang tidak bisa menggunakan sihir pun tidak tahu elemen apa yang dia miliki. Namun, itu harus diusahakan sekeras mungkin. Dia tidak ingin tertinggal.
“Mantra paling sederhana,” gumam Aelin seraya menoleh ke tumpukan kertas di meja teh. Tatapannya terfokus seraya mengacungkan telunjuk kanannya. “Flareos.”
Itu adalah mantra untuk menciptakan api pada objek tertentu yang diinginkan. Salah satu dari sekian mantra paling sederhana yang dapat dirapalkan oleh seluruh elemen. Aelin mengamati kertas yang tidak terbakar sama sekali lalu mendesah pelan.
“Flareos.” ujar Aelin sekali lagi tetapi tetap berujung nihil. “Ck, mengapa susah sekali? Flareos! Flareos! Flareos! Fla—”
“Putri Bodoh.”
“—REOS!”
Dalam sekejap, api membumbung tinggi melahap kertas-kertas di meja. Aelin terbelalak seraya segera bangkit berdiri dan menjauh dari meja teh yang seolah-olah akan dilahap oleh kobaran api. Belum sempat dia berteriak memanggil Sierra, api itu menghilang dalam sekejap. Dengan napas terengah-engah, Aelin menatap kertas yang telah hangus di meja, berikut juga mejanya. Benaknya masih mencerna apa yang baru saja terjadi dalam sepersekian detik menegangkan itu.
“Apa… yang terjadi….”
“Meow!”
Aelin menoleh kepada Kuro yang duduk di ambang pintu kaca balkon. Terlintas dalam pikirannya bahwa api itu ditimbulkan oleh Kuro, namun Saga berkata Kuro tidak bisa menggunakan sihir selain sihir kematian. Lalu, dari mana api itu berasal? Dirinya?
“Aelin.”
Aelin menoleh cepat, menemukan Saga berdiri tidak jauh darinya dengan wajah datar. “Saga…, a—aku tadi—hmph!”
Saga tidak mengizinkan Aelin menyelesaikan ucapannya. Lelaki itu berpindah tepat di hadapan Aelin menggunakan teleportasi lalu membungkam bibir gadis itu menggunakan telapak tangan kanannya. Dalam jarak hanya sekian inci, mata emas Saga menyorot dingin seakan memberi peringatan.
“Kita tidak akan membicarakan hal tadi pada siapa pun, paham?”
Seolah diatur otomatis, Aelin mengangguk pelan.
TO BE CONTINUED